“Nationalism
is a betrayal of patriotism (nasionalisme adalah pengkhianatan patriotism).”
Demikian ujar Presiden Macron dalam pidatonya di depan para pemimpin dunia di
peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I di Paris (11/11), kira-kira
satu bulan sebelum digoncang aksi Gilets Jaunes (Jas Kuning). Salah satu
pemimpin yang mengernyitkan kening mendengar pidato tersebut adalah President
Trump, dan kita bisa lihat fotonya di sini.
Pemimpin Prancis itu juga menambahkan apa yang telah direnggut oleh
nasionalisme dari setiap negara, yaitu adalah “nilai-nilai moral negara
tersebut.” Pernyataan kontroversial itu sudah jelas direspon “sangat meriah”
oleh para netizen di Prancis dan di sejumlah negara lainnya. Kita yang tinggal
di Indonesia dan dikenal dengan masyarakat penjunjung tinggi nasionalisme pasti
tidak habis pikir. Mengapa justru presiden sebuah negara yang memelopori
tumbuhnya nasionalisme di Eropa melalui Revolusi Prancis menganggap
nasionalisme adalah sebuah kekeliruan.
Supaya kita
bisa memahami mengapa Macron beranggapan demikian, kita sebaiknya memperluas
sedikit cakrawala kepada kondisi terkini di daratan Eropa. Sejak dua tahun terakhir
Benua Biru kebanjiran pengungsi dari Suriah yang saat itu sedang dilanda
konflik bersenjata. Pada awalnya Angela Merkel, petinggi Uni Eropa saat itu,
bermaksud baik dengan menawarkan tempat tinggal sementara untuk para pengungsi.
Namun beliau melupakan fakta bahwa para pengungsi itu berasal dari daratan lain
dengan kondisi budaya yang jauh berbeda. Mereka tidak biasa melihat perempuan
berpakaian terbuka, akibatnya banyak terjadi kasus pemerkosaan dengan pelaku
oknum pengungsi. Para pengungsi mau bekerja dengan gaji rendah demi bertahan
hidup, sehingga berkuranglah lapangan kerja untuk penduduk asli sejumlah negara
Eropa. Dua isu ini hanya sebagian kecil buah gesekan kultural yang dipahami
masing-masing pihak pengungsi dan penduduk asli. Akan tetapi sudah cukup untuk
memicu keruwetan lainnya.
Sepanjang
2017-2018, golongan sayap kanan di sejumlah negara Eropa mengalami masa
kebangkitannya. Di Austria, Swedia, Denmark, Swiss, Finlandia, dan Jerman,
partai sayap kanan menjadi popular seiring dengan meluasnya krisis finansial
dan krisis pengungsi. Jumlah pemilih yang mencoblos partai sayap kanan
meningkat lantaran adanya kekhawatiran tentang menghilangnya identitas nasional
dan kebiasaan para pengungsi yang dianggap tidak sejalan dengan nilai yang
sudah dianut masyarakat Eropa selama ribuan tahun. Bila di masa lalu
nasionalisme menjadi motivasi melawan penindasan, di jaman now nasionalisme
menjadi dalih untuk bertahan dari “gempuran” para pengungsi. Pergeseran makna
nasionalisme di sejumlah negara inilah yang membuat Macron cemas, dan mungkin
bertanya-tanya mengapa sebuah kaum yang dikenal sebagai salah satu pilar
ekonomi dunia menjadi paranoid terhadap kaum papa?
Dari dalam ke luar
Pada coretan
kali ini akan dipaparkan sekelumit perjalanan nasionalisme sebagai sebuah
ideologi pada tingkatan internasional maupun lokal, mulai sejak awal paham ini
menjadi hits sampai bagaimana wujud transformasinya di masa kekinian. Sering
kita mendengar nasionalisme disebut-sebut untuk memoles visi misi sejumlah
golongan, dan menjadi penggerak untuk melakukan perubahan. Apakah Anda termasuk
salah satu yang bertanya-tanya, akankah nasionalisme berhasil mengarahkan
langkah sebuah bangsa mencapai cita-citanya?
Kalah dalam
perang atau kehilangan wilayah kekuasaan adalah dua faktor utama yang
berkecamuk dalam batin sebuah bangsa dan menjadi bahan bakar untuk menggerakkan
nasionalisme. Itulah situasi yang terjadi di Prancis setelah kalah perang
melawan Jerman di tahun 1871. Menderita kekalahan setelah mempertaruhkan
segalanya adalah sangat pedih bukan? Apalagi melihat apa yang dulu menjadi
milik kita sudah diambil orang lain. Kepedihan sering kali menjadi sumber inspirasi
ide-ide besar. Inilah yang mengilhami sejumlah tokoh Prancis saat itu
menginisiasi gerakan Revanchism, atau balas dendam-isme, dengan tujuan membalas
dendam atas kekalahan Prancis dan merebut kembali wilayah yang jatuh ke tangan
Jerman. Gerakan ini mendapat kekuatannya dari pemikiran patriotik yang
seringkali dimotivasi oleh faktor ekonomi dan geopolitik. Politik revanchism
tergantung pada identifikasi sebuah bangsa dengan negara bangsa (nation state)
dan memobilisasi sentimen keakaran nasionalisme etnis untuk mengembalikan
keutuhan bangsa dalam hal wilayah berdasarkan dinamika historis. Berhasilkah
paham ini menggerakkan masyarakat Prancis di era itu menduduki kembali
wilayahnya?
Setelah
melalui jalan panjang berliku, tekad membalas dendam itu pun tuntas meski butuh
waktu sekitar 47 tahun kemudian. Kedua negara itu terbawa oleh arus nasib yang
mempertemukan mereka kembali di arena Perang Dunia I, ketika Eropa terpecah
menjadi dua blok besar, yaitu Triple Entente (Prancis, Rusia, Inggris) vs
Triple Alliance (Jerman, Austria-Hungaria, Italia). Tak jauh beda dengan
pencapaian Die Mannschaft (sebutan untuk timnas sepak bola Jerman) di Piala
Dunia 2018, pada Perang Dunia I Jerman berada di pihak yang menderita
kekalahan. Angkatan bersenjata Jerman dilucuti dan dikurangi, ribuan
penduduknya mati kelaparan karena ketergantungan pada impor bahan makanan dari
AS dan Inggris. Selain mengalami pengurangan wilayah sampai 13%, negara ini dan
negara-negara lain yang kalah perang
harus membayar kerugian materiil akibat perang pada komite negara-negara
pemenang. Kenyataan ini membuat seorang mantan prajurit bernama Adolf Hitler
merasa negaranya bagaikan ditikam dari belakang. Ketika dipenjara akibat
upayanya melawan pemerintah, ia menulis “Mein Kampf” yang intinya adalah ide
mengembalikan kejayaan Jerman sebagai sebuah bangsa dengan menciptakan negara
dengan ras tunggal. Kisah selanjutnya, kita sudah sama-sama tahu bagaimana
dahsyatnya Holocaust dan agresi militer di bawah komandonya. Kepahitan akibat
keterpurukan ternyata bisa juga mengubah manusia menjadi monster.
Di jaman
now, contoh paling gres tentang sinergi harmonis revanchisme dan nasionalisme
adalah perang dagang antara Tiongkok vs Amerika Serikat. Produk buatan Tiongkok
sudah terkenal karena harganya terjangkau. Menurut AS, produk Tiongkok tidak
orisinil karena cenderung menjiplak merek-merek terkenal. Namun, apapun
kualitas barangnya konsumen cenderung memilih barang yang lebih murah bukan?
Hal ini membuat barang produksi AS kalah bersaing di dunia internasional,
bahkan juga di negaranya sendiri. Selain itu, kenyataan sebagian besar merek
ternama AS cenderung membuka pabrik di Tiongkok membuat pemerintah AS geram,
karena lapangan pekerjaan di dalam negeri jadi berkurang. Sebagai tindakan
balas dendam terhadap kenyataan itu, AS menaikkan tarif terhadap sejumlah barang
yang diimpor dari Tiongkok (dan dari negara-negara lainnya), dan dibalas
Tiongkok dengan menaikkan tarif barang impor produk AS yang masuk ke pihaknya. Baik
AS maupun Tiongkok sama-sama berdalih membela harga diri bangsa masing-masing
dalam konflik tanpa senjata ini. Meski kesepakatan “gencatan senjata” perang
dagang telah ditandatangani kedua belah pihak, ketegangan masih terus
berlangsung. Asal tahu saja, seiring dengan perkembangan jaman, nasionalisme
bukan lagi melulu soal mengusir penjajah atau membela kedaulatan negara.
Persaingan memperebutkan pasar atau konsumen saat ini cenderung menjadi
pendorong tindakan heroik yang mengatasnamakan nasionalisme.
Dari luar ke dalam
Makhluk
hidup mana pun bisa bertahan hidup bukan hanya karena kekuatan dan potensinya,
namun juga karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang terus
berubah. Pada awalnya mungkin akan ada penolakan untuk keluar dari kenyamanan
situasi sebelumnya. Akan tetapi makhluk hidup hanya bertahan hidup bukanlah
satu-satunya cara melanjutkan hidup, itulah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Demikian halnya dengan nasionalisme. Selain adanya dorongan
massal di dalam batin sebuah bangsa, hal lain yang menggerakkan nasionalisme
adalah adanya faktor-faktor luar yang eksis di sekeliling mereka.
Krimea
adalah sebuah semenanjung di pesisir utara Laut Hitam di Eropa Timur,
berbatasan dengan Ukraina, Rusia, Rumania dan Turki. Posisi geografisnya yang
strategis membuat wilayah ini jadi rebutan bangsa-bangsa lain sejak masa Abad
Pertengahan. Meski dianugerahi pemandangan alam laut yang memanjakan mata, sejarah
semenanjung Krimea relatif kompleks. Di tahun 1954, Rusia yang saat itu bernama Uni Soviet ‘menghadiahkan’ Semenanjung Crimea kepada Republik Ukraina, berdasarkan pertimbangan bahwa kedua wilayah memiliki kesamaan kultural dan pertalian ekonomi. Mungkinkah dekrit ini dilatarbelakangi dengan adanya kesamaan ideologi antara Uni Soviet dan Ukraina pada saat itu? Yang jelas, dekrit ini ‘mengkhianati’ kesepakatan sebelumnya, yaitu Treaty of Paris 1856. Dalam Treaty of Paris yang menandai berakhirnya Perang Krimea antara Kekaisaran Rusia dan persekutuan Kekaisaran Utsmaniyah, Britania Raya, Kekaisaran Perancis Kedua, dan Kerajaan Sardinia, disebutkan bahwa persekutuan harus angkat kaki dari sejumlah kota pelabuhan Krimea dan mengembalikannya pada Kekaisaran Rusia. Kurun waktu mulai dari tahun 1856 sampai 1954 adalah cukup lama bagi warga Krimea untuk terbiasa dengan identitas sebagai bagian dari Rusia. Maka bisa dipahami apabila dalam referendum 2014 yang mewajibkan warga Krimea memilih untuk bergabung dengan Ukraina atau Rusia, mereka memilih Rusia. Hasil referendum itu merefleksikan aspirasi warga Krimea yang dipicu kesadaran untuk kembali ke asal, setelah hampir satu abad terpisah dari akar sejarahnya.
Kembali ke akar sejarah, menurut sebagian orang, adalah salah satu cara terbaik untuk membangkitkan kembali nasionalisme sebagai pandangan hidup sebuah bangsa. Alasannya, melalui sejarah kita bisa mengetahui apa yang mendasari kehendak sebuah bangsa untuk mendirikan negara dengan segala kompleksitasnya. Masalahnya, sentimen kembali ke akar sejarah kadang hanya terbatas sebagai romantisme, bagaikan nostalgia jaman SMA yang hanya bisa dikenang sambil ngopi bersama teman-teman dan tak pernah bisa terulang kembali. Apakah cukup mengenang kejayaan bangsa dengan kembali mengenakan busana adat, misalnya? Kisah bangsa kita menjadi sedikit lebih rumit, karena nasionalisme kita yang dibangun oleh para nenek moyang di atas keberagaman dalam segala hal sangat rentan menjadi pupus dan pudar bukan karena pengaruh luar, melainkan karena penafsiran yang keliru mengenai nasionalisme itu sendiri.
Adalah wajar jika kita bercita-cita menjadi bangsa yang tidak dipandang sebelah mata dalam pergaulan internasional. Bagaimana bisa kita menjadi bangsa bergengsi, bila terlalu silau pada gemerlap budaya luar, atau sebaliknya, memandang negatif pada segala hal yang datang dari luar bangsa kita. Lalu harus gimana dong? Untuk mencapai cita-cita itu diperlukan proses, bukan hanya proses untuk memoles diri agar tampil bergengsi. Namun juga proses memoles mindset di dalam diri agar siap untuk menjadi bergengsi. (swastantika).