Minggu, 25 Februari 2024

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. Menarik ucapan, atau bahkan menyangkal ucapannya sendiri kian menjadi kelaziman, seakan-akan ini satu-satunya cara praktis mencapai tujuan.

Sampai sekitar dua atau tiga tahun lalu, peradaban modern masih bisa membanggakan diri prinsip, nilai-nilai, kehormatan, harga diri, reputasi ... segala hal yang kita banggakan dan jaga baik-baik demi membentuk citra diri yang sesuai harapan dan norma-norma masyarakat. Kini tidak lagi.

Menolak uang mudah adalah salah satu bentuk self-respect.

Politik “jual diri”

Katakanlah kita pebisnis yang ingin sukses di bidang kita, langkah pertama kita adalah melakukan riset tentang kebutuhan khalayak, lalu menciptakan produk yang sesuai. Selanjutnya kita menciptakan merek, nama, identitas, dan nilai produk yang sejalan dengan apa yang berlaku di masyarakat.

Mengingat khalayak adalah konsumen kita, pemasar yang baik tidak akan mengabaikan mereka dalam setiap langkahnya. Guna merebut hati calon konsumen, sebuah merek sebaiknya membangun komunikasi pemasaran yang persuasive dan kepedulian mendalam pada mereka.

Sikap kita menyikapi persaingan yang semakin ketat juga merupakan cerminan dari seberapa tingginya kepercayaan diri sebuah merek.

Mengikuti tren memang bisa meningkatkan nilai jual sebuah merek dalam jangka pendek dan dalam waktu singkat. Namun, terlalu sering berubah sesuai tren menunjukkan ketidakpercayaan diri merek terhadap citra diri yang sudah dibangunnya sejak awal.

Dan, bagaimana kita akan sukses meyakinkan orang lain kalau kita tidak yakin dengan diri sendiri?

Politik “jual diri” atau pencitraan banyak diterapkan para pemimpin dan tokoh dari berbagai belahan dunia sebagai cara menumbuhkan rasa hormat publik, yang selanjutnya (diharapkan) diikuti dengan kepatuhan masyarakat pada mereka.

Masyarakat pun juga dapat menerimanya, sepanjang para pemimpin dan tokoh tersebut menunjukkan tindak-tanduk sesuai citra diri yang mereka presentasikan. Jangankan patuh, rasa hormat rakyat jelata pada pemimpinnya akan hilang bila sang pemimpin tidak mampu menghormati dirinya sendiri.

Sedihnya, pemimpin dan tokoh semacam ini tidak sedikit jumlahnya.

Self-respect vs profit

Menurut pakar kesehatan mental, menghormati diri sendiri (self-respect) penting guna mendukung ketahanan psikis seseorang menghadapi tantangan, membangun kebahagiaan, meraih sukses tanpa rasa kehilangan harga diri.

Self-respect adalah satu hal yang menjaga kita dari tergoda melibatkan diri dalam segala sesuatu yang pada akhirnya kita sesali di belakang hari. Dialah penjaga keamanan tak terlihat yang selalu bersama kita hingga hembusan nafas terakhir.

Namun, sering kali orang mengabaikan self-respect demi keuntungan materi dalam jangka pendek tanpa bijak mempertimbangkan dampaknya di belakang hari.

Seorang aktivis pergerakan yang mendadak berubah sikap setelah menduduki jabatan penting di pemerintahan, seorang tokoh oposisi yang bertahun-tahun getol anti pemerintah mendadak menjilat ludahnya sendiri .. Saya yakin Anda bisa membayangkan siapa mereka.

Dampak pandangan jangka pendek

Bekerja keras mencari uang adalah hak tiap manusia, siapa pun tak bisa menghakimi seseorang tentang cara yang ia tempuh untuk memenuhi kebutuhan. Kecuali bila ia melanggar hukum dan peraturan yang berlaku, tentu saja.

Akan tetapi, inflasi, sempitnya lapangan kerja, jatuhnya nilai tukar mata uang nasional, adalah beberapa di antara faktor ekonomi yang mendorong seorang individu condong pada cara termudah memperoleh penghasilan. Ngapain jalan kaki kalo bisa naik motor ke tujuan, bukan begitu?

Adalah naif jika saya meyakinkan Anda tidak ada dampak dari menanggalkan prinsip demi keuntungan materi, meski di sisi lain saya dan Anda sama-sama tahu kita berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga (bila sudah berkeluarga). Pun, tidak ada undang-undang yang melarang kita untuk menanggalkan prinsip lama dan beralih ke prinsip baru yang lebih praktis dan menguntungkan.

Apakah ukuran “asal tidak salah” sudah cukup untuk menjamin langkah ke depan yang tanpa masalah? Apakah tiadanya masalah sudah cukup sebagai pernyataan bahwa proses yang kita tempuh sudah benar menurut nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran budi, norma-norma sosial?

Saya tidak yakin pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul dalam benak siapa pun yang mengutamakan keuntungan jangka pendek. 

Selasa, 19 Desember 2023

Refleksi 2023: Demokrasi dan Komunisme Sama-Sama Gagal

Tidak sedikit pihak yang menyesalkan "pemulihan" Hagia Sophia, bangunan bersejarah di Turki, dari museum menjadi masjid kembali pada 2020 lalu. UNESCO termasuk salah satu di antaranya. 

Sementara itu, sebuah situs berita di Indonesia cenderung menganggap fenomena ini "menarik" karena Presiden Turki Recep Erdogan mengizinkan masyarakat non-Muslim mengunjungi masjid Hagia Sophia karena sang pendiri, Kaisar Konstantin I, memerintahkan pembangunannya pada 360 Masehi sebagai gereja Kristen Ortodoks.   


Setelah Kekaisaran Bizantium kalah dalam perang melawan Dinasti Utsmaniyah Turki, Hagia Sophia diubah menjadi masjid di tahun 1453 yang ditandai dengan penambahan empat menara di tiap sudut bangunan ini.

Menurut para sejarawan, ketika Sultan Mehmed Fatih melangkah masuk ke Hagia Sophia yang saat itu berstatus sebagai gereja, ia merasa seakan-akan sepasang mata bayi Yesus pada mozaik di bangunan itu terus mengikuti langkahnya. 

Sebagai upaya mencari jalan tengah untuk kontroversi dalam sejarah bangunan yang namanya bermakna "Kebijaksanaan Suci" dalam Bahasa Yunani, founding father Turki Mustafa Kemal Attaturk, memutuskan mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi museum sejak 1934. 

Presiden Erdogan menganggap keputusan Attaturk tidak tepat karena melenceng dari sejarah dan telah melakukan perampasan hak milik Dinasti Umayyah. 

Sebagai catatan, Konstantin I, inisiator Hagia Sophia, memerintahkan pendirian gereja Hagia Sophia di atas pondasi sebuah kuil kaum penyembah berhala.

Kapitalisme memicu gegar religius

Artikel Capitalism and Human Nature dipublikasikan 2005 menyebut, pola pikir manusia pada dasarnya tidak berubah sejak zaman batu — cenderung mencari yang lebih banyak karena itulah makna hidup baginya. 

Artinya, manusia adalah kapitalis sejak ia dilahirkan, bukan? Ketika dahulu manusia gua mencari bahan makanan lebih banyak dengan cara berburu, para serigala Wall Street adalah para pemburu masa kini yang berburu cuan di lantai bursa. 

Menurut artikel itu, benak manusia ibarat pisau Swiss Army: mampu memikirkan banyak solusi sesuai masalah yang sedang dihadapinya saat itu. Secara naluriah, manusia adalah makhluk sosial yang ingin menjangkau dunia luar dengan menghindari gerak-gerik pemicu prasangka.

Demikianlah idealnya. 

Lantas apa yang membuat pemerintah Turki mengabaikan fakta tentang asal-usul Hagia Sophia, dan ogah mengembalikan fungsinya sebagai gereja Kristen Ortodoks (apalagi kuil pagan)?  

Situasi Hagia Sophia dewasa ini, menurut saya, tidak menimbulkan rasa nyaman bagi kalangan komunitas Kristen Ortodoks, meskipun mereka tidak dilarang mengunjunginya.

Ketidaknyamanan itu timbul akibat perilaku kelompok di luar mereka dengan kondisi psikologis untuk menjalani kehidupan dalam komunitas kecil (mikrokosmos) yang mengalami gegar budaya (atau gegar religius dalam kasus di atas) saat berinteraksi dalam pergaulan berskala luas (makrokosmos). 

Seandainya seluruh insan bersedia mengakui bahwa kebebasan individu tidaklah berarti apabila kebebasan orang lain terlanggar pada prosesnya, maka kapitalisme bisa menghindari terjadinya berbagai macam peristiwa sejenis dalam pergaulan internasional.

Hidup bersama dalam damai

Semua bangsa pada dasarnya mendambakan hidup bersama dalam damai. Bahkan Uni Soviet (yang diteruskan oleh Federasi Rusia) dan RRC (China) punya pandangan mereka masing-masing tentang konsep ini. 

Hidup bersama ala Nikita Khruschev adalah kebijakan luar negari Uni Soviet yang berlandaskan optimisme bahwa sosialisme akan unggul terhadap kapitalisme, sembari memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, termasuk kapitalis Amerika Serikat, demi mencegah terjadinya perang. 

Khruschev mempromosikan ide ini untuk membatalkan kebijakan para pendahulunya, Vladimir Lenin dan Josef Stalin, yang dianggap memperburuk citra Uni Soviet akibat aneksasi beberapa wilayah yang sudah mereka lakukan. 

Di sisi lain, RRC menegaskan komitmennya untuk hidup berdampingan dalam pergaulan internasional melalui Five Principles of Peaceful Coexistence pada Desember 1953, yang menjadi bagian dari isi perjanjian perdamaian antara RRC dan India pasca perang Sino-India di Tibet. 

Mengikuti kehadiran pencetusnya, Zhou Enlai, perdana menteri RRC saat itu, Five Principles of Peaceful Coexistence juga menjadi patokan isi deklarasi Konferensi Asia-Afrika, Bandung 1955.  

Isi Prinsip Hidup Damai ala RRC antara lain: saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah (pemerintah bebas dari pengaruh luar), tidak melakukan agresi, kerja sama yang saling menguntungkan, kesetaraan, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.

Apabila kecerdasan manusia bisa membangun dan mengubah fungsi bangunan seperti Hagia Sophia demi memenuhi tujuannya, mengapa kompatibilitas yang sama tidak diterapkan untuk merenovasi gagasan peaceful coexistence versi sosialisme dan kebebasan kapitalisme guna membangun masa depan yang lebih baik?

Minggu, 03 Desember 2023

"Aku Bebas, Kau Bebas" — Mungkinkah Terwujud?

Ya, mungkinkah itu, atau sekadar utopia? Ketika sebuah kasus pelecehan terhadap sesajen merebak di Jawa Timur beberapa waktu lalu, kecaman keras datang dari banyak penjuru, termasuk kalangan internasional, mengingat tindakan itu termasuk bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama. 


Persembahan, atau sesajen, bukan hanya bagian tak terpisahkan dari agama Hindu tetapi juga kalangan para penganut "agama lama" dan kepercayaan terhadap Tuhan YME di berbagai penjuru dunia. 

Walaupun genre religi ini umumnya bertujuan membangun kesadaran manusia agar dapat hidup selaras dengan alam sekitarnya, tidak sedikit yang melabeli mereka sebagai kaum sesat, kafir, pemuja berhala, dll. karena berbagai faktor. 

Akan tetapi, tudingan negatif ini dapat dimaklumi lantaran para pencetusnya kalangan beberapa agama tertentu yang memandang sebuah fenomena religi menggunakan ukuran religiusitasnya masing-masing. 

Ada kalanya sesuatu yang benar di satu tempat dianggap salah di tempat lain; itulah kebhinekaan.

Memahami swatantra (liberty)

Kemenangan Javier Milei, seorang ekonom yang mendeklarasikan dirinya sebagai anarko kapitalis, sebagai presiden Argentina menghidupkan kembali diskursus mengenai libertarianisme yang diusungnya. 

Kritikan pedas datang dari segala arah mengiringi kemenangannya akibat rencana dolarisasi Milei dianggap bertentangan dengan arus multipolarisme yang sedang digencarkan beberapa negara, terutama China. 

Menurut Milei, otoritas kiri Argentina terlalu banyak membuang uang dan membatasi kebebasan masyarakat. Negara sebaiknya mengurangi peranan mereka dalam kehidupan bernegara, menyerahkan mekanisme pasar pada pihak swasta, dan memberikan ruang gerak lebih leluasa untuk warga negara untuk berusaha dan meningkatkan taraf hidup mereka. 

Perlu diingat bahwasanya libertarianisme yang berakar dari kata liberty (swatantra) punya perbedaan tipis dengan kebebasan (freedom). Ketika kebebasan cenderung memberi porsi lebih pada keleluasaan berkat berbagai faktor luar, swatantra merupakan pandangan dan sikap hidup seseorang yang terbentuk oleh kualitas moralnya. 

Dalam swatantra kita mempertimbangkan sejauh mana tindakan kebebasan kita tidak melanggar kebebasan orang lain demi terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera, bukan hanya dalam hal materi tetapi juga kepuasan batin. 

Apabila menuntut kebebasan itu mudah, apakah menuntut kebebasan bagi pihak lain itu juga mudah untuk kita lakukan? Saya yakin pertanyaan ini sudah dijawab video di atas.

Berkat berbagai ajaran mengenai moralitas, manusia mampu membedakan antara mana yang benar dan mana yang salah, serta membuat batasan antara dua wilayah itu. Otoritas dan atau pemerintah adalah pihak yang mengawasi dan memberi tindakan manakala warga melanggar batasan itu.

Paham anarkisme cenderung menolak campur tangan otoritas yang berlebihan dalam kehidupan masyarakat bukan karena paham ini menghendaki chaos bekepanjangan. Sebaliknya, kaum anarkis bertujuan meringankan beban pekerjaan otoritas dengan menumbuhkan sikap swatantra yang bukan hanya tahu menuntut kebebasan. 

Setidaknya, begitulah teorinya. 

Kebebasan mahal harganya

Dunia dilanda konflik selama dua tahun berturut-turut adalah dampak langsung dari tiadanya kebebasan selama dua tahun sebelumnya selama pandemi COVID-19. Kebijakan kuncitara, jaga jarak, wajib vaksin menimbulkan kekecewaan yang kemudian dilampiaskan tanpa kendali setelah virus SARS-CoV-2 sirna. 

Di Eropa, kekecewaan itu rupanya masih mencengkeram erat dalam mindset sejumlah pemimpinnya, sebagaimana terlihat dalam pertemuan Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) pada 1 Desember 2023 di Macedonia Utara.  

Diundangnya Rusia ke pertemuan itu tadinya menerbitkan harapan bahwa perdamaian terkait konflik Ukraina sudah dekat. 

Apa mau dikata, beberapa negara kunci di forum itu masih belum mengubah sikap mereka terhadap Rusia. Bagi mereka, Rusia tetaplah terdakwa yang perlu dihukum seberat-beratnya tanpa diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan. 

Kecenderungan yang sama juga terlihat nyata di kancah konflik Palestina-Israel. Sorotan negatif pada Israel seolah tak dapat dihentikan media manapun, meski berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik adalah suatu keharusan. 

Berbagai peristiwa dalam dua tahun terakhir merupakan cerminan betapa mahalnya kebebasan. Semua manusia bergerak bebas mengejar impian masing-masing tetapi tidak mampu membebaskan diri dari belenggu idealisme tentang menjadi benar dalam benak dan batin mereka. 

Sekat-sekat antara pola pikir beragam kelas manusia terus dibangun tinggi demi menghindari tercemarnya nilai-nilai kebenaran yang dijunjung tinggi suatu golongan. Nampaknya, masa depan yang lebih baik masih impian belaka.

Jumat, 24 November 2023

Masa Lalu Rumit Mengganggu Hak Untuk Hidup Sejahtera: Sejarah Gua Machpela

Gua Machpela memiliki dua nama lain, dan Anda dapat memilih salah satunya sesuai agama yang Anda yakini. Bagi masyarakat Kristen Ortodoks, Kristen, dan Katolik, Gua Machpela disebut Cave of The Patriarch (Gua Para Leluhur). Bagi umat Yahudi, gua ini disebut Me'arat HaMachpela. Sedangkan bagi umat Islam, mereka menyebut gua tersebut sebagai Masjid Ibrahimi.

Dalam artikel ini, saya menggunakan "Gua Machpela" untuk menyebut Cave of The Patriarch, mengikuti penyebutan nama Wikipedia bagi para pembaca asal Indonesia (Gua Makhpela dalam bahasa Indonesia).

Cave of The Patriarch terdaftar sebagai salah satu destinasi wisata dan bagian dari Wisata Tepi Barat bagi para wisatawan di seluruh dunia. Berdasarkan ulasan dari para pengunjung di Tripadvisor, Anda akan ditanya apakah Anda Muslim, Yahudi, atau Kristen saat mengunjungi situs ini sebagai ketentuan seberapa jauh Anda bisa berziarah di sini.

Itu benar, Gua Machpela terbagi menjadi bagian Yahudi dan Muslim, serta terdapat dua pintu masuk untuk tiap penganut agama yang juga dikelola oleh komunitas masing-masing.

Sedangkan bagi kelompok non-Muslim dan non-Yahudi, mereka hanya bisa melihat bagian luarnya saja. Sebelumnya, umat Nasrani dapat memasuki lokasi tersebut dari semua gerbang, tetapi seorang pengunjung di Tripadvisor mengatakan bahwa peraturan tersebut telah diubah. Masih belum diketahui apakah ada peraturan baru mengingat dinamika saat ini.

"Di kuburan leluhur kita beradu"

Dan itu benar-benar terjadi. Beberapa waktu lalu, ramai dibicarakan tentang penembakan massal di Gua Para Leluhur pada 1994 dan peristiwa yang mengikutinya. Sebenarnya, peristiwa ini bukanlah aksi kekerasan pertama di lokasi suci bagi tiga agama tersebut.

Gua Para Leluhur merupakan sebuah gua kecil di mana para Leluhur (Adam, Abraham, Ishak, dan Yakub) dan pasangan mereka dimakamkan. Dahulu kala, gua tersebut merupakan pemakaman biasa sampai Raja Herodes memutuskan untuk membangun dinding pelindung di sekitarnya.

Sumber gambar: YouTube/allaboutJerusalem

Gereja dan masjid sempat dibangun di sekitar kuburan suci dan silih berganti dihancurkan oleh mereka yang berhasil menaklukkan Yerusalem sebelum dan selama Perang Salib. Sedangkan kaum Yahudi sempat dilarang memasuki area kuburan suci selama beberapa waktu.

Saat artikel ini dibuat, ada dua pintu masuk terpisah bagi umat Yahudi dan Muslim. Umat Yahudi hanya bisa masuk lokasi ini dari sisi barat daya, sedangkan umat Islam diperbolehkan masuk dari barat laut setelah melalui masjid.

Kedua kelompok agama tersebut tidak boleh masuk lewat sisi yang lain. Artinya, pengunjung dari kalangan Yahudi tidak boleh masuk lewat pintu gerbang untuk Muslim, begitu pula sebaliknya.

Karena senotap (semacam tugu peringatan) Abraham/Ibrahim dan Sarah/Siti Sarah berada di sisi barat daya (sedangkan senotap Yakub dan Lea/Laya berada di sisi barat laut), umat Yahudi tidak dapat memberikan penghormatan kepada nenek moyangnya dalam jarak dekat (apalagi umat Kristen) selain di hari-hari besar agama Yahudi.

Mengapa hal ini penting? Karena Abraham merupakan leluhur Ibrani pertama dan termasuk tokoh suci dalam agama Kristen dan Islam.

Mencari cahaya

Saya terlahir sebagai seorang Muslim dari orang tua yang beragama Islam, dan mengenyam pendidikan pertama di TK Kristen Protestan dan SD Katolik. Saat itu bukan masalah besar bila seorang Muslim di kota saya untuk mengenyam pendidikan di sekolah Protestan atau Katolik.

Saya membaca doa Protestan dan Katolik, masuk dan duduk di gereja saat acara sekolah di tahun-tahun awal kehidupan saya, dan masih menjadi seorang Muslim hingga saat ini.

Agama dianggap dan dipandang setara dalam hukum dan ideologi Indonesia, meskipun beberapa orang khawatir bahwa keharmonisan ini mulai terkikis karena beberapa kelompok kecil umat beragama percaya Tuhan akan menghukum mereka karena tidak menjalankan ajaran-Nya dengan benar dan bergaul terlalu dekat dengan kalangan yang berbeda agama.

Dari kisah Gua Leluhur, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Yudaisme adalah agama pertama yang didirikan di wilayah tersebut (Palestina-Israel), disusul oleh Kristen dan Islam. Pemahaman dan pengakuan terhadap fakta Alkitab ini juga berperan dalam membentuk pendapat umum tentang konflik.

Konflik yang terus berlanjut juga menentukan dalam membentuk cara pandang terhadap orang lain. Pengalaman emosional kita berkontribusi dalam proses membenarkan cara berpikir tentang sesuatu, dan bukan keadaan sebenarnya mengenai hal itu. Sebuah perilaku yang membawa kita pada prasangka dan kebencian yang menghalangi kita untuk meresapi dan mencari cara memelihara perdamaian.

Di masa lampau, agama berdampingan dengan sistem politik sebagai alat untuk mengatur rakyat dan menjamin kehidupan sehari-hari yang harmonis serta teratur di kalangan masyarakat. Mereka yang tidak tahan menghadapi kebebasan yang kelewat batas akan memilih agama sebagai sarana agar rakyat patuh guna menciptakan stabilitas. Dan stabilitas (seharusnya) merupakan akibat langsung dari mengamalkan agama apa pun dengan sepenuh hati.

Sebagai penutup, tidak ada kata terlambat untuk bertanya pada diri sendiri apakah nilai-nilai agama masih bermanfaat, tidak hanya demi keselamatan dan keamanan, melainkan juga kewarasan individu yang penting untuk membangun masa depan lebih baik bagi generasi kini dan masa depan.

Rabu, 08 November 2023

Cara Aman Peduli Pada Sesama

Bencana alam, perang, dan berbagai peristiwa memilukan datang mengejutkan kita, entah kita siap atau tidak. Duka dan lara yang dialami para korban dipertontonkan di media setiap saat, sehingga kita iba pada penderitaan mereka.

Reaksi yang biasanya muncul adalah kita berusaha membantu dengan cara ikut memikirkan solusi, atau menyalahkan pihak-pihak yang menjadi penyebab penderitaan para korban (misalnya terkait perang atau kerusuhan).

Biasanya, seseorang yang tengah mengalami kesulitan hidup, entah itu karena masalah ekonomi, pertengkaran dalam keluarga, patah hati, kehilangan pekerjaan, banyak utang, dll., berusaha mencari “obat” guna meredakan rasa sakitnya. Dan terkadang “obat” itu adalah dengan cara menaruh empati kepada mereka yang bernasib lebih buruk dari kita.

Berempati pada penderitaan sesama itu baik, inilah kewajiban kita sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat. Namun, empati seharusnya muncul spontan dan ikhlas: tidak mengharap imbalan atau keinginan “mengobati” penderitaan kita sendiri, agar kebaikan yang Anda lakukan dapat diteruskan oleh seseorang atau pihak yang menerima kebaikan hati Anda.

Empati juga tidak semestinya menjadi bumerang bagi kita sendiri, ketika orang yang kita tolong ternyata hanya sekadar memanfaatkan ketulusan hati kita demi kepentingannya sendiri. Ketika si penerima amal Anda terus mengharap pemberian Anda sebagai cara mengakhiri situasi sulit yang dihadapinya.

Lantas, apakah ini artinya kita harus berhenti berempati pada penderitaan sesama? Tidak juga. Cukup renungkan dulu poin-poin berikut ini sebelum Anda memutuskan untuk memberi pertolongan pada seseorang:

Melihat situasi seperti apa adanya

Ada berlapis-lapis kisah mengapa seseorang bisa terjerembab dan membutuhkan bantuan orang lain untuk bangkit. Kisah-kisah itu bisa sangat mengejutkan, karena kita tidak pernah mengalaminya. Sebagaimana siang berganti malam dengan sendirinya, apapun bisa terjadi di dunia ini.

Pastikan angan-angan Anda tidak berkelana, menebak-nebak, atau melebih-lebihkan sebuah situasi yang sedang Anda lihat atau dengar. Biasakan untuk tetap fokus pada apa yang ada di depan Anda, bukan pada apa yang ada di dalam benak Anda.

Tunda reaksi

Hindari bereaksi seketika itu juga pada segala hal dan dalam segala situasi. Berikan waktu pada diri sendiri untuk menelaah suatu peristiwa yang sedang dibeberkan ke hadapan Anda. Bersikap skeptis adalah hak kita, jangan biarkan siapapun merebut hak ini dari tangan kita.

Orang-orang fear of missing out, bagi mereka ketinggalan sesuatu itu menakutkan. Namun, bereaksi salah terhadap suatu peristiwa itu lebih menakutkan lagi. Ingatkah Anda gelombang sanksi untuk Rusia atas penyerbuannya ke Ukraina? Itu semua berawal dari reaksi kemarahan warga net.

Kaji informasi dari semua sudut pandang

Kita bisa mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain yang bermil-mil jauhnya melalui media massa. Perlu diingat bahwa media massa tidak selalu netral; mereka membuat berita berdasarkan berbagai faktor, salah satunya pandangan politik media itu sendiri. Media juga membuat berita yang selaras dengan kepentingan pihak-pihak yang mendanainya.

Agar dapat menentukan sikap terhadap suatu peristiwa memilukan (misalnya, konflik), kita perlu mencerna informasi dari berbagai media mengenai peristiwa itu. Masalahnya, seringkali media yang tidak seiring dengan kepentingan nasional akan disisihkan, sehingga sulit bagi masyarakat biasa mendapat informasi yang berimbang.

Membantu semampunya

Nestapa yang dialami orang lain menimbulkan perasaan iba, bahkan ada juga yang merasakan kesedihan ekstrem. Wajar jika kita merasa tergerak untuk membantu orang yang sedang mengalami kesulitan, karena jauh dalam lubuk hati kita juga ingin dibantu bila mengalami situasi yang sama.

Bantuan yang kita berikan jangan sampai mempersulit kita sendiri di belakang hari, karena selalu ada konsekuensi atau risiko dari keputusan apapun yang kita ambil. Di sinilah pengendalian diri menjadi kompas Anda untuk mengukur dan menentukan sejauh atau sebesar apa Anda bisa membantu mereka yang membutuhkan.

Lupakan

Ibarat memberi uang receh pada pengemis, lupakan apa yang sudah pernah Anda lakukan untuk menolong seseorang. Melupakan kebaikan yang Anda lakukan adalah cara untuk menjadi ikhlas, sebesar atau sekecil apapun milik Anda yang Anda lepaskan untuk menjadi milik orang lain.

Pada akhirnya, kita harus kembali ke kehidupan kita sendiri dan tanggung jawab masing-masing. Dan menjalani rutinitas itu tidak mudah, karena problematika hidup setiap saat tidak pernah sama. Kita masih butuh tenaga dan kekuatan hati kita untuk mengemudikan kapal kita agar tidak tenggelam di tengah pasang surut laut kehidupan. Apabila semua Anda berikan untuk orang lain dan tak tersisa apapun, lalu dengan apa Anda akan menjalani hidup ini?

Rabu, 04 Oktober 2023

5 Trik Bahagia Meski Punya Utang

Karena satu dan lain hal, kita berutang pada seseorang, sebuah bank, pinjaman online, atau pihak manapun sebagai pemberi pinjaman. Dengan memburuknya situasi ekonomi global belakangan ini, memiliki utang bisa makin memperparah situasi keuangan pribadi Anda apabila situasi psikologis Anda juga tidak menentu.

Mengenang kembali pandemi COVID-19, virus SARS-CoV-2 yang masuk dalam tubuh seseorang cenderung mengganas manakala pasien itu sudah memiliki penyakit lain di dalam tubuhnya (comorbid). Pasien non-comorbid yang psikologisnya tertekan akibat isolasi, misalnya, juga tidak selamat dan meninggal tidak lama setelah tertular COVID-19.

Sama halnya dengan kondisi keuangan Anda. Perasaan dan emosi negatif yang timbul karena memiliki utang ibarat upaya “bunuh diri mental” yang kita lakukan pada diri sendiri. Orang bilang janji adalah utang, tetapi utang tidak bisa dibayar dengan janji. Begitu pula kecemasan, kekecewaan, rasa malu, dan emosi negatif lainnya; semua  itu tidak bisa membayar utang Anda.

Ingat! Menjaga kewarasan adalah senjata utama agar Anda bisa membayar utang, dan ini bisa dilakukan dengan memelihara rasa bahagia di dalam benak Anda. Begini caranya:

Disiplin

Disiplin adalah kunci sukses, bukan hanya dalam karir tetapi juga dalam menavigasi langkah Anda di tengah situasi sulit. Jangan abaikan tenggat waktu pembayaran utang dalam situasi apapun, karena menundanya hanya akan memperberat beban yang harus dibayar.

Ini tentu tidak sulit apabila Anda seseorang yang disiplin dalam kehidupan sehari-hari, di mana saja Anda berada. Terbiasa bangun dan tidur, makan, bekerja, dsb. di jam yang sama sedikit banyak akan berkontribusi pada pembentukan sikap kita terhadap tanggung jawab dan, pada akhirnya, melonggarkan kesemrawutan hidup.

Maaf

Punya utang yang belum terbayar bisa menjadi sumber kerisauan kita setiap hari, mungkin karena kita tidak senang penghasilan kita terpotong untuk membayarnya. Ini pola pikir yang salah. Sadarilah bahwa setiap keputusan mengandung konsekuensi, demikian juga saat Anda memutuskan untuk meminjam uang.

Atasilah rasa yang tidak nyaman ini dengan sering memaafkan, baik orang lain maupun diri sendiri, atas segala kesalahan sebesar dan sekecil apapun. Apabila Anda tidak kesulitan menerapkan memberi dan menerima permaafan, maka seharusnya tidak akan lagi timbul “perlawanan” untuk tidak membayar ketika utang sudah jatuh tempo, baik pinjaman pokok atau bunganya.

Berterima kasih

Mengucapkan terima kasih tidak menyita separuh dari waktu Anda sepanjang hari, tetapi seringkali kita lupa melakukannya. Sibuk memikirkan situasi kita sendiri membuat kita abai pada orang lain di sekeliling kita, entah itu anggota keluarga, rekan kerja, tetangga, dan banyak orang lain yang tidak kita kenal. Hei, bukan Anda saja yang punya masalah di dunia ini lho. You'll never walk alone.

Mengucapkan terima kasih adalah cara sederhana menghargai kehadiran orang lain, juga suatu bentuk kerendahan hati kita sebagai manusia biasa. Ucapkanlah terima kasih kepada alam sekitar atas cuaca yang baik atau udara yang bersih. Dan jangan lupa juga mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri yang sudah bersedia bangun pagi dan bekerja keras tiap hari.

Menjaga penampilan

Meski harus menghadapi sesuatu yang belum terselesaikan, bukan berarti kita berhenti menghargai diri sendiri. Anda tidak harus berpenampilan “wah” setiap hari, tetapi setidaknya kebersihan diri terjaga dan tidak mengenakan pakaian lusuh, sobek, atau yang sudah memudar warnanya saat menghadiri acara penting.

Para penagih utang mungkin (dan akan) mengucapkan kata-kata kasar dan merendahkan yang melukai harga diri Anda. Kita maklumi saja karena mereka sedang melakukan tugas, dan, seperti Anda dan kita semua, apapun akan mereka lakukan untuk mencapai target. Namun, jangan biarkan “teror” sesaat membuat Anda yakin diri Anda tidak layak lagi dihargai.

Mawas diri

Utang besar dan kecil yang Anda punya saat ini bukanlah Anda, sehingga Anda tidak harus memikirkannya setiap saat. Kesulitan ekonomi memang menjadi penyebab utama depresi di banyak tempat di dunia ini. Akan tetapi, sadarilah bahwa utang kita tidak akan lenyap tanpa bekas dengan protes atau kemarahan kita.

Modal utama Anda untuk melunasi semua utang bukanlah pekerjaan bergaji besar, atau sekarung uang yang jatuh dari langit. Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Andalah satu-satunya yang Anda punya di dunia ini untuk membayar semua utang. Maka, jagalah diri Anda baik-baik dengan tetap mawas diri dan memelihara rasa bahagia, sesulit apapun keadaan Anda saat ini.

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...