Kamis, 16 Juli 2015

STILL BUSY


BEKERJA TANPA PAMRIH, MASIH ADAKAH?

Without hope and with the mind and the self controlled, having abandoned all greed,doing mere bodily action, he incurs no sin (Bhagavad Gita)

Meski saya tidak ikut teman-teman memilih Sang Bapak yang sekarang menjadi Presiden, maupun pesaingnya, saya senang mendengar pidato yang beliau sampaikan di hari pelantikannya. Pidato yang menegaskan komitmen Presiden baru RI terhadap kerja keras untuk memakmurkan rakyat semacam ini jelas berbeda dengan pidato kenegaraan yang sudah-sudah, termasuk pidato Presiden lama yang baru saja turun takhta. Rasanya sudah lama sekali kita tidak mendengar ucapan-ucapan positif semacam ini dari para pemimpin. Dan pidato Bapak kita yang baru ini ibarat tetesan air hujan di tengah siang bolong yang kering kerontang.

Memang sih, tanpa harus menunggu pidato kenegaraan itu pun kita semua tahu bahwa bekerja adalah mutlak hukumnya bagi semua manusia yang hidup dan telah melewati masa akil baliknya. Buat mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, bekerja adalah sebuah keharusan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Apalagi sekarang saat segalanya nyaris tak ada yang murah, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan dapur di rumah jika kita tidak bekerja. Jangankan untuk mengobarkan sebuah perang dengan pasangan tercinta, untuk bangkit dari tempat tidurpun mungkin kita tak akan berdaya karena tidak tahu apa yang akan kita kerjakan ketika kita membuka mata di pagi hari.

Ya, bahkan bayangan tentang apa yang akan kita lakukan di esok hari sudah terpikirkan sejak malam sebelumnya, sejak kita masih melek menonton film India kesayangan atau sedang merokok di teras memandangi bulan. Bagi sebagian orang yang bekerja di tempat dengan rutinitas ketat, baik di kantor, di pabrik, atau di rumah, hari-hari yang akan mereka lalui seminggu, setahun atau bertahun-tahun ke depan sudah tergambar dengan jelas.

Mungkin mereka ingin membebaskan diri dari belenggu ini, namun dapatkah anak-anak mereka bersekolah dan jajan dengan layak ketika mereka tak lagi bekerja? Bagaimana cara membeli beras atau melunasi kredit sepeda motor? Dengan apa musti membayar rumah kontrakan? Bagaimana menenangkan hati istri, atau suami, atau pasangan? Karena mereka pasti akan lebih galau daripada kita ketika tahu kita tidak lagi bekerja, bener nggak sih?

Perubahan yang tak sekonyong-konyong 

Seorang sahabat saya mengaku terpaksa mengencangkan ikat pinggang sejak pemerintah negara ini membekukan sebuah organisasi puncak sepak bola di Tanah Air, yang berimbas pada ditiadakannya semua jenis pertandingan sepak bola, sekaligus mematikan sumber nafkah para pemain, pelatih, ofisial, wartawan media sepak bola, penjaja makanan di dalam stadion, pembuat jersey, tukang pijet pemain sepak bola, tukang cuci baju pemain sepak bola, dan orang-orang lain yang mendapatkan nafkah dari sepak bola, termasuk sahabat saya terkasih.

Sangat mudah bagi kita yang menjadi penonton untuk melayangkan rasa simpati, semudah para stakeholder mengucapkan rasa simpati pada ratusan buruh yang terpaksa di-PHK akibat kebijakan yang mereka buat. Saya kadang bertanya-tanya, apakah yang dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam posisi seperti ini? Mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja dari dan berakhir di jam yang sama setiap hari, menerima gaji di tanggal yang sama dan mendadak seseorang, sesuatu atau entahlah, sekonyong-konyong datang dan menyemburkan kata-kata di wajah mereka bahwa semuanya harus berakhir saat itu juga. 

Perubahan mendadak memang belakangan sedang menjadi tren di banyak tempat di dunia. Revolusi, kata orang. Bisa jadi mereka lupa atau kurang memperhatikan bahwa tidak mungkin suatu perubahan dapat terjadi secara mendadak tanpa adanya gejala-gejala penanda perubahan. Apalagi karena hanya mitoslah yang mengatakan kita bisa menjadi kaya mendadak berkat uang yang jatuh dari langit, atau kuat luar biasa setelah tersambar geledek.

Peristiwa maha dahsyat semacam bencana alam pun sesungguhnya telah mengirimkan sinyal-sinyal kedatangannya jauh-jauh sebelum hari H. Hanya saja kita manusia dari hari ke hari bukan cuma semakin nggak peka terhadap perasaan sesama manusia, tapi membaca tanda-tanda alam pun kita sudah tak mampu. Kita menganggap sepele gempa-gempa tektonik kecil yang sering timbul dan hilang sendiri, tanpa mengetahui bahwa itu adalah tanda bahwa lempeng benua Bumi terus bergerak dan di kemudian hari akan bertabrakan dengan lempeng benua lainnya trus menghasilkan tsunami.

Nggak jauh beda dengan semua hal yang sedang terhampar di hadapan kita saat ini. Semua itu adalah hasil suatu proses di masa yang lampau. Misalnya, mengapa para pekerja pabrik rokok mendadak di-PHK? Karena pemilik pabrik telah mendatangkan sebuah mesin yang mampu menghasilkan rokok dengan kualitas lintingan hasil karya pekerja manusia. Sebuah sumber yang menolak disebutkan namanya mengatakan, mesin itu sebenarnya illegal dan dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar si mesin bisa sampai ke Indonesia. Jadi mengapa mesin itu bisa sampai kemari? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Di sisi lain, para pekerja pabrik rokok didominasi kaum perempuan yang karena tuntutan ekonomi harus meninggalkan rumah dan bayi mereka bersama orang lain untuk bekerja. Para perempuan dalam posisi ini umumnya mencari aman agar tak terjadi sesuatu dengan sumber pendapatannya. Mereka sudah puas mendapatkan sejumlah uang untuk membeli susu anak atau untuk bayar uang SPP. Di tiap-tiap bulan mereka tak khawatir tidak akan bisa makan karena sudah pasti akan mendapatkan uang.

Tak terpikir di benak mereka tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi, bahwa usia mereka semakin bertambah dan fisik pun tak lagi sebugar saat belia. Tak hendak saya menyalahkan pilihan profesi seseorang, namun saya hanya menyayangkan kekurang tanggapan mereka dalam membaca keadaan.

Kemapanan memang suatu hal yang diinginkan banyak orang, tapi bagaimana jika Takdir berkata lain? Kepakkanlah sayap selagi masih bisa terbang dan mengapa tidak mencari peluang di tempat lain yang menjanjikan. Atau bisa juga dengan memulai merintis usaha semenjak masih bekerja.

Jika semua orang dan pekerja memperhatikan detil semacam ini tentunya Presiden, mantan-mantan presiden, dan presiden-presiden yang akan datang tak akan menghadapi tuntutan klasik perihal penyediaan lapangan kerja bagi para penganggur.

Menjual idealisme

Muda, gagah, berapi-api, mungkin seperti itulah gambaran diri kita di masa remaja. Perjalanan menghantarkan kita pada berbagai terminal, stasiun dan halte, besar dan kecil. Di situ kita mengalami banyak hal yang sering kali berbenturan dengan gambaran yang kita yakini sebagai sesuatu yang benar. Satu dua kali terbentur, manusia tak butuh kekuatan super untuk bisa berdiri.

Jatuh- berdiri, terkapar-bangkit, kesandung- bangun .. Membosankan! Tapi ya seperti itulahh idup manusia sebelum hari H nya menuju alam arwah jatuh tempo. Ada yang merasa bosan dengan siklus alami ini dan memilih mengakhiri hidup lebih cepat. Ada yang berhenti berkeluh kesah, memumikan angan dan pikirannya dalam dunia buatannya sendiri, menjadikan diri sendiri anak-anak yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Sementara, ada juga yang ingin membuat ledakan sekonyong-konyong agar ia segera mencapai kemuliaan dengan jalan pintas.   

Golongan manusia ber-attitude semacam ini rela melakukan apa saja, bahkan menyerahkan mimpi-mimpi mereka tentang apa yang benar asalkan berhasil menggenggam kegemilangan. Contohnya banyak. Misalnya, beberapa pejabat yang tak segan mengeluarkan uang berpuluh juta agar bisa naik haji untuk ketiga atau keempat kalinya.  Tentu saja itu uang mereka dan mereka boleh melakukan apapun dengannya. Tapi apa benar mereka mendapatkan uang itu dengan cara-cara yang seharusnya?

Cara untuk mengungkapkannya juga tidak sulit cukup dengan mengulik berapa besar gaji mereka per bulan, berapa lama mereka bekerja, aset atau usaha apa yang mereka miliki dan darimana mereka mendapatkan modal untuk mendirikannya, apakah mereka masih punya orangtua dan saudara yang wajib dibiayai, berapa jumlah anak dan apa pendidikan yang mereka tempuh, berapa jumlah binatang peliharaan, berapa jumlah istri, ..

Selain bisa mengetahui seberapa besar kadar kejujuran yang mereka miliki dalam hal mendapatkan uang, dengan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas kita juga akan bisa mengetahui kenyataan lainnya tentang alasan banyak manusia tentang mengapa mereka, dan kita, bekerja. 

Apakah bekerja demi memenuhi pundi-pundi sendiri, demi golongan, demi partai, demi perintah? Atau apakah mereka, atau kita, jenis manusia yang kian langka belakangan ini, bekerja hanya untuk melayani masyarakat dan negaranya? Ataukah mereka, atau kita, jenis manusia utopis yang gagal move on karena bekerja hanya demi kebenaran

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...