Sabtu, 28 Maret 2020

Mencari Rekan Seperjuangan


Menurut mereka yang saat ini berusia 40-an atau 30-an tahun, perilaku anak muda jaman now semakin kelewatan dan tidak tahu unggah-ungguh (sopan santun). Apakah itu semua kesalahan kemajuan jaman, di mana media dan internet semakin terbuka dan siapa saja bisa mengekspos apa saja di mana saja? Semua anak berasal dari rumah, dan di sinilah sebenarnya bisa ditumbuhkan sebuah kesadaran untuk mengendalikan diri agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang merepotkan untuk sekitarnya. Kedua orang tua perlu bekerja sama membangun visi anak, dan tugas ini termasuk berat karena akan ada masanya ketika jalinan kasih ayah dan ibu tidak lagi sehangat masa pengantin baru.

Pengibaratan ini berlaku juga dalam hal mencari negara mitra untuk bekerja sama di segala bidang. Dulu pernah ada kecenderungan melakukan kerja sama dengan negara lain dilakukan atas dasar kesamaan histori, ideologi, akar budaya, serta nasib sebagai negara terjajah. Semua ini tidaklah relevan kalau tetap dipertahankan di masa sekarang, seolah-olah kita memilih pasangan dengan pertimbangan latar belakang keluarga.

Keluarga memang berperan besar dalam membentuk watak seseorang (negara), tetapi dialah seorang yang paling berperan dalam berikhtiar dan mengarahkan diri ke arah yang lebih baik dan bahkan yang belum pernah dicapai oleh keluarga atau para pendahulunya.  Tentu saja banyak yang bisa dipelajari dari masa lalu, termasuk dari calon mitra kita. Bagaimana masa lalu mengajarkan calon kita untuk menjadi lebih baik di masa sekarang, ini sepertinya lebih menarik untuk dipelajari. Kita perlu tahu segalanya tentang calon pasangan, ya nggak sih?

Sempurna belum tentu bahagia

Sudah bukan rahasia umum kalau ada sebagian dari kaum perempuan yang lebih tertarik dengan lelaki yang mapan, memiliki pekerjaan tetap, dan materi yang berkecukupan. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan dan dicap sebagai perempuan matre (materialistis). Setelah menikah dan mempunyai anak, mereka harus memastikan kalau anak-anak bisa tumbuh normal dan tidak kekurangan gizi. Padahal, makanan bergizi itu tidak murah harganya. Namun apakah materi menjamin kebahagiaan?

Di dunia ini ada 193 negara yang terdaftar di PBB, 211 negara menjadi anggota FIFA, dan 206 negara masuk dalam daftar IOC (Komite Olimpiade Internasional). Di antara negara-negara itu ada yang sudah maju, ada yang berkembang, ada yang tertinggal, dan ada yang dilanda konflik berkepanjangan. Semua bisa eksis seperti sekarang karena masing-masing mempunyai perjalanan sejarah yang membentuk karakter, pandangan, kebijakan, dan pencapaian mereka di saat ini.

Ibarat ada gula ada semut, negara mana yang tidak silau dengan kesuksesan, kekuatan, dan kekayaan sebuah negara lain. Ada yang percaya bahwa dengan siapa kita bergaul mempunyai peranan besar dalam membentuk cara berpikir dan bertindak di segala situasi. Kalau mereka akrab dengan orang-orang sukses, siapa tahu mereka juga akan ketularan sukses. Sama seperti mencari pasangan, kita sebaiknya tahu bagaimana cara negara calon mitra kita menghadapi situasi sulit. Semakin sulit situasi yang harus dihadapi, semakin terbentuk mental seseorang untuk menghadapi situasi yang lebih sulit lagi di masa yang akan datang.

Hampir tidak ada yang menyangka kalau wabah COVID-19 akan menjadi bencana global. Dampak yang sesungguhnya bukan saja pada hilangnya nyawa manusia, tetapi juga dampak ekonomi. Sejumlah aktivitas ekonomi banyak negara mandek karena para pelaku bisnis sangat khawatir akan terjangkit virus manakala melakukan tukar-menukar barang dengan negara-negara lain atau melakukan aktivitas produksi, sehingga banyak bisnis yang terancam gulung tikar.  

Situasi tersebut sebenarnya sudah dapat diproyeksikan sejak korban COVID-19 mulai berjatuhan di Wuhan, Tiongkok sejak bulan Januari, yang mengakibatkan negara tersebut menghentikan aktivitas produksi dan menerapkan lockdown. Akan tetapi, negara adidaya sekelas Amerika Serikat saat itu seolah-olah memanfaatkan momen tersebut untuk menggalakkan kampanye anti Tiongkok dengan menyosialisasikan kebijakan blokade produk-produk impor dan kunjungan wisatawan dari Tiongkok melalui pemberitaan media-media AS yang terus memperbarui data jumlah korban meninggal setiap hari.

Pada saat kasus COVID-19 pertama terjadi di AS, Presiden Donald Trump sedang sibuk mengirim ancaman untuk Iran. Pada saat sejumlah perusahaan di AS mulai mengalami masa sulit akibat pelarangan masuknya wisatawan Tiongkok, Trump malah menegaskan dirinya tidak ingin ada pejabat pemerintahannya yang mengatakan atau melakukan apapun terkait COVID-19. Alasannya, pasar saham dapat terguncang dan wabah akan menjauhkan dirinya dari peluang untuk terpilih kembali sebagai presiden pada pemilu AS mendatang.

Apa yang dikhawatirkan Pak Trump akhirnya benar-benar terjadi. Pada minggu-minggu awal mulai tersebarnya COVID-19 di Eropa dan Amerika, pasar saham AS jatuh.  Setelah kebijakan social distancing (dan lockdown) mulai diterapkan secara global, jumlah klaim pengangguran di AS meningkat. Pemerintah Trump (dan beberapa negara lainnya) mengeluarkan kebijakan paket stimulus ekonomi sebagai solusi untuk menghadapi ancaman krisis, dan jumlahnya cukup besar dibandingkan negara manapun di dunia, yaitu sekitar 2 triliun dolar.


Kita sebaiknya jangan buru-buru silau melihat banyaknya dana yang mampu disiapkan pemerintah AS itu. Sebaiknya kita pelajari dulu darimana dana itu berasal, atau setidaknya bagaimana proses mereka mengeluarkan dana tersebut. Jawabannya adalah … dari berhutang, dan hutang Pemerintah AS adalah yang termasuk tertinggi di dunia. Memang, ada situasi-situasi tertentu di mana berhutang adalah satu-satunya solusi, dan hutang itu harus dibayar. Berkaca dari pengalaman sejumlah korban aplikasi pinjaman online beberapa waktu lalu, siapa saja bisa kehilangan akal bila sudah tidak punya jalan untuk membayar hutang. Apa yang akan dilakukan sebuah negara bila berada di posisi ini?  

Bertahan atau Berpisah

Seperti apa sih pasangan terbaik? Jawaban untuk pertanyaan ini akan sangat berbeda bagi masing-masing orang, dan itu adalah sebuah kewajaran. Setiap orang ingin memiliki pasangan karena mereka ingin dicintai, ingin mempunyai tempat bersandar, dan yang jelas, mereka ingin bahagia. Perlu kita ingat bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, dan kebahagiaan akan mempunyai kawan seiring yang bernama kesedihan, dan ini pun adalah sebuah kewajaran juga.

Untungnya, dalam tatanan bernegara, negara manapun bebas mencari dan bebas menjalin kerja sama dengan negara mitra sebanyak yang diinginkan. Idealnya, semakin banyak negara mitra akan semakin baik, karena akan semakin banyak dan bervariasi pula pasar untuk produk-produk kita. Pandangan dan pemahaman kita pun akan semakin terbuka terhadap berbagai sifat dan karakter negara-negara mitra kita yang jelas berbeda satu sama lain. Ini seharusnya bukan masalah pelik, ‘kan Indonesia juga terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat yang berbeda?

Beberapa tahun belakangan ini, situasi dunia (dan dalam negeri, kadang-kadang) berkembang bertolak belakang dari sikap terbuka terhadap keragaman dan perbedaan yang selama ini kita pegang dan yakini. Ada unilateralisme, rasialisme, dan perang dagang. Sedangkan pada 2017 AS memberlakukan Undang-undang Penentang Lawan Amerika Melalui Sanksi (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) yang melegalkan keputusan Presiden AS terhadap negara-negara yang dianggap sebagai musuh, sekaligus negara-negara lain yang bekerja sama dengan negara-negara musuh AS tersebut.

Menghadapi tantangan zaman yang kian hari kian penuh tekanan, kita sebaiknya menyadari bahwa persaingan juga terjadi di antara kekuatan-kekuatan besar dunia. Persaingan atau kompetisi semacam itu ada sisi positifnya, karena masing-masing pihak akan terpacu untuk meningkatkan kemampuan masing-masing di segala bidang agar dapat tampil menjadi pemenang. Situasi yang senantiasa berkembang selama ini adalah suatu pihak yang sudah lama menjadi juara bertahan ingin mempertahankan posisinya dengan segala cara, salah satunya adalah menciptakan jurang pemisah antar negara. Mereka mengumumkan pada dunia siapa musuh mereka, dan pihak-pihak lain juga sebaiknya menganggap mereka musuh. Kalau tidak, mereka akan menjatuhkan sanksi karena berani menantang sang jagoan.

Kalangan warga negara Indonesia sendiri pun sudah menyadari bahwa gangguan inferiority complex menjadi penghambat kita untuk maju, apalagi kalau harus berhadapan dengan ancaman sanksi. Di sisi lain, kita membutuhkan dunia luar untuk memasarkan produk-produk dalam negeri dan meningkatkan penghasilan. Jadi, kemanakah kaki ini harus melangkah, tetap mempertahankan sebuah hubungan yang toxic atau mencari mitra baru?

Yang jelas, badai pasti (dan harus berlalu). Kita dapat berjuang secara mandiri maupun bermitra dengan negara-negara lain untuk mempercepat berlalunya badai tersebut. Bahkan di masa krisis akibat COVID-19 ini kita bisa melihat dengan jelas wajah asli semua negara yang ada di dunia. Badai pasti berlalu, dan inilah saat terbaik mulai memilih mana negara calon mitra yang bisa melihat potensi kita, termasuk potensi yang belum kita sadari, dan bersedia membantu kita untuk mengembangkannya dengan berlandaskan prinsip-prinsip kerja sama internasional yang saling menguntungkan, menghormati, memberikan dukungan, dan bukan mencari-cari alasan untuk menjatuhkan sanksi.
(Swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...