Menurut mereka yang saat ini berusia 40-an atau 30-an tahun,
perilaku anak muda jaman now semakin kelewatan dan tidak tahu unggah-ungguh
(sopan santun). Apakah itu semua kesalahan kemajuan jaman, di mana media dan
internet semakin terbuka dan siapa saja bisa mengekspos apa saja di mana saja? Semua
anak berasal dari rumah, dan di sinilah sebenarnya bisa ditumbuhkan sebuah
kesadaran untuk mengendalikan diri agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang
merepotkan untuk sekitarnya. Kedua orang tua perlu bekerja sama membangun visi
anak, dan tugas ini termasuk berat karena akan ada masanya ketika jalinan kasih
ayah dan ibu tidak lagi sehangat masa pengantin baru.
Pengibaratan ini berlaku juga dalam hal mencari negara mitra
untuk bekerja sama di segala bidang. Dulu pernah ada kecenderungan melakukan
kerja sama dengan negara lain dilakukan atas dasar kesamaan histori, ideologi, akar
budaya, serta nasib sebagai negara terjajah. Semua ini tidaklah relevan kalau
tetap dipertahankan di masa sekarang, seolah-olah kita memilih pasangan dengan
pertimbangan latar belakang keluarga.
Keluarga memang berperan besar dalam membentuk watak
seseorang (negara), tetapi dialah seorang yang paling berperan dalam berikhtiar
dan mengarahkan diri ke arah yang lebih baik dan bahkan yang belum pernah
dicapai oleh keluarga atau para pendahulunya. Tentu saja banyak yang bisa dipelajari dari
masa lalu, termasuk dari calon mitra kita. Bagaimana masa lalu mengajarkan
calon kita untuk menjadi lebih baik di masa sekarang, ini sepertinya lebih
menarik untuk dipelajari. Kita perlu tahu segalanya tentang calon pasangan, ya
nggak sih?
Sempurna belum tentu
bahagia
Sudah bukan rahasia umum kalau ada sebagian dari kaum
perempuan yang lebih tertarik dengan lelaki yang mapan, memiliki pekerjaan
tetap, dan materi yang berkecukupan. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan
dan dicap sebagai perempuan matre (materialistis). Setelah menikah dan
mempunyai anak, mereka harus memastikan kalau anak-anak bisa tumbuh normal dan
tidak kekurangan gizi. Padahal, makanan bergizi itu tidak murah harganya. Namun
apakah materi menjamin kebahagiaan?
Di dunia ini ada 193 negara yang terdaftar di PBB, 211
negara menjadi anggota FIFA, dan 206 negara masuk dalam daftar IOC (Komite
Olimpiade Internasional). Di antara negara-negara itu ada yang sudah maju, ada
yang berkembang, ada yang tertinggal, dan ada yang dilanda konflik
berkepanjangan. Semua bisa eksis seperti sekarang karena masing-masing
mempunyai perjalanan sejarah yang membentuk karakter, pandangan, kebijakan, dan
pencapaian mereka di saat ini.
Ibarat ada gula ada semut, negara mana yang tidak silau
dengan kesuksesan, kekuatan, dan kekayaan sebuah negara lain. Ada yang percaya
bahwa dengan siapa kita bergaul mempunyai peranan besar dalam membentuk cara
berpikir dan bertindak di segala situasi. Kalau mereka akrab dengan orang-orang
sukses, siapa tahu mereka juga akan ketularan sukses. Sama seperti mencari
pasangan, kita sebaiknya tahu bagaimana cara negara calon mitra kita menghadapi
situasi sulit. Semakin sulit situasi yang harus dihadapi, semakin terbentuk
mental seseorang untuk menghadapi situasi yang lebih sulit lagi di masa yang
akan datang.
Hampir tidak ada yang menyangka kalau wabah COVID-19 akan
menjadi bencana global. Dampak yang sesungguhnya bukan saja pada hilangnya
nyawa manusia, tetapi juga dampak ekonomi. Sejumlah aktivitas ekonomi banyak negara mandek
karena para pelaku bisnis sangat khawatir akan terjangkit virus manakala melakukan
tukar-menukar barang dengan negara-negara lain atau melakukan aktivitas
produksi, sehingga banyak bisnis yang terancam gulung tikar.
Situasi tersebut sebenarnya sudah dapat diproyeksikan sejak
korban COVID-19 mulai berjatuhan di Wuhan, Tiongkok sejak bulan Januari, yang
mengakibatkan negara tersebut menghentikan aktivitas produksi dan menerapkan
lockdown. Akan tetapi, negara adidaya sekelas Amerika Serikat saat itu
seolah-olah memanfaatkan momen tersebut untuk menggalakkan kampanye anti
Tiongkok dengan menyosialisasikan kebijakan blokade produk-produk impor dan
kunjungan wisatawan dari Tiongkok melalui pemberitaan media-media AS yang terus
memperbarui data jumlah korban meninggal setiap hari.
Pada saat kasus COVID-19 pertama terjadi di AS, Presiden
Donald Trump sedang sibuk mengirim ancaman untuk Iran. Pada saat sejumlah
perusahaan di AS mulai mengalami masa sulit akibat pelarangan masuknya
wisatawan Tiongkok, Trump malah menegaskan dirinya tidak ingin ada pejabat
pemerintahannya yang mengatakan
atau melakukan apapun terkait COVID-19. Alasannya, pasar saham dapat terguncang
dan wabah akan menjauhkan dirinya dari peluang untuk terpilih kembali sebagai
presiden pada pemilu AS mendatang.
Apa yang dikhawatirkan Pak Trump akhirnya benar-benar
terjadi. Pada minggu-minggu awal mulai tersebarnya COVID-19 di Eropa dan
Amerika, pasar
saham AS jatuh. Setelah kebijakan
social distancing (dan lockdown) mulai diterapkan secara global, jumlah klaim pengangguran di AS meningkat. Pemerintah
Trump (dan beberapa negara lainnya) mengeluarkan kebijakan paket stimulus
ekonomi sebagai solusi untuk menghadapi ancaman krisis, dan jumlahnya cukup
besar dibandingkan negara manapun di dunia, yaitu sekitar 2 triliun dolar.
Kita sebaiknya jangan buru-buru silau melihat
banyaknya dana yang mampu disiapkan pemerintah AS itu. Sebaiknya kita pelajari
dulu darimana dana itu berasal, atau setidaknya bagaimana proses mereka mengeluarkan
dana tersebut. Jawabannya adalah … dari berhutang, dan hutang Pemerintah AS
adalah yang termasuk tertinggi di dunia. Memang, ada situasi-situasi tertentu
di mana berhutang adalah satu-satunya solusi, dan hutang itu harus dibayar.
Berkaca dari pengalaman sejumlah korban aplikasi pinjaman online beberapa waktu
lalu, siapa saja bisa kehilangan akal bila sudah tidak punya jalan untuk
membayar hutang. Apa yang akan dilakukan sebuah negara bila berada di posisi ini?
Bertahan atau
Berpisah
Seperti apa sih pasangan terbaik? Jawaban untuk pertanyaan
ini akan sangat berbeda bagi masing-masing orang, dan itu adalah sebuah
kewajaran. Setiap orang ingin memiliki pasangan karena mereka ingin dicintai,
ingin mempunyai tempat bersandar, dan yang jelas, mereka ingin bahagia. Perlu
kita ingat bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, dan kebahagiaan akan
mempunyai kawan seiring yang bernama kesedihan, dan ini pun adalah sebuah
kewajaran juga.
Untungnya, dalam tatanan bernegara, negara manapun bebas
mencari dan bebas menjalin kerja sama dengan negara mitra sebanyak yang
diinginkan. Idealnya, semakin banyak negara mitra akan semakin baik, karena
akan semakin banyak dan bervariasi pula pasar untuk produk-produk kita. Pandangan
dan pemahaman kita pun akan semakin terbuka terhadap berbagai sifat dan karakter
negara-negara mitra kita yang jelas berbeda satu sama lain. Ini seharusnya
bukan masalah pelik, ‘kan Indonesia juga terdiri dari berbagai suku dan adat
istiadat yang berbeda?
Beberapa tahun belakangan ini, situasi dunia (dan dalam
negeri, kadang-kadang) berkembang bertolak belakang dari sikap terbuka terhadap keragaman dan
perbedaan yang selama ini kita pegang dan yakini. Ada unilateralisme, rasialisme,
dan perang dagang. Sedangkan pada 2017 AS memberlakukan Undang-undang
Penentang Lawan Amerika Melalui Sanksi (Countering America’s Adversaries
Through Sanctions Act) yang melegalkan keputusan Presiden AS terhadap
negara-negara yang dianggap sebagai musuh, sekaligus negara-negara lain yang
bekerja sama dengan negara-negara musuh AS tersebut.
Menghadapi tantangan zaman yang kian hari kian penuh tekanan, kita
sebaiknya menyadari bahwa persaingan juga terjadi di antara kekuatan-kekuatan
besar dunia. Persaingan atau kompetisi semacam itu ada sisi positifnya, karena
masing-masing pihak akan terpacu untuk meningkatkan kemampuan masing-masing di
segala bidang agar dapat tampil menjadi pemenang. Situasi yang senantiasa
berkembang selama ini adalah suatu pihak yang sudah lama menjadi juara bertahan
ingin mempertahankan posisinya dengan segala cara, salah satunya adalah
menciptakan jurang pemisah antar negara. Mereka mengumumkan pada dunia siapa
musuh mereka, dan pihak-pihak lain juga sebaiknya menganggap mereka musuh.
Kalau tidak, mereka akan menjatuhkan sanksi karena berani menantang sang
jagoan.
Kalangan warga negara Indonesia sendiri pun sudah menyadari
bahwa gangguan inferiority complex
menjadi penghambat kita untuk maju, apalagi kalau harus berhadapan dengan
ancaman sanksi. Di sisi lain, kita membutuhkan dunia luar untuk memasarkan
produk-produk dalam negeri dan meningkatkan penghasilan. Jadi, kemanakah kaki
ini harus melangkah, tetap mempertahankan sebuah hubungan yang toxic atau mencari mitra baru?
Yang jelas, badai pasti (dan harus berlalu). Kita dapat berjuang secara mandiri maupun bermitra dengan negara-negara lain untuk mempercepat berlalunya badai tersebut. Bahkan di
masa krisis akibat COVID-19 ini kita bisa melihat dengan jelas wajah asli semua
negara yang ada di dunia. Badai pasti berlalu, dan inilah saat terbaik mulai memilih mana negara calon mitra
yang bisa melihat potensi kita, termasuk potensi yang belum kita sadari, dan bersedia membantu kita untuk
mengembangkannya dengan berlandaskan prinsip-prinsip kerja sama internasional
yang saling menguntungkan, menghormati, memberikan dukungan, dan bukan
mencari-cari alasan untuk menjatuhkan sanksi.
(Swastantika)