Rabu, 01 Desember 2021

Perubahan Iklim Itu Gawat, Tetapi ...

Suatu pagi yang cerah dan langit biru bersih tanpa awan, saya terapung-apung di tengah lautan menuju Pulau Karangmajat, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kami berangkat sekitar jam 07.00 WIB dari Pelabuhan Siberut dengan perahu motor berkapasitas 10 orang, menyusuri sungai dan rawa sepanjang perjalanan. Sekitar 1 jam kemudian tibalah kami di perairan Teluk Siberut Barat Daya yang tenang. Saya terpesona melihat pulau-pulau kecil (luas rata-rata di bawah 90 meter persegi) bertebaran; kecil, tanpa penghuni kecuali beberapa ekor camar laut, hanya pasir putih di bawah satu dua pohon kelapa dan gundukan rumput laut.

Teman kami, si pemilik perahu, berkata, “Dulu di sini ada banyak pulau kecil. Hampir hilang semua sekarang, Kak, tenggelam. Pulau ini dulu nggak kecil seperti sekarang.” Dia menunjuk sebuah pulau kecil yang kami lewati. “Tiap kali ke sini, semakin sempit pulau ini dan pasti ada saja pulau kecil yang hilang.” Saat itu Mei 2006, 15 tahun yang lalu. Ketika seorang pejabat kondang menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut adalah lebih berbahaya daripada COVID-19, saya jadi teringat pulau kecil berpasir putih di gugusan Kepulauan Mentawai. Entah masih ada atau sudah tenggelamkah pulau tanpa nama itu sekarang.

Sebuah studi mengungkapkan bahwa di tahun 2100 630 juta orang yang saat ini tinggal di daratan diperkirakan akan mengalami banjir tahunan akibat permukaan air laut terus menggenang. Artinya bila kini Anda dan keluarga menikmati tempat tinggal yang kering dan tidak pernah kebanjiran, cucu, cicit, beserta keturunan Anda kelak mungkin tidak akan mengalaminya. Kita bisa saja abai, karena toh kita mungkin sudah tiada ketika bencana maha dahsyat itu benar-benar menyapu Bumi seperti yang digambarkan dalam film-film Hollywood. Namun memilih menutup mata dan menanggalkan tanggung jawab atas kerusakan yang kita perbuat di masa lalu adalah suatu tindakan mencoreng arang di dahi sendiri, sekaligus menyakitkan bagi generasi penerus kita.

 

Pajak karbon, siapa yang diuntungkan?  

Saya yakin pembaca sekalian sudah tahu bahwa kenaikan air laut disebabkan oleh melelehnya gunung-gunung es di Kutub Utara dan Selatan. Pelelehan massal itu disebabkan peningkatan suhu di permukaan Bumi yang dipicu oleh emisi karbon dari asap pabrik, pembangkit listrik, dan kendaraan bermotor, semua yang melepaskan karbondioksida. Berangkat dari kekhawatiran akan masa depan Bumi dan keengganan menerima kenyataan hidup di atas air suatu hari nanti, di tahun 1973 David Gordon Wilson mengemukakan wacana biaya karbon (carbon fee).

Menurut skema ini, seluruh aktivitas produksi barang dan jasa yang menghasilkan emisi karbon dikenakan biaya alih-alih pajak karbon. Perbedaannya adalah, uang pajak karbon masuk ke kas pemerintah. Sedangkan biaya karbon yang diusulkan Wilson akan dibayarkan kembali sepenuhnya kepada warga negara, meski para penerimanya tidak selalu pihak pembayar biaya itu. Pajak berbasis karbon, menurut dia, cenderung bersifat melemahkan daya beli. Masyarakat berpendapatan rendah akan sangat terpukul, karena mereka harus membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk transportasi atau keperluan rumah tangga. Apabila masyarakat dari kalangan ini memperoleh bagian yang sama dari biaya karbon yang terkumpul tiap akhir bulan, maka mereka dengan pendapatan rendah akan dapat bertahan.

Skema pajak karbon tidak saja menambah beban pengeluaran masyarakat biasa, kalangan industri (dan terutama sektor perminyakan) sedikit banyak juga akan terdampak peraturan ini. Secara singkat, pajak karbon dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Sedangkan subyek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sementara di satu sisi jumlah total aktivitas manusia, baik secara perorangan atau kolektif, yang tidak menghasilkan karbon sangat dapat dihitung dengan jari.

Bagi dunia industri, pajak karbon juga berarti kenaikan biaya produksi yang secara jangka panjang akan mengganjal pemulihan beberapa sektor paska pandemi. Untungnya, dunia industri memiliki sebuah alternatif yaitu cap-and-trade yang sudah mulai dijalankan beberapa negara. Tetap saja ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah berbagai negara penganut sistem carbon tax dan/ atau cap-and-trade. 

Di Amerika Serikat sudah ada perdebatan mengenai pemanfaatan uang yang terkumpul dari hasil pembayaran pajak karbon. Mengingat jumlah totalnya yang jelas tidak sedikit, wajar jika siapa pun ingin tahu akan dialokasikan untuk keperluan apa revenue pajak karbon. Menurut sebuah sumber, ada usulan uang hasil pajak karbon digunakan untuk mengurangi pajak yang dibebankan pada berbagai aktivitas produktif (misalnya pengurangan pajak upah pekerja pabrik). Ada gagasan lain yang mirip usulan David Gordon Wilson, yaitu mendistribusikan semua uang hasil pajak karbon dalam bentuk dividen karbon untuk semua konsumen atau digunakan untuk pembiayaan dan pemeliharaan infrastruktur. Konsep ini di atas kertas sangat ideal. Apalagi bila dipersenjatai semangat untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu Bumi yang lebih hijau dan sejahtera secara merata bagi semua penghuninya. Oh, indahnya!

Segala gegap gempita di seputar isu perubahan iklim sebenarnya sedikit basi, karena ini bukanlah isu breaking news yang sekonyong-konyong muncul menggemparkan dunia seperti pandemi COVID-19. Masyarakat awam mungkin terperangah membaca pemaparan berbagai wacana bahwa peralihan ke energi hijau yang lebih ramah lingkungan adalah satu-satunya solusi mengatasi perubahan iklim. Sementara para aktivis lingkungan hidup mungkin takjub membaca hujan pernyataan para pejabat tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri, tentang kekhawatiran mereka terhadap perubahan iklim ketika nyaris tak ada tindakan bermakna untuk masalah-masalah lingkungan hidup yang tak kalah penting seperti deforestasi yang dilegalkan atas nama ekonomi atau kepunahan satwa liar. Ada sebagian masyarakat pesisir Pantai Utara Jawa yang sudah kehilangan tempat tinggal mereka akibat naiknya air laut ke pemukiman warga, dan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Mengapa kita tidak melihat upaya terkait hal ini?

 

Energi bersih mahal

Terlepas dari nominal pajak karbon yang diterapkan dengan patokan yang berbeda di tiap negara, kita harus mengakui bahwa peralihan dari energi kotor ke energi bersih adalah ikhtiar yang tidak murah. Mobil listrik dipandang sebagai penyelamat di tengah meningkatnya panic attack akibat (isu) perubahan iklim, dengan Tesla yang tampil sebagai pionirnya dan Elon Musk sebagai pendiri Tesla berhasil jadi orang terkaya sejagat raya. Ide dan kreativitas memang harus mendapat imbalan yang setimpal, maka wajar jika Model Y dibanderol 61 ribu dolar AS (sekitar Rp 841 juta, belum termasuk pajak dan lain-lain). China juga meluncurkan mobil listrik Nio yang diklaim akan menggeser Tesla berkat kecepatan produksi dan harga yang lebih terjangkau. Kuat kemungkinan perang mobil listrik segera meletus dalam waktu dekat.

Lalu bagaimana nasib mobil berbahan bakar fosil? Ketika artikel ini ditulis, saya masih mendapati beberapa iklan yang mempromosikan tipe baru mobil BBM dari berbagai merek. Bahkan ada yang menawarkan potongan harga gede-gedean, khususnya para penjual mobil secondhand. Gelagat ini seakan menunjukkan keengganan para produsen mobil menanggung kerugian akibat peralihan energi, sehingga seluruh mobil BBM yang sudah diproduksi harus habis terjual sebelum kebijakan peralihan energi resmi diberlakukan. Namun tentunya mereka tidak akan pernah memedulikan bagaimana perasaan para pemilik mobil BBM yang pada gilirannya harus menanggung biaya bahan bakar lebih tinggi akibat pajak karbon.

Menghentikan penggunaan energi fosil sama sekali tidak semudah membalik telapak tangan bagi beberapa negara. Beberapa waktu lalu, China yang disebut-sebut kalangan internasional sebagai salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar di luar Eropa dan Amerika telah mengambil langkah drastis. Pemerintahan Xi Jinping memutuskan untuk menekan emisi karbon dengan cara mengurangi produksi dan penggunaan batubara untuk pembangkit listrik. Akibat dari kebijakan ini adalah pasokan listrik menjadi terbatas karena 60% pembangkit listrik di China menggunakan batubara. Pada gilirannya, aktivitas masyarakat dan industri terganggu akibat pemadaman bergilir. Kerugian makin menggunung, terutama bagi kalangan industri yang baru menggeliat setelah badai pandemi. Dua bulan setelah diberlakukan, China membatalkan kebijakan perubahan iklim tersebut.

 

Less is more

Dampak perubahan iklim seharusnya tidak perlu dipikul sendiri oleh pemerintah berbagai negara, karena masalah ini juga menjadi kekhawatiran masyarakat luas di mana saja. Dengan himbauan yang tepat, mereka bisa dilibatkan untuk berperan lebih aktif mengingat Bumi adalah milik bersama. Himbauan sebaiknya tidak sebatas pada seruan meninggalkan kendaraan pribadi yang berbahan bakar fosil dan beralih ke kendaraan listrik, atau memasang panel surya di rumah masing-masing. Solusi energi semacam ini membutuhkan biaya besar, sedangkan daya beli masyarakat berbagai negara sedang melemah akibat inflasi tinggi dan kenaikan pajak. Kecuali negara bersedia memberikan dana kepada masyarakat untuk biaya membeli mobil listrik atau untuk pembelian plus pemasangan panel surya, kecll kemungkinan antusiasme masif terhadap solusi ramah lingkungan semacam ini tumbuh pesat.

Mengapa? Di artikel sebelumnya tentang Represi Finansial, inflasi didorong agar sektor finansial pulih ke kondisi pra COVID-19. Ditambah beban pajak karbon, konsekuensi kebijakan ini sangat mahal bagi masyarakat karena harga barang dan jasa naik sedangkan gaji tidak naik. Siapa saja di mana saja terpaksa meminimalkan pengeluaran agar roda kehidupan tetap berjalan. Di tengah situasi seperti ini pengaturan anggaran rumah tangga menjadi keahlian yang wajib dikuasai, kecuali bila mereka tak keberatan meminjam uang dan terbebani utang sampai entah kapan. Bagi yang enggan berutang, mereka harus cermat memilih kebutuhan yang diprioritaskan. Semakin panjang daftar, semakin baik.

Less is more pernah menjadi buah bibir ketika gaya hidup minimalis trending beberapa waktu lalu. Misi utama gaya hidup ini adalah mengurangi konsumerisme serendah mungkin, meski bukan berarti Anda tidak boleh memiliki apa pun selain pakaian yang menempel di badan. Seseorang dengan gaya hidup minimalis akan mengutamakan kualitas suatu barang daripada harganya. Sebagai contoh, lebih baik membeli perangkat elektronik yang lebih mahal tetapi berkualitas tinggi daripada perangkat elektronik murah yang rusak 1-2 bulan sejak kita membelinya. Earphone atau power bank, misalnya, adalah perangkat elektronik sekunder dan harganya tidak mahal bila dibandingkan iPhone 13. Lantaran harganya yang murah, kita cenderung tidak ambil pusing ketika perangkat semacam ini rusak dan orang akan cenderung menyarankan beli yang baru daripada memperbaikinya.

Pernahkah kita berpikir, akan dibawa ke mana sampah earphone yang salah satu sisinya sudah tidak bersuara atau tombol volumenya macet? Saya termasuk penggemar earphone, dan kami sekeluarga bisa menghasilkan sekitar 10 earphone rusak dalam satu tahun. Bayangkan kalau jumlah itu dikalikan jumlah pengguna earphone murah satu negara. Membeli perangkat elektronik mahal memang memberatkan anggaran. Namun pilihan ini sebenarnya lebih praktis dalam jangka panjang, karena kita tidak harus direpotkan perangkat remeh yang mudah rusak dan harus mengeluarkan uang untuk penggantinya. Yah, ini sebenarnya salah satu cara sederhana untuk membuktikan peran kita dalam upaya penyelamatan Bumi. (dy)      

Sabtu, 25 September 2021

Tidak Ada Lagi Kebebasan untuk (Perusahaan) Teknologi

Dunia mengenal Jack Ma sebagai pebisnis China dengan nilai kekayaan sebesar 41,2 biliun dolar, salah satu di antara sedikit wirausahawan Asia yang pernah menempati 10 besar orang terkaya sejagat. Pria kelahiran 10 September 1964 memulai karirnya sebagai guru Bahasa Inggris dan penerjemah, yang pernah dua kali gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi karena lemah di mata pelajaran Matematika. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat di tahun 1995, Ma menyadari bahwa ketiadaan situs web China adalah sebuah peluang besar yang menjadi inspirasi bagi pendirian beberapa situs web. Di antaranya adalah Alibaba, situs lokapasar yang di awal pendiriannya adalah perantara berbagai bisnis kecil di China menjadi raksasa e-dagang sekaligus kesuksesan besar bagi seorang Jack Ma.

Tak sedikit sumber yang menuding keberhasilan Ma adalah berkat kedekatannya dengan Presiden Xi Jinping. Memang, antara 1998-1999 Ma pernah mengepalai sebuah perusahaan internet yang didukung oleh Kementerian Kerja Sama Perdagangan Luar Negeri dan Ekonomi China. Dia meninggalkan posisi itu karena tidak ingin melewatkan berjuta peluang yang ditawarkan Internet. Ma mengungkapkan perbedaan pandangan terhadap pemerintah China dalam sebuah pidato di Shanghai 24 Oktober 2020. Saat itu dia mengatakan bank-bank China seperti pegadaian, bermental seperti rentenir jaman dahulu yang mengandalkan sistem “pledge and collateral (gadai dan agunan, artinya bila tidak mampu membayar pinjaman maka barang jaminan akan disita)”. Ujaran ini dianggap subversif dan mahal harganya. Sebulan kemudian, pemerintah China menggagalkan penawaran saham perdana (IPO) Alibaba senilai 37 biliun dolar yang seharusnya memecahkan rekor sebagai IPO termahal sepanjang masa.

 

Sapi perah bernama perusahaan teknologi

Tekanan pemerintah bukan hanya dialami oleh Jack Ma dan Alibaba. Bersama ledakan pandemi COVID-19 pada 2020, 90% aktivitas masyarakat sedunia dilakukan di Internet yang mencakup pekerjaan, hiburan, belanja, pendidikan, sampai interaksi sosial. Di tahun yang sama, Big Tech (Google, Amazon, Apple, & Facebook) menghadapi pembersihan massif dari segala penjuru dalam bentuk gugatan, pengetatan pengawasan, hingga hukuman denda atas berbagai tuduhan mulai dari persaingan tidak sehat, kebocoran dan penyalahgunaan data pengguna, penyebaran misinformasi, hingga praktik penarikan komisi terselubung. Sebuah artikel menyebut penyebab tekanan beruntun terhadap Big Tech, adalah kekuatan ajaib yang mereka miliki dalam mengendalikan pikiran dan perilaku para pengguna melalui algoritma yang tidak dipahami orang awam, termasuk sebagian besar dari kalangan pembuat regulasi.

Di sisi lain, IMF meyakini bahwa perusahaan teknologi adalah sumber pemasukan nasional yang menguntungkan bagi pemerintah Uni Eropa (dan dunia, tentunya). Akibat kuncitara besar-besaran, perdagangan dunia pun menderita demam yang entah kapan akan pulih seperti sediakala. Pemerintah berbagai negara menyadari bahwa penyelesaian masalah ekonomi tidak cukup dengan mengandalkan Quantitative Easing, karena bisa berdampak fatal bagi nilai mata uang nasional dalam jangka panjang (Mengapa? Baca artikel ini). Kemandekan ini memaksa pemerintah berbagai negara mencari tambahan pemasukan dengan menaikkan pajak bisnis, terutama dari bintang yang paling bersinar di era pandemi, siapa lagi kalau bukan Big Tech dkk. Maka muncul anggapan perusahaan-perusahaan digital akan menjadi masa depan yang cerah bagi sebuah negara, karena besarnya nilai pajak yang akan mereka setorkan ke kas negara.  Dengan kata lain, semakin banyak perusahaan digital yang beroperasi atau didirikan di suatu negara maka semakin makmurlah negara itu. Apalagi bila pajak yang diberlakukan bagi perusahaan digital sangat tinggi seperti saat ini, seharusnya suatu negara tidak akan lagi terbelit utang di mana-mana. Perusahaan digital tidak mengambil apa pun dari tanah, laut, dan udara di mana dia beroperasi, tidak menimbulkan polusi udara, dan suara. Dampak lingkungan paling kentara berasal dari sampah komputer zaman nenek moyang, tetapi dapat didaur ulang bila kita mencurahkan perhatian, waktu dan tenaga untuk itu.

Melalui perdebatan panjang dan melelahkan, beberapa perusahaan digital raksasa akhirnya bersedia membayar pajak kepada negara-negara di mana mereka beroperasi meski besaran pajak lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Big Tech berusaha menepis tudingan bahwa mereka telah dengan sengaja memindahkan laba perusahaan ke wilayah bebas pajak atau wilayah dengan pengenaan pajak yang lebih rendah, dengan memberikan dukungan mereka atas mekanisme pajak global. Juru bicara mereka juga mengajukan usulan agar besaran pajak dapat diperkecil, karena semakin besar pajak semakin besar pula tarif yang harus dibayar para pengguna layanan digital. Bagi mereka yang memilih layanan digital gratisan, kenaikan pajak digital bisa berarti semakin banyak iklan yang menghiasi layar gawai Anda. Tidak nyaman, jelas. Namun para penyedia layanan digital membutuhkan pemasukan lebih besar agar tetap bisa menghibur dan melayani Anda sekaligus membayar kewajiban pajak mereka. Kenaikan pajak juga memaksa manajemen perusahaan memotong anggaran bagi sektor R&D (research & development/ riset & pengembangan) yang bertanggung jawab mencari dan melakukan inovasi agar suatu layanan digital dapat bertahan di tengah persaingan ketat. Walakin, dukungan pemerintah berbagai negara terhadap inovasi teknologi adalah suatu privilese bagi pemerintah itu sendiri. Bukan hanya karena teknologi menghasilkan gelimang uang tetapi juga satu hal lain yang dibahas di bawah ini.

 

Government hacking

Meski masih jadi platform jejaring sosial dengan pengguna terbanyak di dunia, Facebook tidak lagi populer di kalangan anak muda. Saat ini sebagian besar penggunanya adalah orang dewasa berusia 30 tahun ke atas, yang di tahun 2009-2012 pernah jadi anak-anak muda pecicilan. Di tahun-tahun kejayaan Facebook, siapa pun boleh memublikasikan apa pun di dinding Facebook masing-masing (atau dinding orang lain). Mulai aktivitas remeh-temeh sehari-hari, gosip, ajang temu kangen online, kritik sosial, sumpah serapah, sampai curhat masalah rumah tangga semua diumbar sebebas-bebasnya di ‘dinding ratapan’ karya Mark Zuckerberg dkk. Satu hal yang kita lupa bahwa menurut sejarahnya, internet diciptakan oleh pemerintah (Amerika Serikat) pada 1960-an untuk mefasilitasi pertukaran informasi di antara para periset pemerintah. Dengan adanya fakta ini, tidak ada yang bisa melarang ketika pemerintah AS memutuskan untuk memanfaatkan internet demi kepentingannya melalui otak dan tangan perusahaan digital, tidak terkecuali Big Tech.

Masyarakat awam bisa menggunakan internet sebagai sebuah cara untuk melihat dunia luar yang mungkin tidak akan pernah terjangkau sampai akhir hayat mereka. Bagi pemerintah negara-negara, internet adalah sebuah cara untuk mengawasi aktivitas warga negara secara rahasia, aman, dan akurat.  Beberapa waktu lalu telah terungkap bahwa suatu negara sudah merancang malicious software (malware) yang bersembunyi dalam komputer para aktivis, para jurnalis, dan para pembangkang. Kita sebaiknya tidak serta merta percaya ketika sebuah layanan digital mengklaim bahwa data digital kita terenkripsi sehingga tidak bisa dibocorkan atau diretas. Dengan dukungan berbagai jenis undang-undang, proses pengadilan, atau tekanan di balik layar, para penyedia layanan digital seperti Big Tech tidak mampu menentang kehendak otoritas mana pun yang ingin tahu dengan siapa seorang demonstran berkawan, siapa pacarnya, siapa selingkuhannya, berapa banyak utangnya, apa warna pakaian dalamnya … semua rahasia tergelap dan kisah-kisah memalukan yang ingin dia lupakan untuk selamanya. Ketika percakapan mesra seorang tokoh organisasi massa Indonesia dengan kekasih gelapnya dijadikan bukti untuk menyeretnya ke pengadilan, kita seharusnya sudah mulai sadar bahwa dunia digital tidaklah sebebas yang kita sangka.

Platform digital selalu dituduh memanfaatkan konten dan percakapan pengguna sebagai umpan untuk menjalankan surveilans dan penambangan data. Para peretas telah ditetapkan sebagai sekelompok orang cerdas yang memilih jalan salah untuk mencari ketenaran dan penghasilan. Bagaimana seandainya platform digital dan para peretas sedari dulu dibentuk sebagai alat penguasa untuk memasukkan kita dalam jebakan, membaca pikiran, mengendalikan, dan mengadu domba antar manusia? Bila ya, lantas siapa yang menciptakan mereka? Seseorang di luar sana sangat membutuhkan kehadiran perusahaan teknologi untuk menambah pemasukan nasional sekaligus mengawasi “anak-anak nakal.” Dari sini kita bisa mengetahui siapa biang kerok sejati dari problema kerahasiaan data pengguna yang ibarat benang kusut tak kunjung usai. (dy)

Jumat, 03 September 2021

Represi Finansial: Solusi atau Bencana?

Mendengar kata ‘Bitcoin’ atau cryptocurrency, mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah suatu ruangan remang-remang di dalam bangunan bekas pabrik yang terbengkalai. Ada sosok misterius duduk di tengah ruangan sambil mengawasi anak buahnya: sederet mega komputer penambang elektronik bekerja membuat uang dari dunia maya, sembari mengirim pesan singkat ke sosok lain di seberang sana yang sedang menyusun rencana demonstrasi dan pemogokan besar-besaran di sebuah kota. Inilah gambaran ‘seram’ sebuah era ketika gerakan anti mata uang kripto dilancarkan berbagai pemerintahan di seluruh dunia, yang secara tidak langsung telah memberikan label tidak nasionalis atau bahkan anarkis kepada para penggiat cryptocurrency. Otoritas menganggap mata uang baru ini telah memainkan peranan besar sebagai alat pencucian uang, pembayaran aksi kriminalitas terorganisir, dan terorisme, sehingga pengawasan dan peraturan perlu diperketat. Pelabelan negatif ini terlalu berlebihan karena berbagai aktivitas ilegal di atas sudah ada berpuluh tahun silam sebelum Satoshi Nakamoto menciptakan bitcoin, dan bisa dilakukan lewat jalur transaksi perbankan biasa. 


Represi tanpa darah

Juragan Tesla, Elon Musk, pernah mengatakan bahwa ikhtiar menambang uang kripto memerlukan tenaga listrik dari sumber energi yang pada gilirannya melepaskan megaton emisi karbon ke atmosfer sehingga memperparah pemanasan global. Tudingan ini sukses memporakporandakan harga Bitcoin cs selama beberapa saat, setelah lambat laun publik menyadari bahwa jumlah para penambang kripto ‘perusak lingkungan’ hanya sekian persen dibandingkan total jumlah kendaraan bermotor berbahan bakar fosil di seluruh dunia. Tujuan utama penciptaan mata uang kripto sejatinya adalah menghilangkan “orang ketiga” antara dua pihak yang melakukan transaksi finansial, agar uang yang dipindahtangankan tidak berkurang nominalnya akibat komisi perantara dan kerahasiaan informasi kedua belah pihak tetap terjaga. Bitcoin sebagai pelopor mata uang kripto telah menciptakan alternatif sistem finansial konvensional dengan mengenyahkan peran si orang ketiga.    

Orang ketiga yang dimaksud di sini adalah bank sentral, bank pemerintah, dan bank swasta yang menjadi perantara transaksi finansial, mengawasi, dan melakukan verifikasi validitas. Di antara tiga lembaga ini, bank sentral berada di posisi tertinggi karena bertanggung jawab untuk menerbitkan, mengedarkan, mencabut, menarik, serta memusnahkan uang dari peredaran. Akibat pandemi COVID-19, nyaris seluruh negara di dunia mengalami kesulitan keuangan yang dimulai dari kebijakan pembatasan untuk mencegah meluasnya virus. Tidak terkecuali Amerika Serikat sebagai ekonomi nomor satu sejagat raya. Sebagai upaya mempertahankan gerak ekonomi, The Fed (Bank Sentral AS) memutuskan untuk menerbitkan triliunan dolar uang baru untuk membeli obligasi pemerintah AS melalui sejumlah bank komersial di pasar terbuka (atau disebut Quantitative Easing/ QE). Hal yang sama juga dilakukan bank sentral berbagai negara di mana wabah menelan korban sejak 2020.

Mengapa bank sentral tidak menerbitkan uang dalam jumlah tak terbatas dan membagikannya kepada warga negara agar tidak ada lagi kemiskinan di antara kita? Tak berbeda dengan hukum permintaan dan penawaran, ketika persediaan suatu barang atau jasa melimpah di pasar maka harga/nilainya akan turun. Tidak terkecuali uang. Untuk menjaga kestabilan nilai uang nasional dari konsekuensi QE, pemerintah mendorong masyarakat meningkatkan konsumsi supaya uang dapat disalurkan ke berbagai penyedia barang dan jasa. Sampai di sini kita bisa memahami mengapa pusat perbelanjaan jadi tempat yang pertama kali dibuka untuk umum setelah pandemi mereda, bukan? Konsumsi tinggi yang lebih tinggi dari ketersediaan pasokan barang dan jasa menyebabkan inflasi, di saat harga barang dan jasa berubah menjadi lebih mahal secara bertahap dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ditambah dengan keadaan panik massal, seperti pandemi, bencana alam, perang atau kekacauan politik yang membuat masyarakat memilih memegang uang tunai agar merasa aman di tengah ketidakpastian. Masyarakat tidak mempunyai pilihan selain menarik uang dari bank dan menghabiskan uang gaji bulanan hasil memeras keringat untuk mengejar cuci gudang, sebelum uang mereka kehilangan nilainya esok hari.


Pilihan sulit

Apa yang dipaparkan di atas adalah beberapa situasi yang biasa terjadi bila suatu negara sedang menerapkan represi finansial. Represi finansial tidaklah menakutkan, meskipun makna ‘represi’ secara harafiah adalah tindakan penahanan, pengekangan, dan penekanan. Negara-negara maju maupun berkembang sudah tidak asing dengan istilah ini. Tidak ada tindakan hukum atau sanksi yang dijatuhkan sebagai tanggapan atas represi finansial, karena langkah ini biasa dipilih sebagai jalan keluar untuk mengatasi kondisi finansial luar biasa yang terjadi di berbagai negara. Sesuai dengan namanya, represi finansial mengarah kepada tindakan yang dilakukan untuk memperketat peraturan pemerintah di bidang keuangan. Setelah menggelontorkan uang yang baru dicetak ke masyarakat, pemerintah cenderung mencegah masuknya modal asing ke dalam negeri dengan cara menurunkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Suku bunga acuan juga diturunkan agar tidak memberatkan mereka yang harus membayar pinjaman di era kesuraman.  

Saya yakin iklan dan judul berita yang menjejali gawai Anda belakangan ini adalah keunggulan produk dalam negeri, iklan rumah minimalis baru nan murah, mobil listrik, gawai terbaru, atau tempat wisata cantik di pulau terpencil. Publikasi semacam ini diperlukan untuk menerbitkan kepercayaan masyarakat untuk terus mengonsumsi barang dan jasa. Bagaimana kalau kita tidak punya cukup uang untuk memiliki semua keindahan itu? Mari kita pinjam uang di bank! Kita tidak perlu khawatir tidak bisa membayar cicilan mobil listrik atau cicilan kartu kredit, bukankah suku bunga pinjaman sudah lebih rendah daripada 2-3 tahun lalu? Asal tahu saja, pemerintah berbagai negara juga diuntungkan karena suku bunga rendah sangat membantu memperkecil jumlah pinjaman atau utang yang harus dibayar pemerintah. 

Bagi banyak orang berutang atau meminjam uang dari bank satu-satunya jalan keluar ketika semua pintu sudah tertutup, walaupun ada juga orang yang berutang untuk mengembangkan bisnis dan kesejahteraan pribadi. Memang, ada segelintir orang yang bisa berbangga hati di kemudian hari ketika sudah berhasil melunasi cicilan mobil Tesla. Namun jangan kita abai pada mereka yang luluh lantak akibat utang. Tak sedikit yang menganggap utang sebagai bagian dari hidup untuk dijalani hingga akhir hayat, sebab mereka percaya pengorbanan mutlak diperlukan dalam perjuangan mencapai cita-cita. Sebaiknya kita berpikir panjang sebelum memutuskan untuk berutang karena ketenangan hidup Anda menjadi taruhannya. Tidak ada salahnya menerapkan hidup minimalis. Hidup sesuai kemampuan dan tidak memaksakan diri membeli rumah, mobil, perhiasan atau gawai mahal yang cicilannya tak terjangkau dompet kita. Menjadi seseorang yang tidak punya kemewahan untuk dipamerkan dan tidak punya utang. (dy)

Kamis, 12 Agustus 2021

Membangun Mimpi di Atas Ilusi: Ketika Negara Menjadi Bandar Narkoba

Pertama kali saya tahu kata “sabu-sabu” adalah sekitar tahun 1999, ketika seorang teman mahasiswa yang orang tuanya cukup berada memperkenalkan “mainan” baru ini kepada kami. Saat itu harga sabu-sabu, atau disebut juga metamfetamina alias crystal meth, masih sangat mahal dan hanya para mahasiswa kaya yang bisa membelinya. Darah muda memang identik dengan petualangan, apalagi bila petualangan itu bisa dilakukan dalam angan-angan tanpa harus pergi jauh. Setidaknya itulah yang biasanya dicari seorang pengguna narkoba. Dia mengenal narkoba dari teman-teman, dari dua orang menjadi tiga, lima, sepuluh, lima puluh … Sebuah kampus di mana 90% mahasiswanya pengguna narkoba, ini bukan hoaks. Pandemi COVID-19 yang membatasi gerakan para pelajar dan mahasiswa dituding menjadi biang kemerosotan pencapaian akademis generasi muda sedunia. Meski demikian, kuncitara selama lebih dari setahun dapat menanamkan kebiasaan bergaul yang baru dalam diri anak-anak muda. Suatu kebiasaan yang diharapkan akan melindungi diri mereka sendiri ketika jauh dari rumah dan bertemu berbagai jenis teman baru yang menawarkan hal-hal menggelitik untuk dicoba. Namun, apakah ini cukup?

 

Epidemi di dalam Epidemi

Sementara itu, di Amerika Serikat kuncitara diberlakukan sejak Maret 2020 dan sudah dilonggarkan beberapa waktu lalu. Namun, jejak-jejak yang ditinggalkan kuncitara mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk hilang sepenuhnya. Bagi kita semua, kuncitara bukan hanya menjadi awal bagi kesulitan ekonomi dan pengangguran berkepanjangan. Keadaan sulit di berbagai sendi kehidupan akibat COVID-19 telah memicu timbulnya wabah lain, yaitu penyakit jiwa atau lebih sering disebut depresi. Sebagaimana penyakit lainnya, daya tahan yang lemah adalah pra kondisi sempurna bagi segala jenis virus untuk merajalela. Dalam hal ini, kondisi kejiwaan yang rapuh menjadi lahan subur bagi depresi dan keinginan menyakiti diri sendiri untuk berkembang biak. Sebuah laporan menyebut terjadi kenaikan kematian akibat overdosis zat terlarang sekitar 30% year-on-year di tahun 2020 di AS, atau lebih dari 93.000 kasus. Artikel ini juga menggarisbawahi stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka dengan gangguan kejiwaan ibarat “orang cacat,” sehingga tidak sedikit dari mereka yang tidak mencari bantuan professional dan mencari kesembuhan dengan mengonsumsi obat-obat penenang seperti fentanyl yang pada saat artikel ini ditulis sedang booming di negeri Joe Biden.

Kita mulai mengenal nama fentanyl setelah obat legal ini dikaitkan dengan kematian legenda pop Prince 2016 lalu. Menurut sebuah dokumen resmi DEA, fentanyl adalah obat penenang yang 100 kali lebih kuat dibanding morfin dan 50 kali lebih keras dari heroin sebagai analgesik. Mirisnya, fentanyl adalah jenis obat yang diproduksi dan dijual secara legal di AS. Upaya mengurangi penggunaan fentanyl sebagai obat yang diresepkan dokter sudah dilakukan sejak 2011, tetapi belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Pandemi COVID-19 memicu apa yang disebut epidemi di dalam epidemi, ketika jumlah orang yang tewas akibat overdosis fentanyl meningkat bersamaan dengan jumlah kematian akibat virus korona. Sejumlah pihak menuding keberpihakan pemerintah AS pada Big Pharma (kelompok perusahaan-perusahaan farmasi besar yang mendominasi peredaran obat-obatan di AS maupun global) menjadi penyebab kegagalan AS menekan penyalahgunaan fentanyl dewasa ini.

Malangnya, penyalahgunaan fentanyl bukan satu-satunya penyebab epidemi dalam epidemi di Amerika Serikat. Sabu-sabu juga menjadi masalah besar, ketika beberapa Negara bagian AS sudah melegalkan penggunaan mariyuana sejak beberapa tahun lalu. Salah satu pemicunya adalah mudahnya membuat sabu-sabu menggunakan metode “shake-and-bake” dengan bahan dasar ephedrine atau pseudoephedrine, sebuah dekongestan dalam obat demam dan alergi yang dijual bebas di apotik. Ini adalah cara alternatif para pemadat ketika pasokan sabu dari Amerika Tengah sudah diputus pihak berwajib. Upaya DEA untuk mendesak Kongres AS mengatur peredaran obat demam juga pernah dipatahkan oleh Big Pharma yang berdalih masyarakat umum juga berhak dan bebas membeli obat demam sesuai kebutuhan tanpa resep dokter. Sebuah situs menyebutkan, Big Pharma merupakan penyumbang terbesar bagi anggaran Badan Obat dan Makanan AS (FDA). Kelompok ini juga mengerahkan pasukan pelobi sebanyak 1378 orang untuk menyebarkan pengaruhnya di Capitol Hill, memastikan agar kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah AS tidak menghalangi upaya mereka meraup profit.

 

Bulan Sabit Emas

Sementara itu di belahan dunia lainnya, Presiden Joe Biden mengakhiri operasi militer Amerika Serikat di Afghanistan yang sudah berlangsung 20 tahun. Sikap dunia terbelah dua terhadap keputusan itu, karena belakangan ini pasukan Taliban semakin menggila, membantai para pejabat pemerintah dan anggota militer Afghanistan, bahkan memenggal kepala para penerjemah Afghanistan yang pernah bekerja untuk militer AS. Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang menuding operasi militer AS sebagai upaya campur tangan dalam urusan dalam negeri bangsa lain. Terlepas dari kontroversi itu, ada satu masalah “sepele” yang belum berhasil mereka selesaikan ketika operasi militer mereka jatuh tempo Agustus 2021. Perdagangan narkoba.

Laporan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime/ Badan PBB untuk Narkoba dan Kriminalitas) mencatat, Afghanistan menjadi pemasok utama industri heroin sejak 1979, atau sesaat sebelum perang berkepanjangan berkecamuk di Negara itu. Luas lahan tanaman opium (bahan dasar heroin) di Afghanistan adalah 224 ribu hektar di tahun 2020, bertambah 37% atau 61 ribu hektar bila dibandingkan tahun 2019. Menurut studi lain yang dipublikasikan tahun 2005, heroin dari Afghanistan didistribusikan ke berbagai Negara, termasuk Eropa, Asia Barat Daya, dan China. Sementara itu di Afghanistan, jumlah pecandu heroin menurun karena mereka beralih ke sabu-sabu yang jumlahnya terus meningkat bersamaan dengan ketidakpastian hidup akibat situasi dalam negeri. Ironisnya, di antara mereka adalah kaum perempuan yang sebagian besar menjadi pecandu sabu-sabu akibat pengaruh para suami mereka.

Di tengah upaya membasmi peredaran opium Segitiga Emas, para penegak hukum China telah mendeteksi adanya wilayah perdagangan narkoba yang disebut Bulan Sabit Emas (Afghanistan, Pakistan, Iran) mengambil alih kejayaan jalur Segitiga Emas sejak 1990-an. Para produsen narkoba Bulan Sabit Emas telah merasuk ke wilayah China Barat melalui Provinsi Xinjiang, area transit sebelum narkoba diedarkan ke wilayah lain di China dan Asia. Pergeseran tren produksi Bulan Sabit Emas dari opium dan heroin ke sabu-sabu bisa jadi dipicu oleh peningkatan jumlah pemakainya di seluruh dunia.  Dibandingkan heroin atau mariyuana, setelah menghisap sabu-sabu seseorang akan merasa lebih percaya diri, lebih bugar saat beraktivitas, dugem, dan bercinta tanpa kenal lelah. Belakangan ini para pecandu narkoba tidak lagi menggunakan crystal meth untuk sekedar lari dari kejamnya kenyataan dan melayang di awang-awang. Mereka mendambakan energi yang kekal agar dapat bekerja keras non-stop untuk mengumpulkan banyak uang demi tercapainya cita-cita akan kesejahteraan hidup yang akan mengangkat derajat mereka dalam masyarakat, tanpa mengorbankan kesenangan. Efek dahsyat sabu-sabu memang dapat memberikan sensasi energi semacam itu, meski untuk sesaat.

Lalu siapakah yang menginisiasi berdirinya Bulan Sabit Emas di mana sumber energi delusi berasal? Mulai 1980-an sudah ada indikasi bahwa para mujahidin Afghanistan memanfaatkan produksi dan penjualan opium untuk mendanai penjualan senjata, yang belakangan mendiversifikasi bisnisnya ke penjualan sabu-sabu. Kemurnian sabu-sabu berbahan dasar obat demam tentunya akan kalah jauh dengan sabu-sabu buatan Afghanistan, karena ephedra (sejenis tanaman bahan dasar ephedrine) tumbuh subur di sana. Mengandalkan pengalaman panjang dalam hal pemrosesan dan distribusi heroin, Taliban mengendalikan seluruh jaringan narkoba Afghan dengan income sekitar 4,2 juta dolar per tahun. Dalam beberapa tahun, penyeludupan sabu-sabu Afghan telah terbongkar di Iran, Pakistan, dan Indonesia. Akan tetapi ini belum cukup untuk membasmi akar permasalahan, sementara peredaran sabu-sabu yang makin marak luput dari perhatian akibat riuh rendah pemberitaan varian Delta.

Saya jadi teringat kisah seorang teman yang kakaknya meninggal karena tertembak dalam sebuah operasi penggerebekan narkoba di sebuah kota. Teman saya sama sekali tak menyangka kakaknya terlibat jaringan perdagangan gelap, karena almarhum tidak merokok dan bukan pemabuk. Terungkap bahwa saat itu si kakak dan temannya, seorang bandar kelas kakap, berkendara dalam sebuah mobil yang membawa beberapa puluh kilogram metamfetamina. Pihak berwajib menembaknya karena berusaha melarikan diri. Teman saya juga bercerita bahwa si bandar besar sempat meneleponnya dari penjara sebelum dihukum mati di tahun 2011, bercerita bahwa dia sudah menyumbangkan uang “hasil kerja kerasnya” ke beberapa pondok pesantren di sebuah kota. Beberapa tahun lalu saya juga pernah mendengar gosip bahwa GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjual ganja untuk mendanai pembelian senjata dan aksi pemberontakan mereka. Benar dan tidaknya gosip ini, entahlah.

Dari kisah-kisah di atas bisa disimpulkan bahwa Bulan Sabit Emas tidaklah seindah namanya. Tidak dipungkiri bahwa cita-cita Taliban untuk mendirikan Negara Islam yang menegakkan Syariah Islam telah mengundang simpati dari kalangan umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagai seorang Muslim yang belum dapat menjalankan Syariah Islam dengan benar, saya sedikit lega ketika Taliban menjamin bahwa mereka akan memperlakukan kaum perempuan Afghan dengan lebih manusiawi sesuai dengan hak asasi manusia. Namun sebuah cita-cita seharusnya diwujudkan melalui jalan yang benar, karena apa pun nama agamanya seyogyanya tidak digunakan untuk membenarkan dan melegalkan berbagai tindakan keliru yang dengan sengaja kita lakukan semulia apa pun tujuan tindakan itu. Apakah tujuan menegakkan Syariah Islam bisa membuat orang memaafkan tindakan Taliban yang mengangkat senjata hasil penjualan narkoba?

Saya bukan orang yang sempurna dan tanpa dosa tetapi saya tidak terima bila siapa pun menggunakan agama sebagai dalih atau kedok, karena saya yakin bukan untuk itu agama diciptakan. Hasil tidak mengkhianati proses. Sebuah proses yang bersih tentunya juga akan menghasilkan sesuatu yang positif, bukan sebaliknya. PR utama bagi Taliban ketika mereka sudah berhasil menguasai Afghanistan adalah memutus lingkaran perdagangan narkoba yang sudah menafkahi masyarakat Afghan selama puluhan tahun, karena saya yakin semua negara menginginkan warga negaranya sehat fisik dan mental tanpa narkoba agar dapat bersama membangun kehidupan bangsa yang sejahtera. Saya bersyukur karena sudah menemukan cahaya di ujung lorong kegelapan, tetapi narkoba dan khususnya sabu-sabu masih menjadi ancaman hingga entah kapan. Seorang mantan bandar ganja yang telah meninggal 15 tahun lalu pernah mengatakan, “bisnis narkoba tidak akan pernah mati selama masih ada orang yang mau membelinya.” (dy)

Sabtu, 31 Juli 2021

Kehendak Bebas Untuk Membebaskan

Kebebasan, saya akui, adalah topik favorit karena saya pecinta kebebasan jebolan sebuah kampus yang dulu pernah menjadi surga buat anak-anak (yang pernah) muda seperti saya. Kami cukup beruntung menjadi bagian sebuah generasi yang mengabaikan pencitraan, lantang mengekspresikan ide-ide, korban sekaligus pelaku bullying yang jarang sekali berujung pada perkelahian atau permusuhan. Akan tetapi, waktu berjalan ke depan dan bukan ke belakang. Ketika rambut sudah mulai memutih, kami menyadari ternyata kebebasan telah berganti wajah. Kini dia bukan lagi sesuatu yang kami cintai di masa muda, melainkan monster pengumbar nafsu yang siap memakan dan memenjarakan akal sehat. Dulu kebebasan sangat berharga melebihi emas, karena sangat sulit didapatkan. Kini harganya turun drastis dan nyaris kehilangan makna sejatinya. Sudah saatnya kita mengkaji kembali makna kebebasan dengan tanpa mengorbankan hak asasi manusia untuk hidup dalam damai dan sejahtera.

Meski sudah mendapat pengakuan di beberapa tempat di dunia, tidak sedikit yang enggan membahas isu LGBT+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, + ditujukan untuk mereka dengan orientasi seks yang tidak termasuk di kelompok mana pun) karena masalah moralitas dan kepantasan. Kaum LGBT+ sudah cukup lama menerima perlakuan sewenang-wenang, pelecehan, diskriminasi, korban kejahatan akibat kebencian, rudapaksa, bahkan pemenjaraan akibat apa yang mereka percayai sebagai jati diri mereka. Di tahun 1940-an kelompok LGBT+ mulai bangkit di Amerika Serikat menuntut hak mereka untuk diperlakukan sebagai manusia. Mereka beroleh kemenangan ketika semua negara bagian Amerika Serikat mencabut larangan hubungan seks sesama jenis di tahun 2003.

Angin segar bagi kalangan LGBT+ semakin sejuk ketika Uni Eropa mengesahkan undang-undang perlindungan hak-hak LGBT+, dan menindak tegas negara anggota yang dianggap tidak menunjukkan niat untuk menerima undang-undang itu sepenuhnya. Hungaria memersepsikan undang-undang itu dengan cara yang berbeda. Negara itu berkomitmen untuk melindungi nilai-nilai tradisional keluarga dari “kampanye” LGBT+ melalui sebuah peraturan yang melarang propaganda LGBT+ di sekolah, televisi maupun iklan bagi anak-anak di bawah usia 18+. Hungaria melalui PM Viktor Orban telah menolak tudingan peraturan itu dibuat karena Hungaria anti LGBT+.  Sialnya, Hungaria dihujani kecaman dan diancam dikeluarkan dari keanggotaan Uni Eropa bila tidak mencabut peraturan tersebut. Ini belum seberapa, karena saat artikel ini ditulis beberapa negara Barat sedang merumuskan undang-undang yang mengizinkan anak di bawah usia 15 tahun untuk memutuskan berganti jenis kelamin.

 

Ketika Kebebasan Tidak Membebaskan

Kebebasan itu memang seharusnya bisa membebaskan, agar manusia tidak terhimpit oleh penolakan dari dalam dirinya terhadap situasi yang sedang berlangsung di sekitarnya di mana ia terlibat langsung atau pun sebagai penonton. Agar siapa pun bisa memilih dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya, tumbuh dan berkembang di arah sesuai harapan dan cita-citanya. Sayangnya ini hanyalah sebuah utopia tentang kehidupan yang ideal, karena kenyataan tidak dapat diramalkan. Kehendak bebas (free will) tidak muncul sekonyong-konyong. Awalnya, kehendak bebas muncul karena ada tekanan, di mana keduanya adalah sepasang sejoli yang saling mengisi. Ketika tekanan sudah tidak ada, maka kehendak bebas mengembara tak tentu arah, mendesak di dalam relung-relung sempit dalam Pikiran manusia yang mempunyai kebiasaan egosentris melawan kehendak kehidupan untuk hidup dalam kewajaran. Apakah ini berarti tekanan memang dibutuhkan agar kehendak bebas dalam diri masing-masing manusia tidak salah jalan?

Sanksi bidang ekonomi, keuangan, dan militer dari Amerika Serikat untuk Kuba adalah yang terpanjang  dalam sejarah dunia. Selama kurang lebih 60 tahun, masyarakat Kuba tidak diperkenankan melakukan perdagangan dengan negara mana pun, tidak dapat menggunakan metode pembayaran internasional baik untuk keperluan nasional maupun pribadi, mengalami keterbatasan pasokan obat dan makanan, dan tidak dapat menjual produksi dalam negerinya ke negara mana pun. Sanksi yang dijatuhkan sejak jaman Dwight Eisenhower dan semakin meluas di tahun 2021, telah berlaku sejak tahun 1960 ketika Fidel Castro menggulingkan Presiden Fulgencio Batista (1952-1959) yang didukung Amerika Serikat. Dalam sudut pandang Amerika, sanksi ini dijatuhkan sebagai hukuman atas tindakan pemerintah Fidel Castro di tahun 1959 yang menasionalisasi beberapa aset milik warga AS di Kuba di bawah Undang-Undang Reformasi Pertanian, serta peran serta negara itu dalam mensponsori pergerakan revolusioner di wilayah Karibia.

Sanksi Amerika Serikat yang bertujuan memberi pelajaran kepada negara-negara pembangkang biasanya bertujuan agar rakyat negara itu bangkit dan mengakhiri rezim berkuasa yang bertentangan dengan kepentingan sang negara adidaya. Bila sanksi adalah salah satu manifestasi tekanan, maka perlawanan rakyat adalah kehendak bebas yang seharusnya muncul sebagai pangkal dari hubungan sebab akibat ini. Akan tetapi, tekanan dari sanksi berasal dari luar (Amerika Serikat) yang jelas-jelas pelanggaran terhadap kedaulatan suatu bangsa. Sebagian warga Kuba yang menjadi imigran di AS menyadari hal ini, dan melakukan aksi protes terhadap pemerintah AS di Washington menuntut pencabutan sanksi atas Tanah Air mereka. Apa yang mereka lakukan patut menjadi bahan renungan kita, karena komunitas Kuba yang kita bicarakan meninggalkan negaranya akibat ketidaksepahaman dengan pemerintah komunis Kuba.    

Kisah perseteruan Kuba dan Amerika Serikat berawal dari kehendak bebas Presiden Fidel Castro dengan berbagai aksinya yang memicu reaksi yaitu sanksi AS. Namun, sebelum itu Amerika Serikat sudah berniat memadamkan komunisme di Kuba dengan memberikan dukungan kepada Presiden Batista. Komunisme bagi Amerika adalah paham gagal yang otoriter, pelanggar hak asasi manusia karena negara menerapkan berbagai peraturan mengikat untuk menjaga kedisplinan warga negaranya dari ujung rambut sampai kaki. Kehidupan masyarakat dijamin oleh negara komunis, ibarat orang tua yang bekerja keras demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sebagai imbalannya, anak-anak harus patuh dan mendengarkan kata orang tua supaya mereka aman hingga dewasa. Artinya, anak-anak itu dilatih untuk tidak memiliki free will yang bagi pemerintah komunis sangat merepotkan dan bisa menyebar laksana virus dari satu anak ke anak lain.

Anak-anak yang cinta kebebasan tentunya sangat ketakutan membayangkan musnahnya kebebasan. Di alam demokrasi pendapat pribadi dapat diekspresikan sebebas mungkin, tidak ada hukuman bagi pembuat karikatur atau meme presiden. Warga negara juga bebas mencari nafkah dan memilih agama atau kepercayaan. Cakupan kebebasan pun meluas seiring dengan berjalannya waktu, di mana kehendak memutuskan menjadi LGBT+ adalah salah satunya. Semua yang kita bahas di bagian ini adalah contoh-contoh kasus di mana kehendak bebas gagal untuk membebaskan manusia, baik secara individu maupun kolektif, dari eksklusivitas. Mereka menciptakan pagar pembatas yang memisahkan diri mereka dari kehidupan bermasyarakat, baik itu Fidel Castro, para presiden AS pembela sanksi Kuba, maupun para pejuang LGBT+. Kehendak bebas dalam sudut pandang kita tidak selalu sejalan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, tetapi individu tidak harus mengorbankan kesenangan pribadinya agar tercipta kestabilan dalam masyarakat. Inilah yang diperjuangkan oleh kalangan yang meyakini bahwa kekuatan suatu bangsa terdapat pada kekuatan masing-masing individu dalam berkehendak dan mewujudkan kehendaknya. Kegigihan memperjuangkan kehendak bebas dalam contoh di atas mengundang konflik dalam berbagai bentuk dan skala keparahan, tidak berhasil membebaskan komunitas dari tekanan agar dapat melangkah maju untuk mencapai hal-hal lain yang lebih berarti.

Apakah ini berarti kehendak bebas adalah sesuatu yang terlarang? Tidak juga. Tidak ada yang bisa menentukan orientasi seksual seseorang, atau menasihati seorang pemimpin tentang bagaimana cara memerintah wilayahnya, termasuk bagaimana cara bersikap terhadap musuh-musuhnya. Kita membutuhkan kehendak bebas agar berani bereksperimen dan berani menanggung akibatnya. Sebuah kehendak bebas akan membebaskan ketika dia tidak lagi eksklusif, tidak menakutkan bagi masyarakat, tetapi ada ruang rahasia baginya untuk bebas dari berbagai keharusan. Ruang yang bisa tercipta ketika kita tidak lagi membutuhkan pengakuan, dan menyadari peran kita dalam mempertahankan kestabilan suatu kebersamaan. (swastantika)     

Selasa, 15 Juni 2021

Jalan Terjal Sang Juara

Pandemi COVID-19 memaksa Komite Internasional Olimpiade (IOC) menunda penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang seharusnya diadakan 2020 lalu. Pemerintah Jepang sebagai tuan rumah terpaksa menerima pil pahit ini dan menerima kenyataan bahwa renovasi besar-besaran sejumlah stadion dan berbagai fasilitas olahraga lainnya belum akan balik modal dalam waktu dekat. Walaupun ada sejumlah orang yang meraup untung dari pembatasan sosial dan kuncitara, jumlah kerugian yang dialami bidang olahraga sangat besar karena larangan membuat kerumunan mengharuskan pertandingan diadakan tanpa penonton. Artinya, pihak penyelenggara event olahraga tidak akan memperoleh penghasilan dari penjualan tiket. Bagi para atlit, tidak ada kompetisi bukan hanya akan berdampak buruk bagi performa dan stamina. Semangat bertanding pun bisa luntur seiring berlalunya waktu, dan mengakhiri rasa dahaga akan kemenangan. Seperti bidang lain yang terpaksa menghadapi ujian berat di masa pandemi, para atlit harus menyelesaikan sebuah pertanyaan besar. Bagi para atlit, pertanyaan yang harus mereka jawab adalah apakah kehadiran penonton mereka butuhkan agar berhasil mencapai prestasi? 

Bagaimanapun, pencapaian prestasi bukan hak monopoli para atlit. Sama seperti hak asasi manusia, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk berusaha mencapai prestasi. Mereka berhak menempa diri sebaik mungkin, baik dengan mempelajari ilmu pengetahuan, mengembangkan bakat, melatih kekuatan fisik, dan meningkatkan keahlian yang dimiliki agar dapat meraih pengakuan atas apa yang sudah mereka lakukan dengan baik di bidangnya masing-masing. Keberhasilan mencapai prestasi bukan hanya menimbulkan rasa bangga, tetapi juga hadiah dalam bentuk materi (uang) yang tak sedikit jumlahnya. Prestasi akan mengukuhkan pengakuan masyarakat atas kemampuan seseorang, sekaligus meningkatkan reputasinya dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam lingkungan pergaulan yang lebih luas.

Namun tidak ada yang abadi, demikian juga prestasi. Ada yang mengatakan mempertahankan lebih sulit daripada merebut, dan pepatah ini benar adanya. Sebuah tim olah raga akan berjuang mati-matian merebut sebuah gelar yang belum pernah dimenangkan, mengolah skill, mempelajari taktik lawan, mencoba berbagai strategi baru, dll. Di musim kompetisi berikutnya, sang jawara musim lalu harus menghadapi situasi yang lebih menantang karena para pesaing sudah mengetahui kemampuan mereka dan kehilangan gelar adalah sesuatu yang tidak membanggakan. Akan tetapi, tidak semua jawara memilih jalan logis dan pantas untuk mempertahankan gelar. Ada juga yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan kebanggaan, walaupun cara tersebut jauh dari nilai dan prinsip sportivitas.

Balada Juara Bertahan 

Di artikel blog ini, dijabarkan tentang bagaimana Amerika Serikat memperoleh posisi mereka sebagai penguasa dunia finansial. Berbagai kisah dan sejarah yang kurang lebih sama juga memaparkan secara detil bagaimana sang negara adidaya berusaha mempertahankan posisinya. Masa pandemi COVID-19 rupanya sudah dianggap sebagai momen yang tepat untuk melestarikan dominasi tersebut. Pertama, AS di bawah pemerintahan Donald Trump secara terang-terangan menuduh bahwa virus COVID-19 adalah hasil rekayasa sebuah laboratorium senjata biologis di Wuhan, China. WHO pernah menyatakan bahwa tuduhan itu dibuat berdasarkan bukti-bukti yang keliru dan tidak berdasar karena virus Sars Cov-2 adalah murni hasil rekayasa alam. Namun AS mengabaikan laporan WHO dan bersikukuh dengan asumsinya. Penerus Trump, Joe Biden, belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri tuduhan ini meski dirinya sudah berikrar akan melakukan detrumpfikasi (penghapusan semua kebijakan yang dibuat di masa pemerintahan Trump). Sebaliknya, Biden memerintahkan para anak buahnya untuk melipatgandakan upaya guna membuktikan asal usul virus COVID-19. 

Kedua, Amerika Serikat juga secara terang-terangan merayu pemerintah Brasil agar tidak mengesahkan penggunaan vaksin COVID-19 buatan Rusia, Sputnik V, dengan alasan Amerika Serikat ingin meminimalisir pengaruh negara yang bukan sekutunya di benua Amerika. Padahal saat itu dan bahkan saat ini hingga waktu yang belum dapat ditentukan, rakyat Brasil dan semua penduduk dunia sangat membutuhkan vaksin dari pihak mana pun tidak memandang siapa produsen atau dari negara mana vaksin tersebut berasal. Bagi pemerintah Brasil, keselamatan rakyat dari COVID-19 lebih penting daripada membantu melestarikan hegemoni politik salah satu pihak. Seolah ada mimpi buruk dari masa lalu yang belum bisa dilupakan oleh Amerika Serikat dalam kaitannya dengan ideologi suatu negara yang notabene adalah kompetitor. Namun perilaku yang menolak move on ini bukan sekonyong-konyong muncul tanpa sebab. Manusia adalah makhluk yang mudah ditebak, perilaku yang diperlihatkan saat ini adalah cerminan dari apa yang pernah dilakukannya sebelumnya.  

Amerika Serikat sangat beruntung memiliki Inggris sebagai sekutu. Hubungan simbiosis mutualisme mereka berdua ibarat sepasang kekasih yang mengalahkan batasan ruang dan waktu. Salah satu bentuk kesetiaan itu adalah pengusiran masyarakat Chagos yang tinggal di Pulau Diego Garcia Kepulauan Chagos, sebuah kelompok kepulauan karang dengan luas total 56,13 km persegi di Samudra Hindia. 

Diego Garcia pertama kali berpenghuni di abad ke-18 ketika sekelompok warga Afrika dari Kepulauan Mauritius didatangkan ke pulau itu sebagai pekerja perkebunan kelapa. Dengan berakhirnya masa perbudakan, masyarakat Chagos beroleh kemerdekaan mereka dan hidup tenang di kepulauan tropis itu bersama anak keturunan mereka. Namun ini tidak berlangsung lama, karena di tahun 1965 Inggris memutuskan wilayah itu termasuk wilayah koloni mereka. Di tahun 1967, 2000 orang warga Chagos diusir dari kampung halaman mereka oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris saat itu menganggap masyarakat Chagos bukanlah warga asli sehingga tidak berhak atas rumah dan tanah yang sudah mereka warisi dari nenek moyang selama berpuluh tahun. Ini hanyalah dalih karena tak lama kemudian Diego Garcia menjadi pangkalan militer Amerika Serikat di Samudra Hindia, di mana AS memberangkatkan pesawat-pesawat tempur pengebom Iraq dan Afghanistan. Kisah pilu yang diabadikan film dokumenter Stealing of a Nation ini nyaris tidak terdengar, walau sama tragisnya dengan pendudukan Jalur Gaza.   

Semua Bisa Jadi Pemenang

Sudah menjadi kodrat manusia untuk memiliki hasrat dalam berbagai bentuk dan tujuan, termasuk hasrat menjadi pemenang. Akan tetapi, podium terlalu sempit sehingga tidak semua orang dapat naik podium secara bersamaan. Manusia harus berkompetisi mengalahkan manusia lain yang juga ingin merasakan nikmatnya kemenangan, sehingga selalu ada pemenang dan juga pecundang. Di satu sisi, kekalahan bisa menjadi pengalaman berharga sebagai pengukur kemampuan diri dan memotivasi agar tidak lelah mencari jalan agar bisa jadi pemenang di lain hari. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, kemerdekaan setidaknya menjadi pelipur lara pengingat kita untuk memanfaatkan kemerdekaan itu seluas-luasnya agar bisa menjadi sesuatu yang kita inginkan. Atau mencapai sesuatu yang belum pernah kita capai, sesuatu yang lebih baik dan bermartabat tentunya.  

Memang, kemenangan bisa menjadi sebuah jebakan bagi sang juara untuk besar kepala dan mengabaikan rasa keadilan serta kemanusiaan asal dirinya bisa terus jadi pemenang. Ini karena tidak semua orang bisa memaknai secara positif suatu kekalahan sebagai kemenangan yang tertunda. Rasa sakit akibat jatuh terjerembab dari ketinggian tentunya lebih pedih dibandingkan sudah terbiasa kalah dan tidak pernah menang di berbagai kesempatan. Alih-alih siap menghadapi kenyataan, sang juara bertahan berusaha menghindari kekalahan atau kemungkinan akan kalah dengan membiarkan ego tidak terkontrol dan merusak diri sendiri. Sayangnya, golongan dengan karakter semacam ini sekarang sedang menguasai dunia (Amerika Serikat dan para sekutunya) seakan tak kehabisan akal menyingkirkan golongan lain yang berusaha menciptakan perbedaan (Rusia & China).

Haruskah bangsa-bangsa yang belum pernah jadi pemenang pasrah dengan keadaan dan mengubur dalam-dalam impian mereka menjadi bangsa pemenang untuk selamanya? Kebanggaan memang hanya bisa dicapai dengan kerja keras dan disiplin, tetapi suatu negara juga bertanggung jawab menghasilkan sesuatu yang bisa membuat warga negaranya tidak minder di tengah pergaulan internasional. Sesuatu yang bukan sekedar bisa dinilai dengan uang dan habis dibelanjakan. (d.swastantika).    

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...