Rabu, 30 November 2011

PADA ZAMAN DAHULU KALA

 “ Apa sih bedanya masa sekarang dan zaman dahulu ? “ Pertanyaan naïf, jawab Anda. Dulu wajah masih cakep imut-imut. Sekarang mulai mengeriput. Sekitar 10-15 tahun yang lalu jalan raya kota Anda juga masih muda dan ramah. Sekarang terjebak macet adalah mimpi buruk segenap pengendara kendaraan bermotor. Sejuknya udara pagi diiringi suara kicau burung adalah sepele dan remeh temeh semasa kita kanak-kanak. Sekarang baru sadar, betapa mahalnya itu semua. Udara kian pengap dikotori asap pabrik serta knalpot dan burung-burung telah binasa di tangan pemburu liar. Dulu manusia Indonesia kelihatannya sempurna, normal, wajar, sehat dan baik-baik saja. Siapa sangka, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia meningkat seiring dengan semakin lebarnya jurang pemisah kaya dan miskin dan semakin meningkatnya ekonomi biaya tinggi. Pada 2010 lalu, sebanyak 10 sampai 20 pasien per bulannya mendapatkan perawatan di Instalasi Rawat Inap Jiwa Rumah Sakit Umum (RSU) dr Soetomo. Kini, sebanyak 20 sampai 30 pasien yang mendapat perawatan tiap bulannya ( Republika co.id 27/11 ). Seandainya mesin waktu memang pernah ditemukan orang, lebih baik kita pergi ke masa lalu saja. Karena masa kini adalah gila, sedangkan masa lalu oh indahnya.


Masa lalu ibarat spion. Melaluinya kita mengamati jalan sesekali manakala hendak menyeberang jalan atau menepi, agar terhindar dari tumbukan dengan kendaraan lain. Ada sekelompok orang menjadikan masa lalu sebagai pelarian. Mengenang kejayaan lampau sekedar untuk menghibur diri dari realita terkini. Seandainyapun di masa lampau mereka belum pernah jaya, mereka masih bisa menertawakannya lebar-lebar jikalau saat ini kejayaan telah tergenggam. Sementara jika ada yang merasa masa lampau dan masa kini sama saja dan begitu-begitu melulu, mereka pun masih juga bisa tertawa simpul : “ Mungkin sudah ditakdirkan menderita selamanya. Hiks .. “

Pengingkaran
Namun untuk sebagian lainnya juga, masa lalu adalah tragedi. Sangat pahit dan menyayatkan hati. Masa lalu menjadi hal terakhir yang ingin kita ingat sepanjang hayat. Jadi lebih baik untuk dilupakan sama sekali hingga ke akar-akarnya. Melupakan sering dipandang sebagai jalan terbaik pemecahan masalah. Btw, apakah masalah itu pun selesai tanpa masalah ?

Mungkin peristiwa misterius sepanjang 1965-1966 yang ‘ sukses ‘ menewaskan 1-2 juta orang-orang yang diduga adalah anggota dan atau simpatisan PKI tak layak dikenang, karena tak tercatat di buku pelajaran sejarah untuk murid sekolah dasar dan menengah. Apakah serupa halnya dengan peristiwa-peristiwa lain semacam Tanjung Priok, Talangsari, Mei 1998. Bagaimana dengan Munir ? Atau, yang baru-baru ini sajalah, Century ? Kita selama ini mempercayai bahwa Mahapatih Gadjah Mada adalah sosok pemersatu Nusantara yang gagah dan perkasa. Nah bagaimana kalau ternyata sang pahlawan berbodi gemuk dan pendek ? Mengapa pula surat dokumen Negara sekelas Supersemar bisa raib tak tentu rimbanya, sedangkan diantara kita saja ada yang masih menyimpan ijasah tamat Taman Kanak-kanak baik-baik ?
 
Melupakan sebuah peristiwa menyakitkan ibarat mengkonsumsi obat bius pereda rasa sakit sementara. Ketika efek obat habis maka rasa sakit kembali menyerang dan menyiksa. Kita coba lupakan dan lupakan lagi. Kita lupakan segalanya yang membuat kita terkenang kepada kepahitan hidup itu. Kita lupakan sedang berada dimana kaki kita menginjak. Kita lupakan orang-orang di sekeliling kita. Kita lupakan pekerjaan dan tanggung jawab kita. Kita lupakan makan, minum, tidur dan ngupdate status. Kita lupakan orang tua,anak-anak, pacar dan selingkuhan. Bahkan kita lupakan juga siapa diri kita. Akan tetapi rasa sakit itu tak kunjung lelah mengejar sejauh manapun kita berlari. 

Mengapa kita memilih untuk lupa ? Mengapa kita menolak untuk mengingat ? Adakah makanan yang kita santap kurang mengandung vitamin B 12 dan DHA maka daya tangkap otak kita menjadi tumpul ? Atau adakah logika kita kalah dalam adu penalti melawan suasana hati ? Sehingga menurut takluk manakala hati yang luka menyuruh logika berhenti bekerja dan melupakan semuanya. Mengapa bisa sekejam itu hati menyiksa raga tempatnya bernaung ? Sedahsyat itukah akibat yang dihasilkan kepedihan yang begitu dalam, yaitu nyaris membunuh dirinya sendiri ?

Sekali dan Seumur Hidup
Bukan. Sekali lagi bukan karena ogah menjejakkan kaki kepada kenyataan masa kini. Bukan itu alasan saya mengungkit-ungkit luka lama. Meski kadaluwarsa, tetapi masih menganga selebar pertama kali dihujam oleh pisau ketidakadilan. Masih sesakit pertama kali dikoyak oleh peluru nafsu kekuasaan. 

Tak seekor makhluk hidup pun menegakan dan merelakan diri menanggung rasa sakit. Kecuali para pecinta tatoisme, yang punya prinsip bahwa sakit hanyalah sensasi sesaat untuk mencapai kesempurnaan, yang direpresentasikan oleh indahnya motif tato menyatu di kulit tubuh selamanya hingga ajal menjemput. Tapi kapankah kita akhirnya mampu berdamai dengan rasa sakit ? Apa harus menunggu sampai ajal menjemput juga ? Emang enak mati kesakitan ?

Lupa akan rasa sakit sama dengan berjalan mengitari lingkaran iblis. Berkelana mengembara jauh-jauh untuk kembali ke titik yang sama. Mengabadikan jejak langkah Sisifus, mendorong beban kuat-kuat ke suatu tempat hanya untuk melihatnya meluncur bebas menimpa kepala kita kembali. Maka jangan tanyakan kenapa kisah bangsa kita tak pernah romantis. Selalu tragis dan penuh tangis. Selalu dijejali makian kepada nasib yang bengis. Karena kita berhutang terhadap masa lampau ; mengingkari rasa sakit dan tak pernah berusaha untuk menyembuhkannya. 

Sampai kapan betah menyiksa diri dengan seribu satu pengingkaran ? Tak sadarkah bahwa pengingkaran hanya akan menendang cita-cita dan impian menjauh dari gapaian ? Pertumbuhan ekonomi boleh meningkat ( katanya siih ), jumlah orang kaya di Indonesia boleh bertambah. Toh itu semua tak serta merta membikin kita digdaya sebagai Negara. Apakah kesejahteraan sudah merata ? Apakah kedaulatan aka eksistensi kita sudah diperjuangkan sekuat tenaga ke tetes darah penghabisan hingga tak sebuah Negara tetanggapun berani menyepelekan kita ?
 
Mengakui buruk wajah sendiri memang tak semudah kita menghujat kekurangbecusan pemimpin. Akan tetapi bukankah lebih melegakan dan tidak sakit-sakit amat kalau kita yang mengakuinya duluan ? Bukankah kesalahan dan sakit akibat terjerembab dalam lubang adalah konsekuensi dari kecerobohan kaki yang malas menggunakan matanya mengamati medan ?

Jadi, akuilah sejarah agar nasib merdeka dari kutukan Sisifus ini. Agar kesalahan yang sama hanyalah sekali dan seumur hidup tak kan pernah terulang kembali.
           
           

             

          

FINISH 1st

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...