Selasa, 16 Agustus 2022

Hidup Aman Bersama Sejarah Memalukan

Tuduhan dan penghakiman bukan hanya untuk manusia, tetapi juga benda mati seperti monumen. Monumen berarti patung-patung, tonggak-tonggak, struktur bangunan kokoh dan perkasa yang didirikan untuk mengenang tokoh berjasa besar atau peristiwa bersejarah. Di antara ribuan monumen megah yang tersebar di seluruh dunia, beberapa punya latar belakang “abu-abu”. Monumen Rusia yang didirikan tak jauh dari Universitas Bangui, Republik Afrika Tengah termasuk dalam kategori ini.

Monumen Rusia bukanlah nama resmi monumen yang menggambarkan tiga pria dan satu wanita bersenjata melindungi seorang perempuan Afrika dan dua anaknya. Tidak ada inskripsi pada monumen itu, tidak ada tanggal yang menunjuk waktu pendirian atau peresmiannya. Monumen Rusia adalah nama yang diberikan penduduk setempat sebagai ucapan terima kasih atas bantuan sekelompok prajurit Rusia dalam perang sipil di negara itu antara pemerintah melawan para pemberontak.

Kelompok prajurit Rusia ini bukanlah prajurit biasa, mereka adalah kelompok tentara bayaran yang disebut Wagner Group. Nyaris tidak ada sumber internet yang memberikan informasi positif tentang kelompok ini. Mereka disebut-sebut terlibat dalam perampasan, pemerkosaan, dan penganiayaan warga di mana mereka berperang demi uang, termasuk di Afrika Tengah. Begitulah cara pandang media arus utama terhadap mereka. Namun demikian, Monumen Rusia adalah kenyataan terlepas dari segala kontroversi yang menyertainya. Kelompok ini bahkan ikut membela Rusia dalam operasi militer khususnya di Ukraina guna membebaskan wilayah Donbass dari teror para milisi Neo-Nazi.

 

Malu masa lalu

Kita semua bangga terhadap hasil karya, pencapaian, dan kebesaran generasi sebelumnya. Mereka yang mendirikan bangunan-bangunan megah di zaman kuno, mereka yang menciptakan mitos-mitos, mereka yang berjuang membebaskan tanah air kita dari penindasan, mereka yang membuka jalan supaya kita mengenal dunia… Akan tetapi, para pendahulu kita adalah juga manusia. Sama seperti kita, mereka melakukan banyak hal yang tidak bisa diterima dan dipahami orang lain; generasi penerus mereka dalam hal ini. Lebih jauh lagi, generasi berikutnya menganggap tidak sedikit tindakan para pendahulu yang telah membuat mereka malu menjadi penerus mereka. Kesadaran manusia adalah misteri, karena terkadang kita baru menyadari adanya ketidakberesan setelah sekian lama kita menganggapnya sebuah normalitas. Atau, benarkah demikian?

Sejarah Konfederasi (1861-1865) adalah tentang konflik bersenjata antara pemerintah sah Amerika Serikat di wilayah Utara dan beberapa negara bagian di wilayah Selatan yang memerdekakan diri, berawal dari kegagalan menyepakati cara terbaik memperlakukan warga AS keturunan Afrika.  Konfederasi mulai dipandang sebagai aib oleh sebagian besar warga Amerika Serikat sejak 2017 setelah serentetan peristiwa tragis yang diinspirasi oleh nilai-nilai inti Konfederasi. Insiden pembunuhan George Floyd 2020 lalu adalah klimaksnya. Sejumlah monumen untuk mengenang para pahlawan Konfederasi dihancurkan atau disingkirkan, lantaran dianggap sebagai benda-benda mati yang memicu ingatan generasi penerus untuk melestarikan perbudakan dan diskriminasi atas warga AS keturunan Afrika serta non kulit putih lain.

Kurang lebih setahun setelah pergerakan Black Lives Matter mengguncang Amerika Serikat, tren penghancuran monumen menjadi tren baru di Eropa. Pengorbanan para serdadu Uni Soviet yang gugur dalam Perang Dunia II tidak lagi dianggap penting untuk dikenang oleh beberapa negara Eropa, akibat operasi militer khusus Rusia di Ukraina. Meski Euromaidan adalah penyebab utama di balik gemuruh mesin-mesin perang yang diterjunkan demi membela rakyat Donbass, tetapi ribuan sanksi dijatuhkan terhadap Rusia berikut upaya penghapusan jasa-jasa para pendahulunya dari sejarah. Sebagian besar kubu Barat – berbagai negara, organisasi internasional, organisasi induk olahraga, perusahaan multi nasional, platform daring, beberapa institusi seni, dan akademik tersohor dunia mungkin menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Akan tetapi, mereka merasa malu mengakui jasa para pahlawan berdarah Rusia.  

 

Mengubah masa lalu

“Belajar dari masa lalu.” Ini sudah terlalu sering kita dengar. Bagaimana kalau mengubah masa lalu? Guna mencapai tujuan ini, kita tidak perlu mesin waktu untuk menjelajahi zaman dahulu dan mengubah peristiwa yang sudah terjadi. Beberapa orang menemukan cara lebih praktis yang tidak butuh biaya triliunan untuk pembuatan mesin beralgoritme canggih yang bisa memutar balik waktu. Caranya adalah mengubah sudut pandang saat ini agar bisa memahami anomali masa lalu yang tidak sesuai standar dan norma-norma.

Salah satu tokoh legendaris yang menjadi “korban” eksperimen ini adalah Joan of Arc, pahlawan perempuan Prancis yang memimpin bangsanya bangkit dari penjajahan Inggris di Abad Pertengahan. Joan of Arc mampu membangkitkan semangat para prajurit Prancis jauh sebelum paham feminisme ada, ketika aktivitas utama para perempuan muda di masa itu adalah melakukan pekerjaan rumah tangga menanti dinikahi para lelaki. Bagi mayoritas orang Eropa, Joan terlalu macho, gagah berani, dan tidak layak menjadi perempuan. Ia tidak hanya dituduh sebagai tukang sihir dan dibakar hidup-hidup, berabad-abad setelah kematiannya yang memilukan ia dianggap bukan perempuan tulen.

Kekhasan suatu bangunan yang sudah berdiri jauh sebelum modernisasi dianggap sebagai kesesatan oleh sudut pandang tertentu, sehingga perlu dihancurkan. Ini pernah dialami Candi Borobudur, dan gosipnya, tidak sedikit candi di Indonesia yang bernasib sama. Ada yang menganggap ini hanyalah rekayasa politik suatu kelompok atau tokoh tertentu. Ada yang khawatir membuka tabir sejarah bisa memecah belah masyarakat apabila dibahas terlalu dalam dari berbagai sudut pandang yang saling berseberangan.

Masa lalu telah mengungkapkan bahwa manusia tidak pernah lelah dalam pencarian mereka demi membuktikan apa yang benar dan seharusnya. Merasakan malu bisa mengaburkan keyakinan manusia untuk melangkah karena semuanya terlihat abu-abu di dalam kabut. Manusia tidak nyaman menghadapi zona abu-abu, bukan hitam dan bukan pula putih, karena kita berharap ada panduan to the point tentang bagaimana melalui semua itu. Ini tidak salah. Dibutuhkan proses bagi siapa pun untuk mempunyai pola pikir aman di tengah berbagai bentuk ketidakpastian di masa depan. Bukankah suatu kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara berdiri di atas berlapis-lapis pondasi yang diletakkan berbagai generasi?

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...