Tuduhan dan penghakiman bukan hanya untuk manusia, tetapi juga benda mati seperti monumen. Monumen berarti patung-patung, tonggak-tonggak, struktur bangunan kokoh dan perkasa yang didirikan untuk mengenang tokoh berjasa besar atau peristiwa bersejarah. Di antara ribuan monumen megah yang tersebar di seluruh dunia, beberapa punya latar belakang “abu-abu”. Monumen Rusia yang didirikan tak jauh dari Universitas Bangui, Republik Afrika Tengah termasuk dalam kategori ini.
Monumen
Rusia bukanlah nama resmi monumen yang menggambarkan tiga pria dan satu
wanita bersenjata melindungi seorang perempuan Afrika dan dua anaknya. Tidak
ada inskripsi pada monumen itu, tidak ada tanggal yang menunjuk waktu pendirian
atau peresmiannya. Monumen Rusia adalah nama yang diberikan penduduk setempat
sebagai ucapan terima kasih atas bantuan
sekelompok prajurit Rusia dalam perang sipil di negara itu antara pemerintah melawan
para pemberontak.
Kelompok prajurit Rusia ini bukanlah prajurit biasa, mereka
adalah kelompok tentara bayaran yang disebut Wagner Group. Nyaris tidak ada
sumber internet yang memberikan informasi positif tentang kelompok ini. Mereka
disebut-sebut terlibat dalam perampasan, pemerkosaan, dan penganiayaan warga di
mana mereka berperang demi uang, termasuk di Afrika
Tengah. Begitulah cara pandang media arus utama terhadap mereka. Namun
demikian, Monumen Rusia adalah kenyataan terlepas dari segala kontroversi yang
menyertainya. Kelompok ini bahkan ikut membela Rusia dalam operasi militer
khususnya di Ukraina
guna membebaskan wilayah Donbass dari teror para milisi Neo-Nazi.
Malu masa lalu
Kita semua bangga terhadap hasil karya, pencapaian, dan
kebesaran generasi sebelumnya. Mereka yang mendirikan bangunan-bangunan megah
di zaman kuno, mereka yang menciptakan mitos-mitos, mereka yang berjuang
membebaskan tanah air kita dari penindasan, mereka yang membuka jalan supaya
kita mengenal dunia… Akan tetapi, para pendahulu kita adalah juga manusia. Sama
seperti kita, mereka melakukan banyak hal yang tidak bisa diterima dan dipahami
orang lain; generasi penerus mereka dalam hal ini. Lebih jauh lagi, generasi
berikutnya menganggap tidak sedikit tindakan para pendahulu yang telah membuat
mereka malu menjadi penerus mereka. Kesadaran manusia adalah misteri, karena
terkadang kita baru menyadari adanya ketidakberesan setelah sekian lama kita
menganggapnya sebuah normalitas. Atau, benarkah demikian?
Sejarah Konfederasi
(1861-1865) adalah tentang konflik bersenjata antara pemerintah sah Amerika
Serikat di wilayah Utara dan beberapa negara bagian di wilayah Selatan yang
memerdekakan diri, berawal dari kegagalan menyepakati cara terbaik
memperlakukan warga AS keturunan Afrika. Konfederasi mulai dipandang sebagai aib oleh
sebagian besar warga Amerika Serikat sejak 2017 setelah serentetan peristiwa
tragis yang diinspirasi oleh nilai-nilai inti Konfederasi. Insiden pembunuhan
George Floyd 2020 lalu adalah klimaksnya. Sejumlah monumen untuk mengenang para
pahlawan Konfederasi dihancurkan
atau disingkirkan, lantaran dianggap sebagai benda-benda mati yang memicu ingatan
generasi penerus untuk melestarikan perbudakan dan diskriminasi atas warga AS
keturunan Afrika serta non kulit putih lain.
Kurang lebih setahun setelah pergerakan Black Lives Matter
mengguncang Amerika Serikat, tren penghancuran monumen menjadi tren baru di
Eropa. Pengorbanan para serdadu Uni Soviet yang gugur dalam Perang Dunia II tidak
lagi dianggap penting untuk dikenang oleh beberapa negara Eropa, akibat
operasi militer khusus Rusia di Ukraina. Meski Euromaidan
adalah penyebab utama di balik gemuruh mesin-mesin perang yang diterjunkan demi
membela rakyat Donbass, tetapi ribuan sanksi dijatuhkan terhadap Rusia berikut
upaya penghapusan jasa-jasa para pendahulunya dari sejarah. Sebagian besar kubu
Barat – berbagai negara, organisasi internasional, organisasi induk olahraga,
perusahaan multi nasional, platform daring, beberapa institusi seni, dan
akademik tersohor dunia mungkin menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa
yang menghargai para pahlawannya. Akan tetapi, mereka merasa malu mengakui jasa
para pahlawan berdarah Rusia.
Mengubah masa lalu
“Belajar dari masa lalu.” Ini sudah terlalu sering kita
dengar. Bagaimana kalau mengubah masa lalu? Guna mencapai tujuan ini, kita
tidak perlu mesin waktu untuk menjelajahi zaman dahulu dan mengubah peristiwa
yang sudah terjadi. Beberapa orang menemukan cara lebih praktis yang tidak
butuh biaya triliunan untuk pembuatan mesin beralgoritme canggih yang bisa
memutar balik waktu. Caranya adalah mengubah sudut pandang saat ini agar bisa
memahami anomali masa lalu yang tidak sesuai standar dan norma-norma.
Salah satu tokoh legendaris yang menjadi “korban” eksperimen
ini adalah Joan of Arc, pahlawan perempuan Prancis yang memimpin bangsanya
bangkit dari penjajahan Inggris di Abad Pertengahan. Joan of Arc mampu
membangkitkan semangat para prajurit Prancis jauh sebelum paham feminisme ada, ketika
aktivitas utama para perempuan muda di masa itu adalah melakukan pekerjaan
rumah tangga menanti dinikahi para lelaki. Bagi mayoritas orang Eropa, Joan
terlalu macho, gagah berani, dan
tidak layak menjadi perempuan. Ia tidak hanya dituduh sebagai tukang sihir dan
dibakar hidup-hidup, berabad-abad setelah kematiannya yang memilukan ia
dianggap bukan perempuan
tulen.
Kekhasan suatu bangunan yang sudah berdiri jauh sebelum modernisasi
dianggap sebagai kesesatan
oleh sudut pandang tertentu, sehingga perlu dihancurkan. Ini pernah dialami
Candi Borobudur, dan gosipnya, tidak sedikit candi di Indonesia yang bernasib
sama. Ada yang menganggap ini hanyalah rekayasa
politik suatu kelompok atau tokoh tertentu. Ada yang khawatir membuka tabir
sejarah bisa memecah belah masyarakat apabila dibahas terlalu dalam dari
berbagai sudut pandang yang saling berseberangan.
Masa lalu telah mengungkapkan bahwa manusia tidak pernah lelah dalam pencarian mereka demi membuktikan apa yang benar dan seharusnya. Merasakan malu bisa mengaburkan keyakinan manusia untuk melangkah karena semuanya terlihat abu-abu di dalam kabut. Manusia tidak nyaman menghadapi zona abu-abu, bukan hitam dan bukan pula putih, karena kita berharap ada panduan to the point tentang bagaimana melalui semua itu. Ini tidak salah. Dibutuhkan proses bagi siapa pun untuk mempunyai pola pikir aman di tengah berbagai bentuk ketidakpastian di masa depan. Bukankah suatu kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara berdiri di atas berlapis-lapis pondasi yang diletakkan berbagai generasi?