Selasa, 25 Agustus 2015
Kamis, 20 Agustus 2015
KEMBALI KE AKAR
“Why
do we fall, Sir?” (A. Pennyworth)
Ya, ‘why do we fall? (kenapa kita tersungkur?). Jaman dulu para pengasuh bayi
akan memukul lantai, meja atau apapun karena gara-gara benda-benda mati itulah
si anak balita terjatuh, sambil mengatakan “Oh, mejanya nakal sih. Nih biar
Emak pukul,” atau sejenisnya. Padahal meja, lantai, kursi, batu, dsb sudah
berdiam diri di sana sejak sebelum si anak bermain di sekitarnya, bahkan ada
juga yang sudah membatu di tempat yang sama sejak si anak belum lahir. Kecuali,
tentu saja, rumah yang dihuni anak dan pengasuhnya ini dihuni oleh makhluk
halus yang gemar memindah-mindahkan barang tanpa sepengetahuan pengasuh maupun
si anak itu sendiri. Sejak detik itulah si anak akan terbiasa dengan perasaan
bahwa kesialan yang menimpanya bukan akibat kecerobohannya melainkan
kecerobohan orang lain, atau bisa juga kecerobohan si hantu yang usil.
Beratnya mengakui sejarah
Beratnya mengakui sejarah
Sejak masih sekolah kita selalu diajarkan tentang pelajaran sejarah yang dari
tahun ke tahun isinya tetap sama, dan sedikit berubah semenjak Mei 1998, terus
berubah lagi setiap ada pergantian presiden dan para menterinya. Selama itu
pula kita diajarkan untuk membenci para penjajah karena kerakusan mereka maka
nenek moyang kita menderita selama 350 tahun. Karena kekejaman mereka nenek
moyang kita tewas bukan di medan perang, tapi dalam perbudakan menjadi tenaga
kerja paksa tanpa upah dan makanan yang layak.
Saya
yakin para penjajah tersebut adalah orang-orang baik di negara asalnya, di
kampungnya dan di rumahnya masing-masing. Apakah mungkin hawa panas katulistiwa
ini yang membuat mereka menjadi ‘haus darah’? Itu bisa jadi. Karena berdasarkan
sebuah penelitian di akhir tahun 2014 pemanasan global telah membuat banyak
orang semakin emosional dan meningkatkan angka kriminalitas.
Tapi
di awal abad ke-20, di saat-saat awal di mana menjajah adalah sebuah mainstream di kalangan negara-negara
maju, global warming belum menjadi
sebuah tren karena jumlah pabrik lebih sedikit, mobil-mobil lebih sedikit dan
jumlan manusia yang lebih sedikit. Kalau begitu, apa mungkin para penjajah itu
tidak memiliki keimanan yang kuat sehingga mereka dirasuki iblis banaspati yang saat itu konon masih
berkeliaran di hutan-hutan, dan berubah menjadi monster tanpa peri kemanusiaan?
Lalu
di manakah para raja domestik kita berada, sebegitu teganyakah mereka berdiam
diri melihat penderitaan rakyat dan menyerahkan daerah kekuasaannya yang mampu
menghasilkan emas kuning, hitam, coklat dan abu-abu ke tangan pendatang yang
sok jago secara sukarela? Ya, benar. Beberapa orang raja lokal. Bahkan
seandainya sejarah yang benar di
negara kita tak pernah tertuliskan, kita masih bisa mengambil kesimpulan dengan
menggunakan logika. Bahwa ada sebagian oknum
penguasa (di masa lalu, kini dan nanti) yang memang telah dengan sengaja
membiarkan, melegalkan dan mempersilakan Tanah Airnya untuk dijajah.
Untuk
dapat mengungkap siapa sajakah di antara para nenek moyang kita yang telah
melakukan kekhilafan fatal tersebut, pertama-tama dibutuhkan pikiran terbuka
dan kelapangan hati untuk menerima kenyataan. Karena kita mungkin akan terpana
begitu mengetahui siapa saja para raja lokal yang pernah bekerja sama dengan
penjajah dari negara lain, memperluas wilayah kekuasaan dengan menjajah
kerajaan-kerajaan kecil, merebut takhta dengan jalan kekerasan, menyebarkan
agama dengan paksaan, beristri lebih dari satu dan alkoholik. However, para nenek moyang kita hanyalah
manusia biasa yang tak sempurna. Sejarah yang benar dituliskan bukan untuk mem-bully mereka yang telah pergi ke Nirwana. Bukan juga untuk
mempermalukan anak dan keturunan mereka dalam pergaulan sosial.
Melainkan
sebagai bahan renungan, cerminan, refleksi dan pelajaran berharga tentang
keabadian hukum sebab akibat. Bahwa sebab seseorang tidak mengakui telah
melakukan kesalahan, terjerembablah ia di lubang kesalahan yang sama di masa
depan. Meski manusia telah diberikan pelajaran tentang mana yang benar dan
salah sejak berusia dini, tetap saja ia hanya mendengar apa yang ingin ia
dengar. Tak masalah jika yang ingin didengarnya adalah ‘kebenaran’. Tapi
bagaimana jika yang ingin ia dengarkan adalah ‘aku yang benar’? Bersiaplah saja
untuk mengucapkan selamat tinggal pada kebenaran karena kita tak akan pernah
menemukannya di manapun selama kita tak rela bernenekmoyangkan orang-orang yang
tidak suci.
(Pura-pura) Bangkit dari kejatuhan
Tapi
.. tunggu dulu. Cobalah kita perhatikan siklus yang terjadi di sekitar tuntutan
terhadap pelurusan sejarah negeri ini. Suatu hari pihak sini membatu terhadap
pertanyaan tentang di manakah anak, ayah, ibu, saudara, kakek, nenek, tetangga,
kekasih dan mantan pacar mereka yang hilang tanpa kabar dan tak jelas apakah
mereka sudah jadi tulang belulang ataukah masih hidup. Tunggulah beberapa hari
kemudian (biasanya) akan muncul sekonyong-konyong massa yang tak jelas dari
mana asalnya atau silsilah berdirinya menuntut pemberangusan, pencekalan dan
pembasmian paham komunisme.
Saya
mengira massa ini hidup di tengah masyarakat tanpa televisi, radio, smartphone
dan internet karena mereka tidak mengerti bahwa komunisme sudah tamat sejak
satu dekade lalu. Mereka (mungkin) telah hidup dengan sangat berkecukupan,
makan 3 kali sehari pakai daging sapi, beras rojolele, pergi kemana-mana naik
mobil, anak-anak mereka kemungkinan bersekolah di sekolah swasta terbaik yang
membebaskan orangtua siswa dari segala pungutan, rumah mereka besar dan ber-AC
dan listrik gratis. Massa yang hidup mewah tak punya waktu memikirkan apa yang
musti dimakan atau dari mana dapat uang esok hari karena semua sudah tersedia.
Sehingga pikiran mereka bernostalgia ke masa lalu, ke masa yang hanya hidup
dalam cerita para elders, tepat di
tahun 1965 ketika mereka masih balita (atau mungkin belum lahir) dan mengenang
paranoia yang dirasakan segelintir orang saat itu.
Bisa
jadi para elders mereka adalah
penderita buta warna, karena tak bisa melihat warna merah darah para korban
yang mengotori sungai-sungai di berbagai kota di Jawa. Mungkin mereka juga
tuli, lantaran tak bisa mendengar suara tembakan senapan dan jeritan para
korban pada malam-malam paling kelam dalam sejarah sebuah negara bernama
Indonesia. Saya nggak akan bilang begini jika saya tak punya bukti, Jendral.
Karena
negara tak pernah mengakui bahwa 1965 adalah sebuah kesalahan, maka
terulangilah kesalahan itu lagi di tahun-tahun berikutnya. Anda pasti sudah
tahu peristiwa apa sajakah itu. Please,
jangan paksa dan buat hati saya sedih karena menyebutkan peristiwa-peristiwa
tersebut satu per satu. Jika peristiwa-peristiwa semua bukanlah kesalahan, lalu
apa? Retorika yang dibuat oleh pihak sana yang tak ingin mengakuinya hanya
makin mengukuhkan kesan bahwa mereka tahu kebenarannya, kebenaran yang sangat
menyakitkan untuk diakui sebagai sebuah kenyataan.
Bukti?
Ya, ibaratnya begini: peringatan 17 Agustus beberapa waktu lalu menumbuhkan
semacam keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang menghargai
jasa para pahlawannya, bla bla bla. Sebagai bangsa dengan adat ketimuran yang
tinggi dan menjunjung tinggi harkat serta martabatnya dalam pergaulan
internasional tentu akan malu jika memiliki noda hitam yang tak bisa dicuci
seperti peristiwa-peristiwa unexplained
tersebut dan akan bertindak untuk mengakhiri siksaan rasa malu itu selamanya.
Tapi
kita adalah bangsa yang sangat praktis, segala sesuatu dilihat dari nilai
ekonomi, jadi kalo nggak menguntungkan dari sisi ekonomi ya tinggalkan saja.
Mengapa pola pikir praktis itu tidak terlihat dalam upaya penyelesaian
peristiwa-peristiwa kelam? Jangan-jangan kita memang sebenarnya hanya
pura-pura; pura-pura pintar, pura-pura praktis dan pura-pura berharkat dan
martabat tinggi.
Saran
saya, Pak Bos, gunakanlah isu-isu yang lebih sophisticated lagi, lebih kekinian agar kebangkitan dari kejatuhan
yang pura-pura itu bisa menjadi kenyataan dan kita tak perlu lagi menjadi
bangsa yang berpura-pura memiliki harkat dan martabat tinggi. Isu komunisme itu
sudah out of date, dan kini para
arwah korban unsolved tragedies penghuni alam baka
mungkin sedang menertawakan Anda, saya dan kejatuhan kita berulang kali di kesalahan yang sama . (da)
Langganan:
Postingan (Atom)
Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...
-
Kesulitan ekonomi bukanlah sesuatu yang memalukan, bisa menimpa siapa saja dan di mana saja, mulai dari seorang ibu tunggal di pedesaan samp...
-
Karena satu dan lain hal, kita berutang pada seseorang, sebuah bank, pinjaman online, atau pihak manapun sebagai pemberi pinjaman. Dengan me...
-
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...