Kamis, 20 Agustus 2015

KEMBALI KE AKAR

        “Why do we fall, Sir?” (A. Pennyworth)

Ya, ‘why do we fall? (kenapa kita tersungkur?). Jaman dulu para pengasuh bayi akan memukul lantai, meja atau apapun karena gara-gara benda-benda mati itulah si anak balita terjatuh, sambil mengatakan “Oh, mejanya nakal sih. Nih biar Emak pukul,” atau sejenisnya. Padahal meja, lantai, kursi, batu, dsb sudah berdiam diri di sana sejak sebelum si anak bermain di sekitarnya, bahkan ada juga yang sudah membatu di tempat yang sama sejak si anak belum lahir. Kecuali, tentu saja, rumah yang dihuni anak dan pengasuhnya ini dihuni oleh makhluk halus yang gemar memindah-mindahkan barang tanpa sepengetahuan pengasuh maupun si anak itu sendiri. Sejak detik itulah si anak akan terbiasa dengan perasaan bahwa kesialan yang menimpanya bukan akibat kecerobohannya melainkan kecerobohan orang lain, atau bisa juga kecerobohan si hantu yang usil. 

Beratnya mengakui sejarah


Sejak masih sekolah kita selalu diajarkan tentang pelajaran sejarah yang dari tahun ke tahun isinya tetap sama, dan sedikit berubah semenjak Mei 1998, terus berubah lagi setiap ada pergantian presiden dan para menterinya. Selama itu pula kita diajarkan untuk membenci para penjajah karena kerakusan mereka maka nenek moyang kita menderita selama 350 tahun. Karena kekejaman mereka nenek moyang kita tewas bukan di medan perang, tapi dalam perbudakan menjadi tenaga kerja paksa tanpa upah dan makanan yang layak.

Saya yakin para penjajah tersebut adalah orang-orang baik di negara asalnya, di kampungnya dan di rumahnya masing-masing. Apakah mungkin hawa panas katulistiwa ini yang membuat mereka menjadi ‘haus darah’? Itu bisa jadi. Karena berdasarkan sebuah penelitian di akhir tahun 2014 pemanasan global telah membuat banyak orang semakin emosional dan meningkatkan angka kriminalitas.

Tapi di awal abad ke-20, di saat-saat awal di mana menjajah adalah sebuah mainstream di kalangan negara-negara maju, global warming belum menjadi sebuah tren karena jumlah pabrik lebih sedikit, mobil-mobil lebih sedikit dan jumlan manusia yang lebih sedikit. Kalau begitu, apa mungkin para penjajah itu tidak memiliki keimanan yang kuat sehingga mereka dirasuki iblis banaspati yang saat itu konon masih berkeliaran di hutan-hutan, dan berubah menjadi monster tanpa peri kemanusiaan?

Lalu di manakah para raja domestik kita berada, sebegitu teganyakah mereka berdiam diri melihat penderitaan rakyat dan menyerahkan daerah kekuasaannya yang mampu menghasilkan emas kuning, hitam, coklat dan abu-abu ke tangan pendatang yang sok jago secara sukarela? Ya, benar. Beberapa orang raja lokal. Bahkan seandainya sejarah yang benar di negara kita tak pernah tertuliskan, kita masih bisa mengambil kesimpulan dengan menggunakan logika. Bahwa ada sebagian oknum penguasa (di masa lalu, kini dan nanti) yang memang telah dengan sengaja membiarkan, melegalkan dan mempersilakan Tanah Airnya untuk dijajah.

Untuk dapat mengungkap siapa sajakah di antara para nenek moyang kita yang telah melakukan kekhilafan fatal tersebut, pertama-tama dibutuhkan pikiran terbuka dan kelapangan hati untuk menerima kenyataan. Karena kita mungkin akan terpana begitu mengetahui siapa saja para raja lokal yang pernah bekerja sama dengan penjajah dari negara lain, memperluas wilayah kekuasaan dengan menjajah kerajaan-kerajaan kecil, merebut takhta dengan jalan kekerasan, menyebarkan agama dengan paksaan, beristri lebih dari satu dan alkoholik. However, para nenek moyang kita hanyalah manusia biasa yang tak sempurna. Sejarah yang benar dituliskan bukan untuk mem-bully mereka yang telah pergi ke Nirwana. Bukan juga untuk mempermalukan anak dan keturunan mereka dalam pergaulan sosial. 

Melainkan sebagai bahan renungan, cerminan, refleksi dan pelajaran berharga tentang keabadian hukum sebab akibat. Bahwa sebab seseorang tidak mengakui telah melakukan kesalahan, terjerembablah ia di lubang kesalahan yang sama di masa depan. Meski manusia telah diberikan pelajaran tentang mana yang benar dan salah sejak berusia dini, tetap saja ia hanya mendengar apa yang ingin ia dengar. Tak masalah jika yang ingin didengarnya adalah ‘kebenaran’. Tapi bagaimana jika yang ingin ia dengarkan adalah ‘aku yang benar’? Bersiaplah saja untuk mengucapkan selamat tinggal pada kebenaran karena kita tak akan pernah menemukannya di manapun selama kita tak rela bernenekmoyangkan orang-orang yang tidak suci.

(Pura-pura) Bangkit dari kejatuhan

Tapi .. tunggu dulu. Cobalah kita perhatikan siklus yang terjadi di sekitar tuntutan terhadap pelurusan sejarah negeri ini. Suatu hari pihak sini membatu terhadap pertanyaan tentang di manakah anak, ayah, ibu, saudara, kakek, nenek, tetangga, kekasih dan mantan pacar mereka yang hilang tanpa kabar dan tak jelas apakah mereka sudah jadi tulang belulang ataukah masih hidup. Tunggulah beberapa hari kemudian (biasanya) akan muncul sekonyong-konyong massa yang tak jelas dari mana asalnya atau silsilah berdirinya menuntut pemberangusan, pencekalan dan pembasmian paham komunisme.

Saya mengira massa ini hidup di tengah masyarakat tanpa televisi, radio, smartphone dan internet karena mereka tidak mengerti bahwa komunisme sudah tamat sejak satu dekade lalu. Mereka (mungkin) telah hidup dengan sangat berkecukupan, makan 3 kali sehari pakai daging sapi, beras rojolele, pergi kemana-mana naik mobil, anak-anak mereka kemungkinan bersekolah di sekolah swasta terbaik yang membebaskan orangtua siswa dari segala pungutan, rumah mereka besar dan ber-AC dan listrik gratis. Massa yang hidup mewah tak punya waktu memikirkan apa yang musti dimakan atau dari mana dapat uang esok hari karena semua sudah tersedia. Sehingga pikiran mereka bernostalgia ke masa lalu, ke masa yang hanya hidup dalam cerita para elders, tepat di tahun 1965 ketika mereka masih balita (atau mungkin belum lahir) dan mengenang paranoia yang dirasakan segelintir orang saat itu.

Bisa jadi para elders mereka adalah penderita buta warna, karena tak bisa melihat warna merah darah para korban yang mengotori sungai-sungai di berbagai kota di Jawa. Mungkin mereka juga tuli, lantaran tak bisa mendengar suara tembakan senapan dan jeritan para korban pada malam-malam paling kelam dalam sejarah sebuah negara bernama Indonesia. Saya nggak akan bilang begini jika saya tak punya bukti, Jendral.

Karena negara tak pernah mengakui bahwa 1965 adalah sebuah kesalahan, maka terulangilah kesalahan itu lagi di tahun-tahun berikutnya. Anda pasti sudah tahu peristiwa apa sajakah itu. Please, jangan paksa dan buat hati saya sedih karena menyebutkan peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Jika peristiwa-peristiwa semua bukanlah kesalahan, lalu apa? Retorika yang dibuat oleh pihak sana yang tak ingin mengakuinya hanya makin mengukuhkan kesan bahwa mereka tahu kebenarannya, kebenaran yang sangat menyakitkan untuk diakui sebagai sebuah kenyataan.

Bukti? Ya, ibaratnya begini: peringatan 17 Agustus beberapa waktu lalu menumbuhkan semacam keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang menghargai jasa para pahlawannya, bla bla bla. Sebagai bangsa dengan adat ketimuran yang tinggi dan menjunjung tinggi harkat serta martabatnya dalam pergaulan internasional tentu akan malu jika memiliki noda hitam yang tak bisa dicuci seperti peristiwa-peristiwa unexplained tersebut dan akan bertindak untuk mengakhiri siksaan rasa malu itu selamanya.

Tapi kita adalah bangsa yang sangat praktis, segala sesuatu dilihat dari nilai ekonomi, jadi kalo nggak menguntungkan dari sisi ekonomi ya tinggalkan saja. Mengapa pola pikir praktis itu tidak terlihat dalam upaya penyelesaian peristiwa-peristiwa kelam? Jangan-jangan kita memang sebenarnya hanya pura-pura; pura-pura pintar, pura-pura praktis dan pura-pura berharkat dan martabat tinggi.

Saran saya, Pak Bos, gunakanlah isu-isu yang lebih sophisticated lagi, lebih kekinian agar kebangkitan dari kejatuhan yang pura-pura itu bisa menjadi kenyataan dan kita tak perlu lagi menjadi bangsa yang berpura-pura memiliki harkat dan martabat tinggi. Isu komunisme itu sudah out of date, dan kini para arwah korban unsolved tragedies penghuni alam baka mungkin sedang menertawakan Anda, saya dan kejatuhan kita berulang kali di kesalahan yang sama . (da)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...