Minggu, 31 Agustus 2014

BANGUN KESIANGAN


KETIKA PESTA USAI

“Kegelisahan terletak di kepala yang mengenakan mahkota.”


—William Shakespeare
Henry IV, Part II

Semua keceriaan, kegembiraan dan eforia sesaat berakhir ketika satu per satu pesta meninggalkan kita, mulai dari pesta sepak bola dunia, pesta demokrasi, pesta ketupat dan pesta panjat pinang. Di tengah-tengah pesta kita dibujuk untuk melupakan segala masalah, dan kita dengan ikhlas dan tanpa syak wasangka menerima begitu saja bujukan itu. Kita membiarkan diri kita terhanyut dan mabuk oleh keadaan (yang lebih hemat daripada mabuk miras oplosan karena kita nggak harus mengeluarkan uang sepeserpun demi bisa merasakan yang namanya mabuk). Gangguan kepada suasana pesta dan mabuk keadaan ini adalah merupakan pelanggaran serius, dan kita akan dapat dengan mudah menjadi murka karenanya. Tak segan-segan kita memutuskan hubungan pertemanan yang telah dijalin bertahun-tahun akibat hal remeh temeh, ketika si teman tega mengganggu dengan menuliskan komentar pedas terhadap kesenangan kita pada postingannya di jejaring sosial. Berkelahi demi membela sesuatu yang kita senangi adalah hal yang biasa, demikian pula perpecahan dalam keluarga karena masing-masing anggota memiliki kesenangan yang berbeda. 

Tapi pesta-pesta yang usai itu menyisakan lebih dari sekedar polemik akibat perbedaan kesenangan. Ada sesuatu yang hilang ketika mendadak segala gegap gempita itu meninggalkan kita, menghilang dalam waktu dan era. Bahkan dalam tidur pun kita seperti masih bisa mendengar gelak tawa, setiap gebyar kembang api dan suara denting botol bir yang bersentuhan. Semua seperti memanggil-memanggil kita untuk kembali, seperti menolak dilupakan dan dibiarkan berlalu. Kita tidak siap menghadapi keheningan yang datang mendadak. Tidak siap menghadapi hilangnya puluhan, ratusan atau ribuan pasang mata yang menatap iri dan kagum pada kita. Kita memang tak selalu mengenal baik para pemilik sorotan mata itu, beberapa di antara mereka mungkin namanya pun tidak kita kenal. Namun di tengah pesta, identitas bukan lagi menjadi hal utama. Karena, selain daripada bersosialisasi, di dalam pesta kita mencari kegembiraan, dan juga pengakuan.

Seorang pertapa yang telah menyepi begitu lama tidak berminat terhadap hedonism dunia fana. Akan tetapi manusia dengan darah mudanya masih membutuhkan pengakuan dari pihak lain yang berada di luar dirinya. Pengakuan yang dianggapnya dapat menjadi modal untuk dapat berjalan dengan kepala tegak. 

Demikian pula suatu bangsa dan negara yang telah dijerat dalam nasib buruk sejak puluhan ribu tahun silam. Sebuah bangsa yang belum berumur seabad, seperti mereka yang mendiami tanah ini. Ketika para perantau tak diundang menjejakkan kaki dan mengatakan kepada mereka bahwa di sini, di tanah ini adalah tanah yang dihuni kaum tak beradab, liar dan barbar; kaum pribumi yang lugu yakin kalau diri mereka sendiri adalah barbar, karena sistem yang mereka ciptakan terus menerus membawa mereka dalam pertengkaran abadi yang meresahkan. Oleh karena itu, rakyat yang berdiam di Tanah Perak Jawa Barat tak menolak ketika seorang perantau dari India yang bernama Dewawarman datang berkunjung dan mengusulkan pendirian sebuah kerajaan yang di kemudian hari dinamakan dengan Kerajaan Salakanagara, kerajaan pertama di tanah Jawa. 

Toh bangkitnya hegemoni kerajaan tak menjamin kehidupan masyarakat pribumi semakin jauh dari sengketa. Perjalanan sejarah di Tanah Jawa (dan juga tanah lainnya di pelosok Nusantara) selalu diwarnai dengan pertumpahan darah, perebutan kekuasaan dan singgasana. Nyaris tak ada kerajaan yang bisa bertahan lama setelah terlibat dalam peperangan. Mereka musnah karena tak punya kekuatan atau dihukum oleh bencana alam atau akibat kedatangan para pendatang lain yang memiliki karakter berbeda dan lebih kejam. Dan masyarakat pribumi pun semakin lupa bahwa pada jaman dahulu kala, di kala segala gemerlapannya harta benda dan pesta kerajaan hanyalah kisah pengantar tidur dari para perantau negeri seberang; bahwa mereka pernah hidup dengan lebih damai, tenang dalam kesederhanaan, di bawah naungan sistem yang mereka buat sendiri sebelum datangnya sistem kerajaan. Sistem apakah itu? Saya akan membahasnya lain waktu.  

Semua suka memakai mahkota
Apa sih yang biasanya Anda lakukan saat berpesta? Makan? Minum? Mabuk? Mencari teman kencan? Memamerkan kesuksesan? Apapun itu, pesta ibarat keadilan bagi semua, berbagi kesenangan secara merata. Dan jika seorang tamu pesta tetap merasa sedih hingga pesta berakhir, itu artinya panitia penyelenggara pesta telah gagal. Hal semacam inilah yang kadang luput dari perhatian penyelenggara pesta, apakah hadirin merasa senang atau tidak bukanlah urusan tuan rumah. Tuan rumah hanya bertugas menyediakan kebutuhan fisik, bukan untuk menyenangkan kebutuhan batin tamunya. Bisa jadi tujuan utama pesta memang bukanlah bekerja sama menyenangkan diri masing-masing. Namun lebih sekedar upaya menunjukkan eksistensi diri melalui segenap kemewahan hidangan dan hiburan. Bahwa pemberian yang mahal secara cuma-cuma adalah semacam pernyataan tingkat kesejahteraan yang melebihi siapapun, bahkan para tamu yang hadir di dalam pesta. 

Dahulu memang hanya sang raja saja yang memakai mahkota. Namun kini, siapapun bisa bangga memakai mahkota dengan membelinya. Ya, membeli. Rumah yang bagus, perhiasan mewah, mobil impor, karir yang menanjak sudah cukup membuat sekelompok orang merasa bangga. Kesejahteraan yang dipamerkan dalam bentuk upaya menyenangkan hati semua orang seharusnya tidak salah. Namun permasalahan akan timbul di kala orang-orang itu tidak mengetahui cara sesat atau benarkah yang dipakai seseorang dalam mendapatkan mahkotanya. Seseorang sadar telah menempuh jalan yang salah, lalu akan berusaha menutup mulut orang-orang di sekitarnya untuk bertanya. Itu adalah hal yang sangat wajar karena kebanggaan adalah sesuatu yang berharga, dan rongrongan terhadap kebanggaan adalah sama dengan tindakan terorisme terhadap eksistensi diri, terhadap kebutuhan sebuah pihak untuk mendapatkan pengakuan.

Kebutuhan mendapatkan pengakuan? Bukankah itu penyakit temporer yang diderita para ABG? Sedangkan usia kita di sini sudah terlalu kadaluarsa untuk disebut ABG. Jangan salah, kebutuhan mendapatkan pengakuan itu adalah milik siapa saja, untuk segala umur. Pencipta karakter Hello Kitty pun masih merasa perlu meluruskan jati diri si tokoh yang identik dengan warna pink, meski kini Kitty telah berumur 40 tahun. Dalam sebuah jumpa pers diungkapkan bahwa meski berwajah mirip kucing, Kitty bukanlah seekor kucing. Ia adalah anak manusia yang berkulit putih, tidak tinggal di Inggris dan bermata sipit. Mungkin Kitty mengalami guncangan hebat secara psikologis, kehilangan sesuatu, ditinggalkan oleh seseorang atau menjadi korban perang, sehingga ia membonsaikan dirinya sendiri dalam kenangan atas masa kecil yang membahagiakan. Waktu berlalu, dan Kitty dalam umurnya yang ke-40 tetap menjadi seorang anak kelas 3 SD, mungkin untuk selamanya.

Suatu negara pasti pernah meragukan rasa cinta para warga negara terhadap dirinya. Oleh karena itulah slogan-slogan patriotism digembar-gemborkan demi untuk mengingatkan warga negara agar selalu mencintainya. Ibarat seorang kekasih yang menaruh curiga akan kesetiaan belahan jiwanya. Ia membutuhkan pengakuan untuk menyembuhkan keragu-raguannya, yang mana adalah penyakit hati yang telah dibuatnya sendiri. 

Ya, keraguan yang kita bayangkan sesungguhnya hanya ilusi. Ilusi yang timbul bukan karena pengaruh narkoba, melainkan karena keputusasaan setelah menyadari kekurangberuntungan nasibnya sebagai obyek yang harus tunduk terhadap perintah orang lain, kaum linuwih (lebih) dalam hal apa saja dibandingkan dengan nasib mereka sendiri.

Selama beratus tahun sebelum kedatangan para perantau Hindustan, setiap tanah di Nusantara telah memiliki dan mengembangkan kemampuan untuk mengorganisasi diri mereka menjadi sebuah kelompok besar yang bergerak berdasarkan kesepakatan. Pemimpin bukanlah jabatan untuk dipamerkan, melainkan koordinator yang bertugas merumuskan dan menyimpulkan kebijakan terbaik berdasarkan banyak pendapat. Meski demikian, bukan berarti sistem yang lahir di awal kisah sejarah manusia Bumi dituliskan ini bebas dari prahara. Friksi tetap saja terjadi, dan tak jauh beda dengan masa kini, ujung pangkal masalah selalu tak lain dan tak bukan adalah tentang uang dan usaha mendapatkan makanan. Makanan yang enak akan memuaskan lidah, namun hanya kebanggaan dan kehormatanlah yang mampu memusnahkan rasa haus oleh pengakuan. Makanan yang enak bisa dibeli. Jadi, bisakah kita membeli kebanggaan?

Membiasakan diri dengan kehinaan
Mungkinkah dahulu tanah ini begitu penuh sesak oleh keajaiban, sehingga siapapun yang berdiam di atasnya tak pernah ingin meninggalkannya? Bahwa tanah ini ditakdirkan menjadi comfort zone, zona nyaman yang mampu menghidupi manusia rakus yang menjelajahi punggung-punggung perbukitan, tinggal di dalam gua dan menghabiskan waktu dengan melukis gambar tangan atau monyet. Kehidupan yang sangat sederhana menjadi pilihan bukan karena kebodohan atau kurang ilmu pengetahuan. Melainkan karena mereka tiadanya keinginan untuk hidup melampaui batas, dan berakibat menyinggung perasaan orang lain. 


Naif, Anda bilang?  Ya, memang. Dan kini Anda pun tahu sebuah sisi dari karakter nenek moyang kita yang sebenarnya. Sekumpulan orang pecinta ketentraman yang suka berkumpul bersama keluarga dan tetangga dan teman-teman yang jauh. Sangat kaya karena berkat makanan yang disediakan hutan secara gratis. Suatu paguyuban yang tak pernah menanti undangan pesta, karena mereka berpesta setiap hari dalam keramahtamahan alam yang mencintai ketidakserakahan. 

Namun, alam bukanlah suatu individu dengan karakter penuh kedamaian. Alam yang cantik, halus tutur katanya  dan baik hati seperti Dewi Parwati, bisa menjelma menjadi kekuatan yang menghancurkan, menjadi sumber bagi semua penderitaan dan kemalangan, seperti Dewi Parwati yang menjelma menjadi Dewi Kali ketika tersulut emosi, tak segan meletakkan kaki di dada Siwa, orang yang dicintainya. Apakah ini juga merupakan suatu pertanda bahwa penyakit psikologis gangguan emosi atau bipolar disorder telah menjangkiti manusia ribuan tahun yang lampau? Bisa jadi. Yang jelas, ada sesuatu yang hilang di masa ketika para perantau negri yang jauh itu datang. Semenjak kedatangan mereka, para nenek moyang pribumi mendadak setuju meninggalkan sistem yang dibuatnya, seolah hasil karya entah-siapa-itu yang telah mereka praktekkan sejak masa ayah mereka dan ayah dari ayah mereka dan ayah dari ayah ayah mereka dan seterusnya adalah sesuatu yang hina dan tak pantas dibanggakan.

Para nenek moyang berusaha membiasakan diri hidup dalam kehinaan dengan mengadaptasikan diri terhadap pengaruh baru, berusaha mempelajari baik-baik nilai-nilai baru. Dan dengan penuh penghormatan terhadap para pendahulu yang membentuk sistem mereka, pengaruh baru itu dilunakkan dengan tutur bahasa yang halus dan mungkin juga rayuan, bahwa ada kesamaan di antara pengaruh asli dan pengaruh baru, jadi mengapa kita tidak menyatukan diri saja. Suatu pilihan yang sangat amat mengesankan karakter oportunis alami suatu bangsa, bukan? 


Tapi saya berusaha memandang dari sudut pandang positif, bahwa kompromi mereka lakukan agar budaya asli tak kehilangan tempat dan pengikutnya. Bahwa dalam kedamaian yang seolah-olah itu mereka menyimpan penyesalan karena merasa terhina di tanah kelahiran mereka sendiri. Hal ini terbukti karena adanya karakter pencitraan, jaga imej, jaga iman, demi gengsi, dsb. dll. dst. yang begitu kental dan terus menerus diajarkan secara turun menurun. Karakter yang disertai tindakan membaik-baikkan diri dengan semua kesempurnaan untuk menutupi kegelapan di bawah permukaan. Menutup-nutupi hal yang hina, kehinaan atau perasaan terhina dengan kebanggaan dan hal-hal yang memancing rasa bangga. Dan mereka tak ragu untuk mengangkat senjata di kala segala upaya artifisial ini menemui kegagalan dalam memusnahkan rasa keterhinaan.


Pesta yang berakhir meninggalkan rasa bangga atau terhina atau tidak ada rasanya, itulah peran kebijaksanaan manusia yang berpesta. Berhasilkah si bijaksana menerima kebanggaan atau kehinaan dengan suka rela, duka cita, atau suka sama suka? Semuanya hanya manusia yang hidup saja bisa menjawabnya. (swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...