“Death
is not the end”
Apa yang terjadi ketika seseorang berhenti bernafas untuk selamanya?
Tidak, kita tidak akan bicarakan tentang kemana nyawanya akan pergi. Neraka dan
Surga memang dikenal di hampir semua agama, tapi tak ada seorang pun di antara
kita yang tahu kebenarannya. Jangan sebut saya ateis loh. Kenyataannya, kita
semua masih hidup bukan? Karena kita masih hidup, maka belum ada seorang pun di
antara kita yang pernah pergi ke sana. Belum ada juga yang kembali dari sana
dan menceritakannya buat kita semua di bawah sini. Tapi, sudahlah. Bukan itu
tujuan saya membuat tulisan ini.
Waktu manusia mati, nyawanya memang telah pergi. Sedangkan tubuhnya masih tertinggal di bumi, dan membusuk bersama dengan waktu. Orang-orang akan bicara tentang dia dan sepak terjangnya waktu masih hidup. Ada juga yang mendoakannya pada tiap 7, 40, 100 hingga 1000 hari setelah kematiannya. Jika dia seorang public figure, kisah hidupnya akan berhari-hari menghiasi layar kaca dan media sosial. Beberapa tahun sesudahnya mungkin ada yang menulis buku tentang dia, membangun monumen atau menamai anjing kesayangan dengan namanya. Singkat kata, seseorang yang pergi ke alam baka pasti meninggalkan sesuatu di belakang.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan hutang. Bukan maksud saya menertawakan ketidakberuntungan seseorang. Lagipula, sejak kapan gading gajah utuh dibiarkan menempel di sana ketika gajahnya mati? Bukankah dalam banyak kasus perburuan liar gajah harus mati dulu dengan cara disembelih agar bisa diambil gadingnya dengan paksa, dan sekelompok pejantan akan bersedia membelinya dengan harga mahal demi meningkatkan kejantanan mereka?
Memendam bom waktu rahasia
Rayuan materi yang semakin menggila bisa menghanyutkan orang pada dua
samudra. Samudra dengan ombak tenggat waktu yang ganas dan tak putus-putus,
buih-buih ketenaran dan gelombang pujian. Orang-orang itu berpikir, hidup adalah mereka dan apa yang ada di diri mereka.
Hidup adalah hari ini, maka nikmatilah dan kejarlah kegemilangan sebelum mati.
Kegemilangan bisa dicapai dengan berbagai cara, tapi cara yang sedang ngetren
belakangan ini adalah menghalalkan segala cara. Jikalau perlu dan berpeluang,
mereka akan membuat dasar hukum yang bisa melegitimasi cara ‘menghalalkan
segala cara’.
Suatu saat nanti, anak, cucu, anak dari cucu kita dan cucu dari cucu kita mungkin masih akan menerapkan cara menghalalkan segala cara, bahkan mungkin sudah mengupgradenya hingga ratusan ribuan versi. Itu karena mereka adalah generasi penerus yang baik, generasi pewaris nan setia pada ajaran generasi pendahulu yang lebih dulu menerapkannya.
Suatu saat nanti, anak, cucu, anak dari cucu kita dan cucu dari cucu kita mungkin masih akan menerapkan cara menghalalkan segala cara, bahkan mungkin sudah mengupgradenya hingga ratusan ribuan versi. Itu karena mereka adalah generasi penerus yang baik, generasi pewaris nan setia pada ajaran generasi pendahulu yang lebih dulu menerapkannya.
Mereka mungkin juga masih ingat pepatah yang kurang lebih berbunyi seperti ini dalam bahasa Jawa : ‘mikul dhuwur mendhem jero.’ Artinya, memikul tinggi-tinggi mengubur dalam-dalam. Seorang anak atau warga Negara sebaiknya mengubur dalam-dalam keburukan, kekurangan maupun aib orangtua atau masyarakat tempat di mana ia tinggal. Menjelek-jelekkan para pendahulu sama dengan melestarikan dendam dan permusuhan. Pepatah ini disebarluaskan dengan tujuan agar semua individu segera move on dari peristiwa pahit apapun dan mengharumkan nama baik keluarga atau Negara.
Kewajiban ‘demi mengharumkan nama …’ dibebankan kepada semua warga
Negara, tua, muda, anak-anak, bahkan mereka yang belum lahir juga mendapat
hadiah ini. Kebiasaan mengubur dalam-dalam membuat kita lupa, apakah melupakan
peristiwa pahit dan menganggapnya tak pernah ada adalah cara terbaik untuk
mencegah peristiwa pahit serupa tidak terulang lagi?
Pembuat pepatah ini mungkin benar-benar hidup di masa lalu, di mana
fenomena supranatural seperti sebuah peristiwa yang mendadak muncul dan
menghilang adalah sesuatu yang biasa. Namun, waktu terus berjalan. Hantu bukan
lagi tercipta dari arwah penasaran, melainkan efek animasi. Peristiwa buruk
terjadi bukan karena seseorang sedang mempraktekkan ilmu hitam, melainkan hasil
dari sekumpulan peristiwa yang saling berkaitan.
Kita menjadi bangsa terbelakang bukan karena bodoh atau gagap
teknologi. Kita terlalu banyak menyimpan sampah, sehingga tak ada ruang dalam
istana pikiran kita untuk menanam hal-hal baik yang lebih konstruktif. Terlalu
banyak aib dan peristiwa buruk yang dikunci dalam brankas, disimpan dan
ditumpuk sampai tinggi, sampai tak ada brankas apapun yang bisa menyimpannya. Akan
tiba saatnya brankas itu akan meledak karena terlalu banyak rahasia yang
disimpan di dalamnya. Kita sedang membuat bom waktu dan kita tak tahu kapan bom
ini bisa meledak.
Melestarikan ‘peninggalan’ para pendahulu
Melestarikan ‘peninggalan’ para pendahulu
Ada kemungkinan Bumi ini akan hancur bukan karena bencana alam, bukan
juga karena tertelan Black Hole. Melainkan akibat semakin meningkatnya jumlah
orang yang tidak sadar kalau mereka sedang sakit jiwa. Mereka juga bukan orang
gila sembarangan yang benar-benar tak tahu siapa dirinya dan dibuang
keluarganya jauh-jauh. Golongan yang saya maksud bertingkah seperti orang
normal dan berpikir delusional. Mereka menjadi gila karena kehilangan kemampuan
menerima dan memahami mana yang impian dan mana yang kenyataan. Bagaimana pun
juga, segila-gilanya orang gila ia tidak berbahaya bagi siapapun, atau Negara
manapun. Orang yang merasa benar padahal dirinya salah, itulah orang yang
paling berbahaya di muka Bumi ini.
Apakah salah kalau saya simpulkan para pendahulu kita itu ternyata
sekelompok orang egois dan paranoid? Mereka telah lama tiada dan tak perlu
menanggung konsekuensi dari prinsip selalu menyimpan aib rapat-rapat. Kematian
telah menyelamatkan muka orang-orang semacam ini karena mereka tak harus
menyaksikan di kala banyak orang beramai-ramai menumpahkan kesalahan padanya.
Lebih baik mati daripada menanggung malu. Jadi sekarang kita tahu kan, depresi
bukan satu-satunya pemicu tindakan bunuh diri.
Saya pernah membaca sebuah diskusi di jejaring sosial Quora yang membicarakan tentang seperti apa rasanya menjadi keturunan dari nenek moyang yang pernah melakukan perbuatan buruk dan memalukan. Para penjawab pertanyaan ini mengakui mereka adalah keturunan dari keluarga tidak baik-baik. Ada yang kakek moyangnya perampok bank, suka menyiksa anak-anak, pedagang budak, terlibat Nazi, penggiat Klu Klux Klan dan ada juga yang pernah terlibat penculikan dan penyiksaan kaum komunis di Brazil.
Saya pernah membaca sebuah diskusi di jejaring sosial Quora yang membicarakan tentang seperti apa rasanya menjadi keturunan dari nenek moyang yang pernah melakukan perbuatan buruk dan memalukan. Para penjawab pertanyaan ini mengakui mereka adalah keturunan dari keluarga tidak baik-baik. Ada yang kakek moyangnya perampok bank, suka menyiksa anak-anak, pedagang budak, terlibat Nazi, penggiat Klu Klux Klan dan ada juga yang pernah terlibat penculikan dan penyiksaan kaum komunis di Brazil.
Mereka mendeskripsikan semua hal buruk yang pernah dilakukan pendahulunya dengan sangat detil, hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi di sini. Mereka tidak merasa bersalah atau merasa bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan nenek moyang mereka. Mengapa harus merasa bersalah atas perbuatan anggota keluarga yang telah mati berpuluh tahun sebelum mereka lahir?
Mereka tahu perbuatan yang dilakukan para nenek moyang jauh dari benar,
dan mereka mengakuinya. Sifat alami manusia, kata mereka, adalah tidak luput
dari kesalahan. Semua yang alami itu memberi kehidupan, tapi sifat alami
manusia cenderung untuk selalu merusaknya. Apakah kita bisa menerima alasan ‘sifat
manusia yang tak luput dari kesalahan’, atau ‘manusia tak ada yang sempurna’
ini sebagai alasan untuk menjustifikasi kesalahan para nenek moyang, untuk
menguburnya dalam-dalam sampai ke dasar dunia?
Tentu bisa. Tapi kesalahan yang mana? (swastantika).