Senin, 23 Mei 2016

WARISAN BOM WAKTU

Death is not the end

Apa yang terjadi ketika seseorang berhenti bernafas untuk selamanya? Tidak, kita tidak akan bicarakan tentang kemana nyawanya akan pergi. Neraka dan Surga memang dikenal di hampir semua agama, tapi tak ada seorang pun di antara kita yang tahu kebenarannya. Jangan sebut saya ateis loh. Kenyataannya, kita semua masih hidup bukan? Karena kita masih hidup, maka belum ada seorang pun di antara kita yang pernah pergi ke sana. Belum ada juga yang kembali dari sana dan menceritakannya buat kita semua di bawah sini. Tapi, sudahlah. Bukan itu tujuan saya membuat tulisan ini.

Waktu manusia mati, nyawanya memang telah pergi. Sedangkan tubuhnya masih tertinggal di bumi, dan membusuk bersama dengan waktu. Orang-orang akan bicara tentang dia dan sepak terjangnya waktu masih hidup. Ada juga yang mendoakannya pada tiap 7, 40, 100 hingga 1000 hari setelah kematiannya. Jika dia seorang public figure, kisah hidupnya akan berhari-hari menghiasi layar kaca dan media sosial. Beberapa tahun sesudahnya mungkin ada yang menulis buku tentang dia, membangun monumen atau menamai anjing kesayangan dengan namanya. Singkat kata, seseorang yang pergi ke alam baka pasti meninggalkan sesuatu di belakang. 

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan hutang. Bukan maksud saya menertawakan ketidakberuntungan seseorang. Lagipula, sejak kapan gading gajah utuh dibiarkan menempel di sana ketika gajahnya mati? Bukankah dalam banyak kasus perburuan liar gajah harus mati dulu dengan cara disembelih agar bisa diambil gadingnya dengan paksa, dan sekelompok pejantan akan bersedia membelinya dengan harga mahal demi meningkatkan kejantanan mereka?

Memendam bom waktu rahasia

Rayuan materi yang semakin menggila bisa menghanyutkan orang pada dua samudra. Samudra dengan ombak tenggat waktu yang ganas dan tak putus-putus, buih-buih ketenaran dan gelombang pujian. Orang-orang itu berpikir, hidup adalah mereka dan apa yang ada di diri mereka. Hidup adalah hari ini, maka nikmatilah dan kejarlah kegemilangan sebelum mati. Kegemilangan bisa dicapai dengan berbagai cara, tapi cara yang sedang ngetren belakangan ini adalah menghalalkan segala cara. Jikalau perlu dan berpeluang, mereka akan membuat dasar hukum yang bisa melegitimasi cara ‘menghalalkan segala cara’. 

Suatu saat nanti, anak, cucu, anak dari cucu kita dan cucu dari cucu kita mungkin masih akan menerapkan cara menghalalkan segala cara, bahkan mungkin sudah mengupgradenya hingga ratusan ribuan versi. Itu karena mereka adalah generasi penerus yang baik, generasi pewaris nan setia pada ajaran generasi pendahulu yang lebih dulu menerapkannya.

Mereka mungkin juga masih ingat pepatah yang kurang lebih berbunyi seperti ini dalam bahasa Jawa : ‘mikul dhuwur mendhem jero.’ Artinya, memikul tinggi-tinggi mengubur dalam-dalam. Seorang anak atau warga Negara sebaiknya mengubur dalam-dalam keburukan, kekurangan maupun aib orangtua atau masyarakat tempat di mana ia tinggal. Menjelek-jelekkan para pendahulu sama dengan melestarikan dendam dan permusuhan. Pepatah ini disebarluaskan dengan tujuan agar semua individu segera move on dari peristiwa pahit apapun dan mengharumkan nama baik keluarga atau Negara.

Kewajiban ‘demi mengharumkan nama …’ dibebankan kepada semua warga Negara, tua, muda, anak-anak, bahkan mereka yang belum lahir juga mendapat hadiah ini. Kebiasaan mengubur dalam-dalam membuat kita lupa, apakah melupakan peristiwa pahit dan menganggapnya tak pernah ada adalah cara terbaik untuk mencegah peristiwa pahit serupa tidak terulang lagi?  

Pembuat pepatah ini mungkin benar-benar hidup di masa lalu, di mana fenomena supranatural seperti sebuah peristiwa yang mendadak muncul dan menghilang adalah sesuatu yang biasa. Namun, waktu terus berjalan. Hantu bukan lagi tercipta dari arwah penasaran, melainkan efek animasi. Peristiwa buruk terjadi bukan karena seseorang sedang mempraktekkan ilmu hitam, melainkan hasil dari sekumpulan peristiwa yang saling berkaitan.

Kita menjadi bangsa terbelakang bukan karena bodoh atau gagap teknologi. Kita terlalu banyak menyimpan sampah, sehingga tak ada ruang dalam istana pikiran kita untuk menanam hal-hal baik yang lebih konstruktif. Terlalu banyak aib dan peristiwa buruk yang dikunci dalam brankas, disimpan dan ditumpuk sampai tinggi, sampai tak ada brankas apapun yang bisa menyimpannya. Akan tiba saatnya brankas itu akan meledak karena terlalu banyak rahasia yang disimpan di dalamnya. Kita sedang membuat bom waktu dan kita tak tahu kapan bom ini bisa meledak.

Melestarikan ‘peninggalan’ para pendahulu

Ada kemungkinan Bumi ini akan hancur bukan karena bencana alam, bukan juga karena tertelan Black Hole. Melainkan akibat semakin meningkatnya jumlah orang yang tidak sadar kalau mereka sedang sakit jiwa. Mereka juga bukan orang gila sembarangan yang benar-benar tak tahu siapa dirinya dan dibuang keluarganya jauh-jauh. Golongan yang saya maksud bertingkah seperti orang normal dan berpikir delusional. Mereka menjadi gila karena kehilangan kemampuan menerima dan memahami mana yang impian dan mana yang kenyataan. Bagaimana pun juga, segila-gilanya orang gila ia tidak berbahaya bagi siapapun, atau Negara manapun. Orang yang merasa benar padahal dirinya salah, itulah orang yang paling berbahaya di muka Bumi ini.

Apakah salah kalau saya simpulkan para pendahulu kita itu ternyata sekelompok orang egois dan paranoid? Mereka telah lama tiada dan tak perlu menanggung konsekuensi dari prinsip selalu menyimpan aib rapat-rapat. Kematian telah menyelamatkan muka orang-orang semacam ini karena mereka tak harus menyaksikan di kala banyak orang beramai-ramai menumpahkan kesalahan padanya. Lebih baik mati daripada menanggung malu. Jadi sekarang kita tahu kan, depresi bukan satu-satunya pemicu tindakan bunuh diri.

Saya pernah membaca sebuah diskusi di jejaring sosial Quora yang membicarakan tentang seperti apa rasanya menjadi keturunan dari nenek moyang yang pernah melakukan perbuatan buruk dan memalukan. Para penjawab pertanyaan ini mengakui mereka adalah keturunan dari keluarga tidak baik-baik. Ada yang kakek moyangnya perampok bank, suka menyiksa anak-anak, pedagang budak, terlibat Nazi, penggiat Klu Klux Klan dan ada juga yang pernah terlibat penculikan dan penyiksaan kaum komunis di Brazil.

Mereka mendeskripsikan semua hal buruk yang pernah dilakukan pendahulunya dengan sangat detil, hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi di sini. Mereka tidak merasa bersalah atau merasa bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan nenek moyang mereka. Mengapa harus merasa bersalah atas perbuatan anggota keluarga yang telah mati berpuluh tahun sebelum mereka lahir?

Mereka tahu perbuatan yang dilakukan para nenek moyang jauh dari benar, dan mereka mengakuinya. Sifat alami manusia, kata mereka, adalah tidak luput dari kesalahan. Semua yang alami itu memberi kehidupan, tapi sifat alami manusia cenderung untuk selalu merusaknya. Apakah kita bisa menerima alasan ‘sifat manusia yang tak luput dari kesalahan’, atau ‘manusia tak ada yang sempurna’ ini sebagai alasan untuk menjustifikasi kesalahan para nenek moyang, untuk menguburnya dalam-dalam sampai ke dasar dunia?

Tentu bisa. Tapi kesalahan yang mana? (swastantika).

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...