Kamis, 30 Mei 2019

“Mulutku, Harimauku”


Di era kekinian ini mustahil rasanya kita bisa hidup tanpa membeli barang atau menjadi konsumen suatu produk atau layanan. Tanpa adanya perilaku mengonsumsi sesuatu, ekonomi tidak bisa tumbuh dan berkembang. Di sisi lain, semua negara membutuhkan perolehan data konsumsi yang tinggi karena hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat merasa aman dan percaya pemerintah mampu mengendalikan situasi.  Dengan sendirinya, keyakinan ini membuat masyarakat merasa bebas membelanjakan uang. Masalahnya, tidak semua orang mempunyai kemampuan mengelola uang agar jangan sampai pasak lebih besar daripada tiang. Hal ini karena kemampuan mengelola uang erat kaitannya dengan kemampuan mengelola emosi.

Sebenarnya apa sih yang melatarbelakangi seseorang untuk mengkonsumsi lebih daripada yang ia butuhkan? Bisa jadi karena kebosanan dalam hidup. Semua manusia akan dan pernah mengalami sebuah fase tertentu di mana kehadiran orang-orang tercinta dan para sahabat di sekelilingnya tidak bisa membuatnya merasa bahagia. Tidak kehujanan atau kepanasan dan bisa makan tiga kali sehari ternyata tidak cukup memuaskan hidupnya. Lantaran tidak tahu bagaimana mengakhiri kegelisahan itu, manusia membeli demi memenuhi hasrat-hasrat kecil nan sesaat. Celakanya, kaum perempuan termasuk golongan yang sangat rentan terhadap konsumerisme. Ada anggapan yang mengatakan perempuan berpikir dengan perasaannya, dan inilah mengapa dorongan emosi mengakibatkan sejumlah perempuan terjerat perilaku konsumtif.

Apakah gaya hidup sederhana sudah cukup untuk mengendalikan perilaku konsumtif? Tidak juga, karena setiap manusia tidak memiliki level yang sama dalam hal daya tahan terhadap godaan iklan. Akan tetapi, tidak ada satu cara yang bisa diterapkan dan membuahkan hasil yang sama pada setiap orang dalam hal membangun pertahanan diri. Mengingat kita tidak dapat berharap sepenuhnya pada keampuhan sebuah cara yang sudah mainstream, maka satu-satunya jalan adalah membangun pertahanan dalam diri sesuai cipta, rasa, dan karsa masing-masing. Membangun pertahanan diri itu tidak sulit karena ini akan terbangun dengan sendirinya bila individu sudah menemukan jati dirinya, yaitu kesadaran akan siapa dirinya dan tujuan hidupnya.  Masalahnya, banyak yang cenderung menyangka perjalanan mencari jati diri akan berhenti bila manusia sudah mencapai usia tertentu, atau pencarian jati diri hanyalah milik para remaja. Padahal, perjalanan hidup manusia dan menjadi tua adalah sebuah evolusi. Dengan kata lain, selagi masih hidup manusia bisa merubah dirinya menjadi apapun yang ia inginkan.  

Bukan superhero

Sebuah grup Instagram Indonesia Tanpa Feminis diluncurkan 17 Maret lalu dengan mengusung slogan “Tubuhku bukan milikku; Indonesia tidak membutuhkan feminisme.” Pandangan ini juga tercermin dalam komentar salah satu follower mereka yang berbunyi, ““Mereka bilang, mereka setuju dengan konsep feminisme karena wanita butuh kesetaraan… Padahal dalam Islam, wanita tak perlu setara karena sejatinya wanita sungguh dimuliakan… Ia dijaga oleh ayahnya , dijaga oleh saudara laki-lakinya dan dijaga oleh suaminya.” Pihak yang mendukung gerakan ini berdalih, adat dan budaya Indonesia pada umumnya berpihak pada perempuan dalam hal menghormati dan memuliakan. Para lelaki dididik untuk melindungi perempuan dan sudah banyak perempuan menjadi bos, bahkan ada yang menjadi presiden, jadi untuk apa ada feminisme?

Memang sih, dewasa ini sudah jarang sekali kita menemukan perempuan berpendidikan rendah atau tidak bisa membaca. Ada banyak perempuan yang sudah berhasil menemukan potensi dirinya dan mencapai aktualisasi diri tertinggi sehingga menjadi terdepan di antara kaumnya, bahkan lawan jenisnya. Namun, bagaimana dengan mereka yang karena sesuatu hal saat ini berada di posisi yang “biasa-biasa saja” (dan “biasa-biasa saja” di sini tidak ada kaitannya dengan penampilan fisik, karena ciptaan Tuhan itu semuanya cantik)? Jumlah golongan “biasa-biasa saja” ini pun tidak sedikit, berlimpah ruah. Saya tergelitik untuk membayangkan, apakah yang terbersit dalam benak para perempuan yang “biasa-biasa saja” ini ketika mereka menonton acara gosip selebritis atau membaca tentang tindakan gagah berani Bu Susi Pudjiastuti menenggelamkan kapal pencuri ikan dari negara lain. Apakah mereka akan tergerak untuk menyerap semangat para tokoh perempuan itu dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, atau malah merasa tersudut, rendah diri, dan semakin yakin bahwa diri mereka memang tidak istimewa?

Pada dasarnya, semua manusia memiliki potensi. Adalah daya pandang terhadap diri sendiri yang tidak pernah diasah menjadi penyebab kita tidak dapat melihat keistimewaan di dalam kita. Sesungguhnya, kita tidak perlu menjadi superhero dulu supaya bisa bangga dengan keberadaan diri. Introversi, atau beralihnya minat seseorang terhadap apa yang terjadi di dalam dirinya, sebenarnya tidak sulit dilakukan. Siapa saja bisa melakukannya dengan berlatih mengundurkan diri sejenak dari hingar bingar duniawi untuk mengamati gejolak-gejolak di dalam pikiran dan perasaannya. Sekian menit untuk sekedar mengamati, tidak larut, dan tidak pula memberontak. Cukup diam dan mengamati. Sebuah pengingat dinyalakan sekedar untuk mengingatkan bila waktu diam sudah habis. Bila alarm sudah berbunyi, itu tandanya kita kembali pada realitas dan di sanalah akan ditemukan jawaban di mana potensi kita berada. Potensi yang membuat kita merasa berharga, walaupun tanpa meniru-niru tingkah polah para selebritis wanita, walaupun tak memiliki barang-barang mewah, walaupun misalnya kita hanya sekelompok emak-emak. Dengan melatih kesadaran akan adanya potensi diri, diharapkan akan muncul pula sebuah pencerahan tentang milik siapakah sebenarnya tubuh seorang perempuan.

Berkompromi dengan hawa nafsu

Pada Oktober 2017, dicetuskan gerakan sejuta tagar #MeToo sebagai aksi online menentang kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami para perempuan di tempat kerja. Teknis pelaksanaan gerakan ini adalah, para perempuan di berbagai belahan dunia beramai-ramai memposting di media sosial tentang tindakan kekerasan atau pelecehan seksual yang pernah dialaminya. Aksi ini berhasil membuka mata khalayak tentang ketidakadilan yang dialami sebagian kaum perempuan, juga berhasil menyeret sejumlah figur lelaki dengan nama besar. Ada politisi, olahragawan, penyanyi, aktor, produser film, penulis naskah, bankir, ilmuwan, sampai bintang film porno. Respon masif dari seluruh dunia membuat sejumlah pihak menilai gerakan MeToo adalah gerakan feminism gelombang keempat yang patut dicatat dalam sejarah. Saya tidak menyepelekan perasaan terhina dan trauma yang dialami para korban. Saya sangat setuju para pelaku mendapat ganjaran yang setimpal. Kekerasan dan pelecehan seksual sudah mengambil sesuatu secara paksa dari para korban, dan itu tidak akan pernah kembali.  Namun segarang-garangnya kita menghakimi dan mempermalukan para pelaku, apa yang sudah terjadi tidak dapat dibatalkan.

Menurut narasi MeToo, tempat kerja bisa jadi tempat yang berbahaya buat kaum perempuan. Benarkah demikian? Pada kenyataannya, ruang publik menyimpan potensi bahaya yang lebih besar karena seringkali masyarakat tidak menyadari tindakan pelecehan seksual yang sedang terjadi di bawah hidung mereka. Gerakan MeToo tersebut belum sepenuhnya berhasil merumuskan jawaban atau solusi untuk satu masalah krusial, bagaimana perempuan harus bersikap agar tidak mengalami situasi di mana dirinya direndahkan oleh lawan jenisnya, baik secara fisik maupun verbal? Kesadaran akan “milik siapakah tubuh ini?” mendapat tantangan ketika perempuan mencoba mengaktualisasi diri di luar zona nyamannya. Kesadaran itu nantinya juga akan membuat perempuan mempertanyakan hal-hal yang menggalaukan batin seperti: “apakah saya sudah memiliki hidup yang seperti saya inginkan?”, “apakah makna hidup saya?”, dan banyak lagi. Untuk mengurai benang kusut ini, marilah kita menggulung kesadaran itu ke dalam diri masing-masing.

Pada dasarnya, libido adalah sesuatu yang tidak dipisahkan dari tubuh manusia. Pemahaman tentang tubuh sendiri dan tubuh liyan membuat hidup menjadi lebih bermakna. Manusia tidak lagi hidup kesepian karena ia bisa dan boleh memiliki pasangan, kecuali bila ia mengambil jalan mengabdi pada Tuhan dan mengesampingkan keduniawian. Namun ada sebagian orang, yang entah karena kurang terdidik atau kurang tahu bagaimana cara menarik perhatian lawan jenis, memaksakan hawa nafsunya pada lawan jenis yang diincarnya. Latar belakang inilah yang dapat mematikan langkah seorang perempuan, ketika ia tidak berani berbuat sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan lantaran khawatir menjadi obyek. Kita tidak dapat menganggap hal ini sekedar anxiety atau rasa khawatir yang berlebihan, karena MeToo (dengan plus dan minusnya) sudah ungkapkan banyak kisah pahit. Padahal, selain sebagai ayah, suami, kekasih, saudara, atau anak, kaum lelaki sesungguhnya bisa menjadi sahabat terbaik yang pernah dimiliki kaum perempuan. Ia bisa menjadi rekan yang penuh respect dan bisa diandalkan untuk saling bahu membahu menyelesaikan misi bersama.
Dengan memperbanyak berlatih hidup bermasyarakat, perempuan bisa lebih terampil membaca situasi agar langkah mencapai cita-citanya tidak surut dan ia mampu menjaga kehormatan dirinya. 

Dalam perjalanan mengaktualisasi diri, siapa saja akan mengalami situasi di mana mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan masyarakat di sekelilingnya. Menurut apa yang saya pelajari semasa kuliah, tampil beda itu bebas dan boleh sepanjang kita dapat merumuskan konsep mengapa kita memilih untuk menjadi atau berpikiran berbeda. Siapa saja, lelaki dan perempuan, memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan pendapat sesuai isi hati dan pikiran masing-masing. Akan tetapi, masih banyak dari kita yang sebatas reaktif terhadap komentar yang ditujukan pada kita dan kita membenarkan sikap ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Asal tahu saja, kita juga berhak memperkaya ilmu pengetahuan yang ada kaitannya dengan cara-cara terbaik menyampaikan pendapat atau gagasan. Semua orang berhak untuk menjadi dewasa dalam bersikap maupun berkata-kata. Dalam hidup bermasyarakat, ada batas-batas yang perlu dijaga untuk meminimalisir letupan-letupan api kecil. Batas-batas itu kita pertahankan bukan hanya dengan menjaga penampilan fisik agar sesuai dengan kaidah yang berlaku dan diterima masyarakat secara umum. Menjaga lidah juga sangat penting, agar kita bisa mengasah kemampuan menghargai ucapannya sendiri, sebelum mengharap orang lain dapat menghargai keberadaan diri kita. Mengasah kemampuan agar seorang perempuan (dan laki-laki) pada akhirnya berani berucap, “Mulutku, Harimauku”.
(swast) 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...