Sabtu, 31 Maret 2012
HARGA KEBEBASAN
TVRI
memegang monopoli siaran televisi semenjak kelahirannya di awal 70-an dan
sekaligus membuka jalan bagi era keemasan para biduan pada masa itu. Para
penonton se-Indonesia tidak ada yang tidak mengenal, menikmati segenap talenta
dan performanya di atas pentas. Mereka tidak punya kekhawatiran akan kalah bersaing dengan para
biduan asing, karena akses khalayak kesana terbatasi. Di sisi lain, ketiadaan
media alternatif menyuburkan keseragaman di segala bidang. Bukan saja ranah
hiburan maupun lifestyle, informasi politik, ekonomi, sosial dan budaya pun
seragam.
Aneh, setelah waktu berlari cepat bersama perkembangan teknologi dan
komunikasi, kecenderungan itu belum juga berubah. Fashion dan musik adalah
sekedar pengulangan dari era-era sebelumnya. Namun mengapa selera anak muda
kita terhadap musik dan gaya hidup tetap saja seragam ? Mereka setuju tanpa
syarat mengikuti saran media massa dan internet tentang apa trending topic di hari ini. Seakan
didera kekhawatiran yang amat sangat terhadap kemungkinan menyandang predikat ‘
kamseupay ‘ jika tidak cepat-cepat merespon perubahan arus dengan mengkonsumsi,
menggemari dan, ujung-ujungnya, membeli salah satu produk hasil kebaruan
tersebut.
‘ Perjuangan Melawan
Lupa ‘
Ketertarikan dan keingintahuan kepada satu dan lain hal adalah berguna dalam
upaya memperkokoh serta menajamkan pengetahuan dan ketrampilan survival sepanjang hayat. Tapi, tunggu
dulu, adakah keingintahuan Anda terangsang karena gemerlap dari luarnya sesuatu
hal tersebut ? Apakah karena beroleh kesempatan dikelilingi gadis-gadis
sehingga putra Anda tertarik mengikuti audisi boyband ? Apakah karena menjadi politisi itu sungguh bergelimang
uang untuk melunasi hutang maka mereka berpaling dari idealisme vox populi ? Ataukah karena
raja-raja dalam film dan legenda itu terlalu pesolek, lebay mendandani
diri dengan perhiasan mutu manikam imitasi sekadarnya untuk menaikkan citra
diri ?
Artifialisme ( artificial = buatan, seolah-olah, palsu ) semacam inilah yang
kelak dimanfaatkan pihak lain untuk menggiring kita ke dalam sebuah sangkar.
Semua sudah direncanakan, disiapkan dan diatur oleh panitia penyelenggara yang
bertugas memutar paksa kepala kita kepada sebuah arah serta memasangkan
sepasang kacamata kuda. Tujuannya hanya satu, yaitu agar kita hanya
berkemampuan untuk memahami, mempercayai dan beropini tentang sesuatu hal
sesuai sudut pandang para empunya kepentingan sahaja.
Memang tidak akan menyakiti siapapun secara fisik. Namun sanggup mengantarkan
peradaban sekelompok manusia ke jurang kehancuran. Entah sampai kapan dicekoki,
dininabobo lalu ditipu. Mungkin sampai seumur hidup dikarbitkan menjadi sosok
yang berkarakter, berperilaku, berpola pikir, berbudaya sesuai keinginan
mereka. Yaitu, untuk mudah
dijinakkan, ditundukkan dan dikendalikan. Sehingga meminimalisir resiko
sekecil-kecilnya terhadap potensi perlawanan atau anarki.
Kita toh tetap akan berjalan
dengan dua kaki, makan dengan tangan kanan, cebok dengan tangan kiri. Di
permukaan kita adalah manusia yang berhasil dipaksa untuk menjadi wajar dan
biasa. Rutinitas ibarat lingkaran yang melilit akal dan nafsu, sehingga yang
bersemayam di benak hanyalah makan dan cara mencari makan. Namun, peraturan
yang artificial tak dapat dipungkiri juga melahirkan kepatuhan artificial, dan
bukannya kesadaran terhadap alasan ‘ mengapa harus patuh itu sendiri ‘. Jadi
kita pun wajib memaklumi seandainya suatu saat tiba-tiba muncullah
pembangkangan massal, penyimpangan perilaku dan kepribadian, penolakan terhadap
norma-norma, pelanggaran terhadap peraturan, hukum dan undang-undang,
penyelewengan kepercayaan dan cinta, pemberontakan atas keharmonisan keluarga
bahagia.
Budaya modern adalah ibarat meneguk anggur merah. Bergalon-galon sudah
habis kita tenggak, namun dahaga tak kunjung sirna. Mengikuti mainstream mungkin salah satu jalan
teraman untuk menghabiskan sisa usia. Kita tak perlu repot-repot mencari
atau melarutkan diri ke dalam kegalauan abadi terhadap masa depan alam
seisinya. Cukup menikmati, mengamini dan meniru apa yang sedang dan sering
sekelebat berkilauan. Namun bersediakah selamanya dikutuk sebagai para gundah
gulana sampai mati
?
Lost And Found
“Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni “ ( Wikipedia ). Oleh karena Bumi
terdiri dari lebih dari satu jenis iklim, cuaca dan kondisi geografis, maka
itulah yang melatarbelakangi keberagaman budaya di antara manusia sebagai
penghuninya.
Manusia yang tinggal di belahan
Utara dan Selatan Bumi harus bertahan dan menyesuaikan diri di tiap-tiap
pergantian empat musim ( salju, gugur, semi, panas ) selama satu tahun.
Sedangkan sebagian lain yang berdiam di daerah khatulistiwa cukup menghadapi
dua musim saja per tahunnya ( hujan dan kemarau ). Mereka beruntung sekali
karena tantangan yang dihadapi saudara-saudaranya di belahan Utara dan Selatan
jauh lebih berat. Apa mau dikata, keberuntungan tersebut ternyata bermata
dua, kesialan di salah satunya. Akibat terbentuknya watak manja dan mahir
potong kompas ( mencari jalan terpintas ) memaksa mereka untuk selalu dan
sering kali tertinggal jauh di belakang langkah para saudara penghuni Bumi di
Utara.
Adakah faktor yang sama jua menjadi penyebab kaum penghuni Negara tropis takluk
di bawah hegemoni segala bidang ( dan terutama pula budaya ) bikinan kaum
penghuni Negara subtropis ? Walahu-alam. Yang jelas, Universal Declaration of
Human Rights menyatakan : Everyone has
the right to freely participate in the cultural life of the community, to enjoy
the arts and to share in scientific advancement and its benefits. ( Setiap orang mempunyai hak yang sama
untuk berpartisipasi pada kehidupan berbudaya sebuah komunitas, untuk menikmati
seni dan berbagi perkembangan ilmiah berikut segala manfaatnya ). Hak asasi
memang adalah hak kita semenjak lahir ke dunia fana nan kejam ini. Siapakah
yang memberi ? Ya, Hidup. Hiduplah yang pertama kali membebaskan kita untuk
mengakui, memiliki, mengembangkan dan menjadi insan berbudaya, sebelum
manusia menuliskannya dalam wujud Undang-undang.
Kebebasan itu sangat berharga, Kak. Anda yang punya uang pas-pasan tak perlu
khawatir tak mampu membeli, karena tak sebuah mata uang pun di Bumi ini yang
bisa menukarnya. Akan tetapi kebebasan jugalah senjata rahasia yang digunakan
orang-orang berwatak culas, dan menghendaki materi sebesar-besarnya yang
dikumpulkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dalam rangka menjajakan
barang dagangannya. Memanjakan diri dengan menempatkan imajinasi artifisial di
dunia, pengetahuan dan gaya hidup yang bukan milik kita ? Boleh-boleh saja.
Sekali lagi saya katakan, kebebasan itu sangat berharga. Bukan karena darah dan
air mata yang tertumpah demi memperoleh pengakuan atasnya. Melainkan buah yang
akan kita petik sesudahnya : adakah kebebasan itu menjadikan kita nyaman dengan
budaya sendiri dalam menjalani hari-hari.
Langganan:
Postingan (Atom)
Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...
-
Kesulitan ekonomi bukanlah sesuatu yang memalukan, bisa menimpa siapa saja dan di mana saja, mulai dari seorang ibu tunggal di pedesaan samp...
-
Karena satu dan lain hal, kita berutang pada seseorang, sebuah bank, pinjaman online, atau pihak manapun sebagai pemberi pinjaman. Dengan me...
-
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...