Selasa, 25 September 2018

Protes dan Bertahan

Dua makhluk berbeda jenis dan heteroseksual memiliki banyak atau sedikit peluang untuk bertemu, saling jatuh cinta, dan menjalin hubungan. Dahulu, hubungan antar dua manusia yang berbeda jenis biasanya akan masuk ke tahap selanjutnya, yaitu memiliki anak-anak, menantu, dan cucu-cucu. Di kemudian hari ketika sepasang makhluk itu sudah meninggal dunia, keturunan mereka yang masih hidup dan segar bugar dihadapkan pada dua pilihan. Akankah mereka tetap saling menjaga api persaudaraan, atau membiarkannya padam. Di setiap keluarga umumnya memiliki sepasang kakek nenek yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai ini. Mereka ingin agar suatu saat ketika mereka sudah tiada, para keturunannya bisa saling membantu bila ada di antara mereka yang mengalami kesusahan. Ini karena mereka sudah hidup terlalu lama untuk menyadari bahwa hidup manusia tidaklah selalu penuh dengan berkah dan suka cita. Ada kalanya roda kehidupan berbalik arah. Keluarga yang mengalaminya sebaiknya dibantu sebisanya agar mereka punya motivasi untuk membalikkan arah roda kehidupan itu seperti semula.

Kenyataannya, menjaga ikatan persaudaraan agar hangat dan penuh cinta itu lebih sulit daripada teorinya. Lebih rumit daripada sekedar kumpul-kumpul di Hari Raya dan makan bersama. Dua saudara sekandung yang dulunya sepaham bisa jadi tidak lagi sepaham setelah mereka punya pasangan dan anak-anak. Apalagi sebuah keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga inti dari anak pertama, kedua, dst. dan mereka punya anak-anak yang sudah punya anak-anak, dst. Lantaran ingin menjaga kesan supaya tidak ada anggota keluarga inti yang terluka, kadang satu pihak keluarga inti yang merasa tidak sepaham dengan keluarga inti lainnya akan cenderung mengabaikan ketidaksepahaman itu. Keluarga ini mengambil sikap wait and see, menunggu waktu terbaik untuk menyelesaikan ketidaksepahaman. Namun ada juga kelompok keluarga inti lain yang langsung menghilang karena menemui ketidaksepahaman, karena beranggapan ketidaksepahaman itu lebih baik tidak dibicarakan. Toh nanti tidak akan ada yang mau mengalah atau mengakui kesalahan. Langkah mereka diikuti oleh kelompok keluarga lainnya, mereka menghilang satu demi satu. Lambat laun musnahlah ikatan persaudaraan, hanya tinggal nama, foto-foto kenangan, dan makam para tetua saja.

Ketidaksepahaman dan konsekuensinya

Bisakah ketidaksepahaman itu berubah menjadi sepaham dalam waktu singkat, tanpa diskusi debat publik bertele-tele? Jawabannya, bisa. Tapi sayangnya ini tidak abadi. Pada waktu tertentu dan karena kesamaan kepentingan, semua perbedaan disingkirkan untuk membasmi musuh bersama. Bahkan puji-pujian dilontarkan demi mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma dari seseorang yang dibenci setengah mati. Istilahnya, baik karena ada maunya. Terdengar familiar? Pasti lah ya. Pasti ada satu di antara anggota keluarga Anda yang berkarakter seperti itu.

Beberapa waktu lalu sebuah media lokal terbitan Jawa Timur menulis tentang kecurigaan sejumlah pihak terhadap peran Presiden Rusia di balik peristiwa keracunan yang dialami seorang agen ganda bernama Skripal dan putrinya, Yulia. Disinyalir kalau racun yang digunakan adalah Novichok, sebuah racun syaraf yang merupakan buatan Rusia, sehingga dengan demikian pasti Rusia dalangnya. Begitulah menurut pemerintah Inggris. Artikel tersebut menjadi seram karena keracunan Novichok juga dialami Pyotr Verzilov yang namanya menjadi terkenal lantaran menerobos masuk ke lapangan saat pertandingan final Piala Dunia 2018 antara Kroasia vs Prancis sedang berlangsung. Pertandingan sepak bola kelas dunia, apalagi final, adalah gelaran yang ditunggu-tunggu semua lapisan masyarakat, baik pecinta bola sejati atau musiman. Siapa yang tidak geram bila pertandingan sakral itu diganggu seseorang, yang bukan suporter pendukung salah satu tim bahkan. Lalu siapakah gerangan penerobos gagah berani bernama Pyotr Verzilov ini?

Pyotr Verzilov adalah suami dari Nadezhda Tolokonnikova, seorang perempuan anggota band punk asal Rusia, Pussy Riot (Пусси Райот). Awalnya, mereka adalah kolektif yang didirikan tahun 2011 dan terdiri dari lusinan orang, laki-laki dan perempuan, yang saling berbagi tugas melakukan performance art dan sisanya mendokumentasikan aksi mereka dalam bentuk video dan diposting di internet. Salah satu anggota mereka, Garadzha (bukan nama sebenarnya) mengatakan, mereka terbuka buat para simpatisan dari kaum perempuan yang tidak bisa bermain musik. “You don’t have to sing very well. It’s punk. You just scream a lot.” Begitu katanya. Seperti band-band anarcho punk pada umumnya, mereka menyuarakan protes terhadap penguasa yang dipandang represif terhadap kebebasan berekspresi. Pussy Riot mendukung hak-hak LGBT dan mendeklarasikan feminism sebagai latar belakang perjuangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat anti gereja Russian Orthodox dan Presiden Vladimir Putin.

Meski kolektif dan band Pussy Riot sering mengekspresikan ide-ide mereka dalam bentuk performance art, namun aksi mereka bisa dibilang ekstrim, bahkan bagi kalangan scene punk di pelosok dunia. Pada penampilan publik pertama mereka di tahun 2011, para anggota Pussy Riot tampil di stasiun bawah tanah Moskow dan di atas gerbong kereta bawah tanah sambil merobek bantal bulu angsa. Pernah juga mereka tampil di atas atap penjara di mana dua anggota kolektif ditahan di tahun yang sama. Akan tetapi yang paling kontroversial adalah aksi tahun 2012 ketika mereka menerobos masuk ke Cathedral of Christ the Saviour dan sejumlah gereja lain di Moskow dan berjingkrak-jingkrak di altar. Semua aksi ini direkam dan dipublikasikan di dunia maya.

Dalam dunia anarcho punk berlaku dogma bahwa siapa pun harus siap dan bersedia menanggung konsekuensi atas tindakannya. Konsekuensi itu ada dua macam, konsekuensi baik dan konsekuensi buruk. Pussy Riots mendapat dukungan dari beragam kalangan, mulai dari organisasi internasional sekelas Amnesty International, para selebritis (Madonna, Bjork, dan Yoko Ono), politisi (Hillary Clinton), dan pastinya rekan-rekan sesama punk di Amerika Serikat, Eropa, dan sejumlah negara lainnya. Konsekuensi buruknya, para anggota sering keluar masuk penjara karena dianggap mengganggu ketentraman masyarakat. “Invasi” mereka ke sejumlah gereja di Moskow dinilai melecehkan agama, dan mengakibatkan Nadezhda Tolokonnikova, Yekaterina Samutsevich, dan Maria Aloykhina dituntut hukuman penjara dan kerja paksa selama dua tahun. Pada saat itu baik Tolokonnikova dan Aloykhina masing-masing sudah punya anak. Tolokonnikova sempat melakukan aksi mogok makan dalam upaya memrotes pelanggaran HAM di penjara. Meski aksi itu akhirnya berakibat ia harus dirawat di rumah sakit penjara selama beberapa minggu, tetap saja sebagian besar publik Rusia memandang negatif dan ogah-ogahan mendukung perjuangan mereka.

Sebuah petisi online di tahun 2013 diluncurkan untuk memohon pembebasan Tolokonnikova dari penjara, dan saya termasuk salah satu yang ikut menandatanganinya. Tidak banyak perempuan eksis di dunia punk yang sarat dengan imaji kejantanan. Apalagi yang berani melakukan tindakan-tindakan protes bahkan sampai dipenjara karena idealism mereka. Sesungguhnya dunia ini membutuhkan para perempuan seperti mereka yang berani menyuarakan ketidakberesan di sekitarnya. Pertanyaannya, siapkah kita dengan harga dari kebebasan berekspresi itu?

Ketidaksetaraan dan cara mengatasinya

Ngomong-ngomong, selain anarchy, dalam punk juga ada yang namanya equality alias kesetaraan. Dua frase ini seharusnya tidak dipisahkan dan saling mendukung agar siapa pun yang memilih punk sebagai jalan hidup selalu ingat bahwa pada saat pencarian kebebasan, dia tidaklah sedang sendirian. Selama ini para punks menganggap equality adalah kesetaraan diri pribadi dengan teman-teman sesama punk. Padahal selain teman-teman punknya, ada masyarakat, ada pemerintah, dan ada juga tetangga yang sama-sama manusia. Ketika seorang individu mengekspresikan pandangan hidup atau kritiknya terhadap sesuatu, ia berupaya dengan segala cara untuk menarik perhatian siapa pun baik yang memposisikan diri lebih rendah atau lebih tinggi agar mendengarkan suaranya. Dengan kata lain, ia “memaksa” siapa pun yang mendengarnya untuk menilai diri masing-masing sederajat dengannya. Ketika publik sudah mendengar apa isi di dalam perwujudan ekspresinya, diharapkan mereka bertindak secara bersama-sama.

Dibandingkan anarchy yang sering kali dipandang sebagai utopia, sesungguhnya equality masih dan akan selalu relevan dengan kekinian. Hal ini karena ketidaksetaraan akan selalu ditemukan di pelosok Bumi mana pun, tanpa memandang warna kulit, bahasa, kondisi geografis, ataupun ukuran celana. Dewasa ini, ketidaksetaraan adalah ancaman nyata setelah genderang perang dagang ditabuh oleh dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan Cina. Masing-masing pihak berdalih menaikkan tarif impor demi melindungi pasar dan kesejahteraan rakyatnya masing-masing. Inilah contoh pahit ketika patriotism mengambil alih rasionalitas dan mendorong kedua negara dalam ajang berbalas menaikkan tarif. Yang namanya perang pasti akan memakan korban, begitu pula dalam perang dagang ini. Dampak perang dagang meluas juga ke negara-negara lain di seluruh penjuru dunia, baik Asia, Afrika, dan Eropa, pada semua negara yang menjual produk mereka ke Amerika Serikat, termasuk Indonesia pastinya.

Kita sebagai masyarakat kebanyakan belakangan sudah mulai merasakan percikan api perang dagang ini dengan menguatnya dolar terhadap rupiah. Namun menuntut pemerintah agar menaikkan nilai rupiah dengan segera adalah irasional, karena selain akibat perang dagang, pelemahan rupiah saat ini sesungguhnya adalah buah dari sikap dan pandangan berbisnis yang telah menahun dan kita terlanjur menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Misalnya, kelangkaan komoditas tertentu secara mendadak dari pasar, atau naiknya sejumlah bahan pokok di event-event tertentu. Apakah merubah hal ini dengan segera akan menaikkan nilai rupiah? Sepertinya itu sulit untuk dilakukan bukan? Menurut prediksi, menaikkan ekspor adalah salah satu cara untuk bertahan dari perang dagang ini. Kita sebagai warga biasa sebenarnya bisa mendukung upaya itu dengan menjual kemampuan dan produk ke luar negeri. Penduduk Indonesia ini puluhan juta jumlahnya. Itu hanya usul saja sih dari saya yang tidak tahu apa-apa tentang dunia ekonomi dan finansial. Tapi bila semuanya tergerak melakukan hal yang sama, paling tidak bersama-sama mencari solusi sesuai bidang kita masing-masing untuk mengatasi dampak buruk kenaikan dolar, kita akan dipandang sebagai bangsa yang berdaya meski tidak bisa menang dalam perang dagang ini. Bukankah Leo Tolstoy pernah berkata, “The two most powerful warriors are patience and time”?

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah protes. Pastinya bukan protes ke pemerintah lokal ya, tapi protes ke pemerintah AS. Sejumlah band punk sudah punya lagu sentiment negatif terhadap AS, seperti The Exploited (Fuck The) USA, The Clash (I’m so Bored with the USA), We Called It America (NOFX), dan termasuk Pussy Riot yang sudah merilis Make America Great Again (sebuah lagu punk yang menyindir Donald Trump) sesaat sebelum pemilu presiden AS berlangsung. Dengan situasi terkini yang semakin memanas, ada kemungkinan daftar lagu-lagu sejenis akan bertambah panjang. Ketidaksepahaman antar anggota keluarga yang direspon dan diekspresikan secara ekstrim itu berbahaya, karena bisa membuat kita melupakan bahaya lain dan lebih ganas yang siap mengunyah kita sampai lumat. Alasan lainnya, peluang kita menyerang tapi salah sasaran juga terbuka lebar. (swastantika)



Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...