Senin, 29 Juli 2013

SIAP TERBANG?


SISA-SISA ZAMAN



Pada sebuah pagi berangin di bulan Mei tahun ini, sebuah traktor menarik benda aneh beroda yang berukuran sama dengan lemari es melalui deretan tunas tanaman slada di Lembah Salinas Kalifornia. Masih lokasi yang sama dan terpisah dengan jarak beberapa meter saja, para insinyur Lembah Silikon sedang bekerja mengoperasikan software melalui laptop untuk memastikan mesin tersebut memisahkan tunas slada yang telah berdaun dengan benar. Para insinyur yang dipekerjakan oleh sebuah perusahaan pertanian di Salinas tersebut sedang menguji “Robot Slada” (Lettuce Bot), sebuah perangkat mesin yang mampu memanen ladang slada yang biasanya dilakukan oleh 20 orang pekerja dengan menggunakan tangan.

Di daerah yang dikenal dengan sebutan America’s Salad Bowl tersebut buah-buahan dan sayuran telah ditanam, dipelihara dan dipanen oleh sekumpulan pekerja imigran  selama berabad-abad, sehingga penggunaan mesin dapat menghasilkan sesuatu yang revolusioner.  Meskipun menelan biaya jutaan dolar, para pemilik lahan mengatakan bahwa robot menguntungkan bagi investasi, yaitu penghematan biaya produksi sehingga mereka dapat terbebas dari pekerja jangka pendek, dan mengurangi arus kedatangan imigran gelap ke Amerika Serikat (yang sebagian besar berasal dari Meksiko).  

Salah seorang kepala eksekutif perusahaan perancang robot slada mengatakan, mereka telah menempuh jalan cukup panjang untuk merealisasikan robot yang tidak akan mereka jual secara komersial di pasaran. Perusahaan harus menghadapi penolakan dari kalangan serikat pekerja setempat, dikarenakan mekanisasi pertanian mengkibatkan para pekerja kehilangan pekerjaan dan makanan menjadi makin tidak aman untuk dikonsumsi akibat penggunaan pestisida secara berlebihan. Namun sang kepala eksekutif membantah, “Itulah hal-hal hebat yang dilakukan robot dan otomatisasi. Mereka dapat mengambil alih tugas berulang yang membosankan dan terlalu sederhana bagi manusia, serta melakukannya secara efektif, cepat dan akurat.”

Timbunan Masa Lalu
Memang masih akan diperlukan waktu selama beberapa tahun bagi teknologi mekanisasi pertanian serupa ini untuk dapat menginjakkan kakinya di Indonesia. Itupun setelah berkompromi dengan gelombang protes yang diperkirakan akan muncul dari kalangan pekerja di bidang tersebut. Namun toh hal semacam ini sudah merupakan hak ‘asasi’ perusahaan, dan kita tak dapat mempersalahkan keberadaan pemilik industri yang menerapkan strategi produksi semacam ini untuk efisiensi dan meningkatkan daya saing produk di pasar bebas. Segala bentuk penolakan bisa berakibat berakhirnya komitmen perusahaan bersangkutan dalam hal kerja sama yang akan sangat merugikan bagi para pekerja dan instansi terkait. Sebaliknya, kita harus menerimanya sebagai buah pahit  ekonomi berbasis investasi dan konsumsi yang saat ini tengah diterapkan pemerintah dalam negeri. 
 
Roda waktu yang bergerak maju mengubah wajah hasil karya, cipta dan karsa manusia menjadi lebih modern, canggih, keren dan anti lemot. Tentu ini adalah sebuah trend dan kewajaran yang cukup menggembirakan, karena manusia akan menyia-nyiakan sisa umurnya di dunia jika tak berhasil menciptakan sedikit perbedaan dibandingkan generasi sebelumnya. Sesuatu yang baru tentunya lebih menarik hati daripada sesuatu yang telah berusia tua dan menawarkan kemampuan terbatas. Sehingga produk-produk baru pun akan selalu berhasil merajai pasaran dan melengserkan para pendahulunya dari singgasana. Namun, pernahkah Anda berpikir kemanakah larinya produk-produk jadul yang pernah dimiliki manusia? 

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan kawan-kawannya memang telah mengklaim kesuksesan mereka dalam hal mendaur ulang berbagai jenis sampah, termasuk diantaranya sampah elektronik. Akan tetapi, beberapa tahun lalu ABC.com melaporkan adanya sejumlah besar kontainer sampah elektronik yang dikirim ke sejumlah Negara Dunia Ketiga seperti Cina, India, Vietnam, Pakistan, sejumlah Negara Afrika dan, tentu saja, Indonesia. Saya tidak hendak meremehkan eksistensi mereka yang beroleh penghasilan dengan mempereteli bagian demi bagian sebuah computer lama yang dapat dijual kembali. Namun kita perlu memperkirakan sejauh mana dampak limbah elektronik bagi kesehatan manusia, apalagi yang bertumpuk-tumpuk setara gunung anakan seperti yang dapat kita lihat di Ghana. Belum lagi dampak yang diakibatkannya bagi kesuburan tanah dan udara. 

Begitulah, ternyata perubahan tidak hanya membawa kemudahan bagi hidup manusia namun juga harga mahal yang harus dibayar oleh sebagian besar lainnya. Kemudahan kredit kepemilikan kendaraan bermotor membuat pengemudi dan pemilik angkot (angkutan kota), angkudes (angkutan pedesaan), cikar, becak dan ojek sepeda makin merana. Serbuan ponsel buatan Cina yang murah nian membuat semua orang jadi mampu membeli ponsel atau smartphone baru, dan meninggalkan pemilik wartel termangu-mangu kesepian. Demikian juga kebijakan konversi elpiji 3 kg meminggirkan minyak tanah dari pasaran, pemilik pangkalanpun gulung tikar bersama industri rumah tangga pembuat sumbu dan kompor minyak tanah. Para orang tua pun hanya dapat mengelus dada menghadapi para anak muda yang tak lagi berbicara dengan krama inggil, mendengarkan petuah para tetua dan kehilangan antusiasme terhadap keluarga besar para pendahulu. Mengapa perubahan nyaris selalu gagal mengelakkan jatuhnya korban? Seperti yang kita lihat dalam kemelut Arab Spring tak berkesudahan di daratan Mesir, Tunisia, Turki, Lebanon, Syria, Afghanistan, Libya, dan Bahrain.

Menggali Lubang yang Sama
Masyarakat pedesaan di wilayah selatan Jogjakarta punya metode unik untuk mengatasi limbah rumah tangga ( yang sudah dilakukan sejak lama dan mungkin karena tiadanya pasukan kuning ), yaitu dengan membuangnya di sebuah lubang yang cukup dalam dan lebar di pekarangan rumah.  Ketika lubang telah penuh dengan maka mereka akan menutupinya dengan tanah bekas galian sebuah lubang pembuangan sampah lain yang tidak jauh-jauh amat dari lokasi semula. Namun zaman telah berubah. Makanan dan minuman kemasan plastik yang beredar dan dikonsumsi secara massif mengakibatkan para cacing tanah bekerja lembur serta terancam kehilangan tempat tinggal. Sebuah riset menyatakan, butuh waktu hingga 6 bulan bagi puntung rokok Anda untuk menyatu dengan tanah, 12 tahun bagi kantung plastik dan jutaan tahun untuk Styrofoam. 
Yah paling tidak waktu akhirnya gagal dalam merubah satu hal, yaitu sampah. 

Apakah kompor minyak tanah juga termasuk sampah? Ya, karena ia tidak lagi digunakan ketika harga minyak tanah melambung tinggi. Apakah kurikulum 1997 dan  kurikulum pendidikan berbasis kompetensi adalah sampah juga? Ya, karena mereka tak lagi digunakan saat kursi panas menteri pendidikan dioper kepada tokoh dan partai lainnya. Apakah televisi layar cembung juga sampah? Lalu bagaimana dengan mantan pejabat, kru, asisten, staf ahli bahkan pentolannya? Ya, saya pikir Anda sudah tahu jawabannya. Lalu mengapa manusia itu gemar sekali membuat sampah, menumpuk dan menimbun sesuatu yang sudah dan atau pada akhirnya menjadi tidak berguna? Kita memang harus mengakui kecerdasan sesama manusia dalam hal merancang perangkat yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, sayang sekali mereka kurang memandang jauh ke depan terhadap segala kemungkinan di masa mendatang.

Manusia memang adalah makhluk paling kemaruk, rakus jika dibandingkan makhluk lainnya di Bumi, dan bahkan lebih lahap daripada burung pemakan bangkai sekalipun. Tidak ada roti atau nasi masih bisa makan daun-daunan. Tidak ada daun, mereka masih bisa makan belalang, atau cacing, atau jangkrik. Tidak ada uang bukan masalah berarti selagi masih dapat berhutang. Berhutang dalam jumlah besar, sekali lagi, juga bukan merupakan masalah besar, karena hutang A akan dapat  dilunasi dengan sebuah hutang lainnya. Menggali lubang hutang bukanlah masalah berarti asalkan kita dapat menutupnya kembali, untuk kemudian digali lagi pada saatnya nanti. Sedemikian memprihatinkan itukah upah standar pekerja di Indonesia? Tidak juga. Selain berjihad di hadapan atasan, meja kerja, mesin dan campuran semen, ternyata para pekerja juga harus bertarung melawan peperangan lainnya, yaitu gaya hidup konsumtif yang telah dilegalkan melalui kemudahan pengajuan kredit kepemilikan rumah, kendaraan bermotor, peralatan elektronik, gadget dan cicilan lainnya. Dan mereka, biasanya, lebih sering gagal daripada menang.  (swastantika)




Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...