Senin, 28 April 2014

KRAM OTAK


SI TANPA DOSA DIANTARA KITA


“Not for God or country – FOR FAMILY” (Sick of It All)

Beberapa waktu lalu diantara kita mungkin bergantian mengelus dada ketika mendengar, melihat atau membaca kisah Siti Aisyah, seorang anak perempuan berusia 8 tahun yang hidup dan merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan, yang menderita sakit selama hampir setahun, serta tinggal di atas sebuah becak karena mereka tuna wisma. Atau kisah Iqbal, bocah berusia 3,5 tahun, yang sekarat akibat dianiaya oleh mantan pacar ibunya ketika tak berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp 40 ribu dalam sehari dari hasil mengamen. Ada juga kisah heroik 7 anak penghuni panti asuhan yang berhasil melarikan diri dari panti asuhan yang dikepalai seorang pemilik panti kejam dan memperlakukan mereka secara tak layak sedari mereka masih bayi. 


Mungkin akan ada suara-suara yang berkilah bahwa kondisi semacam ini telah ada dan mengada sejak puluhan tahun silam, dan kemutakhiran sesuatu yang bernama internetlah yang membuatnya seolah baru dan sangat ‘wow’. Ada sebagian kecil anak yang memang dididik untuk prihatin sejak kecil, dibesarkan dengan cara-cara ekstrem oleh orang tuanya dan beberapa diantaranya menjadi orang sukses karena belajar banyak hal di masa kecilnya yang serba kekurangan. Hukuman fisik (kepada anak yang merupakan salah satu manifestasi dari hidup prihatin) nyatanya masih diperbolehkan dalam ajaran suatu agama yang menganjurkan untuk memukul anak ketika mereka menolak untuk melakukan ibadah. Sejumlah sekolah pun masih melegalkan pemberian hukuman fisik atas nama meningkatkan kedisiplinan siswa, dan didukung secara diam-diam oleh masyarakat yang mulai jengah terhadap perilaku para anak muda tanggung yang kian terang-terangan mempertontonkan keacuhan mereka terhadap norma sosial dan adat istiadat. Mereka berharap hukuman fisik dapat mengembalikan keadaan dimana mereka dulu masih sekolah; tertib, terkendali dan under control.

Sebagai orang-orang yang telah termakan usia dan disebut sebagai bapak atau ibu oleh para waiter dan waitress saat sedang nongkrong di sebuah kafe, kian mudah masuk angin ketika tidur terlalu larut, mudah uring-uringan ketika gajian terlambat satu hari, dan menyimpan sejumlah karakteristik khas orang tua lainnya, kita mau tak mau mengkhawatirkan segala sesuatu yang mungkin akan menghadang di masa depan. Akan jadi seperti apakah anak kita ketika mereka dewasa? Akankah sanggup mereka menghadapi kerasnya dunia? Seperti apa wajah Bumi ini ketika mereka dewasa, apakah benar permukaan air laut akan meninggi dan menenggelamkan Pulau Jawa seperti kata seorang ahli nujum terkenal? Dan apakah kita bersedia dan bisa menerima jalan yang mereka pilih dan seperti apa nantinya mereka akan menjadi?

Ternyata, selain sebagai sebuah anugerah kehadiran anak-anak kandung menjadi cobaan bagi sebagian dari manusia yang memiliki mereka. Semacam ujian abadi dalam hal psikologis (menjadi orang tua), strategi (dalam mencari celah antara perang dan damai dengan ayah/ibu mereka) dan juga marketing (memasarkan keahlian diri untuk memperoleh uang guna membiayai kebutuhan hidup). Bahkan setelah anak-anak dewasa dan hidup terpisah pun mereka masih menjadi cobaan bagi orang tuanya. Ini karena orang tualah yang pertama kali menjadi sorotan di balik kisah kesuksesan ataupun kemalangan seseorang. Ya, anak-anak adalah sesuatu bentuk pertanggungjawaban, takdir, penebusan dan harga yang harus Anda bayar setelah menikmati indahnya cinta bersama pasangan. Anak-anak kita akan selalu mengikuti kita, baik secara fisik maupun dalam mimpi dan ikatan itu pun tak akan terpisahkan kecuali melalui kematian.

Siapa yang Belum jadi Dewasa?
Secara fisik, anak-anak memang tidak ada apa-apanya dibandingkan orang dewasa. Badan mereka lebih kecil dan lemah, karakternya polos , mudah mempercayai apa yang dikatakan orang dewasa. Segala keterbatasan anak-anak semestinya dapat menumbuhkan belas kasih orang dewasa untuk melindungi mereka, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Bukankah semua agama tidak ada yang tidak mengajarkan hal ini pada umatnya? Saya yakin, Anda semua sudah lulus SD dan pasti pernah menerima pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila atau PPKN atau PKN) selama 6 tahun, dan selama itu pula kita diharuskan menghafal tentang moralitas yang mungkin masih kita ingat.

Lalu, apakah yang membuat kita tergoda untuk menyakiti anak-anak? Apakah karena mereka tak akan punya kesempatan untuk membalas? Apakah karena mereka sudah terlalu nakal, sehingga iblis di dalam hati kita naik darah dan mengirimkan perintah pada kita untuk memukul saja si biang kerok agar ia tak lagi mengulang kenakalannya? Ataukah semacam aksi balas dendam karena kita pun mengalami hal yang sama di masa kanak-kanak?

Saya yakin Anda bukanlah orang dewasa yang sekonyong-konyong keluar dari rahim ibunda dengan tubuh tinggi besar dan sudah dikhitan (bagi yang laki-laki). Ada masa-masa diantara hidup dan kematian dimana kita berjalan dengan empat kaki, dua kaki dan tiga kaki, kecuali, tentu saja, bagi mereka yang mati di usia muda, atau bahkan sesaat setelah dilahirkan. Semua manusia adalah anak-anak ketika ia belum menjadi dewasa (atau bahkan ketika ia sudah dewasa). Termasuk Anda dan saya. Jadi, Anda dan saya adalah masokis kelas ikan lele akut alias penyuka kegiatan menyakiti diri sendiri, jika kita sengaja maupun tak sengaja sering kali menyakiti anak-anak, baik secara fisik maupun verbal.

Manusia memang adalah makhluk paling eksentrik yang pernah diciptakan. Ia sering kali melupakan hal-hal penting dan malah mengingat hal-hal yang tidak penting. Sesuatu yang tidak menyenangkan dan membawa kesedihan cenderung untuk dilupakan, dan ia mengakui, atau berpura-pura mengakui telah melupakannya. Namun, tindak tanduk si makhluk berkaki dua ini senantiasa menunjukkan bahwa dirinya masih terikat dengan masa lalu dan secara tidak sadar mencari pelampiasan untuk mengurangi rasa sesak yang setiap saat mengikuti. Menolak lupa dan menolak ingat terlibat pertarungan abadi dalam diri individu yang tak jua menemukan batas antara kebatilan dan kebenaran, menghasilkan pribadi-pribadi sakit dan ogah bekerja keras menyelesaikan masalah. Dan itulah alasan mengapa Pegadaian dan rentenir diserbu warga di hari raya karena mereka menawarkan solusi cepat untuk menyelesaikan masalah keuangan.

Padahal kita semua tahu, solusi instan tak akan pernah mencerabut kanker untuk selama-lamanya. Hanya meredakan nyeri untuk sekejap, seperti narkoba yang menenangkan atau cairan yang memabukkan. (Tahukah Anda bahwa berbagai narkoba memang disengaja digelontorkan oleh pihak asing misterius untuk melemahkan konsentrasi dan daya tahan generasi muda atau tua, agar kita mudah dikuasai melalui budaya dan gaya hidup konsumerisme?) Kita toh tahu itu semua tidak menyehatkan, namun mengapa tetap kita jejalkan ke dalam tubuh? Apakah Anda sudah bisa membaca? Sudah kuliah? Sudah punya anak? Sudah menikah untuk kali ke berapa? Ya memang kita berfisik seperti manusia dewasa, tapi sesuatu di masa lalu belum terselesaikan membuat kita bermimpi menjadi anak-anak kembali, memutar waktu mundur tepat di saat masalah yang memedihkan ini terjadi. Slogan kakek-kakek murah senyum yang mengatakan ‘piye le, penak jamanku to?’ adalah contoh terbaik. 

Seperti arwah yang bergentayangan karena menuntut untuk disempurnakan, masa lalu melancarkan aksi berupa gangguan pada perilaku dan pola pikir di masa kini. Masa lalu yang tak pernah diakui sebagai hasil kesalahan dalam bertindak, baik secara kolektif maupun individu, akan membuka celah untuk terulangnya kesalahan yang sama, karena kita tak pernah mengajari sistem kerja otak kita sendiri untuk mengenali kesalahan itu sebagai sebuah kekhilafan yang membutuhkan permaafan dari nurani di dalam diri kita sendiri. Kita tidak pernah mengatakan
do it (to) yourself  kepada diri yang bersemayam dalam tubuh kita, lantaran takut mengakui bahwa pantulan wajah si buruk rupa dalam cermin itu adalah wajah kita yang sesungguhnya.

Pembantaian 1965 itu memang begitu sadis, dan tak pernah diakui, dan saya pun tak berharap kejadian itu terulang lagi. Kita berhutang sesuatu pada masa lalu, namun menolak untuk membayarnya. Kita semua pernah kehilangan sesuatu di masa lalu, dan berharap yang hilang itu kembali ketika kita merekayasa keadaan sekitar menjadi seperti masa lalu, diperkuat dengan attitude penolakan untuk bertahan memalingkan muka ke depan sambil berharap yang hilang akan kembali ketika kita tiba-tiba memalingkan muka ke belakang. Lalu bagaimana kita akan tahu bahwa ada jurang di suatu tempat di perjalanan berikutnya? 

Pergumulan Terakhir 
Pernahkah Anda merasa sangat tenang, tentram dan damai ketika berada di dekat seseorang yang belum pernah Anda kenal sebelumnya? Atau, pernahkah Anda merasa sangat lelah ketika berada di tengah banyak orang, meski Anda tidak berbicara sepatah katapun pada mereka? Rasa tenteram atau tidak tenteram itu tidak ada hubungannya dengan perasaan kita mengenai dan terhadap seseorang itu, apakah kita menyukai atau tidak menyukainya, melainkan karena sesuatu yang tersimpan dalam benaknya.

Kita tak perlu menjadi cenayang atau berkemampuan linuwih untuk dapat menebak rasa di dalam hati seseorang yang kini berada di samping Anda, karena semuanya dapat Anda ketahui melalui perubahan air muka, nada bicara, sorot mata dan bahasa tubuhnya. Seseorang yang memendam rasa ‘baik-baik’ seperti kebahagiaan, cinta, kasih sayang, ketulusan, keikhlasan, kejujuran dan sebangsanya akan membuat kita merasa nyaman. Sementara seseorang yang memelihara rasa ‘jahat’ seperti kecurigaan, iri, dengki, culas, cemburu, dusta, sombong dan rekan-rekannya membuat kita bertanya-tanya mengapa mereka merasakan itu dan apakah kehadiran kita yang membuatnya menjadi memiliki rasa yang sangat negatif.

Rasa yang berbeda juga dapat kita temui ketika berada di samping anak-anak , dan bandingkan dengan apa yang kita rasakan saat berada di kerumunan orang yang sedang berdesakan dalam bis kota. Raut muka pegawai kantor dan mahasiswa mengatakan sesuatu yang sama dan keduanya sama-sama merasakan beban berat karena hari itu, misalnya, hari Senin sesudah long weekend. Sementara anak-anak balita (dalam kondisi keluarga yang normal dan tak sedang mengalami tragedy bencana alam, kebakaran ,dll.) tak pernah menyimpan prasangka dan hanya memiliki rasa senang, ceria atau rasa ingin tahu, sehingga kita pasti betah berada di sisinya.

Jika saja semua orang hidup di planet ini sama-sama punya tekad yang sama untuk mengubah wajah dunia, mereka akan tahu bahwa semua itu dapat dilakukan dengan mudah, bahkan semudah membalik telapak tangan. Ketika seseorang menganggap hidup adalah perjuangan demi cita-cita, menegakkan keadilan, jodoh, uang, atau apa pun yang membuat mereka tak akan berhenti sebelum mencapainya, mereka sesungguhnya berada dalam kesia-siaan karena bagaimana pun juga manusia tidak memiliki banyak waktu, karena pada hakekatnya semua manusia sedang menunggu giliran untuk mengalami yang namanya tua, lemah dan mati. 

Jadi, kesimpulannya, semua manusia sama-sama hanya mempunyai satu pertarungan untuk dimenangkan dan semua manusia membutuhkan satu cara mudah untuk memenangkan pertarungan dengan segera selagi masih bernafas.Dan cara itu adalah dengan berada di samping anak-anak untuk mempertahankan rasa tenang dan damai menetap di hati kita, dan membayar kontan ketentraman itu dengan cara mengisi rasa ingin tahu mereka terhadap jawaban-jawaban yang merupakan bagian dari rencana Anda untuk menuju perubahan. Tak harus anak kandung, keponakan, sepupu, anak tetangga, anak yatim piatu, anak terlantar, anak jalanan, anak apa saja kecuali anak binatang (karena binatang dan manusia berbeda spesiesnya. dan belum tentu pengetahuan Anda bisa dipahami oleh anak binatang). 

Jika kita memimpikan terjadinya revolusi tanpa kekerasan, ini adalah langkah terbaik untuk memulainya. Kita memang akan kehilangan sensasi unik yang memicu adrenalin ketika turun ke jalan bersama rekan-rekan sepemahaman, atau ketika dikejar-kejar aparat dan melemparkan bom Molotov ke arah kerumunan berseragam. Anda mungkin akan berkata, ‘itulah pertarungan!’ Namun, para pejuang pendahulu kita telah melewati pertarungan yang jauh lebih berat dengan maksud agar kita tak perlu terlibat dalam pertarungan berat seperti mereka dan terluka.

Mereka bertarung bukan demi Tuhan, ataupun demi Negara, melainkan demi kita, anak cucunya, demi keluarganya yang tak mereka kehendaki untuk mengalami hidup dalam kesusahan. Tuhan adalah Dzat Yang Tak Perlu Kita Pertentangkan, bahkan dengan penjajah sekalipun (waktu itu), karena Ia tak butuh apapun untuk mempertahankan eksistensi-Nya dihadapan manusia. Sedangkan Negara adalah sebuah sistem, sebuah benda mati dan tidak hidup kecuali di’hidup’kan oleh manusia dengan cara menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa harus bergumul demi sebuah benda mati ketika kita bisa memanfaatkan energi dan tenaga untuk ‘berkelahi’ di ladang, menanam dan memelihara bibit-bibit terbaik dalam hati anak-anak, memonitor pergerakan mereka, dan menghembuskan nafas terakhir dalam damai ketika pada akhirnya di tangan merekalah perubahan yang kita impikan itu tercapai, suatu saat nanti?  

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...