Gerakan mahasiswa digadang-gadang sebagai gerakan perubahan,
agent of change, atau pemegang amanat penderitaan rakyat, dan sejumlah predikat
mulia lainnya. Catatan sejarah di sejumlah belahan dunia telah membuktikannya.
Namun, ada satu peristiwa kelam yang menunjukkan bagaimana gerakan mahasiswa bisa
dengan mudah ditunggangi dan diarahkan untuk kepentingan berhati biadab.
Kepentingan yang di belakang hari menimbulkan penyesalan abadi dan harus
ditanggung generasi berikutnya sampai berpuluh tahun kemudian.
Pada 10 Mei 1933, 70 ribu orang berkumpul di Opernplatz
Berlin, Jerman. Mereka yang sebagian besar adalah mahasiswa membawa serta 20
ribu buku karya sejumlah pengarang terkenal seperti Bertolt Bercht, Karl Marx,
Ernest Hemingway, Hellen Keller, Thomas Mann, Erich Maria Remarque, dll.
Diiringi dengan penampilan sebuah band dan pengucapan sumpah “against the
un-German spirit”, mereka melemparkan buku-buku tersebut ke dalam api. Peristiwa
yang sama juga terjadi di kota-kota lain di mana terdapat universitas berkelas,
yaitu pembakaran buku-buku karya pengarang yang tidak mendukung ideologi rasis.
Para
mahasiswa tidak khawatir terhadap penghadangan, karena semua pustakawan dan
professor universitas membantu mereka mengosongkan perpustakaan dari buku-buku
tersebut. Menariknya, tidak satu pun anggota Partai Nazi terlibat dalam aksi
pembakaran buku yang dipimpin oleh para mahasiswa. Aksi ini terjadi tak lama setelah Adolf
Hitler mulai berkuasa pada Januari 1933, sekaligus pengingat bahwa sebuah
negara teknologi tinggi pernah menjadi sebuah negara tanpa pemikir dan
sastrawan selama 12 tahun.
Pembakaran
buku adalah salah satu bentuk pemusnahan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia
yang dianggap berseberangan dengan isi kepala suatu golongan. Pelaku pembakaran
buku merasa yakin bahwa hanya pemikirannya saja yang benar dan pemikiran lain
adalah salah karena berbeda. Kita bisa mendengar mereka berbicara, “Dunia milik
kita karena kita benar.” Pola pikir semacam ini, sialnya, masih berulang
meskipun Hitler sudah lama tiada. Bila pemicu tingkah laku Hitler adalah
gangguan OCD (lihat tulisan saya sebelumnya di sini), pemicu tingkah laku
Hitler post-truth adalah hal-hal yang
tidak abstrak, bisa diraba, dan disimpan. Yaitu, uang.
Rasa
khawatir akan mengalami kesengsaraan karena tidak punya cukup uang sering
membutakan akal sehat, ini adalah suatu hal yang teramat biasa dan bisa
dibilang klise. Saat ini, yang sedang tren adalah memanipulasi akal sehat agar
dapat memuluskan jalan mendapat uang secara cepat dan aman. Akal sehat
dimanipulasi dengan cara menanamkan sebuah waham bahwa sekelompok golongan atas
akan kiamat bila mereka tidak lagi menempati posisi atas. Padahal, roda nasib
selalu berputar. Mereka yang berada di atas pada akhirnya nanti akan berada di
bawah karena proses sebab dan akibat berkelanjutan.
Sanksi sebagai senjata
Rasa bangga, atau kekaguman terhadap kemampuan diri, mutlak
diperlukan sebagai mekanisme untuk bertahan dan melangkah mencapai tujuan. Meski
demikian, merebut lebih mudah daripada mempertahankan. Kebanggaan bisa tidak
dapat dipertahankan bila pemikiran kontrafaktual cenderung lebih intens
daripada upaya mempertahankan kebanggaan itu sendiri. Salah satu contoh paling
kuat saat ini adalah “Make America Great Again” (yang belakangan berubah
menjadi “Keep America Great”). Sulit dibayangkan ada manusia di muka Bumi ini
yang tidak kenal dengan yang namanya Amerika. Diplomasi budaya populer telah
membuat musik, film dan kuliner negara itu diidolakan masyarakat dunia. Belum
lagi dominasi mata uang dolar sebagai alat tukar yang wajib digunakan dalam
perdagangan internasional. Tetap saja, itu semua tidak cukup bagi seorang
Donald Trump.
Sebagaimana negarawan pada umumnya, ia menginginkan
negaranya menghasilkan pencapaian tertinggi di segala bidang, termasuk
industri. Akan tetapi, keinginan ini sulit terwujud manakala tidak sedikit
pelaku industri asal AS yang justru mendirikan pabrik di Tiongkok. Pemerintah
AS sangat mendukung kebijakan-kebijakan industri yang pro kesejahteraan tenaga
kerja. Lalu bagaimana dengan kesejahteraan para pelaku usaha dan jaringannya?
Peraturan upah minimal pekerja yang dirasa memberatkan bagi para pelaku usaha. Sebagai
upaya penghematan biaya produksi, distribusi, pemasaran, dll. sebagian para
pelaku usaha AS mengamankan pendapatan mereka dengan cara memindahkan
pabrik-pabrik mereka ke Tiongkok. Pemerintah AS bukannya tidak berusaha merayu
para pengusaha mereka supaya mengutamakan pendirian pabrik di dalam negeri dan
memberi lapangan pekerjaan bagi para warganya sendiri. Para pengusaha AS
bergeming dengan himbauan tersebut. Apa boleh buat, nasionalisme ternyata
terpaksa takluk pada kehendak mencari kesejahteraan.
Beberapa
Negara memilih jalan lain untuk mengikrarkan nasionalisme, yaitu dengan jalan
memperkuat sistem pertahanan Negara. Upaya ini membutuhkkan alat utama sistem
pertahanan (alutsista) yang inovatif dan efektif, bukan hanya untuk menghadapi
ancaman yang berwujud musuh namun juga peristiwa tidak terduga seperti bencana
alam. Bila kelompok benda ini diibaratkan manusia, maka ia kerap dipandang
berkarakter penakluk. Apakah mungkin pandangan ini pemicu munculnya reaksi
keras AS terhadap upaya sebuah Negara lain yang sedang berupaya memperkuat
sistem pertahanan tanpa melibatkan pihaknya?
Melalui
berita-berita yang beredar luas kita bisa tahu kalau ternyata penyebab
dijatuhkannya sanksi oleh AS terhadap Iran dan Korea Utara adalah inisiatif
mengembangkan teknologi nuklir dan pengayaan uranium yang memperlihatkan
langkah progresif. Faktanya, AS tercatat dalam sejarah sebagai pihak yang
pernah menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Apakah negara ini
menyembunyikan rasa khawatir akan tersaingi dalam hal teknologi nuklir di balik
dalih kekhawatiran dunia akan terulangnya kembali kenangan buruk Perang Dunia
II?
Gonjang-ganjing perang dagang AS-Cina yang naik turun telah menenggelamkan
kabar mengenai perang dagang lain yang dikobarkan AS terhadap India (dan
sejumlah negara lainnya). Salah satunya adalah kenaikan tarif
yang diberlakukan terhadap barang ekspor dari India yang masuk ke AS, dan
segera direspon oleh India dengan mengenakan kenaikan tarif untuk sejumlah produk AS
yang diekspor ke India. Merunut ke belakang, perang dagang yang sementara ini
masih berskala kecil dimulai tak lama setelah Perdana Menteri India Narendra
Modi memutuskan untuk membeli sistem rudal S-400 produksi Rusia. Adalah CAATSA
atau Undang-undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi yang membuat India
menjadi sasaran terkini kenaikan tarif AS.
Sementara
di dalam negeri, berita tentang penandatanganan pertukaran pesawat tempur
SU-35 Rusia dengan komoditas Indonesia sudah terdengar sejak 2016. Pada tahun
ketiga sejak berita itu dirilis, belum ada kepastian mengenai kapan pemerintah
Indonesia merealisasikan kedatangan jet tempur dengan empat jenis misil
tersebut. Dengan adanya pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang
akan “menyelesaikan permasalahan pada akhir tahun ini", serta adanya saling melempar klaim
ketidaksiapan antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertahanan,
mungkinkah ini sebuah sinyal kekhawatiran terhadap momok sanksi dan atau
kenaikan tarif?
Semua
negara memang membutuhkan pendapatan untuk membangun kesejahteraan warga
negaranya. Masalahnya adalah, tidak semua pemimpin negara menyadari bahwa bukan
hanya negaranya sendiri yang membutuhkan pendapatan. Demi melegitimasi dan
melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi negaranya sendiri, seorang pemimpin
dapat tergoda mengesampingkan etika pergaulan internasional dan kompetisi usaha
yang sehat. Fakta dan undang-undang dapat diorkestrasi agar menjadi landasan
hukum untuk menyingkirkan para pesaingnya. Bila negara yang dimaksud adalah
sebuah negara super power, apakah yang dapat dilakukan negara yang bukan super
power untuk menghadapinya?
Pertahanan terbaik
Sesungguhnya
kemapanan ekonomi adalah pertahanan terbaik sebuah negara, bukan semata-mata
demi menguatnya angka-angka indikator ekonomi yang berimbas pada menguatnya
nilai tukar mata uang. Bukan pula sekedar tidak mengalami hidup susah, apalagi
memakmurkan pejabat-pejabat negara. Sudah tidak sedikit kekisruhan dalam negeri
di berbagai belahan dunia yang berawal dari ketimpangan ekonomi. Dalam situasi
terjepit, adalah wajar jika seseorang mencari bantuan agar dapat keluar dari
kesulitan. Sering tidak disadari bahwa inilah celah yang bisa dimanfaatkan
pihak luar untuk mengambil manfaat dari kondisi tidak menguntungkan yang kita
alami, terutama bila bantuan yang ditawarkan adalah too good to be true, sangat
mudah dan tidak bertujuan mendidik kita agar tidak terjerembab kembali pada
kesulitan yang sama di masa depan.
Masalahnya, globalisasi mengakibatkan nilai mata uang negara
dengan ekonomi belum mapan sangat tergantung pada nilai mata uang negara
ekonomi mapan. Memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk membuat nilai
mata uang kita bebas dari pengaruh mata uang negara manapun, kalau tidak hampir
mustahil dilakukan. Apakah ini takdir yang harus diterima dengan lapang dada
karena menjadi negara medioker sampai entah kapan? Tentu saja tidak, bukan?
Inovasi-inovasi
baru dalam hal memperbaiki ekonomi dan meningkatkan pendapatan semua akan
menuai hasil positif bila disertai dengan determinasi terhadap tujuan yang
ingin dicapai. Bila mempengaruhi sikap dunia agar sejalan dengan keinginan kita
itu tidak mungkin, kita dapat menata diri agar selalu siap dengan segala
kemungkinan yang terjadi. Apapun reaksi kita, harap selalu diingat bahwa janji
adalah utang. Kemampuan membayar utang pemerintah wajib dibanggakan,
begitu juga dengan kemampuan bertindak sesuai dengan kesepakatan bersama.
Kepercayaan adalah mahal harganya, tapi tidak lagi jika kita bisa menepati
janji. Demikianlah seharusnya cara kita menumbuhkembangkan sistem pertahanan
yang sejalan secara motivasional maupun struktural. (dswast)