Senin, 01 Juli 2019

Menjaga Akal Sehat di Era Sanksi dan Tarif

Gerakan mahasiswa digadang-gadang sebagai gerakan perubahan, agent of change, atau pemegang amanat penderitaan rakyat, dan sejumlah predikat mulia lainnya. Catatan sejarah di sejumlah belahan dunia telah membuktikannya. Namun, ada satu peristiwa kelam yang menunjukkan bagaimana gerakan mahasiswa bisa dengan mudah ditunggangi dan diarahkan untuk kepentingan berhati biadab. Kepentingan yang di belakang hari menimbulkan penyesalan abadi dan harus ditanggung generasi berikutnya sampai berpuluh tahun kemudian.


Pada 10 Mei 1933, 70 ribu orang berkumpul di Opernplatz Berlin, Jerman. Mereka yang sebagian besar adalah mahasiswa membawa serta 20 ribu buku karya sejumlah pengarang terkenal seperti Bertolt Bercht, Karl Marx, Ernest Hemingway, Hellen Keller, Thomas Mann, Erich Maria Remarque, dll. Diiringi dengan penampilan sebuah band dan pengucapan sumpah “against the un-German spirit”, mereka melemparkan buku-buku tersebut ke dalam api. Peristiwa yang sama juga terjadi di kota-kota lain di mana terdapat universitas berkelas, yaitu pembakaran buku-buku karya pengarang yang tidak mendukung ideologi rasis. 

Para mahasiswa tidak khawatir terhadap penghadangan, karena semua pustakawan dan professor universitas membantu mereka mengosongkan perpustakaan dari buku-buku tersebut. Menariknya, tidak satu pun anggota Partai Nazi terlibat dalam aksi pembakaran buku yang dipimpin oleh para mahasiswa.  Aksi ini terjadi tak lama setelah Adolf Hitler mulai berkuasa pada Januari 1933, sekaligus pengingat bahwa sebuah negara teknologi tinggi pernah menjadi sebuah negara tanpa pemikir dan sastrawan selama 12 tahun.

Pembakaran buku adalah salah satu bentuk pemusnahan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang dianggap berseberangan dengan isi kepala suatu golongan. Pelaku pembakaran buku merasa yakin bahwa hanya pemikirannya saja yang benar dan pemikiran lain adalah salah karena berbeda. Kita bisa mendengar mereka berbicara, “Dunia milik kita karena kita benar.” Pola pikir semacam ini, sialnya, masih berulang meskipun Hitler sudah lama tiada. Bila pemicu tingkah laku Hitler adalah gangguan OCD (lihat tulisan saya sebelumnya di sini), pemicu tingkah laku Hitler post-truth adalah hal-hal yang tidak abstrak, bisa diraba, dan disimpan. Yaitu, uang. 

Rasa khawatir akan mengalami kesengsaraan karena tidak punya cukup uang sering membutakan akal sehat, ini adalah suatu hal yang teramat biasa dan bisa dibilang klise. Saat ini, yang sedang tren adalah memanipulasi akal sehat agar dapat memuluskan jalan mendapat uang secara cepat dan aman. Akal sehat dimanipulasi dengan cara menanamkan sebuah waham bahwa sekelompok golongan atas akan kiamat bila mereka tidak lagi menempati posisi atas. Padahal, roda nasib selalu berputar. Mereka yang berada di atas pada akhirnya nanti akan berada di bawah karena proses sebab dan akibat berkelanjutan. 

Sanksi sebagai senjata 

Rasa bangga, atau kekaguman terhadap kemampuan diri, mutlak diperlukan sebagai mekanisme untuk bertahan dan melangkah mencapai tujuan. Meski demikian, merebut lebih mudah daripada mempertahankan. Kebanggaan bisa tidak dapat dipertahankan bila pemikiran kontrafaktual cenderung lebih intens daripada upaya mempertahankan kebanggaan itu sendiri. Salah satu contoh paling kuat saat ini adalah “Make America Great Again” (yang belakangan berubah menjadi “Keep America Great”). Sulit dibayangkan ada manusia di muka Bumi ini yang tidak kenal dengan yang namanya Amerika. Diplomasi budaya populer telah membuat musik, film dan kuliner negara itu diidolakan masyarakat dunia. Belum lagi dominasi mata uang dolar sebagai alat tukar yang wajib digunakan dalam perdagangan internasional. Tetap saja, itu semua tidak cukup bagi seorang Donald Trump.

Sebagaimana negarawan pada umumnya, ia menginginkan negaranya menghasilkan pencapaian tertinggi di segala bidang, termasuk industri. Akan tetapi, keinginan ini sulit terwujud manakala tidak sedikit pelaku industri asal AS yang justru mendirikan pabrik di Tiongkok. Pemerintah AS sangat mendukung kebijakan-kebijakan industri yang pro kesejahteraan tenaga kerja. Lalu bagaimana dengan kesejahteraan para pelaku usaha dan jaringannya? Peraturan upah minimal pekerja yang dirasa memberatkan bagi para pelaku usaha. Sebagai upaya penghematan biaya produksi, distribusi, pemasaran, dll. sebagian para pelaku usaha AS mengamankan pendapatan mereka dengan cara memindahkan pabrik-pabrik mereka ke Tiongkok. Pemerintah AS bukannya tidak berusaha merayu para pengusaha mereka supaya mengutamakan pendirian pabrik di dalam negeri dan memberi lapangan pekerjaan bagi para warganya sendiri. Para pengusaha AS bergeming dengan himbauan tersebut. Apa boleh buat, nasionalisme ternyata terpaksa takluk pada kehendak mencari kesejahteraan.

Beberapa Negara memilih jalan lain untuk mengikrarkan nasionalisme, yaitu dengan jalan memperkuat sistem pertahanan Negara. Upaya ini membutuhkkan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang inovatif dan efektif, bukan hanya untuk menghadapi ancaman yang berwujud musuh namun juga peristiwa tidak terduga seperti bencana alam. Bila kelompok benda ini diibaratkan manusia, maka ia kerap dipandang berkarakter penakluk. Apakah mungkin pandangan ini pemicu munculnya reaksi keras AS terhadap upaya sebuah Negara lain yang sedang berupaya memperkuat sistem pertahanan tanpa melibatkan pihaknya?

Melalui berita-berita yang beredar luas kita bisa tahu kalau ternyata penyebab dijatuhkannya sanksi oleh AS terhadap Iran dan Korea Utara adalah inisiatif mengembangkan teknologi nuklir dan pengayaan uranium yang memperlihatkan langkah progresif. Faktanya, AS tercatat dalam sejarah sebagai pihak yang pernah menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Apakah negara ini menyembunyikan rasa khawatir akan tersaingi dalam hal teknologi nuklir di balik dalih kekhawatiran dunia akan terulangnya kembali kenangan buruk Perang Dunia II? 

Gonjang-ganjing perang dagang AS-Cina yang naik turun telah menenggelamkan kabar mengenai perang dagang lain yang dikobarkan AS terhadap India (dan sejumlah negara lainnya). Salah satunya adalah kenaikan tarif yang diberlakukan terhadap barang ekspor dari India yang masuk ke AS, dan segera direspon oleh India dengan mengenakan kenaikan tarif untuk sejumlah produk AS yang diekspor ke India. Merunut ke belakang, perang dagang yang sementara ini masih berskala kecil dimulai tak lama setelah Perdana Menteri India Narendra Modi memutuskan untuk membeli sistem rudal S-400 produksi Rusia. Adalah CAATSA atau Undang-undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi yang membuat India menjadi sasaran terkini kenaikan tarif AS.  

Sementara di dalam negeri, berita tentang penandatanganan pertukaran pesawat tempur SU-35 Rusia dengan komoditas Indonesia sudah terdengar sejak 2016. Pada tahun ketiga sejak berita itu dirilis, belum ada kepastian mengenai kapan pemerintah Indonesia merealisasikan kedatangan jet tempur dengan empat jenis misil tersebut. Dengan adanya pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang akan “menyelesaikan permasalahan pada akhir tahun ini", serta adanya saling melempar klaim ketidaksiapan antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertahanan, mungkinkah ini sebuah sinyal kekhawatiran terhadap momok sanksi dan atau kenaikan tarif?

Semua negara memang membutuhkan pendapatan untuk membangun kesejahteraan warga negaranya. Masalahnya adalah, tidak semua pemimpin negara menyadari bahwa bukan hanya negaranya sendiri yang membutuhkan pendapatan. Demi melegitimasi dan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi negaranya sendiri, seorang pemimpin dapat tergoda mengesampingkan etika pergaulan internasional dan kompetisi usaha yang sehat. Fakta dan undang-undang dapat diorkestrasi agar menjadi landasan hukum untuk menyingkirkan para pesaingnya. Bila negara yang dimaksud adalah sebuah negara super power, apakah yang dapat dilakukan negara yang bukan super power untuk menghadapinya?

Pertahanan terbaik 

Sesungguhnya kemapanan ekonomi adalah pertahanan terbaik sebuah negara, bukan semata-mata demi menguatnya angka-angka indikator ekonomi yang berimbas pada menguatnya nilai tukar mata uang. Bukan pula sekedar tidak mengalami hidup susah, apalagi memakmurkan pejabat-pejabat negara. Sudah tidak sedikit kekisruhan dalam negeri di berbagai belahan dunia yang berawal dari ketimpangan ekonomi. Dalam situasi terjepit, adalah wajar jika seseorang mencari bantuan agar dapat keluar dari kesulitan. Sering tidak disadari bahwa inilah celah yang bisa dimanfaatkan pihak luar untuk mengambil manfaat dari kondisi tidak menguntungkan yang kita alami, terutama bila bantuan yang ditawarkan adalah too good to be true, sangat mudah dan tidak bertujuan mendidik kita agar tidak terjerembab kembali pada kesulitan yang sama di masa depan.

Masalahnya, globalisasi mengakibatkan nilai mata uang negara dengan ekonomi belum mapan sangat tergantung pada nilai mata uang negara ekonomi mapan. Memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk membuat nilai mata uang kita bebas dari pengaruh mata uang negara manapun, kalau tidak hampir mustahil dilakukan. Apakah ini takdir yang harus diterima dengan lapang dada karena menjadi negara medioker sampai entah kapan? Tentu saja tidak, bukan?

Inovasi-inovasi baru dalam hal memperbaiki ekonomi dan meningkatkan pendapatan semua akan menuai hasil positif bila disertai dengan determinasi terhadap tujuan yang ingin dicapai. Bila mempengaruhi sikap dunia agar sejalan dengan keinginan kita itu tidak mungkin, kita dapat menata diri agar selalu siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Apapun reaksi kita, harap selalu diingat bahwa janji adalah utang. Kemampuan membayar utang pemerintah wajib dibanggakan, begitu juga dengan kemampuan bertindak sesuai dengan kesepakatan bersama. Kepercayaan adalah mahal harganya, tapi tidak lagi jika kita bisa menepati janji. Demikianlah seharusnya cara kita menumbuhkembangkan sistem pertahanan yang sejalan secara motivasional maupun struktural.  (dswast) 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...