Di awal masa pandemi 2020 lalu, seruan beramal dan membantu sesama kencang diperdengarkan ke seluruh pelosok dunia. Ada kelompok musisi yang menggalang dana untuk para nakes, ada grup alumnus sekolah yang membagikan makanan gratis untuk siapa saja. Bagi mereka yang kehilangan penghasilan akibat kuncitara global saat itu, makanan gratis bisa sedikit membantu mengisi perut yang lapar. Adalah sifat alami manusia yang mudah tersentuh dan iba terhadap kesusahan orang lain ketika dirinya sendiri juga mengalami kesulitan yang tidak jauh berbeda. Tidak sedikit orang di luar sana yang, meski di tengah kesulitan keuangan, ikut trenyuh saat melihat atau mengetahui penderitaan sesamanya di media sosial. Mereka memproyeksikan rasa berat yang tiap hari bersarang di dalam kalbu kepada orang-orang lain dengan situasi yang kurang lebih sama.
“Among its other
benefits, giving liberates the soul of the giver,” kata Maya Angelou. Sesungguhnya
memberi (bantuan) akan membebaskan jiwa si pemberi. Secara kalkulasi matematika
atau akuntansi, jelas pemberi akan rugi karena sebagian dari miliknya tidak
lagi menjadi haknya setelah diberikan kepada orang lain. Jadi bagaimana bisa
jiwa si pemberi akan bebas setelah dirinya melepaskan sesuatu yang menjadi
miliknya? Apakah kita berharap pemberian kita untuk orang lain akan kembali
dalam bentuk lain? Apakah kita sudah ikhlas saat beramal? Jawaban untuk
pertanyaan ini sangat layak menjadi PR bagi kita semua.
Sungguh beruntung apabila Anda masih mempunyai sesuatu untuk
diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Karena jika tidak, sebagian orang
akan beralih ke media sosial untuk mengungkapkan rasa simpati mereka dan teman-teman
medsos kita tidak akan pernah tahu apakah pernyataan simpati itu datang dari
lubuk hati terdalam. Ataukah kita sedang memproyeksikan kegalauan yang kita
alami kepada pihak lain. Terlepas dari berbagai kontroversi belakangan ini, bagi
sejumlah kalangan media sosial masih layak disebut sebagai wadah menyalurkan
kebebasan berpendapat dan meminta bantuan.
Bercermin dari konflik Rusia-Ukraina, Presiden Ukraina
Voldymyr Zelensky menggunakan akun Telegram (yang ironisnya adalah hasil karya
jutawan IT asal Rusia, Pavel Durov)-nya untuk menarik simpati dan menggalang
bantuan senjata dari negara-negara Eropa, Amerika, bahkan Asia. Ketika operasi
militer Rusia di Ukraina dimulai 24 Februari 2022 lalu, sejumlah negara
mengirimkan bantuan senjata stok lawas dari era Uni Soviet, misalnya sistem
rudal S-300 yang didonasikan Slovakia dan helikopter Mil MI-17 dari Amerika
Serikat sebagai bagian paket bantuan senilai 33 biliun dolar. Sejak awal,
angkatan bersenjata Rusia hanya menargetkan demiliterisasi dan denazifikasi
Ukraina tanpa menyerang warga sipil. Pada gilirannya, semua bantuan ini bisa
dikatakan muspro (istilah Jawa),
sia-sia belaka karena dimusnahkan pasukan Rusia. Menurut sebuah laporan,
bantuan senjata dari Barat yang tidak dihancurkan akan dijual di pasar gelap,
mengingat Ukraina adalah salah satu pasar
gelap senjata terbesar di Eropa.
Bantuan salah sasaran
Beberapa tahun lalu, bermunculan kelompok-kelompok kecil
yang mengedarkan kotak amal di sejumlah lampu merah yang dipadati pengguna
jalan di kota saya. Bendera sebuah negara di mana konflik terjadi menahun
mereka kibarkan di tepi jalan. Seorang teman bertanya kepada saya, bagaimana
cara memastikan bahwa sumbangan yang kita berikan benar-benar sampai di negara
tersebut? Sekedar tambahan bagi wawasan kita, kasus penipuan berkedok amal atau
donasi merupakan fenomena umum di Amerika Serikat sehingga FBI membuka saluran
komunikasi khusus bagi mereka yang menjadi korban modus ini. Reuters menjabarkan beberapa kesalahan umum yang
biasa dilakukan para donatur, yaitu menyumbang di bawah 25 dolar dan “terlalu
dermawan.” Alasannya, bila donatur menyumbang terlalu sedikit maka penipu
berkedok amal bisa meminta lebih banyak lagi. Lalu kita teringat pada
permintaan sumbangan
bernuansa emosional dan mengundang rasa iba seperti postingan Telegram Mr.
Zelensky.
Mereka yang tidak dalam kapasitas prima untuk menyumbang
dalam bentuk uang atau barang cenderung memilih menyampaikan keprihatinan di
akun media sosial, dengan tujuan agar lebih banyak orang yang peduli dan
memberikan sumbangan dalam bentuk riil. Lagi-lagi soal operasi militer khusus
Rusia di Ukraina, bagi sebagian besar orang pihak penyerang adalah agresor biadab
yang tak layak jadi bagian komunitas global terlepas dari alasan apa pun di
balik serangan tersebut. Pertentangan antara si lemah dan si kuat menjadi
sumber inspirasi abadi bagi cerita fiksi, dipertontonkan secara massal berulang
kali sebagai doktrin tentang banalitas kekejaman suatu pihak. Ketika Rusia
melumpuhkan beberapa fasilitas militer Ukraina, kita tak perlu menunggu lama
untuk tahu bagaimana reaksi
mayoritas warga net seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Uni Eropa
dan NATO.
Hujatan untuk Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin, angkatan
bersenjata, dan warga sipil Rusia menghiasi berbagai kanal media sosial sejak
saat itu. Bahkah platform sejuta umat, Facebook, sempat melegalkan ujaran
kebencian bagi warga negara Rusia sebelum dibatalkan beberapa saat kemudian. Adalah
manusiawi bagi setiap manusia bereaksi emosional terhadap situasi di Ukraina
saat ini. Sebuah studi
menyimpulkan, para pengguna yang sering menggunakan internet untuk hiburan,
berkomunikasi, dan mencari informasi cenderung menunjukkan perilaku yang lebih
agresif, bermusuhan, dan secara psikologis mampu mengatasi pengaruh informasi
konteks. Artinya, seorang gamer
cenderung mudah tergerak secara emosional dan menyebarkan Russophobia akibat cuitan pendek di Twitter yang dilihatnya tentang
kuburan massal para korban pembantaian serdadu Rusia tanpa meneliti lebih jauh
tentang kebenaran informasi
itu.
Bantuan “beracun”
“Beramal tak perlu menunggu kaya,” kata tukang kayu yang pernah
bekerja untuk keluarga kami beberapa tahun lalu. Ya, siapa saja bisa beramal.
Sering merasa tidak berdaya karena tidak punya banyak uang cenderung membentuk
mental yang pasrah pada keadaan, menyabotase diri sendiri, selalu merasa
miskin, dan kehilangan daya juang untuk mengatasi keterbatasan. Beramal, meski
sedikit jumlahnya, setidaknya bisa membantu membangkitkan semangat dalam menjalani
rutinitas sehari-hari.
Akan tetapi di tengah inflasi tinggi dan kian mahalnya biaya
hidup, beramal menjadi suatu tantangan bagi mereka yang menganggapnya sebagai
suatu kewajiban atau kepedulian terhadap sesama manusia. Sebagian orang mencoba
mengkaji kembali sejauh mana amal mereka bermanfaat, atau malah memicu
kemalasan. Belum lagi berbagai risiko penipuan berkedok amal yang disebut di
atas.
Pertimbangan yang sama sudah seharusnya berlaku ketika Anda
merasakan dorongan emosional dan ingin memberikan dukungan untuk sebuah cause, fenomena, atau kemalangan yang
sedang ramai dibicarakan orang. Beramal atau berdonasi lebih baik diberikan
kepada seseorang, kelompok masyarakat, atau pihak yang kita ketahui dan pahami
dengan baik latar belakang, aktivitas, visi dan upaya mereka mengatasi
kesulitan. Ingat, zaman sudah berubah. Komentar dan jempol kita di media sosial
adalah “donasi” kita pada wacana atau pemikiran yang sedikit banyak bisa
mengungkapkan siapa sesungguhnya dan apa yang tersembunyi di benak kita.
Seorang pengguna media sosial yang aktif memiliki daya tarik memesona mata para
bandit dunia hitam yang ingin merekrut
pribadi-pribadi unik untuk memperkuat barisan mereka.
Dukungan saya untuk Rusia sebagian besar berawal dari
keisengan mempelajari sejarah, ideologi, pandangan politik, kebijakan-kebijakan,
serta karakter masyarakatnya sejak masa kuliah hingga saat ini. Tidak semuanya
saya setuju, tetapi ambisi Amerika Serikat dan para sekutunya tentang dunia
yang unipolar perlu dikritisi karena bertolak belakang dengan prinsip-prinsip
kesetaraan global. Saat ini, Rusia (dan negara-negara pendukungnya) adalah
satu-satunya yang mampu mempersulit Barat mencapai tujuan nya.