Kamis, 29 Desember 2022

Bercerai dan Bersatu di Bawah Nasionalisme

Bahasa Inggris punya banyak kekurangan, meski berstatus bahasa persatuan dunia. Kata ‘we’ memperlihatkan impresi kemanunggalan antara banyak orang, yang menghadirkan citra kekokohan dan meyakinkan daripada kata ‘I’. ‘We’ seringkali diucapkan banyak tokoh pemimpin untuk mengarahkan kepercayaan khalayak kepada apa yang mereka sampaikan, walaupun ‘we’ dalam konteks tertentu bersifat eksklusif, tidak selalu mengarah kepada atau melibatkan orang yang diajak bicara.

Dalam Bahasa Inggris, we (subyek) dan us (obyek) adalah kata ganti orang pertama jamak yang sangat membantu tujuan penggalangan massa karena kelenturan eksklusivitas dan inklusivitasnya. Ketika seorang presiden Amerika Serikat (misalnya) berbicara di depan sidang PBB tentang perlunya warga dunia mengutuk operasi militer Rusia di Ukraina, ia bisa berkata, “’Wecondemn Russia invasion over Ukraine,” meskipun ‘we’ tidak merepresentasikan semua negara anggota PBB secara kontekstual.

Persentase orang yang mencari nafkah di bidang bahasa hanya sekian dari total penduduk dunia, mungkin akan lebih sedikit lagi jumlahnya bila AI (artificial intelligence) kian fasih berbicara dalam banyak bahasa. Apa pun perkembangan yang akan terjadi di masa depan, bahasa tetap adalah jembatan menjalin hubungan dengan mereka yang ada di luar diri kita. Bahasa memberi bentuk kepada semua hal yang keluar dari dan masuk ke dalam diri kita, yang pada gilirannya menjadi alat untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ketika Subcomandante Marcos berkata, “kata adalah senjata (our word is our weapon),” maka bahasa adalah militer karena sama-sama punya aturan baku yang tidak bisa dilanggar.

Sebuah akar diskriminasi bahasa

Beberapa negara dengan mayoritas Muslim sedikit rikuh menanggapi gelombang aksi massa Iran yang memanas sejak akhir September 2022, mungkin mereka mengira aksi tersebut wujud protes terhadap syariah Islam. Akar masalah kerusuhan sipil Iran sebenarnya jauh dari masalah agama, walaupun dipicu kematian Mahsa Amini (22) saat ditahan polisi moralitas Iran karena tidak berhijab sesuai peraturan. Ketimpangan dan diskriminasi budaya serta bahasa atas kelompok etnis tertentu di wilayah Asia Barat, inilah api dalam sekam yang membakar atmosfer Persia dewasa ini.

Dinasti Hasanwayhid, Annazid, dan Ayyubid adalah penguasa besar dari suku Kurdi di masanya, tetapi di era modern suku ini mengalami persekusi berkelanjutan. Nasib buruk suku Kurdi bermula 1920 dengan runtuhnya Kekaisaran Ottoman, Türkiye, sebagai hasil akhir Perang Dunia I. Mustafa Kemal Attaturk, presiden Türkiye saat itu, menolak klausul Traktat Sevres tentang pembentukan wilayah otonom bagi etnis Kurdi yang mendiami wilayah Ottoman pra Perang Dunia I.

Selanjutnya, diterbitkanlah Traktat Lausanne (1923) yang mengabaikan penyebutan apa pun tentang rumah untuk suku Kurdi. Akibatnya, sejumlah besar orang Kurdi tersebar di empat negara (Iran, Irak, Turki, Suriah) sembari terus memperjuangkan wilayah otonom untuk mereka. Tuntutan mereka bukan hanya diekspresikan dalam unjuk rasa. Aksi terorisme kerap mewarnai perjuangan mereka terutama setelah tokoh terkenal suku Kurdi, Abdullah Öcalan, mendirikan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang berhalauan Marxis-Leninis. PKK berikut para anggota dan simpatisannya ditetapkan sebagai kelompok teroris di berbagai negara, termasuk Uni Eropa dan Türkiye.

Bahasa Persia sudah menjadi bahasa nasional Iran sejak beberapa dekade silam menggantikan bahasa lokal kelompok etnis minoritas Kurdi, Arab Khuzestan, Türkiye Azerbaijan, Turkmenistan, dan Balochistan. Di bawah Republik Islam Iran, bahasa suku minoritas dicap kuno, ketinggalan zaman, bahkan ada larangan mempelajari maupun mengajarkan bahasa lokal/ daerah suku minoritas di sekolah. Mereka yang menentang dihukum berat dan dijebloskan ke penjara. Anda menganggap fenomena ini ekses permusuhan abadi Islam Syiah versus Islam Sunni, mengingat penguasa dan mayoritas warga Iran beraliran Syiah sementara kaum minoritasnya beraliran Sunni? Waspadalah! Jangan biarkan sentimen agama menutupi cakrawala Anda.

Terorisme bukanlah makanan cepat saji; selalu ada latar belakang panjang di balik keputusan seorang teroris memilih jalan kelamnya. Karena semua manusia di Bumi butuh pengakuan atas keberadaaan mereka, maka pelarangan bahasa berarti pelarangan budaya. Anda bisa dianggap punya hak lebih kecil untuk eksis di dunia ini ketika seseorang mencela budaya Anda. Mengingat budaya adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa manusia, maka diskriminasi budaya adalah genosida tak berdarah secara perlahan atas intelektualitas mereka.

Dampak takut sakit

Analis JPMorgan meramalkan deglobalisasi adalah tren 2023, di mana deglobalisasi menurutnya adalah berhentinya Barat sebagai kiblat dunia dalam hal perkembangan ekonomi. JPMorgan bukanlah paranormal yang sekonyong-konyong membuat ramalan berdasarkan hasil penerawangan ke masa depan dengan bantuan kekuatan supranatural. Prediksi JPMorgan yang semata-mata berdasarkan logika dan berbagai peristiwa sepanjang 2022, seolah menyiratkan pesimisme entitas bisnis kelas paus tentang perkembangan terkini dominasi kelompok negara maju (Barat) terhadap kelompok negara berkembang (Timur).

Kuncitara global COVID-19 sepanjang 2020 menyadarkan banyak kalangan bahwa isolasi total tidak menjamin manusia terhindar dari wabah penyakit, karena virus dan bakteri selalu bisa menemukan celah-celah kecil untuk menyusup dan menggerogoti ketahanan manusia. Manusia yang sudah sakit, baik sakit maupun psikologis, sejak sebelum virus masuk adalah sasaran empuk bagi COVID-19. Ada makna tersirat bahwa inilah fenomena ketika penyakit dan kesedihan menjadi ganas pasca masuknya zat dari luar yang bertujuan mengakhiri hidup seseorang. Menurut beberapa kisah pandemi, bukan virus melainkan kuncitara memperparah penyakit yang diderita para pasien dan keluarga mereka.

Ramalan analis JPMorgan di atas seakan-akan memberikan sinyal bahwa kuncitara global bisa saja diterapkan kembali di waktu mendatang untuk tujuan yang berbeda. Saat ini, kuncitara sedang diberlakukan atas Rusia dalam bentuk 6800 sanksi dan pengucilan dunia internasional sebagai “hukuman” atas operasi militernya di Ukraina. Berhasilkah kuncitara termasif atas suatu bangsa ini memelihara keamanan bangsa-bangsa lain? Siapa yang berperan sebagai penyakit berbahaya dalam drama ini, Rusia atau negara-negara yang menghukumnya?

Kisah suku Kurdi pasca-Perang Dunia I dan etnis Rusia di Ukraina hampir tak jauh beda, mereka adalah apa yang tersisa dari kejayaan suatu masa lalu. Ketika kejayaan itu berakhir, orang-orang yang seharusnya mengayomi mereka menyerah pada ambisi pribadi, golongan, bahkan tekanan pihak luar. Kita tidak bisa bertanya kepada Mustafa Kemal Attaturk, mengapa ia menolak menyetujui pendirian wilayah khusus untuk suku Kurdi. Namun, kita masih bisa bertanya kepada pers Barat mengapa diskriminasi atas bahasa dan budaya Rusia di Ukraina tidak dipaparkan sama detailnya. Sukar dipercaya jika dalih pengabaian ini adalah rasa takut pada virus komunisme, mengingat negara-negara pro demokrasi seperti Swedia, Jerman, dan Prancis pernah dan masih menampung beberapa anggota PKK yang “tercemar” Leninisme di suatu fase dalam kehidupan mereka.

Nasionalisme itu cinta?

Nasionalisme adalah nama lain dari rasa cinta untuk tanah air, yang akhir-akhir ini sering diungkapkan dalam bentuk seruan untuk memprioritaskan produk dalam negeri, kepentingan negara, atau pembangunan adil dan merata di seluruh negeri. Beberapa negara dengan penduduk homogen sejak awal berdirinya, mungkin tidak mengalami hambatan berarti untuk menyatukan warga negaranya. Mereka berbicara dan berperilaku menurut sebuah standar, sehingga penguasa tahu pasti apa yang mereka butuhkan dan (seharusnya) mampu mengemudikan perahu negeri menuju tujuan yang sama sebagai satu bangsa.

Banyak dari kita rindu masa lalu, karena masa lalu lebih simpel daripada masa kini. Tidak sedikit pemimpin nasionalis yang sepakat dengan ini. Globalisasi dan keterbukaan membuat orang lebih mudah berpindah tempat, baik secara fisik maupun virtual, lintas wilayah hingga lintas negara. Para alien berwujud manusia masuk dalam kehidupan kita membawa adat, budaya, dan nilai-nilai mereka, membuat kita tertegun karena keunikan mereka yang tak terlupakan. Virus-virus alien menghipnotis, mengacaukan mindset dan tindak-tanduk masyarakat homogen, dan… pusing kepala penguasa dibuatnya!

Sementara itu, masyarakat heterogen menghadapi kendala yang jauh berbeda. Iran memberlakukan bahasa Farsi sebagai bahasa resmi sebagai bagian dari standar budaya dengan cenderung mengabaikan bahasa minoritas. Tak adakah solusi lain? Hanya para penguasa di sana tahu jawabannya. Pemberlakuan standar secara paksa tidak hanya terjadi di Iran, sebenarnya. Seorang saksi hidup (yang kini sudah meninggal) terlibat dalam gerakan penyeragaman agama di suatu kepulauan terpencil Indonesia bertahun-tahun silam, saat masyarakat di pulau itu diwajibkan meninggalkan agama lokal dan memilih antara agama Islam, Kristen Protestan, atau Katolik. Pemberlakuan standar semacam ini pernah jadi kebijakan untuk mempersatukan masyarakat heterogen dengan cara meniadakan keragaman.

Lebih mudah mempersatukan beragam suku, ras, golongan, dan agama di masa perang, karena mereka sama-sama bertujuan menaklukkan musuh dan mau tidak mau harus bekerja sama. Karena hidup nikmat juga suatu cobaan, maka masalah datang kepada mereka ketika tujuan sudah tercapai. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, sehingga ia akan selalu berusaha mencapai kenyamanan hidup yang maksimal. Namun, standar hidup ideal tidak pernah sama bagi masing-masing kita. Persatuan kehilangan kekuatannya, melemah karena kepentingan yang saling bertabrakan sehingga diputuskan keragaman perlu dimusnahkan. Jadi, apakah nasionalisme itu cinta? 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...