Bahasa Inggris punya banyak kekurangan, meski berstatus bahasa persatuan dunia. Kata ‘we’ memperlihatkan impresi kemanunggalan antara banyak orang, yang menghadirkan citra kekokohan dan meyakinkan daripada kata ‘I’. ‘We’ seringkali diucapkan banyak tokoh pemimpin untuk mengarahkan kepercayaan khalayak kepada apa yang mereka sampaikan, walaupun ‘we’ dalam konteks tertentu bersifat eksklusif, tidak selalu mengarah kepada atau melibatkan orang yang diajak bicara.
Dalam Bahasa Inggris, we
(subyek) dan us (obyek) adalah kata
ganti orang pertama jamak yang sangat membantu tujuan penggalangan massa karena
kelenturan eksklusivitas dan inklusivitasnya. Ketika seorang presiden Amerika
Serikat (misalnya) berbicara di depan sidang PBB tentang perlunya warga dunia
mengutuk operasi
militer Rusia di Ukraina, ia bisa berkata, “’We’ condemn Russia invasion
over Ukraine,” meskipun ‘we’
tidak merepresentasikan semua negara anggota PBB secara kontekstual.
Persentase orang yang mencari nafkah di bidang bahasa hanya
sekian dari total penduduk dunia, mungkin akan lebih sedikit lagi jumlahnya
bila AI (artificial intelligence) kian fasih berbicara dalam banyak bahasa. Apa
pun perkembangan yang akan terjadi di masa depan, bahasa tetap adalah jembatan menjalin
hubungan dengan mereka yang ada di luar diri kita. Bahasa memberi bentuk kepada
semua hal yang keluar dari dan masuk ke dalam diri kita, yang pada gilirannya
menjadi alat untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ketika Subcomandante
Marcos berkata, “kata adalah senjata (our
word is our weapon),” maka bahasa adalah militer karena sama-sama punya
aturan baku yang tidak bisa dilanggar.
Sebuah akar diskriminasi
bahasa
Beberapa negara dengan mayoritas Muslim sedikit rikuh menanggapi
gelombang
aksi massa Iran yang memanas sejak akhir September 2022, mungkin mereka mengira
aksi tersebut wujud protes terhadap syariah Islam. Akar masalah kerusuhan sipil
Iran sebenarnya jauh dari masalah agama, walaupun dipicu kematian Mahsa Amini
(22) saat ditahan polisi moralitas Iran karena tidak berhijab sesuai peraturan.
Ketimpangan dan diskriminasi budaya serta bahasa atas kelompok etnis tertentu
di wilayah Asia Barat, inilah api dalam sekam yang membakar atmosfer Persia dewasa
ini.
Dinasti Hasanwayhid, Annazid, dan Ayyubid adalah penguasa
besar dari suku Kurdi di masanya, tetapi di era modern suku ini mengalami
persekusi berkelanjutan. Nasib buruk suku Kurdi bermula 1920 dengan runtuhnya
Kekaisaran Ottoman, Türkiye, sebagai hasil
akhir Perang Dunia I. Mustafa Kemal Attaturk, presiden Türkiye saat itu, menolak klausul Traktat Sevres
tentang pembentukan wilayah otonom bagi etnis Kurdi yang mendiami wilayah
Ottoman pra Perang Dunia I.
Selanjutnya, diterbitkanlah Traktat Lausanne (1923) yang mengabaikan
penyebutan apa pun tentang rumah untuk suku Kurdi. Akibatnya, sejumlah besar orang
Kurdi tersebar di empat negara (Iran, Irak, Turki, Suriah) sembari terus
memperjuangkan wilayah otonom untuk mereka. Tuntutan mereka bukan hanya diekspresikan
dalam unjuk rasa. Aksi
terorisme kerap mewarnai perjuangan mereka terutama setelah tokoh terkenal
suku Kurdi, Abdullah Öcalan, mendirikan Partai
Pekerja Kurdistan (PKK) yang berhalauan Marxis-Leninis. PKK berikut para anggota
dan simpatisannya ditetapkan sebagai kelompok teroris di berbagai negara,
termasuk Uni Eropa dan Türkiye.
Bahasa Persia sudah menjadi bahasa nasional Iran sejak
beberapa dekade silam menggantikan bahasa lokal kelompok etnis minoritas Kurdi,
Arab Khuzestan, Türkiye Azerbaijan,
Turkmenistan, dan Balochistan. Di bawah Republik Islam Iran, bahasa suku minoritas
dicap kuno, ketinggalan zaman, bahkan ada larangan mempelajari maupun
mengajarkan bahasa lokal/ daerah suku minoritas di sekolah. Mereka yang
menentang dihukum
berat dan dijebloskan ke penjara. Anda menganggap fenomena ini ekses
permusuhan abadi Islam Syiah versus Islam Sunni, mengingat penguasa dan
mayoritas warga Iran beraliran Syiah sementara kaum minoritasnya beraliran
Sunni? Waspadalah! Jangan biarkan sentimen agama menutupi cakrawala Anda.
Terorisme bukanlah makanan cepat saji; selalu ada latar
belakang panjang di balik keputusan seorang teroris memilih jalan kelamnya. Karena
semua manusia di Bumi butuh pengakuan atas keberadaaan mereka, maka pelarangan
bahasa berarti pelarangan budaya. Anda bisa dianggap punya hak lebih kecil untuk
eksis di dunia ini ketika seseorang mencela budaya Anda. Mengingat budaya
adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa manusia, maka diskriminasi budaya
adalah genosida tak berdarah secara perlahan atas intelektualitas mereka.
Dampak takut sakit
Analis JPMorgan meramalkan deglobalisasi adalah tren
2023, di mana deglobalisasi menurutnya adalah berhentinya Barat sebagai kiblat
dunia dalam hal perkembangan ekonomi. JPMorgan bukanlah paranormal yang
sekonyong-konyong membuat ramalan berdasarkan hasil penerawangan ke masa depan
dengan bantuan kekuatan supranatural. Prediksi JPMorgan yang semata-mata
berdasarkan logika dan berbagai peristiwa sepanjang 2022, seolah menyiratkan
pesimisme entitas bisnis kelas paus tentang perkembangan terkini dominasi
kelompok negara maju (Barat) terhadap kelompok negara berkembang (Timur).
Kuncitara global COVID-19 sepanjang 2020 menyadarkan banyak
kalangan bahwa isolasi total tidak menjamin manusia terhindar dari wabah
penyakit, karena virus dan bakteri selalu bisa menemukan celah-celah kecil
untuk menyusup dan menggerogoti ketahanan manusia. Manusia yang sudah sakit,
baik sakit maupun psikologis, sejak sebelum virus masuk adalah sasaran empuk
bagi COVID-19. Ada makna tersirat bahwa inilah fenomena ketika penyakit dan
kesedihan menjadi ganas pasca masuknya zat dari luar yang bertujuan mengakhiri
hidup seseorang. Menurut beberapa kisah pandemi, bukan virus melainkan
kuncitara memperparah penyakit yang diderita para pasien dan keluarga mereka.
Ramalan analis JPMorgan di atas seakan-akan memberikan
sinyal bahwa kuncitara global bisa saja diterapkan kembali di waktu mendatang
untuk tujuan yang berbeda. Saat ini, kuncitara sedang diberlakukan atas Rusia
dalam bentuk 6800 sanksi dan pengucilan dunia internasional sebagai “hukuman”
atas operasi militernya di Ukraina. Berhasilkah kuncitara termasif atas suatu
bangsa ini memelihara keamanan bangsa-bangsa lain? Siapa yang berperan sebagai
penyakit berbahaya dalam drama ini, Rusia atau negara-negara yang menghukumnya?
Kisah suku Kurdi pasca-Perang Dunia I dan etnis Rusia di Ukraina
hampir tak jauh beda, mereka adalah apa yang tersisa dari kejayaan suatu masa
lalu. Ketika kejayaan itu berakhir, orang-orang yang seharusnya mengayomi
mereka menyerah
pada ambisi pribadi, golongan, bahkan tekanan pihak luar. Kita tidak bisa
bertanya kepada Mustafa Kemal Attaturk, mengapa ia menolak menyetujui pendirian
wilayah khusus untuk suku Kurdi. Namun, kita masih bisa bertanya kepada pers
Barat mengapa diskriminasi atas bahasa dan budaya Rusia di Ukraina tidak
dipaparkan sama detailnya. Sukar dipercaya jika dalih pengabaian ini adalah rasa
takut pada virus komunisme, mengingat negara-negara pro demokrasi seperti
Swedia, Jerman, dan Prancis pernah dan masih menampung beberapa anggota PKK
yang “tercemar” Leninisme di suatu fase dalam kehidupan mereka.
Nasionalisme itu
cinta?
Nasionalisme adalah nama lain dari rasa cinta untuk tanah
air, yang akhir-akhir ini sering diungkapkan dalam bentuk seruan untuk
memprioritaskan produk dalam negeri, kepentingan negara, atau pembangunan adil
dan merata di seluruh negeri. Beberapa negara dengan penduduk homogen sejak
awal berdirinya, mungkin tidak mengalami hambatan berarti untuk menyatukan
warga negaranya. Mereka berbicara dan berperilaku menurut sebuah standar,
sehingga penguasa tahu pasti apa yang mereka butuhkan dan (seharusnya) mampu
mengemudikan perahu negeri menuju tujuan yang sama sebagai satu bangsa.
Banyak dari kita rindu masa lalu, karena masa lalu lebih
simpel daripada masa kini. Tidak sedikit pemimpin nasionalis yang sepakat
dengan ini. Globalisasi dan keterbukaan membuat orang lebih mudah berpindah
tempat, baik secara fisik maupun virtual, lintas wilayah hingga lintas negara. Para
alien berwujud manusia masuk dalam kehidupan kita membawa adat, budaya, dan
nilai-nilai mereka, membuat kita tertegun karena keunikan mereka yang tak
terlupakan. Virus-virus alien menghipnotis, mengacaukan mindset dan tindak-tanduk masyarakat homogen, dan… pusing kepala
penguasa dibuatnya!
Sementara itu, masyarakat heterogen menghadapi kendala yang
jauh berbeda. Iran memberlakukan bahasa Farsi sebagai bahasa resmi sebagai
bagian dari standar budaya dengan cenderung mengabaikan bahasa minoritas. Tak
adakah solusi lain? Hanya para penguasa di sana tahu jawabannya. Pemberlakuan
standar secara paksa tidak hanya terjadi di Iran, sebenarnya. Seorang saksi
hidup (yang kini sudah meninggal) terlibat dalam gerakan penyeragaman agama di
suatu kepulauan terpencil Indonesia bertahun-tahun silam, saat masyarakat di
pulau itu diwajibkan meninggalkan agama lokal dan memilih antara agama Islam,
Kristen Protestan, atau Katolik. Pemberlakuan standar semacam ini pernah jadi kebijakan
untuk mempersatukan masyarakat heterogen dengan cara meniadakan keragaman.
Lebih mudah mempersatukan beragam suku, ras, golongan, dan agama di masa perang, karena mereka sama-sama bertujuan menaklukkan musuh dan mau tidak mau harus bekerja sama. Karena hidup nikmat juga suatu cobaan, maka masalah datang kepada mereka ketika tujuan sudah tercapai. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, sehingga ia akan selalu berusaha mencapai kenyamanan hidup yang maksimal. Namun, standar hidup ideal tidak pernah sama bagi masing-masing kita. Persatuan kehilangan kekuatannya, melemah karena kepentingan yang saling bertabrakan sehingga diputuskan keragaman perlu dimusnahkan. Jadi, apakah nasionalisme itu cinta?