Senin, 01 April 2019

Perjalanan Panjang Mengubah Cara Memandang


Negatif dan positif adalah dua hal yang terelakkan dalam kehidupan ini. Kedua hal itu saling mengisi, ibarat laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, laut dan daratan, naik dan turun, jual dan beli, iblis dan malaikat. Selain menjadi rumusan yang mendefinisikan jati diri masing-masing, positif dan negatif juga menjadi elemen yang bisa menjelaskan keberadaan lawannya. Sesuatu bisa didefinisikan menjadi positif karena keberadaan negatif, demikian juga sebaliknya. Sudah banyak filosof yang mencoba menguraikan makna sesungguhnya di balik keduanya. Yang jelas, keduanya harus diterima sebagai keberadaan, tidak bisa ditolak meski dengan alasan yang benar secara moralitas ataupun kelayakan.

Dengan kata lain, persepsi tentang negatif dan positif ditanamkan pada benak manusia melalui pemaksaan oleh keluarga, masyarakat, dan institusi pendidikan sejak sesosok manusia masih sangat belia, dan tumbuh menjadi ingatan. Di saat manusia bertambah usia dan meninggalkan lingkungan masa kecilnya, ia akan memandang segala sesuatu di lingkungan barunya dengan persepsi yang telah tertanam di masa sebelumnya. Bila apa yang diamatinya ternyata bertentangan dengan persepsi awal tersebut, di sinilah terjadi dialog di dalam benaknya yang membicarakan mengapa ada sebuah Y, padahal sesuai ajaran yang diterimanya sesuatu itu seharusnya X.

Apa pun kesimpulan akhir yang diputuskan oleh benaknya, inilah yang menandakan bertumbuhnya pola pikir. Misi pendidikan dan pengajaran akhirnya tercapai, karena manusia mencoba menganalisa perbedaan yang ditemuinya. Namun, menganalisa membutuhkan daya dan upaya, yang artinya sama dengan proses itu melelahkan dan butuh banyak energi. Di jaman yang serba cepat di mana makanan instan menjadi kuliner favorit, hal yang melelahkan sedapat mungkin dihindari kalau tidak ada hasil finansialnya (baca: uang). Jadi tidak heran bila ada sejumlah individu yang malas menganalisa sebab dan cara bernegosiasi dengan perbedaan. Kemalasan itu bisa datang dari diri masing-masing yang kurang bersedia mengorbankan energi dalam menyikapi sesuatu. Ada juga situasi di mana individu bersedia menganalisa perbedaan, akan tetapi kehendaknya terpaksa patuh pada dorongan sekelilingnya yang tidak ingin mengusik kestabilan.

Menggeser cara pandang   

Manusia pada dasarnya adalah pecinta kestabilan: keluarga stabil, penghasilan stabil, harga-harga barang stabil, anak-anak yang stabil … Ketika goncangan dalam hidup tidak terhindarkan, manusia berusaha sedapatnya untuk mengembalikan situasi pada jalurnya semula. Padahal, tidak ada yang abadi. Bahkan pusat magnet Kutub Utara pun bisa bergeser jauh dari posisinya semula beberapa dekade silam. Memang tidak ada yang salah dengan mendambakan kestabilan, karena tanpa kestabilan sebuah keluarga tidak bisa hidup bahagia dan negara tidak bisa membangun. Akan tetapi, diri kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan negara kita, bukanlah satu-satunya entitas yang mencoba eksis dan bertahan di alam semesta. Dalam perjalanan mencapai kestabilan, sebuah entitas akan mengalami benturan dengan entitas-entitas lain yang juga berupaya mencapai kestabilannya masing-masing, di mana benturan itu akan selalu bermakna negatif karena menimbulkan ketidaknyamanan. Keadaan itu tidak dapat ditolak, walaupun kita sudah berupaya protektif agar tidak mengalami benturan dan dengan mulus bisa mencapai kestabilan. Sedangkan kecenderungan menghindari benturan alias cari aman adalah mekanisme pertahanan yang terbentuk setelah timbulnya pengandaian bahwa benturan pasti akan menghasilkan rasa sakit. 

Hendak cari aman atau menantang benturan, semua adalah pilihan masing-masing entitas. Banyak sekali hal-hal yang memengaruhi keputusan akhir, mulai dari latar belakang sosial budaya, pendidikan, ekonomi, idealisme sampai visi misi tentang masa depan. Entitas yang sudah tahu ke mana mereka akan melangkah, sudah pula memperhitungkan apa saja benturan yang akan menghadang. Dalam perjalanan itu mereka menyadari (dan bila bersedia mengakui), ternyata apa yang selama ini mereka percayai dan diajarkan para leluhur mereka dan para tetua tidak semua cocok diterapkan di masa yang terus berubah. Tetapi kita tidak dapat menyalahkan para pendahulu lantaran mencetuskan sesuatu yang tidak kompatibel dengan segala jaman, karena kita dan mereka dipisahkan rentang waktu yang berjauhan. Pada saat para pahlawan bangsa memperjuangkan kemerdekaan, mereka mungkin tidak menduga bahwa perang masih berlanjut beratus tahun kemudian dalam bentuk perang dagang, perang proxy, dan perang keyboard. Setiap generasi memiliki cita-citanya sendiri. Apa yang dicita-citakan para pendahulu tetap bisa kita perjuangkan meski dengan cara yang berbeda, karena pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa adalah bila kita sudah melupakan cita-cita itu.

Kita sama-sama tahu kan kalau negara kita tidak pernah kekurangan orang-orang pintar yang selalu terdepan dalam menemukan dan menerapkan cara-cara baru untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Namun apalah gunanya sebuah kecerdasan, bila tidak diimbangi dengan dinamisasi kecerdasan itu sendiri? Saya tidak mengatakan kita ini bangsa yang hina kecerdasannnya lho ya. Untuk dapat bertahan hidup, manusia terus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Itulah yang dilakukan manusia sejak mereka masih berbentuk manusia gua. Bagi sebagian orang, perubahan itu menyesakkan dada karena mengusik ketenteraman, walaupun mereka tahu perubahan itu bertujuan untuk mengarah pada kebaikan. Hal ini karena mereka cenderung membayangkan perubahan sebagai sesuatu yang akbar, massif, heboh, dan viral. Sesungguhnya, perubahan bisa dimulai dengan satu langkah mudah dan tidak harus disertai dengan kehebohan. Yaitu, mengubah cara pandang alias wawasan alias perspektif kita.

Pelajaran dari Negeri Seberang

Beberapa waktu lalu, melalui sebuah tulisan di koran lokal, seorang mantan pejabat tinggi mengungkap kekecewaannya mengapa pemerintah Indonesia tidak memanfaatkan sebuah kesempatan emas. Beliau menjelaskan, saat ini Arab Saudi berupaya membangun poros perminyakan baru dengan meningkatkan kerjasama dengan Cina, India, dan Pakistan. Arab Saudi melalui perusahaan minyaknya, Saudi Aramco, diketahui pernah mengincar sebuah sumber minyak di Tuban, Jawa Timur. Alih-alih menyambut penawaran Saudi Aramco, pemerintah Indonesia (baca: Pertamina) malah menandatangani kerja sama dengan Rosneft, sebuah perusahaan minyak dari Rusia, untuk mengeksplorasi kawasan itu. “Ada drama apakah di balik ini semua?” begitu tulis beliau. Sebenarnya tidak ada drama apapun. Pertamina memilih Rosneft sebagai mitra lantaran perusahaan tersebut menawarkan data-data eksklusif yang dapat mempercepat pengembangan proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban. Rosneft juga menawarkan hak eksklusif untuk bekerja sama di sektor hulu di Rusia.

Sama seperti Pertamina, Rosneft adalah perusahaan pelat merah. Perusahaan ini didirikan di tahun 1993 sebagai pewaris aset-aset Kementerian Minyak dan Gas Uni Soviet, tak lama setelah berakhirnya negara adidaya itu di awal 90-an. Dewasa ini Rosneft masuk peringkat 24 perusahaan minyak top dunia. Pencapaian ini diperoleh setelah perusahaan ini berhasil mengatasi berbagai halangan dan tantangan, termasuk krisis finansial selama krisis ekonomi Rusia 1998. Krisis ekonomi ini antara lain dipicu oleh dua faktor eksternal, yaitu menurunnya harga minyak dan energi dan krisis ekonomi Asia Tenggara (termasuk Indonesia) di tahun 1997. Maklum, salah satu konsekuensi daripada ekonomi pasar bebas adalah bukan hanya suatu negara bebas berdagang dengan negara manapun, namun juga ketidakberesan ekonomi di suatu negara bisa menjadi bencana ekonomi di negara-negara lainnya. Untuk menstabilkan situasi, Pemerintah Federasi Rusia dan Bank Sentral Federasi Rusia mengumumkan sebuah solusi. Pada 17 Agustus 1998, dua lembaga itu mengumumkan status gagal bayar terhadap sekuritas pemerintah dan mendevaluasi nilai tukar mata uang Rusia (rubel). Akibatnya, terjadi penurunan kepercayaan komunitas dan investor asing terhadap perbankan dan pemerintah Rusia. Sejumlah perusaahaan berskala kecil dan bank mengumumkan kebangkrutan. Para nasabah bank yang bangkrut pun kehilangan dana simpanan mereka, sementara dana para nasabah bank lainnya menyusut, standar hidup menurun, dan pengangguran meningkat. Meski menyakitkan dan dipandang tidak efektif, dampak kebijakan tersebut ternyata hanya berlangsung singkat.

Dengan diterapkannya devaluasi, nilai mata uang memang menjadi rendah di market internasional. Namun, harga barang lokal atau barang ekspor juga dirasa murah oleh negara pengimpor. Hal ini mendorong peningkatan permintaan barang dari negara pembeli, dan jenis barang yang ditawarkan ke konsumen luar negeri juga semakin bertambah. Inilah yang diterapkan di Rusia dan mendatangkan dampak positif, yaitu volume ekspor yang bertambah dan sekaligus menambah jumlah cadangan devisa karena peredaran mata uang asing di dalam negeri meningkat. Defisit anggaran pemerintah Federasi Rusia di tahun 1999 mencapai 2,5% dari PDB, membaik jika dibandingkan tahun 1998 di mana defisit anggaran mencapai 4,7% PDB. Menutup defisit anggaran pemerintah dengan cara berhutang dalam jumlah besar, dipandang tidak terlalu efektif untuk mencegah inflasi dan malah mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Lalu dengan cara apa defisit anggaran bisa diatasi? Cara yang diterapkan adalah meningkatkan ketertarikan investor untuk berinvestasi di sektor riil agar dapat berkontribusi pada pertumbuhan produksi.  

Lalu bagaimana dengan ideologi? Tidak banyak negara yang sukses menjalani proses perubahan dari satu ideologi menjadi ideologi lainnya. Kita tahu apa ideologi yang dianut Uni Soviet. Namun, generasi suksesornya sangat mewaspadai aspek negatif daripada komunisme, sehingga mereka mengubah ideologi negara untuk tujuan yang lebih baik, khususnya demi kesejahteraan warga negaranya. Demokrasi adalah ideologi Federasi Rusia, dan ada keinginan kuat menghindari terjadinya kembali kenangan pahitKita sudah saksikan bagaimana Amerika Serikat dan para sekutunya sangat ngeri dengan komunisme. Kengerian itu menciptakan hubungan “unik” di antara Amerika Serikat dan Rusia, walaupun paham tersebut sudah tidak tumbuh di Negeri Beruang Merah.. Sebuah kengerian yang bisa jadi adalah dampak daripada PTSD, alias post-traumatic stress disorder atau sejenis gangguan kejiwaan akibat menyaksikan peristiwa tertentu di masa lalu.

Kesimpulannya, sesuatu hal belum tentu sama persis seperti “kelihatannya”, “katanya”, dsb. Itulah tantangan yang membuat hidup ini lebih indah untuk dijalani, dan keindahannya adalah sebuah perpaduan antara positif, negatif, dan semua yang ada di antara keduanya. Bukankah negatif dan positif itu berjalan bersamaan? Meski daratan Bumi lama-lama habis akibat pertambahan jumlah penduduk, dunia masih sangat luas sebagai ruang bagi ide-ide baru dan perspektif-perspektif baru. Banyak peluang segar dan pencapaian sedang menanti bila kita bersedia membuka pintu dan menjalin hubungan manis dengan negara-negara lain. Yang jelas, kita tidak akan kemana-mana bila hanya menginginkan versi kita yang dijalankan dalam sebuah kemitraan. Sesuatu itu disebut kerja sama karena kedua belah pihak sama-sama mengutarakan visi dan tujuannya, kemudian saling membuka diri agar dapat menggali potensi masing-masing dan bekerja keras mencapai tujuan dengan memanfaatkan potensi tersebut.  Bukankah bersama itu lebih baik daripada sendiri? (swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...