Negatif dan positif adalah dua hal yang terelakkan dalam
kehidupan ini. Kedua hal itu saling mengisi, ibarat laki-laki dan perempuan,
langit dan bumi, laut dan daratan, naik dan turun, jual dan beli, iblis dan
malaikat. Selain menjadi rumusan yang mendefinisikan jati diri masing-masing,
positif dan negatif juga menjadi elemen yang bisa menjelaskan keberadaan
lawannya. Sesuatu bisa didefinisikan menjadi positif karena keberadaan negatif,
demikian juga sebaliknya. Sudah banyak filosof yang mencoba menguraikan makna
sesungguhnya di balik keduanya. Yang jelas, keduanya harus diterima sebagai keberadaan,
tidak bisa ditolak meski dengan alasan yang benar secara moralitas ataupun
kelayakan.
Dengan kata lain, persepsi tentang negatif dan positif
ditanamkan pada benak manusia melalui pemaksaan oleh keluarga, masyarakat, dan
institusi pendidikan sejak sesosok manusia masih sangat belia, dan tumbuh
menjadi ingatan. Di saat manusia bertambah usia dan meninggalkan lingkungan
masa kecilnya, ia akan memandang segala sesuatu di lingkungan barunya dengan
persepsi yang telah tertanam di masa sebelumnya. Bila apa yang diamatinya
ternyata bertentangan dengan persepsi awal tersebut, di sinilah terjadi dialog
di dalam benaknya yang membicarakan mengapa ada sebuah Y, padahal sesuai ajaran
yang diterimanya sesuatu itu seharusnya X.
Apa pun kesimpulan akhir yang diputuskan oleh benaknya,
inilah yang menandakan bertumbuhnya pola pikir. Misi pendidikan dan pengajaran
akhirnya tercapai, karena manusia mencoba menganalisa perbedaan yang
ditemuinya. Namun, menganalisa membutuhkan daya dan upaya, yang artinya sama
dengan proses itu melelahkan dan butuh banyak energi. Di jaman yang serba cepat
di mana makanan instan menjadi kuliner favorit, hal yang melelahkan sedapat
mungkin dihindari kalau tidak ada hasil finansialnya (baca: uang). Jadi tidak
heran bila ada sejumlah individu yang malas menganalisa sebab dan cara
bernegosiasi dengan perbedaan. Kemalasan itu bisa datang dari diri masing-masing
yang kurang bersedia mengorbankan energi dalam menyikapi sesuatu. Ada juga
situasi di mana individu bersedia menganalisa perbedaan, akan tetapi
kehendaknya terpaksa patuh pada dorongan sekelilingnya yang tidak ingin
mengusik kestabilan.
Menggeser cara
pandang
Manusia pada dasarnya adalah pecinta kestabilan: keluarga
stabil, penghasilan stabil, harga-harga barang stabil, anak-anak yang stabil …
Ketika goncangan dalam hidup tidak terhindarkan, manusia berusaha sedapatnya
untuk mengembalikan situasi pada jalurnya semula. Padahal, tidak ada yang
abadi. Bahkan pusat magnet Kutub Utara pun bisa bergeser jauh dari posisinya
semula beberapa dekade silam. Memang tidak ada yang salah dengan mendambakan
kestabilan, karena tanpa kestabilan sebuah keluarga tidak bisa hidup bahagia
dan negara tidak bisa membangun. Akan tetapi, diri kita, keluarga kita, masyarakat
kita, dan negara kita, bukanlah satu-satunya entitas yang mencoba eksis dan
bertahan di alam semesta. Dalam perjalanan mencapai kestabilan, sebuah entitas
akan mengalami benturan dengan entitas-entitas lain yang juga berupaya mencapai
kestabilannya masing-masing, di mana benturan itu akan selalu bermakna negatif
karena menimbulkan ketidaknyamanan. Keadaan itu tidak dapat ditolak, walaupun
kita sudah berupaya protektif agar tidak mengalami benturan dan dengan mulus
bisa mencapai kestabilan. Sedangkan
kecenderungan menghindari benturan alias cari aman adalah mekanisme pertahanan yang
terbentuk setelah timbulnya pengandaian bahwa benturan pasti akan menghasilkan
rasa sakit.
Hendak cari aman atau menantang benturan, semua adalah
pilihan masing-masing entitas. Banyak sekali hal-hal yang memengaruhi keputusan
akhir, mulai dari latar belakang sosial budaya, pendidikan, ekonomi, idealisme
sampai visi misi tentang masa depan. Entitas yang sudah tahu ke mana mereka
akan melangkah, sudah pula memperhitungkan apa saja benturan yang akan
menghadang. Dalam perjalanan itu mereka menyadari (dan bila bersedia mengakui),
ternyata apa yang selama ini mereka percayai dan diajarkan para leluhur mereka
dan para tetua tidak semua cocok diterapkan di masa yang terus berubah. Tetapi
kita tidak dapat menyalahkan para pendahulu lantaran mencetuskan sesuatu yang
tidak kompatibel dengan segala jaman, karena kita dan mereka dipisahkan rentang
waktu yang berjauhan. Pada saat para pahlawan bangsa memperjuangkan
kemerdekaan, mereka mungkin tidak menduga bahwa perang masih berlanjut beratus
tahun kemudian dalam bentuk perang dagang, perang proxy, dan perang keyboard. Setiap
generasi memiliki cita-citanya sendiri. Apa yang dicita-citakan para pendahulu
tetap bisa kita perjuangkan meski dengan cara yang berbeda, karena
pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa adalah bila kita sudah melupakan
cita-cita itu.
Kita sama-sama tahu kan kalau negara kita tidak pernah
kekurangan orang-orang pintar yang selalu terdepan dalam menemukan dan
menerapkan cara-cara baru untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Namun apalah
gunanya sebuah kecerdasan, bila tidak diimbangi dengan dinamisasi kecerdasan
itu sendiri? Saya tidak mengatakan kita ini bangsa yang hina kecerdasannnya lho
ya. Untuk dapat bertahan hidup, manusia terus menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi di sekitarnya. Itulah yang dilakukan manusia sejak
mereka masih berbentuk manusia gua. Bagi sebagian orang, perubahan itu
menyesakkan dada karena mengusik ketenteraman, walaupun mereka tahu perubahan
itu bertujuan untuk mengarah pada kebaikan. Hal ini karena mereka cenderung
membayangkan perubahan sebagai sesuatu yang akbar, massif, heboh, dan viral. Sesungguhnya,
perubahan bisa dimulai dengan satu langkah mudah dan tidak harus disertai
dengan kehebohan. Yaitu, mengubah cara pandang alias wawasan alias perspektif
kita.
Pelajaran dari Negeri
Seberang
Beberapa waktu lalu, melalui sebuah tulisan di koran lokal,
seorang mantan pejabat tinggi mengungkap kekecewaannya mengapa pemerintah
Indonesia tidak memanfaatkan sebuah kesempatan emas. Beliau menjelaskan, saat
ini Arab Saudi berupaya membangun poros perminyakan baru dengan meningkatkan kerjasama
dengan Cina, India, dan Pakistan. Arab Saudi melalui perusahaan
minyaknya, Saudi Aramco, diketahui pernah mengincar sebuah sumber minyak di
Tuban, Jawa Timur. Alih-alih menyambut penawaran Saudi Aramco, pemerintah
Indonesia (baca: Pertamina) malah menandatangani kerja sama dengan Rosneft,
sebuah perusahaan minyak dari Rusia, untuk mengeksplorasi kawasan itu. “Ada
drama apakah di balik ini semua?” begitu tulis beliau. Sebenarnya tidak ada
drama apapun. Pertamina
memilih Rosneft sebagai mitra lantaran perusahaan tersebut menawarkan data-data
eksklusif yang dapat mempercepat pengembangan proyek Grass Root Refinery (GRR)
Tuban. Rosneft juga menawarkan hak eksklusif untuk bekerja sama di sektor hulu
di Rusia.
Sama seperti Pertamina, Rosneft adalah perusahaan pelat
merah. Perusahaan ini didirikan di tahun 1993 sebagai pewaris aset-aset
Kementerian Minyak dan Gas Uni Soviet, tak lama setelah berakhirnya negara
adidaya itu di awal 90-an. Dewasa ini Rosneft masuk peringkat 24 perusahaan
minyak top dunia. Pencapaian ini diperoleh setelah perusahaan ini berhasil
mengatasi berbagai halangan dan tantangan, termasuk krisis finansial selama krisis
ekonomi Rusia 1998. Krisis ekonomi ini antara lain dipicu oleh dua
faktor eksternal, yaitu menurunnya harga minyak dan energi dan krisis ekonomi
Asia Tenggara (termasuk Indonesia) di tahun 1997. Maklum, salah satu
konsekuensi daripada ekonomi pasar bebas adalah bukan hanya suatu negara bebas
berdagang dengan negara manapun, namun juga ketidakberesan ekonomi di suatu
negara bisa menjadi bencana ekonomi di negara-negara lainnya. Untuk
menstabilkan situasi, Pemerintah Federasi Rusia dan Bank Sentral Federasi Rusia
mengumumkan sebuah solusi. Pada 17 Agustus 1998, dua lembaga itu mengumumkan
status gagal bayar terhadap sekuritas pemerintah dan mendevaluasi nilai tukar
mata uang Rusia (rubel). Akibatnya, terjadi penurunan kepercayaan komunitas dan
investor asing terhadap perbankan dan pemerintah Rusia. Sejumlah perusaahaan
berskala kecil dan bank mengumumkan kebangkrutan. Para nasabah bank yang
bangkrut pun kehilangan dana simpanan mereka, sementara dana para nasabah bank
lainnya menyusut, standar hidup menurun, dan pengangguran meningkat. Meski
menyakitkan dan dipandang tidak efektif, dampak kebijakan tersebut ternyata
hanya berlangsung singkat.
Dengan diterapkannya devaluasi, nilai mata uang memang
menjadi rendah di market internasional. Namun, harga barang lokal atau barang
ekspor juga dirasa murah oleh negara pengimpor. Hal ini mendorong peningkatan
permintaan barang dari negara pembeli, dan jenis barang yang ditawarkan ke konsumen
luar negeri juga semakin bertambah. Inilah yang diterapkan di Rusia dan
mendatangkan dampak positif, yaitu volume ekspor yang bertambah dan sekaligus
menambah jumlah cadangan devisa karena peredaran mata uang asing di dalam
negeri meningkat. Defisit anggaran pemerintah Federasi Rusia di tahun 1999
mencapai 2,5% dari PDB, membaik jika dibandingkan tahun 1998 di mana defisit
anggaran mencapai 4,7% PDB. Menutup defisit anggaran pemerintah dengan cara
berhutang dalam jumlah besar, dipandang tidak terlalu efektif untuk mencegah
inflasi dan malah mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Lalu dengan cara apa
defisit anggaran bisa diatasi? Cara yang diterapkan adalah meningkatkan
ketertarikan investor untuk berinvestasi di sektor riil agar dapat
berkontribusi pada pertumbuhan produksi.
Lalu bagaimana dengan ideologi? Tidak banyak negara yang
sukses menjalani proses perubahan dari satu ideologi menjadi ideologi lainnya.
Kita tahu apa ideologi yang dianut Uni Soviet. Namun, generasi suksesornya
sangat mewaspadai aspek negatif daripada komunisme, sehingga mereka mengubah
ideologi negara untuk tujuan yang lebih baik, khususnya demi kesejahteraan
warga negaranya. Demokrasi adalah ideologi Federasi Rusia, dan ada keinginan
kuat menghindari terjadinya kembali kenangan
pahit. Kita
sudah saksikan bagaimana Amerika Serikat dan para sekutunya sangat ngeri dengan
komunisme. Kengerian itu menciptakan hubungan “unik” di antara Amerika Serikat
dan Rusia, walaupun paham tersebut sudah tidak tumbuh di Negeri Beruang Merah.. Sebuah kengerian yang bisa jadi adalah dampak
daripada PTSD, alias post-traumatic stress disorder atau sejenis gangguan
kejiwaan akibat menyaksikan peristiwa tertentu di masa lalu.
Kesimpulannya, sesuatu hal belum tentu sama persis seperti
“kelihatannya”, “katanya”, dsb. Itulah tantangan yang membuat hidup ini lebih
indah untuk dijalani, dan keindahannya adalah sebuah perpaduan antara positif,
negatif, dan semua yang ada di antara keduanya. Bukankah negatif dan positif
itu berjalan bersamaan? Meski daratan Bumi lama-lama habis akibat pertambahan
jumlah penduduk, dunia masih sangat luas sebagai ruang bagi ide-ide baru dan
perspektif-perspektif baru. Banyak peluang segar dan pencapaian sedang menanti
bila kita bersedia membuka pintu dan menjalin hubungan manis dengan
negara-negara lain. Yang jelas, kita tidak akan kemana-mana bila hanya
menginginkan versi kita yang dijalankan dalam sebuah kemitraan. Sesuatu itu
disebut kerja sama karena kedua belah pihak sama-sama mengutarakan visi dan
tujuannya, kemudian saling membuka diri agar dapat menggali potensi
masing-masing dan bekerja keras mencapai tujuan dengan memanfaatkan potensi
tersebut. Bukankah bersama itu lebih
baik daripada sendiri? (swastantika)