Kamis, 21 November 2013

Makanan, Alasan Hidup Manusia Modern



“ Sudah makan?” Ini jenis pertanyaan yang pasti sering diajukan saat Anda bertandang ke rumah salah seorang rekan, kolega atau kerabat. Meski seolah-olah terdengar sangat penuh perhatian dan kelihatan mengkhawatirkan kesehatan sang tamu, Anda toh sebagai tamu tidak akan pernah tahu andaikan pertanyaan ramah tamah ini diajukan dengan harap-harap cemas, yang disembunyikan rapat-rapat di bawah tutur kata yang manis, terhadap ancaman berkurangnya jatah beras dan lauk pauk para penghuni rumah di lokasi kejadian akibat sang tamu dengan polosnya menerima tawaran yang diajukan secara penuh basa basi tersebut.

Urusan perut memang adalah sesuatu yang sangat vital. Menjadi salah satu kebutuhan primer manusia selain pakaian dan tempat tinggal, aktifitas memakan dan makanan itu sendiri adalah sumber tenaga yang dibutuhkan manusia dan makhluk-makhluk lain (kecuali makhluk halus tentunya) untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di muka Bumi. Kecuali hendak memenuhi tujuan spiritual yang mengharuskan Anda menjauhi makanan (misalnya dalam rangka memperoleh ilmu kekebalan atau sedang menjalani puasa di bulan suci), mustahil makhluk jenis apapun dapat hidup secara wajar tanpa makan.

Seiring dengan berlalunya waktu, motif dan kecenderungan manusia terhadap makanan mulai berubah. Jika manusia di zaman batu mengambil manfaat dari makanan sebesar-besarnya demi mempertahankan keberlangsungan hidupnya, manusia modern menggunakan makanan sebagai alasan yang mendasari segala tindakan sehari-hari. Perubahan dari ‘makan untuk hidup’ menjadi ‘hidup untuk makan’ secara sekilas memang menampakkan perkembangan dalam cakrawala kontemplasi manusia terkini. Oleh karena itu, manusia mulai memikirkan berbagai cara untuk merekayasa makanan agar tampak berharga dan sensasi kelezatan rasanya sebanding dengan perjuangan sesosok individu untuk menghadirkannya sebanyak 3 kali sehari, bahkan kalau perlu lebih, di meja makan masing-masing.

Pemujaan Terhadap Rasa
Tidak seberuntung manusia masa lampau, manusia modern harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi Bumi yang terus menua. Sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk, sumber makanan yang terdapat di alam pun mulai menipis, dan para manusia terpaksa terlibat dalam kompetisi sehat maupun tidak sehat diantara mereka sendiri untuk memenangkan makanan, dan atau lahan untuk mencari makan. Para manusia yang hidup di daerah dengan iklim ekstrem dan sering berubah mempunyai kecenderungan menjadi manusia yang lebih tabah, tegas, penuh perhitungan untung rugi, sistematis dan cerdik. Sedangkan para manusia di daerah tropis, misalnya, yang dikaruniai dua jenis musim yang saling mengimbangi, kering dan basah, menjadi manusia dengan pola pikir lebih sederhana sebagai akibat keberlimpahan sumber makanan yang memanjakan mereka. 

Kasih sayang alam kaya raya yang tak berkesudahan rupanya menjadi bumerang tatkala para manusia tropis dihadapkan pada permasalahan yang rumit dan tak terpecahkan oleh visi sederhana yang terbentuk turun temurun.  Persaingan yang makin ketat dalam hal berebut makanan meninggalkan bekas kekecewaan di dalam hati, penolakan atas keadaan namun enggan melakukan sesuatu terhadapnya, dan melarikan diri dari kenyataan pahit tersebut dengan memuaskan hasrat dalam berbelanja pakaian, gadget atau barang remeh-temeh lainnya atau apa saja demi melenyapkan kekecewaan meski hanya sementara.    
Makanan adalah merupakan tempat pelarian yang nyaman bagi sebagian orang. Karena ia dapat dengan mudah ditemukan dimana pun, harganya pun bersahabat. Hal ini membuat manusia memutar otak, agar bukan hanya rasa asin, manis dan asam juga yang dapat mengelabui perasaan kelabu mereka. Dibutuhkan keberadaan rasa yang lebih dahsyat, agar manusia terus tergoda untuk mencicipinya lagi dan lagi dan membelinya kembali.  Berangkat dari pemikiran yang berbau hedonis inilah Profesor Kikunae Ikeda menyatakan ekstrak ganggang laut Laminaria japonica sebagai rasa baru pada tahun 1908. Pak Profesor Ikeda kemudian memberi nama senyawa kimia ini monosodium glutamate (MSG), dan mengajukan hak paten atasnya untuk tujuan komersil. Meski demikian, rasa MSG tidak akan menjadi lezat saat zat ini tampil seorang diri, kecuali jika dikombinasikan dengan senyawa rasa aktif lain agar dapat digunakan sebagai penyempurna rasa masakan pada umumnya. 

Bahaya di Balik Kelezatan
Namun sebagaimana pepatah ‘tak semua yang berkilau adalah emas’, demikian pula analogi yang sama berlaku pada sensasi kelezatan sesaat MSG. Sejumlah penyakit siap mengancam siapapun dan dari segala tingkatan usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, yang mengkonsumsi makanan ber-MSG dalam jangka panjang. Meski penelitian resmi mengelak bahwa MSG tidak berbahaya, namun sejumlah keluhan kerap muncul setelah mengkonsumsi makanan dengan kandungan MSG yang cukup tinggi. Keluhan seperti pusing, mual dan tenggorokan gatal adalah yang paling umum dikemukakan, dan dikenal dengan nama ‘chinese food syndrome’. Dampak yang lebih ekstrem dari kelezatan artifisial ini adalah kerusakan jaringan otak, dan konsumsi MSG pada ibu hamil juga diasumsikan sebagai faktor pemicu timbulnya sindrom autisme pada jabang bayi dalam kandungan.

Kewaspadaan serupa juga datang dari makanan yang berbahan dasar daging, baik daging sapi, ayam maupun ikan. Dalam sebuah bukunya, Anand Krishna, seorang spiritualis yang sempat kondang namanya di Indonesia beberapa dekade silam, saat  hendak disembelih hewan-hewan ternak seperti sapi, domba, kambing atau ayam melepaskan suatu hormon dalam tubuhnya yang terstimulasi dari  perasaan takut yang teramat sangat. Hormon ini menempel pada dagingnya, dan ikut termakan oleh manusia. Akumulasi hormon yang terus bertambah, terlebih lagi jika Anda penggemar berat makanan berbahan dasar full daging seperti rendang, berpotensi mengakibatkan timbulnya inflamasi dalam tubuh manusia dan menjadi pemicu sejumlah penyakit semacam jantung, kanker, diabetes,dll.  

Dunia kedokteran mengenal nama George Chyene, yaitu seorang fisikawan, filsuf dan ahli matematika yang lahir tahun 1671 di Aberdeenshire Skotlandia. Pada masa itu sangat lumrah jika seorang dokter berkunjung ke rumah para pasien dan berdiskusi tentang masalah kesehatan. Kadang kala klien mengajaknya minum-minum di luar rumah, dan karena pasiennya cukup banyak maka semakin seringlah ia pergi ke restoran untuk makan dan minum alkohol. Suatu saat Pak Cheynes menyadari bahwa kebiasaan itu menyebabkan tubuhnya makin tambun dan tidak sehat. Kemudian ia berhenti minum alkohol, tidak makan daging sama sekali dan menggantikannya dengan sayuran serta susu sapi. Upaya tersebut membuahkan hasil, berat badan Pak Cheynes berkurang sedikit demi sedikit dan ia pun merasa sehat kembali. Pengalaman tersebut membuatnya menyadari adanya efek yang lebih dari sekedar nutrisi ataupun inflamasi yang diakibatkan oleh makanan. “Menurut saya,” kata Pak Cheynes suatu hari. “..berbagai penyakit yang menggerogoti tubuh dan jiwa, baik berupa rasa nyeri maupun perasaan melankoli (baca:galau) adalah karena makanan.” 

Jadi sekarang Anda tahu 'kan mengapa suasana hati sering tak menentu, atau menjadi tercerahkan karena memahami alasan mengapa rakyat yang dikenal ramah tamah oleh negara-negara tetangga menjadi beringas, seperti yang tercermin pada meningkatnya kasus perkelahian, amuk massa, tawuran, bahkan pembantaian antar anggota keluarga. Bisa jadi inti masalah atau pemicu tindak kekerasan membabi buta bukan karena kesalahan dari satu pihak yang ditanggapi secara hiperbola oleh pihak lainnya. Bisa jadi kedua belah pihak sama-sama bersalah, namun tidak berhasil menyadarkan diri masing-masing. Bisa jadi makanan lezat yang mereka makan memicu darah tinggi dan melumpuhkan kemampuan otak untuk berpikir matang, mengatur strategi serta memahami cara kerja hukum sebab-akibat. Atau, bisa jadi makanan yang Anda santap dibeli dari uang yang bukan milik Anda.  (swastantika).

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...