“A gentleman will walk
but never run” (
Sting )
Carousel adalah sebuah drama musical yang
dipentaskan pada tahun 1945 oleh Oscar Hammerstein sebagai penulis lirik lagu dan
Richard Rodgers sebagai sutradara. Berkisah tentang sepasang kekasih Billy
Bigelow dan Julie Jordan yang sama-sama berasal dari kelas pekerja rendah.
Suatu saat Julie dinyatakan hamil dan Billy yang saat itu berada dalam
keterdesakan keuangan tergoda melakukan perampokan untuk mendapatkan uang
dengan cepat untuk istri dan calon anaknya. Namun, apa daya, perampokan itu
gagal dan Billy nekat membunuh dirinya sendiri untuk menghindari penangkapan
pihak berwajib. Kenyataan itu membuat Julie sangat terpukul. Cerita yang
merupakan awal dari babak kedua drama musikal itu dimulai dengan penghiburan
untuk Julie saat sepupunya, Nettie Fowler, menyanyikan sebuah lagu yang konon
akan melegenda dan masih dinyanyikan jutaan manusia di seluruh dunia hingga
saat ini , You’ll Never Walk Alone.
Dalam kenyataannya kita memang tak pernah
berjalan sendirian. Bukan, bukan bayangan yang setia menemani kita, karena ia
akan menghilang bersama tenggelamnya matahari. Bukan pula kekasih, orang
tua,anak-anak, teman sepermainan maupun sanak family, karena akan tiba saatnya
salah satu diantara kita atau mereka akan pergi mendahului. Bukan pula Tuhan,
karena kita juga tidak akan pernah tahu kapan Dia datang atau kapan Dia pulang.
Perlu Anda ketahui bahwa tulisan ini bukan bermaksud menggurui, memfilosofi
maupun memotivasi. Melainkan hanya bahasan terhadap sebuah kabar yang tersebar
melalui internet akhir-akhir ini tentang adanya rumor tentang keberadaan
pihak-pihak yang selalu setia mengawasi, mengamati, mencatat, mendokumentasikan
dan merekam secara detil kegiatan setiap sosok yang bernama manusia. Mereka
tahu jam berapa Anda berangkat dan pulang kerja, kuliah maupun sekolah, nama
atasan,karyawan,orang tua, anak-anak,suami, istri,pacar,mantan
pacar,selingkuhan. Mereka tahu dengan siapa Anda pergi makan siang, penyebab
pertengkaran Anda dengan istri/ suami, alasan geng Anda mem-bully seorang rekan kantor, berapa
jumlah uang Anda di bank dan berapa lama Anda menunggak cicilan sepeda motor.
Sebuah artikel berjudul ‘Governmental Social
Media Surveillance Leaked WikiLeaks Stratfor Email’ menyebutkan bahwa ‘not only the CIA OSC, and Stratfor are monitoring Facebook and Twitter
or other social medias – also The NSA and for sure Germanys BND and other
surveillance Agencys are up into the great spying machine called the internet.
and the social media networks are their most powerful tools.’ Bukan hanya CIA OSC (Open Source Centre),namun
juga NSA, BND dan sejumlah biro intelijen mancanegara lainnya yang melakukan
pengawasan terhadap internet, dan jejaring media sosial adalah sumber informasi
utama mereka. Atas nama upaya menjaga stabilitas dan keamanan Negara, mereka
mengakui telah melakukan pengawasan melalui sarana CCTV yang terpasang di
setiap obyek vital, penyadapan percakapan telepon kantor, umum,pribadi maupun
intim, perekaman sidik jari secara massal dan sejumlah kegiatan ‘stalking’
lainnya. Pengawasan biasanya dilakukan terhadap sejumlah warga yang berpotensi
menjadi ‘hama’ bagi stabilitas, seperti aktivis buruh, pekerja public yang
‘lurus’, aktivis mahasiswa, penggiat LSM, pemerhati isu lingkungan, dan
sejumlah tukang protes lainnya.
Pelanggaran HAP (
Hak Asasi Privasi ) Berat?
Beberapa kalangan mengkritisi kebijakan ini
sebagai pelanggaran terhadap privasi individu. Meskipun dalam kenyataannya jauh
sebelum kebijakan ini diterapkan masyarakat malah melahap mentah-mentah berita
dan gossip seputar kehidupan pribadi penyanyi, pemain film, olahragawan,
bangsawan, politisi dan sejumlah figure terkenal lainnya. Dimana hal itu justru
merupakan pelanggaran hak privasi yang lebih serius, karena disertai dengan
tindakan menyebarluaskan kehidupan pribadi sang bintang secara massal demi
mendapatkan pemasang iklan, ataupun keuntungan dari segi financial lainnya.
Namun, dalam tulisan ini kita tidak akan membahas mengenai faktor K, yaitu
kemungkinan adanya Kesengajaan dari
pihak sang bintang dalam mengumbar sisi pribadi kehidupannya agar mendapatkan
perhatian media.
Bukankah kita pun, sadar atau tidak sadar,
seringkali menjual kehidupan pribadi kita kepada public melalui ungkapan
kemarahan, kebencian, kebahagiaan, kegalauan, dan kalimat-kalimat lebay lainnya
dalam status terbaru di jejaring sosial ? Kita telah dengan sengaja membuka
diri agar mereka, para pemantau itu, mengetahui dengan mudah segala sisi gelap
dan terang diri Anda. So what ? Kita kan juga tidak kenal mereka, kantornya
dimana, atasannya siapa, manusiakah mereka, atau masih makan nasikah mereka. You know me, but do I know you? Nyata
dan tidaknya mereka kita juga tidak akan pernah tahu. Yang kita tahu secara
pasti, manusia menaruh perhatian dalam porsi besar terhadap keberadaan para
pemantau, dibuktikan dengan laris manisnya sejumlah film yang terinspirasi
kisah para intelijen seperti Munich, Enemy Of the State, Bourne Trilogy,
Breach, Spy Game, dan yang barusan berjaya di Oscar, Argo.
Dapat kita simpulkan, bahwa surveillance
secara merata yang telah diterapkan sebagian atau bahkan seluruh penguasa di
dunia modern kepada warganya adalah sebuah tindakan atau keputusan yang boleh
dan sah, meskipun Anda merasa risi jika membayangkan seseorang di luar sana
mengetahui berapa kali dalam sehari Anda mengumpuli istri. Dapatkah kita
melarang inisiatif sekelompok orang yang rela meronda semalam suntuk tanpa
imbalan demi menjaga keamanan kampung? Salahkah mereka yang berniat melindungi
warganya dengan jalan mengambil upaya pencegahan bahkan di saat suatu niat
untuk berbuat criminal masih menjadi angan-angan dalam lamunan para pelakunya? Apakah
Anda merasakan adanya gangguan terhadap privasi ataukah terhadap kemungkinan
terbongkarnya rahasia kelam di masa lalu? Lha emangnya Anda itu siapa? Artis?
Standing Applaus
Suatu hari kami mendengar berita duka dari
seorang rekan yang telah berpulang dengan diam-diam. Ia dikenal sebagai seorang
seniman multi talenta yang mahir dalam berbagai bidang kesenian, diantaranya
melukis dan memainkan alat musik. Ia mencintai keduanya seperti ia mencintai
dirinya sendiri, dan ia tak kan bisa hidup baik-baik saja jika meninggalkan
salah satu dari keduanya. Waktu berlalu dan tiba saatnya ia hidup berumah
tangga. Dengan posisi sebagai kepala keluarga yang wajib memberikan nafkah, ia
dihadapkan pada situasi pelik untuk memilih manakah diantara keduanya yang
lebih bermanfaat secara ekonomis. Namun ia tak pernah berdaya untuk menjatuhkan
pilihan. Keraguan itu mengikis kesadarannya sedikit demi sedikit, mengakibatkan
dirinya jatuh pingsan tanpa pernah bangun lagi untuk selamanya. Sesaat menjelang
koma, saya masih sempat mempertanyakan keputusannya untuk tidak memilih.
‘Well,’ jawabnya ‘ kau tahu kan banyak pelukis yang berkarya kemudian kaya
raya, namun mereka tak akan pernah mendapatkan tepuk tangan ‘.
Itulah mengapa seniman cenderung tampil eksentrik, percaya diri untuk tampil membahana di tengah manusia yang hidup normal dalam kesehariannya. Mereka hadir dengan kepribadiannya yang saling tarik menarik, yang disadari atau tidak merupakan bagian dari upaya merebut perhatian orang kepadanya dan karya-karyanya. Mereka tampil dan memanfaatkan berbagai piranti, termasuk dirinya sendiri, sebagai media untuk mempresentasikan ekspresi maupun buah pemikirannya kepada khalayak. Kebebasan berekspresi ( freedom of expression ) sudah nyata-nyata diakui sejak puluhan tahun silam, sekaligus menegaskan hak setiap orang untuk mengungkapkan ekspresi meskipun ia bukanlah individu yang ditakdirkan tersesat menjadi seorang seniman. Kenyataannya, berbagai undang-undang trivia (UU santet, kumpul kerbau dan pornografi) yang dijejalkan ke ranah public baik local maupun internasional belakangan ini seperti hendak mengakui kekhawatiran penguasa terhadap kemungkinan lepas liarnya kebebasan berekspresi menjadi iblis anarkis. Penguasa seolah-olah menganggap kaum sipil adalah golongan kelas dua yang lugu, labil, naïf, kurang pandai, dan meng-underestimate-kan kemampuan serta keberanian warga Negara dalam mempertanggungjawabkan ekspresinya masing-masing.
Itulah mengapa seniman cenderung tampil eksentrik, percaya diri untuk tampil membahana di tengah manusia yang hidup normal dalam kesehariannya. Mereka hadir dengan kepribadiannya yang saling tarik menarik, yang disadari atau tidak merupakan bagian dari upaya merebut perhatian orang kepadanya dan karya-karyanya. Mereka tampil dan memanfaatkan berbagai piranti, termasuk dirinya sendiri, sebagai media untuk mempresentasikan ekspresi maupun buah pemikirannya kepada khalayak. Kebebasan berekspresi ( freedom of expression ) sudah nyata-nyata diakui sejak puluhan tahun silam, sekaligus menegaskan hak setiap orang untuk mengungkapkan ekspresi meskipun ia bukanlah individu yang ditakdirkan tersesat menjadi seorang seniman. Kenyataannya, berbagai undang-undang trivia (UU santet, kumpul kerbau dan pornografi) yang dijejalkan ke ranah public baik local maupun internasional belakangan ini seperti hendak mengakui kekhawatiran penguasa terhadap kemungkinan lepas liarnya kebebasan berekspresi menjadi iblis anarkis. Penguasa seolah-olah menganggap kaum sipil adalah golongan kelas dua yang lugu, labil, naïf, kurang pandai, dan meng-underestimate-kan kemampuan serta keberanian warga Negara dalam mempertanggungjawabkan ekspresinya masing-masing.
Kita sudah lama mengakui bahwa dunia itu
adalah memang panggung sandiwara. Di bawah gemerlapnya sorotan lampu kita
memerankan lakon dari episode kehidupan pribadi masing-masing. Suatu saat kita
memerankan tokoh protagonist, di lain hari kita memakai topeng antagonist. Akan
tetapi, seorang pelakon drama membutuhkan kehadiran penonton untuk memberikan standing applaus, serta saweran berupa
uang maupun sepatu. Maka, teruskanlah kau bernyanyi dan jangan lagumu terhenti.
Mari kita berikan hiburan terbaik untuk ‘para pengagum (pemantau)’ rahasia.
(swastantika)