Sebagai
orang tua yang sudah meninggalkan bangku sekolah dan kuliah selama
bertahun-tahun, sampai saat ini pun saya masih bertanya-tanya, mengapa dulu
saya harus bersekolah, dan mengapa saya mau saja disuruh orang tua berangkat ke
sekolah sambil memanggul puluhan buku tebal dalam tas kami, menelan
mentah-mentah pelajaran tambahan, pengayaan, uji kemampuan bulanan, harian
maupun tahunan, serta semua materi yang dijanjikan akan menjadikan kami menjadi
manusia yang lebih cerdas dan bermartabat di masa mendatang.
Buat kami, guru tidak masuk karena sakit
adalah hal yang ditunggu-tunggu semua murid, mulai dari ketua kelas sampai
siswa teladan. Bukan hendak membalas dendam lantaran sering dimarahi, lalu
mendoakan kesialan menimpa guru tercinta. Melainkan , at least, kami dapat merasakan
sensasi senang dan santai berada di sekolah, berinteraksi dengan teman-teman
senasib, membaca buku atau mendengarkan musik dari walkman dan radio transistor
(harap maklum karena Mp3 player dan iPod saat itu masih berupa
angan-angan penciptanya masing-masing) yang dibawa secara sembunyi-sembunyi. Mangkir alias bolos sekolah adalah suatu
pelanggaran terhadap peraturan yang sedikit menantang adrenalin. Biar orang mau
berkata apa, yang penting kami senang
Meski
kedengaran sedikit ‘anti sistem’, namun kami mengakui perilaku melanggar
peraturan menimbulkan kepuasan tersendiri dalam batin, semacam upaya pembuktian
terhadap paranoia para orang tua, sekolah dan, bahkan, pemerintah. Bukti bahwa
kami punya nyali untuk tampil sebagai insan yang tidak dapat disamakan, dan lebih
mengerti perubahan zaman dibandingkan kaum renta. Dalam sudut pandang kami, penyimpangan perilaku yang kami lakukan bukan
merupakan suatu penyakit berbahaya yang harus diberantas dengan penambahan jam
pelajaran tentang moral dan berbagai jenis norma-norma sosial. Melainkan semacam takdir kegalauan batin alami
yang dialami sesosok manusia dewasa berusia muda, semacam bentuk protes
terhadap kenyataan mengapa harus menjadi ‘besar’ di dalam tubuhnya yang
‘kecil’, dan sebaliknya.
Karakter Instan
Seorang pemerhati pendidikan
terkemuka, Arif Rahman mengatakan, dirinya merasa kecolongan dengan adanya
beberapa peristiwa kekerasan yang melibatkan pelajar, baik sebagai korban
maupun pelaku, belakangan ini. Dengan besar hati beliau menandaskan, peristiwa itu merupakan cermin kesalahan serta tanggung
jawab dari orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah sebagai penyelenggara
pendidikan yang ternyata gagal membentuk watak anak muda kita. Sementara itu,
Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, menampik tawuran
merupakan akibat dari kegagalan sistem pendidikan (Antara, 30/9), karena hanya
dilakukan sebagian kecil pelajar yang berdomisili di Jakarta dan tidak terjadi
di tempat lain di luar Jakarta ( kecuali Makassar ).
Watak, karakter, perilaku, ketiga
hal inilah yang selalu menjadi kambing hitam atas semakin beringasnya perilaku
generasi penerus kita, menurut sudut pandang kita sebagai pendidik maupun orang
tua. Namun, siapakah yang dapat
mengetahui tentang visi remaja kita tentang masa depan ? Karena toh nyatanya
degradasi tidak hanya terjadi pada kualitas udara yang kita hirup, tetapi juga
pada strategi dan metodologi yang diaplikasikan untuk mencapai suatu tujuan. Bahwa
menurut mereka untuk mendapatkan pengakuan atas kehebatan, ketenaran, dan popularitas
tidak memerlukan jerih payah berdarah-darah seperti nasihat para leluhur,
melainkan cukup dengan meng-upload foto, video, tweet maupun status senarsis
dan sesensasional mungkin tentang diri dan dunianya masing-masing, jawaban lugas
dari pertanyaan ‘what’s on your mind?’, terbebas sejenak dari segala bentuk
peraturan yang membelenggu dirinya.
Namun,
sang anak hanya mengidentifikasikan dirinya sebagai pemilik, pengguna, tak
pernah menjadi pencipta; dia tidak menemukan dunia ini, dia hanya
menggunakannya: yang disiapkan bagi dia, ada tindakan-tindakan tanpa
petualangan, tanpa pertanyaan, tanpa rasa senang ( Roland Barthes ). Maka
wajarlah jika sebuah surat kabar nasional menyimpulkan gejala depresi manusia
modern ada kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
bersosialisasi di jejaring sosial. Mereka menanti dengan penuh harap tanggapan
simpatik dalam komentar rekan-rekan mayanya, namun tidak siap dengan sikap
sinis maupun apatis yang mungkin saja terposting. Kesibukan bermain gadget membuat mereka lupa
cara menghadapi kenyataan hidup, dan sibuk mencari sasaran pelampiasan
kemarahan. Sikap diam anak muda di rumah
justru merupakan lampu kuning bagi kita, adakah mereka hanya menunggu waktu dan
kesempatan untuk melampiaskan ketidakpuasannya terhadap ketidak ramahan dunia secara
membabi buta ?
#Save Our Children
Pernahkah Anda mendengar nama Leonardo
Da Vinci ? Ya, dia adalah kreator di balik buah karya fenomenal sepanjang masa,
Monalisa, yang ternyata juga adalah seorang musisi, koki dan ilmuwan. Melalui
sketsanya ia mencoba mengungkapkan hasil pengamatan tentang cara terbang seekor
burung (yang di kemudian hari dikembangkan oleh Wright Bersaudara menjadi alat
transportasi yang bernama pesawat terbang), desain kapal selam, jam, kanon uap,
pompa hidrolik dan sebuah studi tentang anatomi tubuh manusia. Sejarah mencatat
kemampuan Da Vinci (di kemudian hari beliau diketahui juga mengidap sindroma
autism) yang belum tertandingi dalam hal menggabungkan gambar nyata suatu
rancangan (gambar teknik) dengan unsur keindahan, yang mengilhami banyak orang
hingga detik ini.
Eksistensi Da Vinci seakan mengamini
pengertian umum tentang seni, yakni sebuah aktifitas yang merupakan hasil
cipta, rasa dan karsa manusia yang memiliki nilai keindahan. Aktifitas
sederhana ini memang hanya membutuhkan kebebasan para pelakunya untuk mengekspresikan
segala bentuk ide. Dengan berkesenian manusia tidak harus menjadi seseorang
yang tidak diinginkannya, karena setiap ekspresi dalam seni membutuhkan
kejujuran terhadap apa yang dirasakan di dalam benak masing-masing. Seni juga
merupakan suatu titik dimana ilmu
mengawali langkah fenomenalnya untuk kali pertama, dimana tiap manusia
dapat menumbuhkan keingintahuan di dalam dirinya masing-masing, serta
membebaskan mereka untuk menemukan berbagai pengetahuan di pelbagai
kedalamannya yang mencengangkan.
Akan tetapi, waktu berlalu begitu
cepat, dan kebutuhan naluri berksperesi dipandang sebagai penghambat kemajuan.
Terbukti, kurikulum pendidikan dasar dan menengah di negeri ini kian
meminggirkan mata pelajaran Kesenian sebagai mata pelajaran wajib. Kesenian
dianggap tidak membawa manfaat, selain sebagai penggembira acara peresmian
gedung, tujuhbelasan, atau pentas akhir tahun ajaran. Dibanding mata pelajaran
eksak seni tidak akan membuat orang menjadi kaya raya dan terkenal, karena tidak ada kisahnya orang berlatar
belakang pendidikan seni meraih posisi mapan di sebuah perusahaan. Namun,
apakah tujuan mendidik adalah untuk menjadikan sang anak kaya ketika mereka
dewasa, sehingga kita bira balik modal ?
Manusia tidak dapat disebut pandai
plus jenius hanya karena ia dapat memecahkan sejuta persoalan matematika dan
fisika. Apalah artinya sebuah kepandaian, jika tidak dibarengi dengan kepekaan
rasa terhadap keberadaan individu lain di sekitarnya. Berartikah kejeniusan
bila hanya mendatangkan penderitaan bagi sesama ? Berhati-hatilah terhadap
kekayaan, kecuali bila tidak keberatan menjadi korban kriminalitas., atau
kehilangan nyawa.
(swastantika)