Rabu, 31 Oktober 2012

RASA YANG MENDIDIK


        Sebagai orang tua yang sudah meninggalkan bangku sekolah dan kuliah selama bertahun-tahun, sampai saat ini pun saya masih bertanya-tanya, mengapa dulu saya harus bersekolah, dan mengapa saya mau saja disuruh orang tua berangkat ke sekolah sambil memanggul puluhan buku tebal dalam tas kami, menelan mentah-mentah pelajaran tambahan, pengayaan, uji kemampuan bulanan, harian maupun tahunan, serta semua materi yang dijanjikan akan menjadikan kami menjadi manusia yang lebih cerdas dan bermartabat di masa mendatang.
 Buat kami, guru tidak masuk karena sakit adalah hal yang ditunggu-tunggu semua murid, mulai dari ketua kelas sampai siswa teladan. Bukan hendak membalas dendam lantaran sering dimarahi, lalu mendoakan kesialan menimpa guru tercinta. Melainkan , at least,  kami dapat merasakan sensasi senang dan santai berada di sekolah, berinteraksi dengan teman-teman senasib, membaca buku atau mendengarkan musik dari walkman dan radio  transistor  (harap maklum karena Mp3 player dan iPod saat itu masih berupa angan-angan penciptanya masing-masing) yang dibawa secara sembunyi-sembunyi.  Mangkir alias bolos sekolah adalah suatu pelanggaran terhadap peraturan yang sedikit menantang adrenalin. Biar orang mau berkata apa, yang penting kami senang
Meski kedengaran sedikit ‘anti sistem’, namun kami mengakui perilaku melanggar peraturan menimbulkan kepuasan tersendiri dalam batin, semacam upaya pembuktian terhadap paranoia para orang tua, sekolah dan, bahkan, pemerintah. Bukti bahwa kami punya nyali untuk tampil sebagai insan yang tidak dapat disamakan, dan lebih mengerti perubahan zaman dibandingkan kaum renta.  Dalam sudut pandang kami,  penyimpangan perilaku yang kami lakukan bukan merupakan suatu penyakit berbahaya yang harus diberantas dengan penambahan jam pelajaran tentang moral dan berbagai jenis norma-norma sosial.  Melainkan semacam takdir kegalauan batin alami yang dialami sesosok manusia dewasa berusia muda, semacam bentuk protes terhadap kenyataan mengapa harus menjadi ‘besar’ di dalam tubuhnya yang ‘kecil’, dan sebaliknya.

Karakter Instan
            Seorang pemerhati pendidikan terkemuka, Arif Rahman mengatakan, dirinya merasa kecolongan dengan adanya beberapa peristiwa kekerasan yang melibatkan pelajar, baik sebagai korban maupun pelaku, belakangan ini. Dengan besar hati beliau menandaskan, peristiwa  itu merupakan cermin kesalahan serta tanggung jawab dari orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan yang ternyata gagal membentuk watak anak muda kita. Sementara itu, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, menampik tawuran merupakan akibat dari kegagalan sistem pendidikan (Antara, 30/9), karena hanya dilakukan sebagian kecil pelajar yang berdomisili di Jakarta dan tidak terjadi di tempat lain di luar Jakarta ( kecuali Makassar ).  
         Watak, karakter, perilaku, ketiga hal inilah yang selalu menjadi kambing hitam atas semakin beringasnya perilaku generasi penerus kita, menurut sudut pandang kita sebagai pendidik maupun orang tua.  Namun, siapakah yang dapat mengetahui tentang visi remaja kita tentang masa depan ? Karena toh nyatanya degradasi tidak hanya terjadi pada kualitas udara yang kita hirup, tetapi juga pada strategi dan metodologi yang diaplikasikan untuk mencapai suatu tujuan. Bahwa menurut mereka untuk mendapatkan pengakuan atas kehebatan, ketenaran, dan popularitas tidak memerlukan jerih payah berdarah-darah seperti nasihat para leluhur, melainkan cukup dengan meng-upload foto, video, tweet maupun status senarsis dan sesensasional mungkin tentang diri dan dunianya masing-masing, jawaban lugas dari pertanyaan ‘what’s on your mind?’, terbebas sejenak dari segala bentuk peraturan yang membelenggu dirinya.
Namun, sang anak hanya mengidentifikasikan dirinya sebagai pemilik, pengguna, tak pernah menjadi pencipta; dia tidak menemukan dunia ini, dia hanya menggunakannya: yang disiapkan bagi dia, ada tindakan-tindakan tanpa petualangan, tanpa pertanyaan, tanpa rasa senang ( Roland Barthes ). Maka wajarlah jika sebuah surat kabar nasional menyimpulkan gejala depresi manusia modern ada kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk bersosialisasi di jejaring sosial. Mereka menanti dengan penuh harap tanggapan simpatik dalam komentar rekan-rekan mayanya, namun tidak siap dengan sikap sinis maupun apatis yang mungkin saja terposting.  Kesibukan bermain gadget membuat mereka lupa cara menghadapi kenyataan hidup, dan sibuk mencari sasaran pelampiasan kemarahan.  Sikap diam anak muda di rumah justru merupakan lampu kuning bagi kita, adakah mereka hanya menunggu waktu dan kesempatan untuk melampiaskan ketidakpuasannya terhadap ketidak ramahan dunia secara membabi buta ?

#Save Our Children
            Pernahkah Anda mendengar nama Leonardo Da Vinci ? Ya, dia adalah kreator di balik buah karya fenomenal sepanjang masa, Monalisa, yang ternyata juga adalah seorang musisi, koki dan ilmuwan. Melalui sketsanya ia mencoba mengungkapkan hasil pengamatan tentang cara terbang seekor burung (yang di kemudian hari dikembangkan oleh Wright Bersaudara menjadi alat transportasi yang bernama pesawat terbang), desain kapal selam, jam, kanon uap, pompa hidrolik dan sebuah studi tentang anatomi tubuh manusia. Sejarah mencatat kemampuan Da Vinci (di kemudian hari beliau diketahui juga mengidap sindroma autism) yang belum tertandingi dalam hal menggabungkan gambar nyata suatu rancangan (gambar teknik) dengan unsur keindahan, yang mengilhami banyak orang hingga detik ini.  
            Eksistensi Da Vinci seakan mengamini pengertian umum tentang seni, yakni sebuah aktifitas yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang memiliki nilai keindahan. Aktifitas sederhana ini memang hanya membutuhkan kebebasan para pelakunya untuk mengekspresikan segala bentuk ide. Dengan berkesenian manusia tidak harus menjadi seseorang yang tidak diinginkannya, karena setiap ekspresi dalam seni membutuhkan kejujuran terhadap apa yang dirasakan di dalam benak masing-masing. Seni juga merupakan suatu titik dimana ilmu  mengawali langkah fenomenalnya untuk kali pertama, dimana tiap manusia dapat menumbuhkan keingintahuan di dalam dirinya masing-masing, serta membebaskan mereka untuk menemukan berbagai pengetahuan di pelbagai kedalamannya yang mencengangkan.
            Akan tetapi, waktu berlalu begitu cepat, dan kebutuhan naluri berksperesi dipandang sebagai penghambat kemajuan. Terbukti, kurikulum pendidikan dasar dan menengah di negeri ini kian meminggirkan mata pelajaran Kesenian sebagai mata pelajaran wajib. Kesenian dianggap tidak membawa manfaat, selain sebagai penggembira acara peresmian gedung, tujuhbelasan, atau pentas akhir tahun ajaran. Dibanding mata pelajaran eksak seni tidak akan membuat orang menjadi kaya raya dan terkenal,  karena tidak ada kisahnya orang berlatar belakang pendidikan seni meraih posisi mapan di sebuah perusahaan. Namun, apakah tujuan mendidik adalah untuk menjadikan sang anak kaya ketika mereka dewasa,  sehingga kita bira balik modal ?
            Manusia tidak dapat disebut pandai plus jenius hanya karena ia dapat memecahkan sejuta persoalan matematika dan fisika. Apalah artinya sebuah kepandaian, jika tidak dibarengi dengan kepekaan rasa terhadap keberadaan individu lain di sekitarnya. Berartikah kejeniusan bila hanya mendatangkan penderitaan bagi sesama ? Berhati-hatilah terhadap kekayaan, kecuali bila tidak keberatan menjadi korban kriminalitas., atau kehilangan nyawa.
(swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...