Senin, 14 Desember 2015

Mirror

Pahlawan Berkepribadian Ganda

Siapa sih dia? Mengapa dia dijuluki pahlawan, dan mengapa pula dia harus kita akui sebagai pahlawan? Kita sebenarnya sudah tahu apa jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Hanya saja, pahlawan dalam dunia nyata sering kali menimbulkan pro dan kontra dan bukannya kekaguman seperti yang kita rasakan pada para tokoh superhero dunia khayalan. Selaras dengan sebuah pertanyaan klasik, ‘mengapa seseorang yang membunuh musuhnya dalam perang dianggap pahlawan, sedangkan seseorang yang membunuh musuhnya dalam perkelahian di bar disebut pembunuh?’

Industri komik dan animasi melahirkan ratusan tokoh superhero setiap tahun, bahkan mungkin setiap minggu. Tapi saya hanya mengenal satu dan dia bernama Batman. Buat saya dialah satu-satunya superhero yang mendekati kenyataan karena dia tak punya kekuatan super yang jatuh dari langit, namun syukurlah ia anak orang kaya sehingga tak pernah kekurangan uang untuk meneruskan hobinya menegakkan kebenaran.

Di siang hari Bruce Wayne adalah seorang pebisnis, milyuner yang dikelilingi banyak wanita dan pusat perhatian media massa. Di malam hari ia suka berjalan-jalan sendiri, berkostum hitam-hitam, berdiri di atap gedung tinggi mencari-cari orang jahat yang mengganggu ketertiban umum. 

Mengapa Bruce mau capek-capek menangkap maling di kala semua orang sedang tertidur? Apakah karena ia memang bercita-cita jadi polisi sejak kecil karena kedekatannya dengan Jim Gordon, seorang polisi yang menemaninya tepat di saat orangtuanya terbunuh? Atau karena ia benar-benar ingin mengamankan situasi Gotham, karena suasana kacau tak baik untuk bisnis?  Atau mungkin karena ia menderita dissociative personality disorder (gangguan kepribadian terbelah) akibat trauma masa kecil?

Jauh sebelum Bob Kane menciptakan Batman, ratusan tahun sebelumnya kitab Mahabharata sudah muncul duluan dan kita bisa menemukan banyak sekali tokoh penyelamat di dalamnya dengan permasalahan personal mereka sendiri. Di sisi Pandawa kita pasti udah kenal sama yang namanya Arjuna, si pahlawan yang gagah perkasa dan ganteng pula. Namun semua kekuatannya seakan sirna dan ia seakan lumpuh ketika istrinya, Drupadi, (atau kakak iparnya kalo menurut versi Jawa) dipermalukan di depan umum dalam permainan dadu. Seperti Bruce Wayne, Arjuna disinyalir juga mengalami dissociative personality disorder karena ia berhasil menyamar menjadi banci bernama Brihanala selama dua tahun tanpa ketahuan saat menjalankan misi penyamaran di Kerajaan Wirata.

Dari sini kita bisa mengumpulkan berbagai persamaan dari dua tokoh legendaris dari jaman yang berbeda, sama-sama gagah, pembela kebenaran, ganteng, pujaan wanita, kaya, terkenal, tapi juga sama-sama berkepribadian ganda/ terbelah, dan dua-duanya juga sanggup melakukan apapun demi menaklukkan musuhnya, termasuk membunuh. Singkat kata, ketidaksempurnaan itu selalu ada di setiap makhluk, termasuk pada para pahlawan.


Harapan, sumber segala bencana

Ketika kita masih anak-anak, dunia tampak lebih indah karena kita belum tahu pahit getirnya mencari nafkah, maupun dendam membara akibat cinta yang ditolak. Kita dididik untuk selalu condong pada sisi kebenaran, sisi orang baik-baik, karena orangtua mana yang tak hancur hatinya melihat anaknya menderita akibat perbuatan yang salah. Karena penjara pasti akan penuh sesak jika semua anak di dunia ini menjadi penjahat.

Akan tetapi, dunia nyata, sekali lagi, seringkali bertolak belakang dari konsep kehidupan ideal yang sudah ditanamkan dalam otak kita sejak usia dini. Dalam kehidupan nyata kejahatan lebih sulit ditaklukkan, karena para penjahat selalu mempunyai cara baru untuk menjalankan misinya, selalu bisa mencari kolega-kolega baru untuk mencapai tujuannya. Tujuan mereka pun semakin bervariasi, mulai dari memperkaya diri atau sengaja berbuat onar atas perintah penjahat yang jauh lebih jahat dari dirinya atau seseorang penjahat lain yang (ternyata) menderita sindrom kepribadian terbelah, yaitu ingin menjadi orang baik dengan cara yang jahat.

Dalam jiwa seseorang semacam ini tersembunyi harapan dan cita-cita yang tinggi, namun ia ogah bekerja keras untuk mencapai tujuannya. Cara singkat yang dipilihnya juga bervariasi, mulai dari menjual jiwanya kepada iblis, hingga menjual nuraninya kepada uang. Dari menjual sensasi demi ketenaran, sampai menjual alam kepada pemilik modal. Maka orangtua sebaiknya jangan menaruh harapan yang terlalu tinggi kepada anak, kecuali Anda bisa mengetahui karakternya sejak ia dilahirkan. Harapan yang tinggi memang baik untuk dijadikan motivasi, tapi bukan itu saja yang bisa dilakukan sebuah hal bernama harapan.

Dilihat dari arti katanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harap berarti keinginan akan sesuatu agar terjadi. Sedangkan keinginan ada kaitannya dengan nafsu, dengan sesuatu yang tidak kita miliki saat ini tapi kita berandai-andai agar sesuatu itu ada dan menjadi milik kita. Saat mencermati asal katanya saja kita sudah bisa menyimpulkan, harapan cenderung menyesatkan dan menjadi beban hati karena dengan berharap kita mengarahkan diri kita untuk mendekati khayalan tentang apa yang tidak/ belum kita miliki saat ini sehingga menjauhkan diri dari kenyataan.

Percaya atau tidak, penggemar DC Comics yang berusia dewasa telah mengganti pahlawan mereka dari Batman menjadi Joker. Mereka bilang, Jokerlah yang sebenarnya pantas dianggap pahlawan. Apakah mereka juga gila seperti Joker? Mungkin tidak, mereka mungkin hanya menderita putus asa berkepanjangan melihat segala kekacauan terus berlangsung di dunia dan tak pernah ada Batman yang cukup perkasa untuk mengalahkan mereka semua.

Satu alasan yang membuat fans mengidolakan Joker adalah kelihaiannya merancang satu bom untuk membumihanguskan Kota Gotham dalam waktu singkat. Saat Kota Gotham dihancurkan, orang baik mungkin akan banyak yang mati, tapi orang jahat juga banyak yang mati kan? Hukum sudah gagal menjalankan khittahnya sebagai payung penjamin keadilan umat manusia, kenapa nggak kita coba sebuah cara baru yang lebih cepat, tepat dan ‘fun’? Mungkin itu yang mereka pikirkan.

Ya, harapan mereka akan kehidupan yang lebih baik ternyata hampa belaka dan palsu. Menyalahkan para pemimpin lokal dan dunia tiada berarti lagi. Karena mereka, para pemimpin, itu sudah depresi dan tak mampu lagi mendengar suara apapun selain suaranya sendiri. Menyesali tindakan atau aktivitas berharap yang dulu pernah kita lakukan, atau menyesali harapan yang tersia-sia, atau menyesali keputusan karena berharap pada seseorang yang ternyata tidak capable tidaklah cukup. Cara mengatasi kesemerawutan ini hanya ada satu jalan, yaitu jangan berhenti berjalan dan jangan berharap lagi.  

Strategi rayuan gombal

Kita tahu orang Jawa jaman dahulu selalu meletakkan keris, senjata andalannya, di punggung. Mengapa harus di punggung? Mengapa tidak diselipkan di dada, atau di pinggang? Meletakkan senjata tajam di pinggang memang tampak lebih praktis karena senjata lebih mudah dijangkau. Tapi musuh dapat dengan mudah membaca gesture tubuh Anda yang bersiap hendak menyerang dan ia bisa lebih dulu menyerang Anda.

Lain hal kalo kita meletakkan senjata di punggung. Musuh di depan tidak bisa melihat apakah kita membawa senjata atau tidak. Dia juga tidak bisa memastikan apakah tangan kita sedang garuk-garuk punggung atau mencomot senjata. Yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar mengamati musuh dan memutuskan saat yang tepat mencabut keris dengan perkasa.

Strategi ini sesuai sekali dengan karakter orang Jawa yang lemah lembut dan cenderung menjaga perasaan orang lain. Untuk menghindari konfrontasi mereka tak segan menampakkan persetujuan, meski dalam hatinya memberontak. Namun tujuan strategi keris pun telah bergeser seiring dengan berlalunya waktu.

Di masa lalu orang menyimpan keris di belakang punggung dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan diri. Di masa kini orang menyimpan wajah buruknya di belakang punggung agar dapat merayu seseorang jatuh dalam pelukannya dan memberikan apa yang ia inginkan.

Demi meraih tujuan mereka mampu bersikap baik dan memasang senyum selebar mungkin untuk menutupi sadisme dalam dirinya. Apakah sebutan yang patut kita berikan pada orang yang tetap mampu tertawa lebar setelah membunuh ratusan jiwa manusia?

Ironisnya, sindrom ini telah menyebar luas ke berbagai tempat belakangan ini. Di dalam komik seorang tokoh memanfaatkan gangguan jiwa yang dialami akibat kepribadian terbelah untuk membasmi kejahatan. Di dunia nyata seseorang bisa tampil bak malaikat dengan tujuan membaik-baikkan dirinya dan menutupi perbuatan jahat yang dilakukannya di belakang layar. Sekarang siapa yang lebih terganggu jiwanya, mereka yang ada di rumah sakit jiwa atau mereka yang setiap hari tampil di televisi sebagai pejabat dan politikus?


Tulisan ini saya tutup dengan sebuah kesimpulan, bahwa berterus terang bahwa kita ini adalah orang jahat ternyata lebih sulit daripada berterus terang kita ini orang baik. Sebuah noda tak akan pernah hilang dengan hanya disembunyikan. Layar yang menutupi noda itu harus diangkat dan terlihat sebelum kita bisa memutuskan apa yang sebaiknya kita lakukan untuk membersihkan npda itu untuk selamanya. (swastantika) 

Kamis, 20 Agustus 2015

KEMBALI KE AKAR

        “Why do we fall, Sir?” (A. Pennyworth)

Ya, ‘why do we fall? (kenapa kita tersungkur?). Jaman dulu para pengasuh bayi akan memukul lantai, meja atau apapun karena gara-gara benda-benda mati itulah si anak balita terjatuh, sambil mengatakan “Oh, mejanya nakal sih. Nih biar Emak pukul,” atau sejenisnya. Padahal meja, lantai, kursi, batu, dsb sudah berdiam diri di sana sejak sebelum si anak bermain di sekitarnya, bahkan ada juga yang sudah membatu di tempat yang sama sejak si anak belum lahir. Kecuali, tentu saja, rumah yang dihuni anak dan pengasuhnya ini dihuni oleh makhluk halus yang gemar memindah-mindahkan barang tanpa sepengetahuan pengasuh maupun si anak itu sendiri. Sejak detik itulah si anak akan terbiasa dengan perasaan bahwa kesialan yang menimpanya bukan akibat kecerobohannya melainkan kecerobohan orang lain, atau bisa juga kecerobohan si hantu yang usil. 

Beratnya mengakui sejarah


Sejak masih sekolah kita selalu diajarkan tentang pelajaran sejarah yang dari tahun ke tahun isinya tetap sama, dan sedikit berubah semenjak Mei 1998, terus berubah lagi setiap ada pergantian presiden dan para menterinya. Selama itu pula kita diajarkan untuk membenci para penjajah karena kerakusan mereka maka nenek moyang kita menderita selama 350 tahun. Karena kekejaman mereka nenek moyang kita tewas bukan di medan perang, tapi dalam perbudakan menjadi tenaga kerja paksa tanpa upah dan makanan yang layak.

Saya yakin para penjajah tersebut adalah orang-orang baik di negara asalnya, di kampungnya dan di rumahnya masing-masing. Apakah mungkin hawa panas katulistiwa ini yang membuat mereka menjadi ‘haus darah’? Itu bisa jadi. Karena berdasarkan sebuah penelitian di akhir tahun 2014 pemanasan global telah membuat banyak orang semakin emosional dan meningkatkan angka kriminalitas.

Tapi di awal abad ke-20, di saat-saat awal di mana menjajah adalah sebuah mainstream di kalangan negara-negara maju, global warming belum menjadi sebuah tren karena jumlah pabrik lebih sedikit, mobil-mobil lebih sedikit dan jumlan manusia yang lebih sedikit. Kalau begitu, apa mungkin para penjajah itu tidak memiliki keimanan yang kuat sehingga mereka dirasuki iblis banaspati yang saat itu konon masih berkeliaran di hutan-hutan, dan berubah menjadi monster tanpa peri kemanusiaan?

Lalu di manakah para raja domestik kita berada, sebegitu teganyakah mereka berdiam diri melihat penderitaan rakyat dan menyerahkan daerah kekuasaannya yang mampu menghasilkan emas kuning, hitam, coklat dan abu-abu ke tangan pendatang yang sok jago secara sukarela? Ya, benar. Beberapa orang raja lokal. Bahkan seandainya sejarah yang benar di negara kita tak pernah tertuliskan, kita masih bisa mengambil kesimpulan dengan menggunakan logika. Bahwa ada sebagian oknum penguasa (di masa lalu, kini dan nanti) yang memang telah dengan sengaja membiarkan, melegalkan dan mempersilakan Tanah Airnya untuk dijajah.

Untuk dapat mengungkap siapa sajakah di antara para nenek moyang kita yang telah melakukan kekhilafan fatal tersebut, pertama-tama dibutuhkan pikiran terbuka dan kelapangan hati untuk menerima kenyataan. Karena kita mungkin akan terpana begitu mengetahui siapa saja para raja lokal yang pernah bekerja sama dengan penjajah dari negara lain, memperluas wilayah kekuasaan dengan menjajah kerajaan-kerajaan kecil, merebut takhta dengan jalan kekerasan, menyebarkan agama dengan paksaan, beristri lebih dari satu dan alkoholik. However, para nenek moyang kita hanyalah manusia biasa yang tak sempurna. Sejarah yang benar dituliskan bukan untuk mem-bully mereka yang telah pergi ke Nirwana. Bukan juga untuk mempermalukan anak dan keturunan mereka dalam pergaulan sosial. 

Melainkan sebagai bahan renungan, cerminan, refleksi dan pelajaran berharga tentang keabadian hukum sebab akibat. Bahwa sebab seseorang tidak mengakui telah melakukan kesalahan, terjerembablah ia di lubang kesalahan yang sama di masa depan. Meski manusia telah diberikan pelajaran tentang mana yang benar dan salah sejak berusia dini, tetap saja ia hanya mendengar apa yang ingin ia dengar. Tak masalah jika yang ingin didengarnya adalah ‘kebenaran’. Tapi bagaimana jika yang ingin ia dengarkan adalah ‘aku yang benar’? Bersiaplah saja untuk mengucapkan selamat tinggal pada kebenaran karena kita tak akan pernah menemukannya di manapun selama kita tak rela bernenekmoyangkan orang-orang yang tidak suci.

(Pura-pura) Bangkit dari kejatuhan

Tapi .. tunggu dulu. Cobalah kita perhatikan siklus yang terjadi di sekitar tuntutan terhadap pelurusan sejarah negeri ini. Suatu hari pihak sini membatu terhadap pertanyaan tentang di manakah anak, ayah, ibu, saudara, kakek, nenek, tetangga, kekasih dan mantan pacar mereka yang hilang tanpa kabar dan tak jelas apakah mereka sudah jadi tulang belulang ataukah masih hidup. Tunggulah beberapa hari kemudian (biasanya) akan muncul sekonyong-konyong massa yang tak jelas dari mana asalnya atau silsilah berdirinya menuntut pemberangusan, pencekalan dan pembasmian paham komunisme.

Saya mengira massa ini hidup di tengah masyarakat tanpa televisi, radio, smartphone dan internet karena mereka tidak mengerti bahwa komunisme sudah tamat sejak satu dekade lalu. Mereka (mungkin) telah hidup dengan sangat berkecukupan, makan 3 kali sehari pakai daging sapi, beras rojolele, pergi kemana-mana naik mobil, anak-anak mereka kemungkinan bersekolah di sekolah swasta terbaik yang membebaskan orangtua siswa dari segala pungutan, rumah mereka besar dan ber-AC dan listrik gratis. Massa yang hidup mewah tak punya waktu memikirkan apa yang musti dimakan atau dari mana dapat uang esok hari karena semua sudah tersedia. Sehingga pikiran mereka bernostalgia ke masa lalu, ke masa yang hanya hidup dalam cerita para elders, tepat di tahun 1965 ketika mereka masih balita (atau mungkin belum lahir) dan mengenang paranoia yang dirasakan segelintir orang saat itu.

Bisa jadi para elders mereka adalah penderita buta warna, karena tak bisa melihat warna merah darah para korban yang mengotori sungai-sungai di berbagai kota di Jawa. Mungkin mereka juga tuli, lantaran tak bisa mendengar suara tembakan senapan dan jeritan para korban pada malam-malam paling kelam dalam sejarah sebuah negara bernama Indonesia. Saya nggak akan bilang begini jika saya tak punya bukti, Jendral.

Karena negara tak pernah mengakui bahwa 1965 adalah sebuah kesalahan, maka terulangilah kesalahan itu lagi di tahun-tahun berikutnya. Anda pasti sudah tahu peristiwa apa sajakah itu. Please, jangan paksa dan buat hati saya sedih karena menyebutkan peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu. Jika peristiwa-peristiwa semua bukanlah kesalahan, lalu apa? Retorika yang dibuat oleh pihak sana yang tak ingin mengakuinya hanya makin mengukuhkan kesan bahwa mereka tahu kebenarannya, kebenaran yang sangat menyakitkan untuk diakui sebagai sebuah kenyataan.

Bukti? Ya, ibaratnya begini: peringatan 17 Agustus beberapa waktu lalu menumbuhkan semacam keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang menghargai jasa para pahlawannya, bla bla bla. Sebagai bangsa dengan adat ketimuran yang tinggi dan menjunjung tinggi harkat serta martabatnya dalam pergaulan internasional tentu akan malu jika memiliki noda hitam yang tak bisa dicuci seperti peristiwa-peristiwa unexplained tersebut dan akan bertindak untuk mengakhiri siksaan rasa malu itu selamanya.

Tapi kita adalah bangsa yang sangat praktis, segala sesuatu dilihat dari nilai ekonomi, jadi kalo nggak menguntungkan dari sisi ekonomi ya tinggalkan saja. Mengapa pola pikir praktis itu tidak terlihat dalam upaya penyelesaian peristiwa-peristiwa kelam? Jangan-jangan kita memang sebenarnya hanya pura-pura; pura-pura pintar, pura-pura praktis dan pura-pura berharkat dan martabat tinggi.

Saran saya, Pak Bos, gunakanlah isu-isu yang lebih sophisticated lagi, lebih kekinian agar kebangkitan dari kejatuhan yang pura-pura itu bisa menjadi kenyataan dan kita tak perlu lagi menjadi bangsa yang berpura-pura memiliki harkat dan martabat tinggi. Isu komunisme itu sudah out of date, dan kini para arwah korban unsolved tragedies penghuni alam baka mungkin sedang menertawakan Anda, saya dan kejatuhan kita berulang kali di kesalahan yang sama . (da)

Kamis, 16 Juli 2015

STILL BUSY


BEKERJA TANPA PAMRIH, MASIH ADAKAH?

Without hope and with the mind and the self controlled, having abandoned all greed,doing mere bodily action, he incurs no sin (Bhagavad Gita)

Meski saya tidak ikut teman-teman memilih Sang Bapak yang sekarang menjadi Presiden, maupun pesaingnya, saya senang mendengar pidato yang beliau sampaikan di hari pelantikannya. Pidato yang menegaskan komitmen Presiden baru RI terhadap kerja keras untuk memakmurkan rakyat semacam ini jelas berbeda dengan pidato kenegaraan yang sudah-sudah, termasuk pidato Presiden lama yang baru saja turun takhta. Rasanya sudah lama sekali kita tidak mendengar ucapan-ucapan positif semacam ini dari para pemimpin. Dan pidato Bapak kita yang baru ini ibarat tetesan air hujan di tengah siang bolong yang kering kerontang.

Memang sih, tanpa harus menunggu pidato kenegaraan itu pun kita semua tahu bahwa bekerja adalah mutlak hukumnya bagi semua manusia yang hidup dan telah melewati masa akil baliknya. Buat mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, bekerja adalah sebuah keharusan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Apalagi sekarang saat segalanya nyaris tak ada yang murah, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan dapur di rumah jika kita tidak bekerja. Jangankan untuk mengobarkan sebuah perang dengan pasangan tercinta, untuk bangkit dari tempat tidurpun mungkin kita tak akan berdaya karena tidak tahu apa yang akan kita kerjakan ketika kita membuka mata di pagi hari.

Ya, bahkan bayangan tentang apa yang akan kita lakukan di esok hari sudah terpikirkan sejak malam sebelumnya, sejak kita masih melek menonton film India kesayangan atau sedang merokok di teras memandangi bulan. Bagi sebagian orang yang bekerja di tempat dengan rutinitas ketat, baik di kantor, di pabrik, atau di rumah, hari-hari yang akan mereka lalui seminggu, setahun atau bertahun-tahun ke depan sudah tergambar dengan jelas.

Mungkin mereka ingin membebaskan diri dari belenggu ini, namun dapatkah anak-anak mereka bersekolah dan jajan dengan layak ketika mereka tak lagi bekerja? Bagaimana cara membeli beras atau melunasi kredit sepeda motor? Dengan apa musti membayar rumah kontrakan? Bagaimana menenangkan hati istri, atau suami, atau pasangan? Karena mereka pasti akan lebih galau daripada kita ketika tahu kita tidak lagi bekerja, bener nggak sih?

Perubahan yang tak sekonyong-konyong 

Seorang sahabat saya mengaku terpaksa mengencangkan ikat pinggang sejak pemerintah negara ini membekukan sebuah organisasi puncak sepak bola di Tanah Air, yang berimbas pada ditiadakannya semua jenis pertandingan sepak bola, sekaligus mematikan sumber nafkah para pemain, pelatih, ofisial, wartawan media sepak bola, penjaja makanan di dalam stadion, pembuat jersey, tukang pijet pemain sepak bola, tukang cuci baju pemain sepak bola, dan orang-orang lain yang mendapatkan nafkah dari sepak bola, termasuk sahabat saya terkasih.

Sangat mudah bagi kita yang menjadi penonton untuk melayangkan rasa simpati, semudah para stakeholder mengucapkan rasa simpati pada ratusan buruh yang terpaksa di-PHK akibat kebijakan yang mereka buat. Saya kadang bertanya-tanya, apakah yang dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam posisi seperti ini? Mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja dari dan berakhir di jam yang sama setiap hari, menerima gaji di tanggal yang sama dan mendadak seseorang, sesuatu atau entahlah, sekonyong-konyong datang dan menyemburkan kata-kata di wajah mereka bahwa semuanya harus berakhir saat itu juga. 

Perubahan mendadak memang belakangan sedang menjadi tren di banyak tempat di dunia. Revolusi, kata orang. Bisa jadi mereka lupa atau kurang memperhatikan bahwa tidak mungkin suatu perubahan dapat terjadi secara mendadak tanpa adanya gejala-gejala penanda perubahan. Apalagi karena hanya mitoslah yang mengatakan kita bisa menjadi kaya mendadak berkat uang yang jatuh dari langit, atau kuat luar biasa setelah tersambar geledek.

Peristiwa maha dahsyat semacam bencana alam pun sesungguhnya telah mengirimkan sinyal-sinyal kedatangannya jauh-jauh sebelum hari H. Hanya saja kita manusia dari hari ke hari bukan cuma semakin nggak peka terhadap perasaan sesama manusia, tapi membaca tanda-tanda alam pun kita sudah tak mampu. Kita menganggap sepele gempa-gempa tektonik kecil yang sering timbul dan hilang sendiri, tanpa mengetahui bahwa itu adalah tanda bahwa lempeng benua Bumi terus bergerak dan di kemudian hari akan bertabrakan dengan lempeng benua lainnya trus menghasilkan tsunami.

Nggak jauh beda dengan semua hal yang sedang terhampar di hadapan kita saat ini. Semua itu adalah hasil suatu proses di masa yang lampau. Misalnya, mengapa para pekerja pabrik rokok mendadak di-PHK? Karena pemilik pabrik telah mendatangkan sebuah mesin yang mampu menghasilkan rokok dengan kualitas lintingan hasil karya pekerja manusia. Sebuah sumber yang menolak disebutkan namanya mengatakan, mesin itu sebenarnya illegal dan dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar si mesin bisa sampai ke Indonesia. Jadi mengapa mesin itu bisa sampai kemari? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Di sisi lain, para pekerja pabrik rokok didominasi kaum perempuan yang karena tuntutan ekonomi harus meninggalkan rumah dan bayi mereka bersama orang lain untuk bekerja. Para perempuan dalam posisi ini umumnya mencari aman agar tak terjadi sesuatu dengan sumber pendapatannya. Mereka sudah puas mendapatkan sejumlah uang untuk membeli susu anak atau untuk bayar uang SPP. Di tiap-tiap bulan mereka tak khawatir tidak akan bisa makan karena sudah pasti akan mendapatkan uang.

Tak terpikir di benak mereka tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi, bahwa usia mereka semakin bertambah dan fisik pun tak lagi sebugar saat belia. Tak hendak saya menyalahkan pilihan profesi seseorang, namun saya hanya menyayangkan kekurang tanggapan mereka dalam membaca keadaan.

Kemapanan memang suatu hal yang diinginkan banyak orang, tapi bagaimana jika Takdir berkata lain? Kepakkanlah sayap selagi masih bisa terbang dan mengapa tidak mencari peluang di tempat lain yang menjanjikan. Atau bisa juga dengan memulai merintis usaha semenjak masih bekerja.

Jika semua orang dan pekerja memperhatikan detil semacam ini tentunya Presiden, mantan-mantan presiden, dan presiden-presiden yang akan datang tak akan menghadapi tuntutan klasik perihal penyediaan lapangan kerja bagi para penganggur.

Menjual idealisme

Muda, gagah, berapi-api, mungkin seperti itulah gambaran diri kita di masa remaja. Perjalanan menghantarkan kita pada berbagai terminal, stasiun dan halte, besar dan kecil. Di situ kita mengalami banyak hal yang sering kali berbenturan dengan gambaran yang kita yakini sebagai sesuatu yang benar. Satu dua kali terbentur, manusia tak butuh kekuatan super untuk bisa berdiri.

Jatuh- berdiri, terkapar-bangkit, kesandung- bangun .. Membosankan! Tapi ya seperti itulahh idup manusia sebelum hari H nya menuju alam arwah jatuh tempo. Ada yang merasa bosan dengan siklus alami ini dan memilih mengakhiri hidup lebih cepat. Ada yang berhenti berkeluh kesah, memumikan angan dan pikirannya dalam dunia buatannya sendiri, menjadikan diri sendiri anak-anak yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Sementara, ada juga yang ingin membuat ledakan sekonyong-konyong agar ia segera mencapai kemuliaan dengan jalan pintas.   

Golongan manusia ber-attitude semacam ini rela melakukan apa saja, bahkan menyerahkan mimpi-mimpi mereka tentang apa yang benar asalkan berhasil menggenggam kegemilangan. Contohnya banyak. Misalnya, beberapa pejabat yang tak segan mengeluarkan uang berpuluh juta agar bisa naik haji untuk ketiga atau keempat kalinya.  Tentu saja itu uang mereka dan mereka boleh melakukan apapun dengannya. Tapi apa benar mereka mendapatkan uang itu dengan cara-cara yang seharusnya?

Cara untuk mengungkapkannya juga tidak sulit cukup dengan mengulik berapa besar gaji mereka per bulan, berapa lama mereka bekerja, aset atau usaha apa yang mereka miliki dan darimana mereka mendapatkan modal untuk mendirikannya, apakah mereka masih punya orangtua dan saudara yang wajib dibiayai, berapa jumlah anak dan apa pendidikan yang mereka tempuh, berapa jumlah binatang peliharaan, berapa jumlah istri, ..

Selain bisa mengetahui seberapa besar kadar kejujuran yang mereka miliki dalam hal mendapatkan uang, dengan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas kita juga akan bisa mengetahui kenyataan lainnya tentang alasan banyak manusia tentang mengapa mereka, dan kita, bekerja. 

Apakah bekerja demi memenuhi pundi-pundi sendiri, demi golongan, demi partai, demi perintah? Atau apakah mereka, atau kita, jenis manusia yang kian langka belakangan ini, bekerja hanya untuk melayani masyarakat dan negaranya? Ataukah mereka, atau kita, jenis manusia utopis yang gagal move on karena bekerja hanya demi kebenaran

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...