Kamis, 29 Desember 2022

Bercerai dan Bersatu di Bawah Nasionalisme

Bahasa Inggris punya banyak kekurangan, meski berstatus bahasa persatuan dunia. Kata ‘we’ memperlihatkan impresi kemanunggalan antara banyak orang, yang menghadirkan citra kekokohan dan meyakinkan daripada kata ‘I’. ‘We’ seringkali diucapkan banyak tokoh pemimpin untuk mengarahkan kepercayaan khalayak kepada apa yang mereka sampaikan, walaupun ‘we’ dalam konteks tertentu bersifat eksklusif, tidak selalu mengarah kepada atau melibatkan orang yang diajak bicara.

Dalam Bahasa Inggris, we (subyek) dan us (obyek) adalah kata ganti orang pertama jamak yang sangat membantu tujuan penggalangan massa karena kelenturan eksklusivitas dan inklusivitasnya. Ketika seorang presiden Amerika Serikat (misalnya) berbicara di depan sidang PBB tentang perlunya warga dunia mengutuk operasi militer Rusia di Ukraina, ia bisa berkata, “’Wecondemn Russia invasion over Ukraine,” meskipun ‘we’ tidak merepresentasikan semua negara anggota PBB secara kontekstual.

Persentase orang yang mencari nafkah di bidang bahasa hanya sekian dari total penduduk dunia, mungkin akan lebih sedikit lagi jumlahnya bila AI (artificial intelligence) kian fasih berbicara dalam banyak bahasa. Apa pun perkembangan yang akan terjadi di masa depan, bahasa tetap adalah jembatan menjalin hubungan dengan mereka yang ada di luar diri kita. Bahasa memberi bentuk kepada semua hal yang keluar dari dan masuk ke dalam diri kita, yang pada gilirannya menjadi alat untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ketika Subcomandante Marcos berkata, “kata adalah senjata (our word is our weapon),” maka bahasa adalah militer karena sama-sama punya aturan baku yang tidak bisa dilanggar.

Sebuah akar diskriminasi bahasa

Beberapa negara dengan mayoritas Muslim sedikit rikuh menanggapi gelombang aksi massa Iran yang memanas sejak akhir September 2022, mungkin mereka mengira aksi tersebut wujud protes terhadap syariah Islam. Akar masalah kerusuhan sipil Iran sebenarnya jauh dari masalah agama, walaupun dipicu kematian Mahsa Amini (22) saat ditahan polisi moralitas Iran karena tidak berhijab sesuai peraturan. Ketimpangan dan diskriminasi budaya serta bahasa atas kelompok etnis tertentu di wilayah Asia Barat, inilah api dalam sekam yang membakar atmosfer Persia dewasa ini.

Dinasti Hasanwayhid, Annazid, dan Ayyubid adalah penguasa besar dari suku Kurdi di masanya, tetapi di era modern suku ini mengalami persekusi berkelanjutan. Nasib buruk suku Kurdi bermula 1920 dengan runtuhnya Kekaisaran Ottoman, Türkiye, sebagai hasil akhir Perang Dunia I. Mustafa Kemal Attaturk, presiden Türkiye saat itu, menolak klausul Traktat Sevres tentang pembentukan wilayah otonom bagi etnis Kurdi yang mendiami wilayah Ottoman pra Perang Dunia I.

Selanjutnya, diterbitkanlah Traktat Lausanne (1923) yang mengabaikan penyebutan apa pun tentang rumah untuk suku Kurdi. Akibatnya, sejumlah besar orang Kurdi tersebar di empat negara (Iran, Irak, Turki, Suriah) sembari terus memperjuangkan wilayah otonom untuk mereka. Tuntutan mereka bukan hanya diekspresikan dalam unjuk rasa. Aksi terorisme kerap mewarnai perjuangan mereka terutama setelah tokoh terkenal suku Kurdi, Abdullah Öcalan, mendirikan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang berhalauan Marxis-Leninis. PKK berikut para anggota dan simpatisannya ditetapkan sebagai kelompok teroris di berbagai negara, termasuk Uni Eropa dan Türkiye.

Bahasa Persia sudah menjadi bahasa nasional Iran sejak beberapa dekade silam menggantikan bahasa lokal kelompok etnis minoritas Kurdi, Arab Khuzestan, Türkiye Azerbaijan, Turkmenistan, dan Balochistan. Di bawah Republik Islam Iran, bahasa suku minoritas dicap kuno, ketinggalan zaman, bahkan ada larangan mempelajari maupun mengajarkan bahasa lokal/ daerah suku minoritas di sekolah. Mereka yang menentang dihukum berat dan dijebloskan ke penjara. Anda menganggap fenomena ini ekses permusuhan abadi Islam Syiah versus Islam Sunni, mengingat penguasa dan mayoritas warga Iran beraliran Syiah sementara kaum minoritasnya beraliran Sunni? Waspadalah! Jangan biarkan sentimen agama menutupi cakrawala Anda.

Terorisme bukanlah makanan cepat saji; selalu ada latar belakang panjang di balik keputusan seorang teroris memilih jalan kelamnya. Karena semua manusia di Bumi butuh pengakuan atas keberadaaan mereka, maka pelarangan bahasa berarti pelarangan budaya. Anda bisa dianggap punya hak lebih kecil untuk eksis di dunia ini ketika seseorang mencela budaya Anda. Mengingat budaya adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa manusia, maka diskriminasi budaya adalah genosida tak berdarah secara perlahan atas intelektualitas mereka.

Dampak takut sakit

Analis JPMorgan meramalkan deglobalisasi adalah tren 2023, di mana deglobalisasi menurutnya adalah berhentinya Barat sebagai kiblat dunia dalam hal perkembangan ekonomi. JPMorgan bukanlah paranormal yang sekonyong-konyong membuat ramalan berdasarkan hasil penerawangan ke masa depan dengan bantuan kekuatan supranatural. Prediksi JPMorgan yang semata-mata berdasarkan logika dan berbagai peristiwa sepanjang 2022, seolah menyiratkan pesimisme entitas bisnis kelas paus tentang perkembangan terkini dominasi kelompok negara maju (Barat) terhadap kelompok negara berkembang (Timur).

Kuncitara global COVID-19 sepanjang 2020 menyadarkan banyak kalangan bahwa isolasi total tidak menjamin manusia terhindar dari wabah penyakit, karena virus dan bakteri selalu bisa menemukan celah-celah kecil untuk menyusup dan menggerogoti ketahanan manusia. Manusia yang sudah sakit, baik sakit maupun psikologis, sejak sebelum virus masuk adalah sasaran empuk bagi COVID-19. Ada makna tersirat bahwa inilah fenomena ketika penyakit dan kesedihan menjadi ganas pasca masuknya zat dari luar yang bertujuan mengakhiri hidup seseorang. Menurut beberapa kisah pandemi, bukan virus melainkan kuncitara memperparah penyakit yang diderita para pasien dan keluarga mereka.

Ramalan analis JPMorgan di atas seakan-akan memberikan sinyal bahwa kuncitara global bisa saja diterapkan kembali di waktu mendatang untuk tujuan yang berbeda. Saat ini, kuncitara sedang diberlakukan atas Rusia dalam bentuk 6800 sanksi dan pengucilan dunia internasional sebagai “hukuman” atas operasi militernya di Ukraina. Berhasilkah kuncitara termasif atas suatu bangsa ini memelihara keamanan bangsa-bangsa lain? Siapa yang berperan sebagai penyakit berbahaya dalam drama ini, Rusia atau negara-negara yang menghukumnya?

Kisah suku Kurdi pasca-Perang Dunia I dan etnis Rusia di Ukraina hampir tak jauh beda, mereka adalah apa yang tersisa dari kejayaan suatu masa lalu. Ketika kejayaan itu berakhir, orang-orang yang seharusnya mengayomi mereka menyerah pada ambisi pribadi, golongan, bahkan tekanan pihak luar. Kita tidak bisa bertanya kepada Mustafa Kemal Attaturk, mengapa ia menolak menyetujui pendirian wilayah khusus untuk suku Kurdi. Namun, kita masih bisa bertanya kepada pers Barat mengapa diskriminasi atas bahasa dan budaya Rusia di Ukraina tidak dipaparkan sama detailnya. Sukar dipercaya jika dalih pengabaian ini adalah rasa takut pada virus komunisme, mengingat negara-negara pro demokrasi seperti Swedia, Jerman, dan Prancis pernah dan masih menampung beberapa anggota PKK yang “tercemar” Leninisme di suatu fase dalam kehidupan mereka.

Nasionalisme itu cinta?

Nasionalisme adalah nama lain dari rasa cinta untuk tanah air, yang akhir-akhir ini sering diungkapkan dalam bentuk seruan untuk memprioritaskan produk dalam negeri, kepentingan negara, atau pembangunan adil dan merata di seluruh negeri. Beberapa negara dengan penduduk homogen sejak awal berdirinya, mungkin tidak mengalami hambatan berarti untuk menyatukan warga negaranya. Mereka berbicara dan berperilaku menurut sebuah standar, sehingga penguasa tahu pasti apa yang mereka butuhkan dan (seharusnya) mampu mengemudikan perahu negeri menuju tujuan yang sama sebagai satu bangsa.

Banyak dari kita rindu masa lalu, karena masa lalu lebih simpel daripada masa kini. Tidak sedikit pemimpin nasionalis yang sepakat dengan ini. Globalisasi dan keterbukaan membuat orang lebih mudah berpindah tempat, baik secara fisik maupun virtual, lintas wilayah hingga lintas negara. Para alien berwujud manusia masuk dalam kehidupan kita membawa adat, budaya, dan nilai-nilai mereka, membuat kita tertegun karena keunikan mereka yang tak terlupakan. Virus-virus alien menghipnotis, mengacaukan mindset dan tindak-tanduk masyarakat homogen, dan… pusing kepala penguasa dibuatnya!

Sementara itu, masyarakat heterogen menghadapi kendala yang jauh berbeda. Iran memberlakukan bahasa Farsi sebagai bahasa resmi sebagai bagian dari standar budaya dengan cenderung mengabaikan bahasa minoritas. Tak adakah solusi lain? Hanya para penguasa di sana tahu jawabannya. Pemberlakuan standar secara paksa tidak hanya terjadi di Iran, sebenarnya. Seorang saksi hidup (yang kini sudah meninggal) terlibat dalam gerakan penyeragaman agama di suatu kepulauan terpencil Indonesia bertahun-tahun silam, saat masyarakat di pulau itu diwajibkan meninggalkan agama lokal dan memilih antara agama Islam, Kristen Protestan, atau Katolik. Pemberlakuan standar semacam ini pernah jadi kebijakan untuk mempersatukan masyarakat heterogen dengan cara meniadakan keragaman.

Lebih mudah mempersatukan beragam suku, ras, golongan, dan agama di masa perang, karena mereka sama-sama bertujuan menaklukkan musuh dan mau tidak mau harus bekerja sama. Karena hidup nikmat juga suatu cobaan, maka masalah datang kepada mereka ketika tujuan sudah tercapai. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, sehingga ia akan selalu berusaha mencapai kenyamanan hidup yang maksimal. Namun, standar hidup ideal tidak pernah sama bagi masing-masing kita. Persatuan kehilangan kekuatannya, melemah karena kepentingan yang saling bertabrakan sehingga diputuskan keragaman perlu dimusnahkan. Jadi, apakah nasionalisme itu cinta? 

Selasa, 16 Agustus 2022

Hidup Aman Bersama Sejarah Memalukan

Tuduhan dan penghakiman bukan hanya untuk manusia, tetapi juga benda mati seperti monumen. Monumen berarti patung-patung, tonggak-tonggak, struktur bangunan kokoh dan perkasa yang didirikan untuk mengenang tokoh berjasa besar atau peristiwa bersejarah. Di antara ribuan monumen megah yang tersebar di seluruh dunia, beberapa punya latar belakang “abu-abu”. Monumen Rusia yang didirikan tak jauh dari Universitas Bangui, Republik Afrika Tengah termasuk dalam kategori ini.

Monumen Rusia bukanlah nama resmi monumen yang menggambarkan tiga pria dan satu wanita bersenjata melindungi seorang perempuan Afrika dan dua anaknya. Tidak ada inskripsi pada monumen itu, tidak ada tanggal yang menunjuk waktu pendirian atau peresmiannya. Monumen Rusia adalah nama yang diberikan penduduk setempat sebagai ucapan terima kasih atas bantuan sekelompok prajurit Rusia dalam perang sipil di negara itu antara pemerintah melawan para pemberontak.

Kelompok prajurit Rusia ini bukanlah prajurit biasa, mereka adalah kelompok tentara bayaran yang disebut Wagner Group. Nyaris tidak ada sumber internet yang memberikan informasi positif tentang kelompok ini. Mereka disebut-sebut terlibat dalam perampasan, pemerkosaan, dan penganiayaan warga di mana mereka berperang demi uang, termasuk di Afrika Tengah. Begitulah cara pandang media arus utama terhadap mereka. Namun demikian, Monumen Rusia adalah kenyataan terlepas dari segala kontroversi yang menyertainya. Kelompok ini bahkan ikut membela Rusia dalam operasi militer khususnya di Ukraina guna membebaskan wilayah Donbass dari teror para milisi Neo-Nazi.

 

Malu masa lalu

Kita semua bangga terhadap hasil karya, pencapaian, dan kebesaran generasi sebelumnya. Mereka yang mendirikan bangunan-bangunan megah di zaman kuno, mereka yang menciptakan mitos-mitos, mereka yang berjuang membebaskan tanah air kita dari penindasan, mereka yang membuka jalan supaya kita mengenal dunia… Akan tetapi, para pendahulu kita adalah juga manusia. Sama seperti kita, mereka melakukan banyak hal yang tidak bisa diterima dan dipahami orang lain; generasi penerus mereka dalam hal ini. Lebih jauh lagi, generasi berikutnya menganggap tidak sedikit tindakan para pendahulu yang telah membuat mereka malu menjadi penerus mereka. Kesadaran manusia adalah misteri, karena terkadang kita baru menyadari adanya ketidakberesan setelah sekian lama kita menganggapnya sebuah normalitas. Atau, benarkah demikian?

Sejarah Konfederasi (1861-1865) adalah tentang konflik bersenjata antara pemerintah sah Amerika Serikat di wilayah Utara dan beberapa negara bagian di wilayah Selatan yang memerdekakan diri, berawal dari kegagalan menyepakati cara terbaik memperlakukan warga AS keturunan Afrika.  Konfederasi mulai dipandang sebagai aib oleh sebagian besar warga Amerika Serikat sejak 2017 setelah serentetan peristiwa tragis yang diinspirasi oleh nilai-nilai inti Konfederasi. Insiden pembunuhan George Floyd 2020 lalu adalah klimaksnya. Sejumlah monumen untuk mengenang para pahlawan Konfederasi dihancurkan atau disingkirkan, lantaran dianggap sebagai benda-benda mati yang memicu ingatan generasi penerus untuk melestarikan perbudakan dan diskriminasi atas warga AS keturunan Afrika serta non kulit putih lain.

Kurang lebih setahun setelah pergerakan Black Lives Matter mengguncang Amerika Serikat, tren penghancuran monumen menjadi tren baru di Eropa. Pengorbanan para serdadu Uni Soviet yang gugur dalam Perang Dunia II tidak lagi dianggap penting untuk dikenang oleh beberapa negara Eropa, akibat operasi militer khusus Rusia di Ukraina. Meski Euromaidan adalah penyebab utama di balik gemuruh mesin-mesin perang yang diterjunkan demi membela rakyat Donbass, tetapi ribuan sanksi dijatuhkan terhadap Rusia berikut upaya penghapusan jasa-jasa para pendahulunya dari sejarah. Sebagian besar kubu Barat – berbagai negara, organisasi internasional, organisasi induk olahraga, perusahaan multi nasional, platform daring, beberapa institusi seni, dan akademik tersohor dunia mungkin menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Akan tetapi, mereka merasa malu mengakui jasa para pahlawan berdarah Rusia.  

 

Mengubah masa lalu

“Belajar dari masa lalu.” Ini sudah terlalu sering kita dengar. Bagaimana kalau mengubah masa lalu? Guna mencapai tujuan ini, kita tidak perlu mesin waktu untuk menjelajahi zaman dahulu dan mengubah peristiwa yang sudah terjadi. Beberapa orang menemukan cara lebih praktis yang tidak butuh biaya triliunan untuk pembuatan mesin beralgoritme canggih yang bisa memutar balik waktu. Caranya adalah mengubah sudut pandang saat ini agar bisa memahami anomali masa lalu yang tidak sesuai standar dan norma-norma.

Salah satu tokoh legendaris yang menjadi “korban” eksperimen ini adalah Joan of Arc, pahlawan perempuan Prancis yang memimpin bangsanya bangkit dari penjajahan Inggris di Abad Pertengahan. Joan of Arc mampu membangkitkan semangat para prajurit Prancis jauh sebelum paham feminisme ada, ketika aktivitas utama para perempuan muda di masa itu adalah melakukan pekerjaan rumah tangga menanti dinikahi para lelaki. Bagi mayoritas orang Eropa, Joan terlalu macho, gagah berani, dan tidak layak menjadi perempuan. Ia tidak hanya dituduh sebagai tukang sihir dan dibakar hidup-hidup, berabad-abad setelah kematiannya yang memilukan ia dianggap bukan perempuan tulen.

Kekhasan suatu bangunan yang sudah berdiri jauh sebelum modernisasi dianggap sebagai kesesatan oleh sudut pandang tertentu, sehingga perlu dihancurkan. Ini pernah dialami Candi Borobudur, dan gosipnya, tidak sedikit candi di Indonesia yang bernasib sama. Ada yang menganggap ini hanyalah rekayasa politik suatu kelompok atau tokoh tertentu. Ada yang khawatir membuka tabir sejarah bisa memecah belah masyarakat apabila dibahas terlalu dalam dari berbagai sudut pandang yang saling berseberangan.

Masa lalu telah mengungkapkan bahwa manusia tidak pernah lelah dalam pencarian mereka demi membuktikan apa yang benar dan seharusnya. Merasakan malu bisa mengaburkan keyakinan manusia untuk melangkah karena semuanya terlihat abu-abu di dalam kabut. Manusia tidak nyaman menghadapi zona abu-abu, bukan hitam dan bukan pula putih, karena kita berharap ada panduan to the point tentang bagaimana melalui semua itu. Ini tidak salah. Dibutuhkan proses bagi siapa pun untuk mempunyai pola pikir aman di tengah berbagai bentuk ketidakpastian di masa depan. Bukankah suatu kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara berdiri di atas berlapis-lapis pondasi yang diletakkan berbagai generasi?

Minggu, 01 Mei 2022

Selektif Beramal Juga Perbuatan Mulia

Di awal masa pandemi 2020 lalu, seruan beramal dan membantu sesama kencang diperdengarkan ke seluruh pelosok dunia. Ada kelompok musisi yang menggalang dana untuk para nakes, ada grup alumnus sekolah yang membagikan makanan gratis untuk siapa saja. Bagi mereka yang kehilangan penghasilan akibat kuncitara global saat itu, makanan gratis bisa sedikit membantu mengisi perut yang lapar. Adalah sifat alami manusia yang mudah tersentuh dan iba terhadap kesusahan orang lain ketika dirinya sendiri juga mengalami kesulitan yang tidak jauh berbeda. Tidak sedikit orang di luar sana yang, meski di tengah kesulitan keuangan, ikut trenyuh saat melihat atau mengetahui penderitaan sesamanya di media sosial. Mereka memproyeksikan rasa berat yang tiap hari bersarang di dalam kalbu kepada orang-orang lain dengan situasi yang kurang lebih sama.

“Among its other benefits, giving liberates the soul of the giver,” kata Maya Angelou. Sesungguhnya memberi (bantuan) akan membebaskan jiwa si pemberi. Secara kalkulasi matematika atau akuntansi, jelas pemberi akan rugi karena sebagian dari miliknya tidak lagi menjadi haknya setelah diberikan kepada orang lain. Jadi bagaimana bisa jiwa si pemberi akan bebas setelah dirinya melepaskan sesuatu yang menjadi miliknya? Apakah kita berharap pemberian kita untuk orang lain akan kembali dalam bentuk lain? Apakah kita sudah ikhlas saat beramal? Jawaban untuk pertanyaan ini sangat layak menjadi PR bagi kita semua.

Sungguh beruntung apabila Anda masih mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Karena jika tidak, sebagian orang akan beralih ke media sosial untuk mengungkapkan rasa simpati mereka dan teman-teman medsos kita tidak akan pernah tahu apakah pernyataan simpati itu datang dari lubuk hati terdalam. Ataukah kita sedang memproyeksikan kegalauan yang kita alami kepada pihak lain. Terlepas dari berbagai kontroversi belakangan ini, bagi sejumlah kalangan media sosial masih layak disebut sebagai wadah menyalurkan kebebasan berpendapat dan meminta bantuan.

Bercermin dari konflik Rusia-Ukraina, Presiden Ukraina Voldymyr Zelensky menggunakan akun Telegram (yang ironisnya adalah hasil karya jutawan IT asal Rusia, Pavel Durov)-nya untuk menarik simpati dan menggalang bantuan senjata dari negara-negara Eropa, Amerika, bahkan Asia. Ketika operasi militer Rusia di Ukraina dimulai 24 Februari 2022 lalu, sejumlah negara mengirimkan bantuan senjata stok lawas dari era Uni Soviet, misalnya sistem rudal S-300 yang didonasikan Slovakia dan helikopter Mil MI-17 dari Amerika Serikat sebagai bagian paket bantuan senilai 33 biliun dolar. Sejak awal, angkatan bersenjata Rusia hanya menargetkan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina tanpa menyerang warga sipil. Pada gilirannya, semua bantuan ini bisa dikatakan muspro (istilah Jawa), sia-sia belaka karena dimusnahkan pasukan Rusia. Menurut sebuah laporan, bantuan senjata dari Barat yang tidak dihancurkan akan dijual di pasar gelap, mengingat Ukraina adalah salah satu pasar gelap senjata terbesar di Eropa.

Bantuan salah sasaran

Beberapa tahun lalu, bermunculan kelompok-kelompok kecil yang mengedarkan kotak amal di sejumlah lampu merah yang dipadati pengguna jalan di kota saya. Bendera sebuah negara di mana konflik terjadi menahun mereka kibarkan di tepi jalan. Seorang teman bertanya kepada saya, bagaimana cara memastikan bahwa sumbangan yang kita berikan benar-benar sampai di negara tersebut? Sekedar tambahan bagi wawasan kita, kasus penipuan berkedok amal atau donasi merupakan fenomena umum di Amerika Serikat sehingga FBI membuka saluran komunikasi khusus bagi mereka yang menjadi korban modus ini.  Reuters menjabarkan beberapa kesalahan umum yang biasa dilakukan para donatur, yaitu menyumbang di bawah 25 dolar dan “terlalu dermawan.” Alasannya, bila donatur menyumbang terlalu sedikit maka penipu berkedok amal bisa meminta lebih banyak lagi. Lalu kita teringat pada permintaan sumbangan bernuansa emosional dan mengundang rasa iba seperti postingan Telegram Mr. Zelensky.

Mereka yang tidak dalam kapasitas prima untuk menyumbang dalam bentuk uang atau barang cenderung memilih menyampaikan keprihatinan di akun media sosial, dengan tujuan agar lebih banyak orang yang peduli dan memberikan sumbangan dalam bentuk riil. Lagi-lagi soal operasi militer khusus Rusia di Ukraina, bagi sebagian besar orang pihak penyerang adalah agresor biadab yang tak layak jadi bagian komunitas global terlepas dari alasan apa pun di balik serangan tersebut. Pertentangan antara si lemah dan si kuat menjadi sumber inspirasi abadi bagi cerita fiksi, dipertontonkan secara massal berulang kali sebagai doktrin tentang banalitas kekejaman suatu pihak. Ketika Rusia melumpuhkan beberapa fasilitas militer Ukraina, kita tak perlu menunggu lama untuk tahu bagaimana reaksi mayoritas warga net seluruh dunia, khususnya dari negara-negara Uni Eropa dan NATO.

Hujatan untuk Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin, angkatan bersenjata, dan warga sipil Rusia menghiasi berbagai kanal media sosial sejak saat itu. Bahkah platform sejuta umat, Facebook, sempat melegalkan ujaran kebencian bagi warga negara Rusia sebelum dibatalkan beberapa saat kemudian. Adalah manusiawi bagi setiap manusia bereaksi emosional terhadap situasi di Ukraina saat ini. Sebuah studi menyimpulkan, para pengguna yang sering menggunakan internet untuk hiburan, berkomunikasi, dan mencari informasi cenderung menunjukkan perilaku yang lebih agresif, bermusuhan, dan secara psikologis mampu mengatasi pengaruh informasi konteks. Artinya, seorang gamer cenderung mudah tergerak secara emosional dan menyebarkan Russophobia akibat cuitan pendek di Twitter yang dilihatnya tentang kuburan massal para korban pembantaian serdadu Rusia tanpa meneliti lebih jauh tentang kebenaran informasi itu.

Bantuan “beracun”

“Beramal tak perlu menunggu kaya,” kata tukang kayu yang pernah bekerja untuk keluarga kami beberapa tahun lalu. Ya, siapa saja bisa beramal. Sering merasa tidak berdaya karena tidak punya banyak uang cenderung membentuk mental yang pasrah pada keadaan, menyabotase diri sendiri, selalu merasa miskin, dan kehilangan daya juang untuk mengatasi keterbatasan. Beramal, meski sedikit jumlahnya, setidaknya bisa membantu membangkitkan semangat dalam menjalani rutinitas sehari-hari.

Akan tetapi di tengah inflasi tinggi dan kian mahalnya biaya hidup, beramal menjadi suatu tantangan bagi mereka yang menganggapnya sebagai suatu kewajiban atau kepedulian terhadap sesama manusia. Sebagian orang mencoba mengkaji kembali sejauh mana amal mereka bermanfaat, atau malah memicu kemalasan. Belum lagi berbagai risiko penipuan berkedok amal yang disebut di atas.

Pertimbangan yang sama sudah seharusnya berlaku ketika Anda merasakan dorongan emosional dan ingin memberikan dukungan untuk sebuah cause, fenomena, atau kemalangan yang sedang ramai dibicarakan orang. Beramal atau berdonasi lebih baik diberikan kepada seseorang, kelompok masyarakat, atau pihak yang kita ketahui dan pahami dengan baik latar belakang, aktivitas, visi dan upaya mereka mengatasi kesulitan. Ingat, zaman sudah berubah. Komentar dan jempol kita di media sosial adalah “donasi” kita pada wacana atau pemikiran yang sedikit banyak bisa mengungkapkan siapa sesungguhnya dan apa yang tersembunyi di benak kita. Seorang pengguna media sosial yang aktif memiliki daya tarik memesona mata para bandit dunia hitam yang ingin merekrut pribadi-pribadi unik untuk memperkuat barisan mereka.

Dukungan saya untuk Rusia sebagian besar berawal dari keisengan mempelajari sejarah, ideologi, pandangan politik, kebijakan-kebijakan, serta karakter masyarakatnya sejak masa kuliah hingga saat ini. Tidak semuanya saya setuju, tetapi ambisi Amerika Serikat dan para sekutunya tentang dunia yang unipolar perlu dikritisi karena bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kesetaraan global. Saat ini, Rusia (dan negara-negara pendukungnya) adalah satu-satunya yang mampu mempersulit Barat mencapai tujuan nya.

Selasa, 15 Maret 2022

Bukan Perang Dunia III, Melainkan Akhir Liberalisme

 “Those who do not remember the past are condemned to repeat it,” kata George Santayana. Perang urat saraf antara Rusia vs Eropa dan Amerika Serikat terkait perekrutan Ukraina sebagai anggota baru NATO telah berubah menjadi adu senjata sejak 24 Februari 2022. Presiden Rusia Vladimir Putin berulang kali menegaskan bahwa tujuan operasi militer khusus Rusia adalah “denazifikasi” dan “demiliterisasi” militer Ukraina dari ideologi dan antek-antek ultranasionalis yang telah menebar teror atas ribuan warga Rusia di Ukraina, terutama mereka yang tinggal di wilayah Donetsk and Lugansk People’s Republics (DLPR) yang telah menjadi korban sejak 2014. Dunia seolah menutup mata atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama bertahun-tahun, sehingga Rusia memutuskan untuk memusnahkan fasilitas militer Ukraina tanpa menyerang warga sipil.

Siapa dan apa kelompok ekstremis sayap kanan yang disebut-sebut sebagai virus bagi masyarakat Ukraina? Sebuah situs mengaitkan keberadaan mereka sebagai ekses dari peristiwa unjuk rasa massal yang berbuntut penggulingan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych di tahun 2014, atau populer dengan sebutan Euromaidan. Mengingat sejarahnya sebagai bekas wilayah Uni Soviet, dunia Barat cenderung memandang Euromaidan adalah momen “kemenangan” rakyat Ukraina atas “penguasa asing” Rusia, karena Yanukovych pro Rusia. Larut dalam euforia terbebas dari pengaruh Rusia, sekelompok anak muda Ukraina yang pernah menjadi penggerak dalam aksi massal Euromaidan berubah menjadi massa liar tanpa pemimpin kuat.

Dengan berjalannya waktu, slogan nasionalisme Ukraina berubah menjadi ultranasionalisme. Kelompok yang menamakan dirinya The Right Sector bukan hanya mengumandangkan kebanggaan atas identitas Ukraina, tetapi juga ujaran kebencian terhadap para aktivis perempuan, LGBT, dan anti orang asing. Namun akar far-right (sayap kanan) Ukraina sesungguhnya sudah tumbuh sejak 1929 dengan berdirinya Organization of Ukrainian Nationalists (OUN), yang menjadi radikal di tengah peperangan Ukraina melawan Polandia saat itu. OUN terpisah menjadi OUN (b) yang dipimpin Stepan Bandera, dan OUN(m) dengan ketuanya Andrii Mel’nyk. Dua tokoh yang sama-sama totalitarian, anti Semit, dan fasis. Ketika Nazi merambah Ukraina, OUN(m) menyatakan kesetiaan pada Adolf Hitler. Paska Euromaidan, pemerintah nasionalis Ukraina menulis ulang sejarahnya, antara lain dengan menghapus tokoh-tokoh pro Soviet Rusia dari buku sejarah dan menjadikan tokoh fasis Stepan Bandera sebagai pahlawan.

 

Sejarah yang Berulang

Uni Eropa dan Amerika Serikat, pada akhirnya, memenuhi sumpah mereka untuk mempersulit ekonomi Rusia bila Presiden Putin benar-benar memerintahkan penyerangan atas Ukraina. Terhitung sejak pemberlakuan operasi militer di Ukraina, Rusia telah menerima ribuan sanksi dan restriksi yang meliputi embargo ekonomi, perdagangan, finansial, teknologi, media massa, energi, dan larangan terbang bagi pesawat-pesawat buatan atau milik maskapai penerbangan Rusia. Restriksi juga menjalar ke berbagai bidang yang seharusnya ranah bebas politik seperti seni, sastra, dan olahraga. Sentimen anti Rusia merebak di seluruh dunia, bahkan anjing dan kucing endemik Rusia dilarang mengikuti kompetisi binatang peliharaan. Jejaring media sosial yang mengklaim menjunjung tinggi kebebasan berbicara memperbolehkan ujaran kebencian terhadap warga negara Rusia.

Fenomena ini mendekati pengulangan sejarah kelam yang pernah terjadi di awal abad ke-20, ketika Nazi menancapkan kukunya di tanah Jerman. Atas dasar nasionalisme sempit yang berlandaskan kesukuan, Nazi memberlakukan peraturan anti Yahudi Jerman. Ratusan ribu orang Yahudi dipecat dari pekerjaan, aset-aset mereka dibekukan dan disita, termasuk bisnis atau perusahaan yang mereka miliki. Para artis dan atlet keturunan Yahudi dilarang bertanding atau tampil di depan publik. Akses pendidikan untuk anak-anak Yahudi ditutup. Bersama etnis Rusia, Polandia, dan Rumania, kaum Yahudi dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk dipekerjakan sebagai budak sebelum akhirnya meregang nyawa.

Tragedi zaman modern yang lazim disebut Holocaust telah menjadi bahan cerita ratusan film dan novel, beberapa di antaranya bahkan memenangkan penghargaan internasional. Rupanya semua itu justru menginspirasi beberapa orang untuk menjadi Nazi-Nazi baru zaman sekarang. Slogan-slogan persatuan dan anti rasisme terbukti tiada bertaji dan gagal netral dalam konflik Ukraina. Di tengah tekanan internasional, beberapa negara yaitu China, India, Israel, Turki, Uni Emirat Arab, Venezuela, Serbia, Pakistan, Kuba, Belarusia, Meksiko, Myanmar, dan mayoritas negara Asia Tengah menyatakan tidak akan menjatuhkan sanksi kepada dan mempertahankan hubungan diplomatik mereka dengan Rusia. Sebuah perpaduan negara-negara dengan keanekaragaman latar belakang sejarah yang “unik”. Namun banyak pihak, terutama kalangan Barat, meragukan kemampuan bakal aliansi ini bertahan menghadapi ancaman, tekanan, dan sanksi unilateral dari Amerika Serikat dan para sekutunya. Yang jelas, Rusia melalui Wakil Menteri Luar Negeri Sergey Vershinin telah menegaskan bahwa sanksi-sanksi Barat tidak akan mengubah pendirian Rusia.  

 

Akhir Sebuah Masa

Beberapa saat sebelum pandemi COVID-19, wacana Revolusi Industri 4.0 menjadi tren di beberapa negara. Istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, di tahun 2015 yang mengacu pada perubahan cepat di bidang teknologi, industri, dan pola-pola serta proses sosial di abad 21 berkat meningkatnya inter konektivitas dan otomasi cerdas. Bentuk perubahan ini di antaranya adalah kemunculan kecerdasan buatan, pengeditan gen, hingga robot-robot mutakhir yang menggantikan tenaga manusia demi terwujudnya efisiensi industri. Kemajuan era digital hingga terciptanya metaverse, yang bertujuan pemutakhiran komunikasi dan cara mengenal serta berinteraksi dengan jagat sekitar kita, semua ini adalah sedikit contoh dari apa yang bisa dihasilkan Revolusi Industri 4.0.

Dengan efisiensi yang makin tinggi, akan lebih banyak produk atau barang siap jual dalam waktu singkat jika dibandingkan teknik produksi tradisional yang masih menggunakan tenaga manusia. Akan tetapi, kenaikan hasil produksi tidak selalu berbanding lurus dengan bertambahnya tingkat permintaan. Para pelaku industri selalu membutuhkan konsumen dan pasar baru agar hasil produksi mereka bisa diserap dan memperoleh pendapatan. Persaingan usaha di mana pun adalah sesuatu yang wajar saja, sebetulnya. Hal ini menjadi tidak wajar ketika para pelaku industri melakukan monopoli usaha dengan tujuan menyingkirkan para pesaing secara paksa.

Niat menyingkirkan Rusia (dan China) dari percaturan bisnis internasional sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Bisa kita lihat dari kenaikan tarif unilateral yang pernah dijatuhkan Amerika Serikat kepada China di tahun 2019, atau upaya AS memanfaatkan CAATSA untuk menakut-nakuti berbagai negara yang ingin membeli produk-produk militer buatan Rusia. Ketika berbagai produk Rusia menghilang dari pasar, mereka yang hadir menggantikannya kemungkinan besar adalah para pesaing bisnis dengan tendensi monopoli usaha demi meningkatkan pendapatan.

“Tetapi kapitalisme tidak tinggal di zaman mudanya saja, kapitalisme itu menjadi subur, membesar, meningkat, dan menua … Kapitalisme itu kini sudah tidak lagi di zaman “Aufstieg (Bangkit)”, tetapi “Niedergang (turun)” … Kini yang lemah telah tersapu dari muka bumi, atau telah tergabung menjadi persekutuan besar satu dengan yang lain; yang maha besar. Kini malahan persekutuan-persekutuan besar itu telah selesai perjuangannya dengan yang lain; kini tinggal badan-badan monopool (monopoli) saja yang berhadapan satu sama lain. Vrij concurentie (persaingan bebas) sudah selesai, tidak perlu lagi. Yang perlu ialah menjaga tegaknya raksasa-raksasa monopool itu saja. Maka oleh karena itu liberalisme dan parlementaire democratie (demokrasi parlementer) lantas “tidak laku lagi” … Liberalisme dibuang jauh-jauh, diperkutukkan sebagai sistem kolot yang sudah tak laku lagi … dan dilahirkanlah satu sistem baru yang cocok dengan menjaga tegaknya monopool itu. Satu sistem baru yang sudah tentu bersifat monopool pula … inilah sistem fasisme!” (Dikutip dari “Di Bawah Bendera Revolusi” oleh Ir.Soekarno, 1959).

Jumat, 21 Januari 2022

Ke Mana Mencari Kebanggaan yang Hilang?

Orang bilang sebuah penolakan atau tidak tercapainya tujuan adalah hidden blessing (berkah tersembunyi), karena kita akan terpacu untuk memperbaiki diri agar lebih layak menggapai cita-cita. Namun, tentunya, tidak mudah mengatakan itu semua kepada sekelompok masyarakat yang baru kehilangan tempat tinggal akibat bencana, baru mengalami PHK, atau kehilangan anggota keluarga. Ada warna kesedihan yang sama di balik itu semua, dan dibutuhkan waktu yang cukup lama agar dapat memandang ketidakberuntungan sebagai berkah tersembunyi.

Akhir Desember 1991, di manakah Anda berada saat itu? Sekitar tahun itu di kota saya hanya ada satu channel TV pemerintah yang disebut TVRI. Belum ada internet apalagi ponsel, sehingga otomatis masa liburan kala itu hanya ada TVRI mulai petang sampai malam hari sebagai hiburan bagi para anak rumahan.  Hari itu tanggal 26 Desember. Ada satu tayangan Dunia Dalam Berita malam itu yang masih terus terkenang dalam benak saya hingga kini. Peristiwa penurunan bendera Uni Soviet. Daya nalar seorang remaja 13 tahun mengira peristiwa itu sekedar seremonial belaka, seperti upacara bendera yang diadakan semua sekolah di Indonesia tiap hari Senin era pra pandemi. Bedanya, bendera merah Uni Soviet tidak pernah terlihat berkibar kembali di perhelatan internasional sejak itu.

Sekitar 30 tahun kemudian saya menyadari bahwa kehilangan sesuatu yang pernah menjadi kebanggaan kita bukanlah sesuatu yang mudah. Apakah ada hidden blessings di balik peristiwa yang terjadi 25 Desember 1991, tetapi kami di Indonesia menontonnya di televisi 26 Desember 1991 akibat perbedaan waktu (stasiun yang menayangkan peristiwa itu adalah ABC, stasiun televisi Amerika Serikat)? Apakah emosi yang menguasai batin ketika melihat bendera yang kita puja sebagai identitas nasional dinyatakan tidak berharga lagi, terlepas siapa pun yang menyatakannya? Meskipun saya dan Anda yang tinggal di luar Uni Soviet (saat itu) hanyalah penonton, tidakkah kita menyadari bahwa situasi dalam konteks yang kurang lebih sama pernah dan atau sedang ada di depan mata kita saat ini?

 

Freedom from want

Demokrasi dijunjung tinggi di banyak negara berkat berbagai kelebihan yang ditawarkan sistem ini. Franklin D. Roosevelt menguraikan keistimewaan utama demokrasi melalui pidatonya pada 6 Januari 1941 tentang Empat Kebebasan (Four Freedoms). Freedom from want adalah salah satu bentuk kebebasan yang dipresentasikan. Secara literal terjemahan dari kata “want” di sini adalah keinginan, sehingga arti frasa “freedom from want” secara literal adalah “kebebasan dari keinginan”.

Dari semua jenis kebebasan yang disebut dalam Four Freedom, freedom from want adalah alasan utama yang menggerakkan manusia.  Semua manusia menginginkan sesuatu dalam hidupnya; kebahagiaan, kemakmuran, kesuksesan, silakan sebut lainnya. Berkat kemajuan teknologi digital, manusia semakin mudah mendapatkan apa pun yang diinginkan melalui lokapasar daring, jodoh pun bisa dicari di situs kontak jodoh seperti Tinder. Itulah keajaiban demokrasi, karena kebebasan yang mengiringinya melapangkan jalan bagi manusia untuk mencipta dan mengembangkan ide-ide demi tercapainya, menurut Roosevelt, healthy peacetime life (kehidupan yang sehat di masa damai).

Dengan berjalannya waktu, keinginan manusia pun semakin bertambah. Ibarat menenggak vodka, makin banyak minum makin kering tenggorokan. Sebagian masyarakat tidak lagi merasa cukup bahagia dengan makanan lezat yang disantap bersama keluarga di rumah. Standar kehidupan layak pun juga berubah, karena makin banyak orang yang merasa cukup bahagia hidup bersama pasangan tanpa anak atau hidup sebatang kara menjelajah dunia. Sementara di belahan lain planet ini orang-orang masih kelimpungan mendefinisikan apa makna kebahagiaan dan memilih berbagai opsi yang mengada berkat adanya kebebasan. Di Amerika Serikat, gerakan “Great Resignation” muncul akibat para karyawan yang kabarnya tidak menemukan kebahagiaan dari pekerjaan mereka. Mungkin bagi mereka hidup terasa hampa, dan kehampaan itu tidak bisa diobati dengan gaji puluhan juta.

Fenomena kehidupan malam, narkoba, dan segala yang ‘remang-remang’ membuat kaum religius menuding kealpaan religiusitas dalam hidup manusia kekinian sebagai pangkal dari ketidakmampuan sebagian orang melihat cahaya di ujung terowongan, sebuah tudingan yang sekaligus memicu radikalisme agama di berbagai tempat. Jangan lupa, bagi sebagian orang religiusitas juga termasuk upaya mencapai freedom from want ketika mereka menganggap religi adalah jalan membebaskan diri dari keinginan duniawi yang membelenggu kesehatan pikiran dan jiwa.

Bagaimana pun juga, adalah freedom from want yang memotivasi manusia berlomba-lomba mengumpulkan profit sebanyak mungkin lantaran kebutuhan hidup mereka banyak sehingga banyak pula uang yang dibutuhkan untuk mencukupinya. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata membuat beberapa kelompok manusia merasa tidak aman menjalani hidup mereka dan mencari-cari celah untuk mengamankan masa depannya. Mereka yang cukup beruntung memiliki akses infrastruktur dan relasi untuk mendukung berbagai tujuan akan keluar sebagai para pemenang di tengah kompetisi pasar bebas. Semua ini berkat demokrasi yang membebaskan orang untuk berusaha semampunya demi hidup yang lebih baik.

Di alam demokrasi pemerintah berbagai negara mengurangi peranan sebagai pengawas pertandingan, tetapi akan tetap bertindak tegas bila otoritas mereka dilanggar. Teknologi informasi dan internet of things dikembangkan semaksimal mungkin bukan hanya untuk mendukung kebebasan berbisnis, tetapi juga memudahkan pengendalian kebebasan anggota masyarakat. Mereka diarahkan untuk mencari kebanggaan di area-area yang sudah ditentukan dan menguntungkan para pengendali serta para pemilik modal.

 

Di Mana Mencari Kebanggaan?

Seandainya kita kehilangan rumah, kendaraan, uang akibat bencana atau dicuri orang, kita bisa memperoleh yang lebih baik suatu saat nanti. Bagaimana kalau yang hilang adalah kebanggaan, harus ke mana kita mencarinya? Kebanggaan itu tidak kasat mata, lalu bagaimana mungkin bisa hilang? Meski berkah tersembunyi yang baru terungkap kemudian setelah kejatuhannya, menghilangnya USSR dari peta dunia meninggalkan jejak abadi di benak warga yang dulu pernah menjadi bagiannya. Ada yang bersikukuh Uni Soviet masih ada, sementara hasil jajak pendapat Maret 2021 menunjukkan 58% masyarakat Rusia menyesali keruntuhannya. Amerika Serikat dan para sekutunya mungkin memandangnya sebagai sebuah prestasi, tetapi mereka tidak menyadari bahwa jutaan manusia lainnya termasuk warga mereka sendiri dan bahkan mungkin sebagian dari kita tengah merasakan apa yang dirasakan warga Uni Soviet dahulu dan kini.

Mereka dengan latar belakang ekonomi, budaya, sosial, agama, kepercayaan, jenis kelamin, dan usia berbeda bisa merasakan keterhempasan yang sama, ketika seseorang atau sesuatu memutuskan bahwa apa yang sedang mereka banggakan saat ini sudah tidak berharga lagi. Mereka mungkin salah satu dari penganut kepercayaan leluhur yang dianggap sesat oleh kelompok kepercayaan yang lebih kekinian. Atau seorang keturunan imigran yang lahir dan dibesarkan di negara yang bukan negara asal orang tuanya, berusaha memperjuangkan hak yang sama seperti warga asli selama bertahun-tahun, tetapi pupus akibat pernyataan “America For The Americans.” Atau suku asli yang terusir dari tanah nenek moyang mereka setelah kedatangan bangsa lain yang yakin diri mereka lebih beradab dan cerdas. Mereka kehilangan kebanggaan atas identitas warisan keluarga, komunitas, bangsa, karena desakan berbagai pihak dari luar yang juga bangga dengan identitas mereka dan membutuhkan pengakuan.

Artinya, identitas kita saat ini sebaiknya hanya menempati 10% saja dari rasa bangga di dada Anda. Ya, identitas ada dan yang tidak ada di KTP seperti apa ras atau suku bangsa kedua orang tua Anda, partai politik pilihan Anda, atau jurusan apa yang Anda pilih semasa kuliah. Apa pun yang membuat kita merasa bangga telah memilikinya dan atau menjadi bagian dari itu sejak kurun waktu tertentu dalam hidup. Tidak peduli seberapa aman dunia kita saat ini, tetap ada saja pihak yang ingin melucuti kebanggaan kita melalui narasi tentang upaya pemurnian asal-usul, agama, dan kepercayaan sebagai cara yang “benar” untuk mencari jati diri. Kita harus ingat bahwa kebanggaan bukanlah hadiah pemberian seseorang, bukan pula tujuan. Kebanggaan adalah sebuah dampak yang kita rasakan sebagai konsekuensi dari hal bermakna yang sudah atau pernah kita lakukan. Lalu bagaimana seandainya kita belum pernah melakukan hal semacam itu, apakah kita tidak bisa menemukan kebanggaan? “The darker the night, the brighter the stars,” kata Fyodor Dostoevsky 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...