Jumat, 03 Januari 2014

BERDIRI DI TITIK NOL

Tersebutlah di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang Jawa Timur, berdirilah sebuah peninggalan Kerajaan Singhasari yang dikenal masyarakat dengan nama Candi Sumberawan. Berbeda dengan candi-candi yang tersebar di wilayah Jawa Timur yang pada umumnya, candi, atau lebih tepatnya Stupa Sumberawan, memiliki karakteristik Budha dan dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Singhasari dengan mayoritas penduduk yang beragama Hindu. Stupa Sumberawan hanya berupa bangunan batu dengan dasar berbentuk bujur sangkar, tanpa arca dewa dewi, tanpa ornamen, tanpa kepala kala, tanpa relief sama sekali.  Stupa tanpa hiasan semacam ini memiliki kemiripan dengan stupa induk Arupadathu pada Candi Borobudur, yang diyakini pemeluk agama Budha sebagai simbolisasi dari keagungan dan kebesaran Yang Maha Hidup.

Ada sesuatu yang menggelitik saat saya mengakses akun sebuah media sosial tepat di malam pergantian tahun yang baru saja berlalu. Ketika seisi jagat raya berpesta musik, kembang api dan miras, sejumlah sahabat yang beberapa diantaranya saya kenal baik menyatakan dengan terus terang dalam status update-nya bahwa mereka ‘tidak dan menolak melakukan segala jenis pesta, serta memilih untuk larut dalam kontemplasi diri dan menjauhi riuh rendah duniawi’. Apakah pernyataan implisit/ eksplisit itu dibuat dengan sesadar-sadar mungkin, ataukah sekedar kekecewaan karena faktor cuaca (hujan deras), ekonomi (karena perayaan tahun baru selalu jatuh di tanggal tua), personal (sedang menjomblo atau baru diputus pacar sehingga tidak tahu harus berpesta dengan siapa), keputusan pemerintah setempat (dan memang berlaku di salah satu daerah ternama dalam wilayah Indonesia), tugas (sedang ditempatkan untuk bekerja di suatu lokasi yang sangat terpencil) atau yah Anda bisa menambahkan sendiri alasan Anda, nampaknya telah berhasil menahan kaki manusia di satu tempat dan dari aktifitas hedonism yang bertahun-tahun sebelumnya biasa mereka lakukan.

Untuk membahas kecenderungan para sahabat saya tersebut, mari kita buka kembali album foto yang sudah berdebu di lemari buku. Karena masa 1980-1990-an Adobe Photoshop belum dipikirkan oleh para penciptanya, maka saya yakin seyakin-yakinnya bahwa foto-foto lama itu merupakan representasi dari kejadian sesungguhnya saat diabadikan. Coba bandingkanlah sosok yang mirip dengan Anda itu dengan, misalnya, foto profil akun jejaring sosial Anda. Apa yang Anda lihat dahulu, dan apa yang Anda lihat sekarang? Sorot mata elang idola para gadis yang kini menyipit akibat kerutan atau mata duitan? Tubuh molek si bunga desa ataukah timbunan lemak dari masa kehamilan yang tak jua sirna meski jabang bayi telah tumbuh remaja? Perut six-pack yang bermetamorfosa menjadi one-pack bergelambir? Bagaimana bisa berpesta semalam suntuk manakala si doyan begadang kini mudah terserang masuk angin?

Manusia tak akan pernah menang melawan kekuatan alam yang digerakkan oleh waktu, dan tubuh Anda, dan juga saya, adalah bukti sederhana nan tak terbantahkan. Pada kehidupan awalnya manusia gemar menghiasi diri dengan apa-apa yang baru ditemukan atau memang telah dibawa sejak kelahirannya. Semakin ke atas dan semakin tua apa-apa tersebut menghilang satu demi satu hingga akhirnya mencapai ketiadaan yang nol.

Titik Nol
Jabang bayi keluar dari rahim dalam keadaan polos tanpa pengetahuan apapun tentang kejamnya dunia. Ketidaktahuan telah menjebloskannya ke dalam beberapa jebakan, sering kali ketidaktahuan itu menyesatkannya untuk selalu mengambil jalan yang sama, dan kembali jatuh ke dalam lubang yang sama pula. Bukan kesalahan alam raya yang tak mampu membuat kata-kata yang bisa didengar secara verbal dan harafiah, sehingga si manusia tak pernah berhasil mempelajari apapun. Melainkan manusia yang menolak untuk mengakui bahwa dirinya memang tidak berpengetahuan, dan oleh karenanya berkehendak untuk membebaskan diri dari kejaran batu Sisifus dan memperoleh pengetahuan.

Apakah manusia langsung terbebas dari derita ketika ia memperoleh pengetahuan? Tidak juga. Dengan satu dan seribu satu cara pengetahuan kemudian ia dapatkan, dan sifat malas belajarnya pun kembali muncul. Jaman yang serba cepat bukan hanya membuat orang menggerutu ketika menunggu loading suatu laman situs internet, namun perilaku menggerutu yang sama sering kali terbawa pada saat mereka sudah tak lagi menghadapi dunia maya. Adakah suatu jalan pintas agar kita berhasil lulus dalam ujian dengan tanpa belajar? Ada, yaitu menyontek. Bagaimana kalau ketahuan? Gampang, kita suap saja pengawas ujiannya.

Nah, suatu saat  si tokoh kita ini mengendap-endap dalam kelamnya malam dengan segenggam ikat uang dalam sakunya untuk diberikan pada pengawas ujian. Belum sempat uang diberikan guna melicinkan jalannya tiba-tiba lampu kamera menyambar-nyambar dimana-mana. Detik berikutnya tangan sudah terborgol, dan sadarlah kita bahwa kita ternyata masih kembali jatuh di lubang yang sama. Dalam dinginnya penyesalan, manusia terkapar sendirian  ditinggalkan dan dilupakan. Disini angan-angan apapun akan bangkit dan merajalela berandai-andai jika sesuatu datang membawa kita pergi menjauh dari pahitnya kenyataan, tapi kedua tangan serta kaki tak menerima perintah apapun untuk bergerak. Disinilah titik dimana Anda dan saya tak punya jalan pulang, peluang ke depan pun sama tertutupnya. Bukan, bukan jalan buntu. Jalan buntu masih memungkinkan kita untuk menggali jalan alternatif meski dengan bantuan tikus-tikus got. Ini adalah titik nol, dimana kita harus mengakui bahwa kita berkedudukan setara dengan dedemit dan genderuwo, antara ada dan tiada, mati segan hidup pun tak mau.

Deadline jangka panjang
Hidup manusia tak pernah lepas dari nol, baik dalam suka maupun duka. Kemanapun kaki melangkah kita akan selalu ditemani oleh nol. Baik nol sebelum pengisian BBM kendaraan Anda dimulai, nol pada speedometer mobil-mobil yang terjebak kemacetan, nol dalam jam hitungan mundur tahun baru, nol dalam saldo ATM di akhir bulan, nol yang banyak sekali dalam daftar aset yang dimiliki seorang pengusaha terkemuka, dan sejumlah nol-nol lainnya. Jadi jangan khawatir, kita tak akan pernah berdiri sendirian di titik nol. Yah Ada beberapa dan banyak orang di luar sana yang tak menyadari kesamaan nasib mereka, karena terlalu sibuk menyesali kemalangan masing-masing. Tapi, biarlah. Itu masalah mereka dalam dunianya sendiri.

Sebelum pepohonan kembali menumbuhkan tunas di musim semi, mereka akan terlebih dahulu meranggas, mengeringkan, menggugurkan daun-daunnya dan berpura-pura mati. Sebelum Anda-anda semua dapat lahir dan tumbuh besar menjadi manusia-manusia baru, para ibu harus berjuang keras, beberapa diantara mereka bahkan tidak selamat, dalam upayanya menghadirkan kehidupan di dunia. Sebelum dompet kembali tebal, sering kali kita harus berhutang, dan hampir ‘mati’ tenggelam di dalam lautan hutang yang bertubi-tubi tersebut.  Kita menyesali dan berupaya keras untuk menghindari kematian, namun berdiri di titik nol adalah lebih buruk dari itu sehingga Anda dan juga saya mungkin akan menghiba-hiba agar kematian segera datang untuk membawa kita pergi dari titik nol. Angka nol itu adalah suatu akhir, memang benar. Tapi angka satu pun tak akan pernah dimulai jika nol belum tercapai. Apakah yang akan terjadi kemudian jika angka satu telah tampil? Tentu saja angka dua akan menyusul, angka empat, lima, dan seterusnya.

Apa yang terjadi jika semua angka yang ada di dunia ini telah habis? Jelas, kita kembali ke nol lagi. WTF! kata Anda. Apapun jalan yang kita pilih hanya akan selalu menjadi alternatif atau versi lain dari perjalanan menuju nol, yang suatu saat akan berakhir, lalu dimulai, berakhir lagi, dimulai lagi, mati, hidup, byar, pet, dst. Mengapa harus menyiksa diri dalam pekerjaan yang tak akan pernah berakhir jika kita adalah masih pribadi-pribadi waras dan awas terhadap arah pintu keluar? Lalu bagaimana jika ternyata pintu keluar itu ternyata mengarahkan kita ke sebuah pintu keluar lain, dan pintu keluar lain, dan pintu keluar lain-lainnya lagi?


Ada beberapa jenis pekerjaan di dunia ini yang terbentuk atau eksis berkat kinerja sinergis para manusia di masa-masa yang telah lewat untuk mengisi hari-hari sederhana mereka. Seperti sepasang orang tua tak akan pernah lelah ‘bekerja’ sebagai orang tua hingga akhir hayatnya, sebagaimana anak-anak yang tak juga pernah lelah merepotkan orang tuanya. Tahukah kita kapan jatuhnya deadline untuk menjadi anak, ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, kakek, nenek, buyut, cucu, mertua, menantu, ipar, suami/ istri, sahabat, TTM (teman tapi mesra)?  Well, saya kira saya tahu jawaban Anda. (swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...