Sabtu, 23 November 2013
Kamis, 21 November 2013
Makanan, Alasan Hidup Manusia Modern
“ Sudah makan?”
Ini jenis pertanyaan yang pasti sering diajukan saat Anda bertandang ke rumah
salah seorang rekan, kolega atau kerabat. Meski seolah-olah terdengar sangat
penuh perhatian dan kelihatan mengkhawatirkan kesehatan sang tamu, Anda toh
sebagai tamu tidak akan pernah tahu andaikan pertanyaan ramah tamah ini diajukan
dengan harap-harap cemas, yang disembunyikan rapat-rapat di bawah tutur kata
yang manis, terhadap ancaman berkurangnya jatah beras dan lauk pauk para penghuni
rumah di lokasi kejadian akibat sang tamu dengan polosnya menerima tawaran yang
diajukan secara penuh basa basi tersebut.
Urusan perut
memang adalah sesuatu yang sangat vital. Menjadi salah satu kebutuhan primer
manusia selain pakaian dan tempat tinggal, aktifitas memakan dan makanan itu
sendiri adalah sumber tenaga yang dibutuhkan manusia dan makhluk-makhluk lain
(kecuali makhluk halus tentunya) untuk dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya di muka Bumi. Kecuali hendak memenuhi tujuan spiritual yang
mengharuskan Anda menjauhi makanan (misalnya dalam rangka memperoleh ilmu
kekebalan atau sedang menjalani puasa di bulan suci), mustahil makhluk jenis
apapun dapat hidup secara wajar tanpa makan.
Seiring dengan
berlalunya waktu, motif dan kecenderungan manusia terhadap makanan mulai
berubah. Jika manusia di zaman batu mengambil manfaat dari makanan
sebesar-besarnya demi mempertahankan keberlangsungan hidupnya, manusia modern
menggunakan makanan sebagai alasan yang mendasari segala tindakan sehari-hari.
Perubahan dari ‘makan untuk hidup’ menjadi ‘hidup untuk makan’ secara sekilas
memang menampakkan perkembangan dalam cakrawala kontemplasi manusia terkini.
Oleh karena itu, manusia mulai memikirkan berbagai cara untuk merekayasa
makanan agar tampak berharga dan sensasi kelezatan rasanya sebanding dengan
perjuangan sesosok individu untuk menghadirkannya sebanyak 3 kali sehari,
bahkan kalau perlu lebih, di meja makan masing-masing.
Pemujaan Terhadap Rasa
Tidak seberuntung
manusia masa lampau, manusia modern harus dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi Bumi yang terus menua. Sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk,
sumber makanan yang terdapat di alam pun mulai menipis, dan para manusia
terpaksa terlibat dalam kompetisi sehat maupun tidak sehat diantara mereka
sendiri untuk memenangkan makanan, dan atau lahan untuk mencari makan. Para
manusia yang hidup di daerah dengan iklim ekstrem dan sering berubah mempunyai
kecenderungan menjadi manusia yang lebih tabah, tegas, penuh perhitungan untung
rugi, sistematis dan cerdik. Sedangkan para manusia di daerah tropis, misalnya,
yang dikaruniai dua jenis musim yang saling mengimbangi, kering dan basah,
menjadi manusia dengan pola pikir lebih sederhana sebagai akibat keberlimpahan
sumber makanan yang memanjakan mereka.
Kasih sayang alam kaya
raya yang tak berkesudahan rupanya menjadi bumerang tatkala para manusia
tropis dihadapkan pada permasalahan yang rumit dan tak terpecahkan oleh visi
sederhana yang terbentuk turun temurun. Persaingan
yang makin ketat dalam hal berebut makanan meninggalkan bekas kekecewaan di
dalam hati, penolakan atas keadaan namun enggan melakukan sesuatu terhadapnya,
dan melarikan diri dari kenyataan pahit tersebut dengan memuaskan hasrat dalam
berbelanja pakaian, gadget atau barang remeh-temeh lainnya atau apa saja demi
melenyapkan kekecewaan meski hanya sementara.
Makanan adalah
merupakan tempat pelarian yang nyaman bagi sebagian orang. Karena ia dapat
dengan mudah ditemukan dimana pun, harganya pun bersahabat. Hal ini membuat
manusia memutar otak, agar bukan hanya rasa asin, manis dan asam juga yang
dapat mengelabui perasaan kelabu mereka. Dibutuhkan keberadaan rasa yang lebih
dahsyat, agar manusia terus tergoda untuk mencicipinya lagi dan lagi dan
membelinya kembali. Berangkat dari
pemikiran yang berbau hedonis inilah Profesor Kikunae Ikeda menyatakan ekstrak
ganggang laut Laminaria japonica sebagai rasa baru pada tahun 1908. Pak
Profesor Ikeda kemudian memberi nama senyawa kimia ini monosodium glutamate
(MSG), dan mengajukan hak paten atasnya untuk tujuan komersil. Meski demikian,
rasa MSG tidak akan menjadi lezat saat zat ini tampil seorang diri, kecuali
jika dikombinasikan dengan senyawa rasa aktif lain agar dapat digunakan sebagai
penyempurna rasa masakan pada umumnya.
Bahaya di Balik Kelezatan
Namun sebagaimana
pepatah ‘tak semua yang berkilau adalah emas’, demikian pula analogi yang sama
berlaku pada sensasi kelezatan sesaat MSG. Sejumlah penyakit siap mengancam
siapapun dan dari segala tingkatan usia, mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa, yang mengkonsumsi makanan ber-MSG dalam jangka panjang. Meski
penelitian resmi mengelak bahwa MSG tidak berbahaya, namun sejumlah keluhan
kerap muncul setelah mengkonsumsi makanan dengan kandungan MSG yang cukup
tinggi. Keluhan seperti pusing, mual dan tenggorokan gatal adalah yang paling
umum dikemukakan, dan dikenal dengan nama ‘chinese food syndrome’. Dampak yang
lebih ekstrem dari kelezatan artifisial ini adalah kerusakan jaringan otak, dan
konsumsi MSG pada ibu hamil juga diasumsikan sebagai faktor pemicu timbulnya
sindrom autisme pada jabang bayi dalam kandungan.
Kewaspadaan serupa
juga datang dari makanan yang berbahan dasar daging, baik daging sapi, ayam
maupun ikan. Dalam sebuah bukunya, Anand Krishna, seorang spiritualis yang
sempat kondang namanya di Indonesia beberapa dekade silam, saat hendak disembelih hewan-hewan ternak seperti
sapi, domba, kambing atau ayam melepaskan suatu hormon dalam tubuhnya yang
terstimulasi dari perasaan takut yang
teramat sangat. Hormon ini menempel pada dagingnya, dan ikut termakan oleh
manusia. Akumulasi hormon yang terus bertambah, terlebih lagi jika Anda
penggemar berat makanan berbahan dasar full daging seperti rendang, berpotensi mengakibatkan
timbulnya inflamasi dalam tubuh manusia dan menjadi pemicu sejumlah penyakit
semacam jantung, kanker, diabetes,dll.
Dunia kedokteran
mengenal nama George Chyene, yaitu seorang fisikawan, filsuf dan ahli
matematika yang lahir tahun 1671 di Aberdeenshire Skotlandia. Pada masa itu
sangat lumrah jika seorang dokter berkunjung ke rumah para pasien dan
berdiskusi tentang masalah kesehatan. Kadang kala klien mengajaknya minum-minum
di luar rumah, dan karena pasiennya cukup banyak maka semakin seringlah ia
pergi ke restoran untuk makan dan minum alkohol. Suatu saat Pak Cheynes
menyadari bahwa kebiasaan itu menyebabkan tubuhnya makin tambun dan tidak
sehat. Kemudian ia berhenti minum alkohol, tidak makan daging sama sekali dan
menggantikannya dengan sayuran serta susu sapi. Upaya tersebut membuahkan
hasil, berat badan Pak Cheynes berkurang sedikit demi sedikit dan ia pun merasa
sehat kembali. Pengalaman tersebut membuatnya menyadari adanya efek yang lebih
dari sekedar nutrisi ataupun inflamasi yang diakibatkan oleh makanan. “Menurut
saya,” kata Pak Cheynes suatu hari. “..berbagai penyakit yang menggerogoti
tubuh dan jiwa, baik berupa rasa nyeri maupun perasaan melankoli (baca:galau)
adalah karena makanan.”
Jadi sekarang Anda
tahu 'kan mengapa suasana hati sering tak menentu, atau menjadi tercerahkan karena memahami alasan mengapa
rakyat yang dikenal ramah tamah oleh negara-negara tetangga menjadi beringas,
seperti yang tercermin pada meningkatnya kasus perkelahian, amuk massa, tawuran,
bahkan pembantaian antar anggota keluarga. Bisa jadi inti masalah atau pemicu
tindak kekerasan membabi buta bukan karena kesalahan dari satu pihak yang
ditanggapi secara hiperbola oleh pihak lainnya. Bisa jadi kedua belah pihak
sama-sama bersalah, namun tidak berhasil menyadarkan diri masing-masing. Bisa
jadi makanan lezat yang mereka makan memicu darah tinggi dan melumpuhkan kemampuan
otak untuk berpikir matang, mengatur strategi serta memahami cara kerja hukum
sebab-akibat. Atau, bisa jadi makanan yang Anda santap dibeli dari uang yang
bukan milik Anda. (swastantika).
Senin, 29 Juli 2013
SISA-SISA ZAMAN
Pada sebuah pagi
berangin di bulan Mei tahun ini, sebuah traktor menarik benda aneh beroda yang
berukuran sama dengan lemari es melalui deretan tunas tanaman slada di Lembah
Salinas Kalifornia. Masih lokasi yang sama dan terpisah dengan jarak beberapa
meter saja, para insinyur Lembah Silikon sedang bekerja mengoperasikan software
melalui laptop untuk memastikan mesin tersebut memisahkan tunas slada yang
telah berdaun dengan benar. Para insinyur yang dipekerjakan oleh sebuah
perusahaan pertanian di Salinas tersebut sedang menguji “Robot Slada” (Lettuce
Bot), sebuah perangkat mesin yang mampu memanen ladang slada yang biasanya
dilakukan oleh 20 orang pekerja dengan menggunakan tangan.
Di daerah yang
dikenal dengan sebutan America’s Salad Bowl tersebut buah-buahan dan sayuran
telah ditanam, dipelihara dan dipanen oleh sekumpulan pekerja imigran selama berabad-abad, sehingga penggunaan
mesin dapat menghasilkan sesuatu yang revolusioner. Meskipun menelan biaya jutaan dolar, para
pemilik lahan mengatakan bahwa robot menguntungkan bagi investasi, yaitu
penghematan biaya produksi sehingga mereka dapat terbebas dari pekerja jangka
pendek, dan mengurangi arus kedatangan imigran gelap ke Amerika Serikat (yang
sebagian besar berasal dari Meksiko).
Salah seorang
kepala eksekutif perusahaan perancang robot slada mengatakan, mereka telah
menempuh jalan cukup panjang untuk merealisasikan robot yang tidak akan mereka
jual secara komersial di pasaran. Perusahaan harus menghadapi penolakan dari
kalangan serikat pekerja setempat, dikarenakan mekanisasi pertanian
mengkibatkan para pekerja kehilangan pekerjaan dan makanan menjadi makin tidak
aman untuk dikonsumsi akibat penggunaan pestisida secara berlebihan. Namun sang
kepala eksekutif membantah, “Itulah hal-hal hebat yang dilakukan robot dan
otomatisasi. Mereka dapat mengambil alih tugas berulang yang membosankan dan
terlalu sederhana bagi manusia, serta melakukannya secara efektif, cepat dan
akurat.”
Timbunan Masa Lalu
Memang masih akan diperlukan waktu selama beberapa tahun bagi teknologi
mekanisasi pertanian serupa ini untuk dapat menginjakkan kakinya di Indonesia.
Itupun setelah berkompromi dengan gelombang protes yang diperkirakan akan
muncul dari kalangan pekerja di bidang tersebut. Namun toh hal semacam ini
sudah merupakan hak ‘asasi’ perusahaan, dan kita tak dapat mempersalahkan
keberadaan pemilik industri yang menerapkan strategi produksi semacam ini untuk
efisiensi dan meningkatkan daya saing produk di pasar bebas. Segala bentuk
penolakan bisa berakibat berakhirnya komitmen perusahaan bersangkutan dalam hal
kerja sama yang akan sangat merugikan bagi para pekerja dan instansi terkait.
Sebaliknya, kita harus menerimanya sebagai buah pahit ekonomi berbasis investasi dan konsumsi yang
saat ini tengah diterapkan pemerintah dalam negeri.
Roda waktu yang
bergerak maju mengubah wajah hasil karya, cipta dan karsa manusia menjadi lebih
modern, canggih, keren dan anti lemot. Tentu ini adalah sebuah trend dan
kewajaran yang cukup menggembirakan, karena manusia akan menyia-nyiakan sisa
umurnya di dunia jika tak berhasil menciptakan sedikit perbedaan dibandingkan
generasi sebelumnya. Sesuatu yang baru tentunya lebih menarik hati daripada sesuatu
yang telah berusia tua dan menawarkan kemampuan terbatas. Sehingga
produk-produk baru pun akan selalu berhasil merajai pasaran dan melengserkan
para pendahulunya dari singgasana. Namun, pernahkah Anda berpikir kemanakah
larinya produk-produk jadul yang pernah dimiliki manusia?
Negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan kawan-kawannya memang telah
mengklaim kesuksesan mereka dalam hal mendaur ulang berbagai jenis sampah,
termasuk diantaranya sampah elektronik. Akan tetapi, beberapa tahun lalu
ABC.com melaporkan adanya sejumlah besar kontainer sampah elektronik yang
dikirim ke sejumlah Negara Dunia Ketiga seperti Cina, India, Vietnam, Pakistan,
sejumlah Negara Afrika dan, tentu saja, Indonesia. Saya tidak hendak meremehkan
eksistensi mereka yang beroleh penghasilan dengan mempereteli bagian demi
bagian sebuah computer lama yang dapat dijual kembali. Namun kita perlu
memperkirakan sejauh mana dampak limbah elektronik bagi kesehatan manusia,
apalagi yang bertumpuk-tumpuk setara gunung anakan seperti yang dapat kita lihat
di Ghana. Belum lagi dampak yang diakibatkannya bagi kesuburan tanah dan udara.
Begitulah,
ternyata perubahan tidak hanya membawa kemudahan bagi hidup manusia namun juga
harga mahal yang harus dibayar oleh sebagian besar lainnya. Kemudahan kredit
kepemilikan kendaraan bermotor membuat pengemudi dan pemilik angkot (angkutan
kota), angkudes (angkutan pedesaan), cikar, becak dan ojek sepeda makin merana.
Serbuan ponsel buatan Cina yang murah nian membuat semua orang jadi mampu
membeli ponsel atau smartphone baru, dan meninggalkan pemilik wartel
termangu-mangu kesepian. Demikian juga kebijakan konversi elpiji 3 kg
meminggirkan minyak tanah dari pasaran, pemilik pangkalanpun gulung tikar
bersama industri rumah tangga pembuat sumbu dan kompor minyak tanah. Para orang
tua pun hanya dapat mengelus dada menghadapi para anak muda yang tak lagi
berbicara dengan krama inggil, mendengarkan petuah para tetua dan kehilangan
antusiasme terhadap keluarga besar para pendahulu. Mengapa perubahan nyaris
selalu gagal mengelakkan jatuhnya korban? Seperti yang kita lihat dalam kemelut
Arab Spring tak berkesudahan di daratan Mesir, Tunisia, Turki, Lebanon, Syria,
Afghanistan, Libya, dan Bahrain.
Menggali Lubang yang Sama
Masyarakat pedesaan di wilayah selatan Jogjakarta punya metode unik untuk
mengatasi limbah rumah tangga ( yang sudah dilakukan sejak lama dan mungkin
karena tiadanya pasukan kuning ), yaitu dengan membuangnya di sebuah lubang
yang cukup dalam dan lebar di pekarangan rumah.
Ketika lubang telah penuh dengan maka mereka akan menutupinya dengan
tanah bekas galian sebuah lubang pembuangan sampah lain yang tidak jauh-jauh
amat dari lokasi semula. Namun zaman telah berubah. Makanan dan minuman kemasan
plastik yang beredar dan dikonsumsi secara massif mengakibatkan para cacing
tanah bekerja lembur serta terancam kehilangan tempat tinggal. Sebuah riset menyatakan,
butuh waktu hingga 6 bulan bagi puntung rokok Anda untuk menyatu dengan tanah,
12 tahun bagi kantung plastik dan jutaan tahun untuk Styrofoam.
Yah paling tidak waktu akhirnya gagal dalam merubah satu hal, yaitu sampah.
Apakah kompor
minyak tanah juga termasuk sampah? Ya, karena ia tidak lagi digunakan ketika
harga minyak tanah melambung tinggi. Apakah kurikulum 1997 dan kurikulum pendidikan berbasis kompetensi
adalah sampah juga? Ya, karena mereka tak lagi digunakan saat kursi panas
menteri pendidikan dioper kepada tokoh dan partai lainnya. Apakah televisi layar
cembung juga sampah? Lalu bagaimana dengan mantan pejabat, kru, asisten, staf
ahli bahkan pentolannya? Ya, saya pikir Anda sudah tahu jawabannya. Lalu
mengapa manusia itu gemar sekali membuat sampah, menumpuk dan menimbun sesuatu
yang sudah dan atau pada akhirnya menjadi tidak berguna? Kita memang harus
mengakui kecerdasan sesama manusia dalam hal merancang perangkat yang belum
pernah ada sebelumnya. Namun, sayang sekali mereka kurang memandang jauh ke
depan terhadap segala kemungkinan di masa mendatang.
Manusia memang
adalah makhluk paling kemaruk, rakus jika dibandingkan makhluk lainnya di Bumi,
dan bahkan lebih lahap daripada burung pemakan bangkai sekalipun. Tidak ada
roti atau nasi masih bisa makan daun-daunan. Tidak ada daun, mereka masih bisa
makan belalang, atau cacing, atau jangkrik. Tidak ada uang bukan masalah
berarti selagi masih dapat berhutang. Berhutang dalam jumlah besar, sekali
lagi, juga bukan merupakan masalah besar, karena hutang A akan dapat dilunasi dengan sebuah hutang lainnya. Menggali
lubang hutang bukanlah masalah berarti asalkan kita dapat menutupnya kembali,
untuk kemudian digali lagi pada saatnya nanti. Sedemikian memprihatinkan itukah
upah standar pekerja di Indonesia? Tidak juga. Selain berjihad di hadapan
atasan, meja kerja, mesin dan campuran semen, ternyata para pekerja juga harus
bertarung melawan peperangan lainnya, yaitu gaya hidup konsumtif yang telah
dilegalkan melalui kemudahan pengajuan kredit kepemilikan rumah, kendaraan
bermotor, peralatan elektronik, gadget dan cicilan lainnya. Dan mereka,
biasanya, lebih sering gagal daripada menang. (swastantika)
Langganan:
Postingan (Atom)
Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...
-
Kesulitan ekonomi bukanlah sesuatu yang memalukan, bisa menimpa siapa saja dan di mana saja, mulai dari seorang ibu tunggal di pedesaan samp...
-
Karena satu dan lain hal, kita berutang pada seseorang, sebuah bank, pinjaman online, atau pihak manapun sebagai pemberi pinjaman. Dengan me...
-
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...