Di era kekinian ini mustahil rasanya kita bisa hidup tanpa
membeli barang atau menjadi konsumen suatu produk atau layanan. Tanpa adanya
perilaku mengonsumsi sesuatu, ekonomi tidak bisa tumbuh dan berkembang. Di sisi
lain, semua negara membutuhkan perolehan data konsumsi yang tinggi karena hal
ini mengindikasikan bahwa masyarakat merasa aman dan percaya pemerintah mampu
mengendalikan situasi. Dengan
sendirinya, keyakinan ini membuat masyarakat merasa bebas membelanjakan uang. Masalahnya,
tidak semua orang mempunyai kemampuan mengelola uang agar jangan sampai pasak
lebih besar daripada tiang. Hal ini karena kemampuan mengelola uang erat
kaitannya dengan kemampuan mengelola emosi.
Sebenarnya apa sih yang melatarbelakangi seseorang untuk
mengkonsumsi lebih daripada yang ia butuhkan? Bisa jadi karena kebosanan dalam
hidup. Semua manusia akan dan pernah mengalami sebuah fase tertentu di mana
kehadiran orang-orang tercinta dan para sahabat di sekelilingnya tidak bisa
membuatnya merasa bahagia. Tidak kehujanan atau kepanasan dan bisa makan tiga
kali sehari ternyata tidak cukup memuaskan hidupnya. Lantaran tidak tahu
bagaimana mengakhiri kegelisahan itu, manusia membeli demi memenuhi
hasrat-hasrat kecil nan sesaat. Celakanya, kaum perempuan termasuk golongan
yang sangat rentan terhadap konsumerisme. Ada anggapan yang mengatakan
perempuan berpikir dengan perasaannya, dan inilah mengapa dorongan emosi
mengakibatkan sejumlah perempuan terjerat perilaku konsumtif.
Apakah gaya hidup sederhana sudah cukup untuk mengendalikan
perilaku konsumtif? Tidak juga, karena setiap manusia tidak memiliki level yang
sama dalam hal daya tahan terhadap godaan iklan. Akan tetapi, tidak
ada satu cara yang bisa diterapkan dan membuahkan hasil yang sama pada setiap
orang dalam hal membangun pertahanan diri. Mengingat kita tidak dapat berharap sepenuhnya pada keampuhan sebuah cara yang sudah mainstream, maka satu-satunya jalan adalah
membangun pertahanan dalam diri sesuai cipta, rasa, dan karsa masing-masing. Membangun pertahanan diri itu
tidak sulit karena ini akan terbangun dengan sendirinya bila individu sudah
menemukan jati dirinya, yaitu kesadaran akan siapa dirinya dan tujuan hidupnya.
Masalahnya, banyak yang cenderung menyangka
perjalanan mencari jati diri akan berhenti bila manusia sudah mencapai usia
tertentu, atau pencarian jati diri hanyalah milik para remaja. Padahal,
perjalanan hidup manusia dan menjadi tua adalah sebuah evolusi. Dengan kata
lain, selagi masih hidup manusia bisa merubah dirinya menjadi apapun yang ia
inginkan.
Bukan superhero
Sebuah grup Instagram
Indonesia
Tanpa Feminis diluncurkan 17 Maret lalu dengan mengusung slogan “Tubuhku bukan milikku; Indonesia tidak membutuhkan
feminisme.” Pandangan ini juga tercermin dalam komentar salah satu follower mereka yang
berbunyi, ““
Mereka
bilang, mereka setuju dengan konsep feminisme karena wanita butuh kesetaraan…
Padahal dalam Islam, wanita tak perlu setara karena sejatinya wanita sungguh
dimuliakan… Ia dijaga oleh ayahnya , dijaga oleh saudara laki-lakinya dan
dijaga oleh suaminya.” Pihak yang mendukung gerakan ini berdalih,
adat dan budaya Indonesia pada umumnya berpihak pada perempuan dalam hal
menghormati dan memuliakan. Para lelaki dididik untuk melindungi perempuan dan
sudah banyak perempuan menjadi bos, bahkan ada yang menjadi presiden, jadi
untuk apa ada feminisme?
Memang sih, dewasa ini sudah jarang
sekali kita menemukan perempuan berpendidikan rendah atau tidak bisa membaca.
Ada banyak perempuan yang sudah berhasil menemukan potensi dirinya dan mencapai
aktualisasi diri tertinggi sehingga menjadi terdepan di antara kaumnya, bahkan
lawan jenisnya. Namun, bagaimana dengan mereka yang karena sesuatu hal saat ini
berada di posisi yang “biasa-biasa saja” (dan “biasa-biasa saja” di sini tidak
ada kaitannya dengan penampilan fisik, karena ciptaan Tuhan itu semuanya
cantik)? Jumlah golongan “biasa-biasa saja” ini pun tidak sedikit, berlimpah
ruah. Saya tergelitik untuk membayangkan, apakah yang terbersit dalam benak
para perempuan yang “biasa-biasa saja” ini ketika mereka menonton acara gosip
selebritis atau membaca tentang tindakan gagah berani Bu Susi Pudjiastuti
menenggelamkan kapal pencuri ikan dari negara lain. Apakah mereka akan tergerak
untuk menyerap semangat para tokoh perempuan itu dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari, atau malah merasa tersudut, rendah diri, dan semakin
yakin bahwa diri mereka memang tidak istimewa?
Pada dasarnya, semua manusia
memiliki potensi. Adalah daya pandang terhadap diri sendiri yang tidak pernah
diasah menjadi penyebab kita tidak dapat melihat keistimewaan di dalam kita. Sesungguhnya,
kita tidak perlu menjadi superhero dulu supaya bisa bangga dengan keberadaan diri. Introversi, atau beralihnya minat seseorang terhadap apa yang
terjadi di dalam dirinya, sebenarnya tidak sulit dilakukan. Siapa saja bisa
melakukannya dengan berlatih mengundurkan diri sejenak dari hingar bingar
duniawi untuk mengamati gejolak-gejolak di dalam pikiran dan perasaannya.
Sekian menit untuk sekedar mengamati, tidak larut, dan tidak pula memberontak.
Cukup diam dan mengamati. Sebuah pengingat dinyalakan sekedar untuk
mengingatkan bila waktu diam sudah habis. Bila alarm sudah berbunyi, itu
tandanya kita kembali pada realitas dan di sanalah akan ditemukan jawaban di
mana potensi kita berada. Potensi yang membuat kita merasa berharga, walaupun
tanpa meniru-niru tingkah polah para selebritis wanita, walaupun tak memiliki
barang-barang mewah, walaupun misalnya kita hanya sekelompok emak-emak. Dengan
melatih kesadaran akan adanya potensi diri, diharapkan akan muncul pula sebuah
pencerahan tentang milik siapakah sebenarnya tubuh seorang perempuan.
Berkompromi dengan hawa nafsu
Pada Oktober 2017, dicetuskan
gerakan sejuta tagar #MeToo sebagai aksi online menentang kekerasan dan
pelecehan seksual yang dialami para perempuan di tempat kerja. Teknis
pelaksanaan gerakan ini adalah, para perempuan di berbagai belahan dunia
beramai-ramai memposting di media sosial tentang tindakan kekerasan atau
pelecehan seksual yang pernah dialaminya. Aksi ini berhasil membuka mata
khalayak tentang ketidakadilan yang dialami sebagian kaum perempuan, juga
berhasil menyeret sejumlah figur lelaki dengan nama besar. Ada politisi,
olahragawan, penyanyi, aktor, produser film, penulis naskah, bankir, ilmuwan, sampai
bintang film porno. Respon masif dari seluruh dunia membuat sejumlah pihak
menilai gerakan MeToo adalah gerakan feminism gelombang keempat yang patut
dicatat dalam sejarah. Saya tidak menyepelekan perasaan terhina dan trauma yang
dialami para korban. Saya sangat setuju para pelaku mendapat ganjaran yang
setimpal. Kekerasan dan pelecehan seksual sudah mengambil sesuatu secara paksa
dari para korban, dan itu tidak akan pernah kembali. Namun segarang-garangnya kita menghakimi dan
mempermalukan para pelaku, apa yang sudah terjadi tidak dapat dibatalkan.
Menurut narasi MeToo, tempat kerja
bisa jadi tempat yang berbahaya buat kaum perempuan. Benarkah demikian? Pada
kenyataannya, ruang publik menyimpan potensi bahaya yang lebih besar karena
seringkali masyarakat tidak menyadari tindakan pelecehan seksual yang sedang terjadi
di bawah hidung mereka. Gerakan MeToo tersebut belum sepenuhnya berhasil
merumuskan jawaban atau solusi untuk satu masalah krusial, bagaimana perempuan
harus bersikap agar tidak mengalami situasi di mana dirinya direndahkan oleh
lawan jenisnya, baik secara fisik maupun verbal? Kesadaran akan “milik siapakah
tubuh ini?” mendapat tantangan ketika perempuan mencoba mengaktualisasi diri di
luar zona nyamannya. Kesadaran itu nantinya juga akan membuat perempuan
mempertanyakan hal-hal yang menggalaukan batin seperti: “apakah saya sudah
memiliki hidup yang seperti saya inginkan?”, “apakah makna hidup saya?”, dan
banyak lagi. Untuk mengurai benang kusut ini, marilah kita menggulung kesadaran
itu ke dalam diri masing-masing.
Pada dasarnya, libido adalah
sesuatu yang tidak dipisahkan dari tubuh manusia. Pemahaman tentang tubuh
sendiri dan tubuh liyan membuat hidup
menjadi lebih bermakna. Manusia tidak lagi hidup kesepian karena ia bisa dan
boleh memiliki pasangan, kecuali bila ia mengambil jalan mengabdi pada Tuhan
dan mengesampingkan keduniawian. Namun ada sebagian orang, yang entah karena
kurang terdidik atau kurang tahu bagaimana cara menarik perhatian lawan jenis,
memaksakan hawa nafsunya pada lawan jenis yang diincarnya. Latar belakang
inilah yang dapat mematikan langkah seorang perempuan, ketika ia tidak berani
berbuat sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan lantaran khawatir menjadi obyek.
Kita tidak dapat menganggap hal ini sekedar anxiety
atau rasa khawatir yang berlebihan, karena MeToo (dengan plus dan minusnya)
sudah ungkapkan banyak kisah pahit. Padahal, selain sebagai ayah, suami, kekasih,
saudara, atau anak, kaum lelaki sesungguhnya bisa menjadi sahabat terbaik yang
pernah dimiliki kaum perempuan. Ia bisa menjadi rekan yang penuh respect dan
bisa diandalkan untuk saling bahu membahu menyelesaikan misi bersama.
Dengan
memperbanyak berlatih hidup bermasyarakat, perempuan bisa lebih terampil
membaca situasi agar langkah mencapai cita-citanya tidak surut dan ia mampu
menjaga kehormatan dirinya.
Dalam perjalanan mengaktualisasi
diri, siapa saja akan mengalami situasi di mana mereka mempunyai pandangan yang
berbeda dengan masyarakat di sekelilingnya. Menurut apa yang saya pelajari
semasa kuliah, tampil beda itu bebas dan boleh sepanjang kita dapat merumuskan
konsep mengapa kita memilih untuk menjadi atau berpikiran berbeda. Siapa saja,
lelaki dan perempuan, memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan pendapat
sesuai isi hati dan pikiran masing-masing. Akan tetapi, masih banyak dari kita yang sebatas
reaktif terhadap komentar yang ditujukan pada kita dan kita membenarkan sikap ini
sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Asal tahu saja, kita juga berhak
memperkaya ilmu pengetahuan yang ada kaitannya dengan cara-cara terbaik
menyampaikan pendapat atau gagasan. Semua orang berhak untuk menjadi dewasa
dalam bersikap maupun berkata-kata. Dalam hidup bermasyarakat, ada batas-batas
yang perlu dijaga untuk meminimalisir letupan-letupan api kecil. Batas-batas
itu kita pertahankan bukan hanya dengan menjaga penampilan fisik agar sesuai
dengan kaidah yang berlaku dan diterima masyarakat secara umum. Menjaga lidah
juga sangat penting, agar kita bisa mengasah kemampuan menghargai ucapannya
sendiri, sebelum mengharap orang lain dapat menghargai keberadaan diri kita. Mengasah
kemampuan agar seorang perempuan (dan laki-laki) pada akhirnya berani berucap,
“Mulutku, Harimauku”.
(swast)