Jumat, 30 September 2011

PENGHIBURAN UNTUK SEMUA

Buanglah mimpi-mimpi iblismu.” ( Dendang Kampungan )

              Pentas dangdut dimanapun masih menjadi idola masyarakat semua lapisan, sekaligus ajang bacokan antar penonton. Apalagi kalau bukan karena alunan musik serta goyangan sang diva melayu yang membangkitkan gejolak darah muda, tanpa bayar pula. Karena keampuhannya mengumpulkan massa, seringkali digunakan sebagai sarana penyampai pesan promosi produk maupun politik. Saya yakin para biduan dangdut akan mendapat lebih banyak order daripada musisi jenis musik lain pada perhelatan kampanye Pemilu 2014 mendatang.
             Selain makan dan minum, orang juga butuh hiburan untuk melepaskan dahaga di jiwa kerontangnya. Penolakan atas keruwetan hidup menjadikan detik, menit, jam dan hari terasa panjang dan melelahkan. Mereka rela memberikan apa saja asalkan bisa merebut secuil waktu untuk melonggarkan ketatnya ikat pinggang dan melepaskan sejenak semua beban. Kapanpun dan dimanapun, asalkan mereka dibebaskan demi meluapkan emosi, ceria, air mata, setengah gila, seluas-luasnya. Sampai-sampai apa yang dilihat di kaca bukan lagi topeng rutinitas keseharian, melainkan diri sejati terlepas dari sangkar emas budi pekerti.
         Tanpa sadar, dahaga itu ternyata membunuh pelan-pelan. Ibarat anggur merah, semakin banyak ditenggak semakin panas kerongkongan. Ia bernama hawa nafsu hedonis. Di genggamannya penderitaan bisa hilang ditelan kenyamanan sesaat. Candu karena sifat ceria yang dihasilkan tak pernah kekal. Ada sejumlah harga yang harus kita keluarkan untuk membeli tiap kali efek ekstase yang dihasilkannya hilang. Itu pun jarang sekali murah. Kita harus keluarkan uang untuk membeli kebahagiaan di lantai diskotik, mall, restoran cepat saji, pil koplo, balapan liar, Sarkem maupun Gang Dolly. Ketika tiada fulus terperosokkah kita ke jurang kriminalitas ? Bisa jadi para koruptor adalah clubbers yang kehabisan uang untuk dugem. Dan untuk menjadi maling jemuran adalah tidak mbois ( keren ) sama sekali.

Harga Ketentraman
Apakah ada diantara pembaca budiman sekalian yang emoh jadi orang kaya ? OMG, Anda menjawab ‘ Ya ‘ ??? Menjadi kaya artinya kita sudah lebih dari sekedar sejahtera. Lebih dari sejahtera dan mustahil kelaparan karena bisa membeli beras serta apa saja. Seandainya kebahagiaan dan kesenangan sahaja sudah mampu terbeli, apakah demikian halnya ketentraman ?
Tengok saja berita-berita perkelahian massal, kerusuhan dan perusakan bangunan belakangan. Itu adalah sebagian kecil efek dari hati yang kurang tentram. Ada sampah-sampah kering yang bertumpuk menyesaki ruang batin. Sampah yang sulit didaur ulang oleh karena terlampau banyak mimpi-mimpi dan waktu tak mampu membusukkannya satu per satu. Sampah-sampah itu terdiri dari kekecewaan, kemarahan dan ketidakpuasan yang tak terucap karena peraturan dan norma-norma membungkamnya rapat-rapat. Gesekan friksi dua pihak, kubu, benda yang sama keras menghasilkan percikan api. Terbakarlah sampah kering oleh bara emosi. Panas hati melumpuhkan akal. Duarrr … !
Sedangkan bumi semakin dipanggang pemanasan global dan bahan pangan makin susah dicari. Atasan semakin uring-uringan dan sang kekasih susah dihubungi. Situasi memang sedang tak bersahabat. Namun kita makan hari ini supaya esok kita masih bisa makan lagi. Selemah itukah sel-sel otak kita menyerah kalah di tangan penjarah logika ? Mentari kota besar memang seperti hendak memecah ubun-ubun, terik tak kepalang. Tapi gedung-gedung tinggi masih punya pendingin dalam ruangan ( AC ). Perut memang kelaparan, tapi tak berarti gelap penglihatan. Terinjak-injak memang pedih nian, namun tak musti kita menghunus pedang.

Engkau adalah Aku “
           Kawula berjiwa muda dan gaya, mungkin menganggap perayaan Lebaran lalu sebagai ‘ biasa-biasa saja ‘ dan tidak spesial. Ajang silaturahmi keluarga besar dan antar tetangga agak sedikit bergeser dari fungsinya sebagai sarana mempererat tali persaudaraan. Anak-anak muda menganggapnya penuh kepalsuan manakala orang-orang tua memanfaatkannya sebagai ruang pamer bebas sewa atas keberhasilan anak-anak mereka, kemapanan jabatan dan pencapaian materi masing-masing.
        Sebagai makhluk yang takut kesepian, manusia membutuhkan sosialisasi. Sebuah aktivitas dimana mereka bisa bekerja dan berbagi apa saja dan dengan siapa saja. Namun itu akan menjadi sia-sia jika komunikasi dipaksakan menjadi jalur satu arah. Menutup pintu bagi mereka di sekitar untuk ikut bicara dan turut merasa. Ya, memang kita kurang sempurna dan banyak kegagalan yang masih enggan kita terima. Akan tetapi itu bukanlah landasan kuat bagi pengesahan ke’ini lho aku’an masing-masing menjadi iblis yang senantiasa berhasil menguasai hawa nafsu kita untuk tak mau menjadi orang mengalah. Ya, memang kita harus didengar. Akan tetapi mereka-mereka disana sini juga ingin didengar. Ya, memang eksistensi ( keberadaan ) kita harus nampak. Akan tetapi maukah mereka-mereka di sekeliling kita itu disamakan dengan hantu karena keberadaan mereka di mata kita adalah ghoib alias tembus pandang alias tidak ada.
      Jalan panjang meraih cita-cita tidak selalu mulus. Dan kita tak bisa selamanya berjalan tanpa membungkukan badan atau menundukkan kepala barang sejenak. Kecuali kita siap terima resiko akan terbentur dahan melintang. Kehidupan bukanlah medan perang abadi. Kecuali kita dengan sengaja memelihara konflik demi keuntungan golongan dan pribadi dan uang. Sang ego memang tinggi dan besar bentuknya. Kita pelihara dia baik-baik, kemudian lihat dan rasakan apakah ketentraman pula akan tumbuh bersamanya ?
         Hari-hari melelahkan dan kita butuh hiburan. Ketentraman hati tidak butuh biaya karena kita mampu dan sangat mampu membuatnya sendiri. Just Do It Yourself, Beib.



Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...