Minggu, 30 Desember 2012

SISTEM YANG IDEAL

Penyambutan tahun baru yang hiruk pikuk, itu memang adalah salah satu hak asasi dan pilihan Anda akan menjadi salah satu bagiannya atau tidak. Jika Julius Caesar, penguasa legendaries sekaligus pencipta kalender Masehi sempat bangkit dari kuburnya pada era ini, ia pun akan bertanya-tanya, sebegitu besarkah harga yang harus dikeluarkan manusia ultra modern demi merasakan sensasi perubahan tanggal dan kalender ? Atau bisa jadi malah dirinya ogah kembali lagi ke alam kubur, dan memilih untuk ikut berpesta demi merayakan penemuan system penanggalan yang dibuatnya sendiri.

Kata Sistem awalnya berasal dari bahasa Yunani (sustēma) dan bahasa Latin (systēma). Sedangkan pengertian dan definisi sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen atau elemen yang saling berinteraksi, saling terkait, atau saling bergantung membentuk keseluruhan yang kompleks. Demi apakah manusia menciptakan system ? Tiada lain dan tiada bukan adalah untuk mengatur hidup dan sesamanya kepada tujuan jangka panjang masing-masing. Sistem pada awalnya dibuat untuk memudahkan kehidupan manusia. Agar hidup mereka menjadi lebih teratur, dan dengan sendirinya akan terciptalah perdamaian. Karena arah yang ingin dicapai tidaklah sederhana, maka manusia pun tidak gegabah dalam merancang system. Mereka mencetuskan berlakunya sebuah system secara permanen setelah melakukan uji dan coba kepada dirinya sendiri, dan lambat laun optimistis hasil yang sama dapat dicapai secara berulang, apabila system yang sama tetap dilaksanakan oleh generasi berikutnya. 

Nyatanya, pergeseran zaman turut serta menggeser kualitas sumber daya manusia, berikut pola pikir, ketahanan mental serta kecerdasan intuitif mereka. Beragamnya jenis santapan rupa-rupanya punya andil dalam menambah jumlah sel-sel kelabu dalam otak, dan manusia ultra modern menjadi berkelebihan dibanding para pendahulunya, yaitu lebih piawai dalam mencari jalan pintas tersingkat dalam mewujudkan keinginannya. Sehingga demi mencapai tujuan mereka tidak perlu lagi menggunakan system serumit ciptaan para orang tua. Bukankah lebih cepat itu lebih baik ? Memang. Namun segala kemudahan yang merupakan asal muasal datangnya attitude malas dan mudah menyerah itu dipandang sebagai celah dan peluang buat sebagian kecil manusia ambisius, yang bersedia melakukan segala cara demi menuju Kota Roma.

Kisah Sang Pemberontak
Para pembuat system bukanlah orang-orang masa kini, apalagi masa depan. Mereka lahir dan dibesarkan dari masa yang sangat random dan antah berantah, masa-masa penuh perjuangan nan berdarah-darah. Tanpa kerja keras mereka hari ini kita belum tentu dapat saling berbicara dalam Bahasa Indonesia, merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 maupun memiliki kebanggaan karena memiliki kewarganegaraan Indonesia. Oleh karenanya kita patut mengacungkan jempol karena membuat dan meletakkan dasar-dasar bangunan Negara bukanlah pekerjaan mudah. Salah sedikit bisa runtuh susu sebelanga. Akan tetapi, masih saja ada cabang melintang di jalan, yang mengakibatkan perjalanan tidak semulus seperti yang sudah diangan-angankan.

Apakah ambisi berkuasa sahaja sudah cukup untuk membuat manusia lainnya dapat memahami apa yang diinginkannya ? Sayangnya tidak, karena berbedanya nama tiap-tiap individu makhluk yang namanya manusia, berbeda jualah isi kepalanya. Sedangkan saat ini adalah era keemasan internet yang serba cepat, dan manusia merasa mereka telah membuang waktunya dengan percuma manakala belajar memahami isi kepala si A, E dan Z, atau mencoba menemukan solusi terbaik dengan mengadakan musyawarah. Maka bisa dipahami kiranya jika kaum penguasa seringkali membangun pagar berduri di sekelilingnya berupa sederetan peraturan dan sanksi hukum, yang tidak perlu adil asalkan dapat memberikan efek jera kepada para pemilik isi kepala yang mencoba menjadi jagoan dengan menyatakan ketidaksetujuan.

Ibarat mangga yang matang akibat diperam, tidak akan pernah bisa seranum buah mangga yang matang dari pohonnya. Begitupun system yang dipaksa digunakan untuk mengikat liyan, membosankan, kurang bergairah dan loyo. Mereka hanya akan menjerumuskan para liyan ke dalam lingkaran iblis stagnasi. Melalui jalan yang hanya berujung pada titik Sisifus, maka titik klimaks, puncak pembuktian atas eksistensi sebagai makhluk berakal budi sejati pun akan semakin jauh dari pandangan. Kegagalan mencapai puncak hanya akan menimbulkan ketidakpuasan-ketidakpuasan, yang di kemudian hari kekecewaan itu akan tumbuh dan dewasa sebagai amok.

Pilihan Sempurna 

Tanpa manusia bersusah payah pun sebenarnya alam sudah menyediakan segalanya yang mereka butuhkan, termasuk diantaranya system. Hal itu nampak jelas ketika dua jenis makhluk hidup yang berlandaskan kasih sayang berikrar dan membuat komitmen untuk menjalin kerjasama dalam membangun sebuah keluarga. Sebuah system paling sederhana di muka dunia terbentuk manakala sang ayah memegang posisi sebagai pemimpin keluarga, ibu sebagai keluarga, dan anak-anak sebagai makhluk kecil yang harus dirawat baik-baik, agar dapat melanjutkan tongkat estafet system keluarga kelak saat mereka sudah dewasa.
 
Bukan manusia namanya jika tiada pernah terjerumus dalam lembah kealpaan. Itulah yang mereka perbuat tatkala dengan gagah berani memproklamirkan jalan hidup yang dipilihnya sebagai bentuk penolakan terhadap system yang berlaku. Naifnya kesesatan alam pikiran membuat mereka lupa, bahwa mereka bisa berjalan, makan dan bercinta karena adanya system yang mengatur cara kerja organ tubuh masing-masing. Sistem organ tubuhlah yang memberi tahu mereka kapan saatnya merasa lapar, dan pada jam berapa mereka harus berangkat tidur. Manusia tidak dapat melawan keteraturan system alami organ tubuh dengan mendadak tidak makan seharian, maupun tidak tidur selama berhari-hari, tanpa menanggung resiko penyakit kronis di belakang hari. Bisa dipahamikah muasalnya penderitaan manusia ? Yakni pada saat arogansi mereka menentang system alam, tanpa membekali diri dengan penerimaan terhadap konsekuensi logis atas bibit yang telah ditanamnya.

Pada saat seseorang memutuskan untuk menolak menundukkan kepalanya dalam-dalam terhadap sebuah system, saat itu pulalah ia ( seharusnya ) tahu jalur alternatif mana yang harus ditempuhnya. Untuk dapat hidup dan berdiri di luar system, yang mana hal itu merupakan hak asasi bagi tiap individu manusia untuk memilih, idealisme melulu tidaklah akan pernah cukup. Perut keroncongan sampai kapanpun tidak akan bisa dikenyangkan dengan hanya makan kata-kata, semboyan,filosofi, motivasi, resolusi, dll. Hanya uanglah yang bisa mengenyangkan perut, tetapi kita mempunyai berbagai macam pilihan tentang bagaimana memperolehnya dengan cara-cara yang ideal.

Akhirul kata, andaikata sesosok manusia tadi memang benar-benar keluar dari system yang diemohinya, dan sukses bertahan hidup dengan jalan (yang adalah juga merupakan panggilan lain dari kata ‘ system ‘) maka dirinya pun juga harus bersiap sedia, jikalau di kemudian hari harus berhadapan dengan sekelompok manusia muda lain yang seperti dirinya, yang juga gerah berkompromi dengan system yang sama bertahun-tahun lamanya. (swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...