Penyambutan
tahun baru yang hiruk pikuk, itu memang adalah salah satu hak asasi
dan pilihan Anda akan menjadi salah satu bagiannya atau tidak. Jika
Julius Caesar, penguasa legendaries sekaligus pencipta kalender
Masehi sempat bangkit dari kuburnya pada era ini, ia pun akan
bertanya-tanya, sebegitu besarkah harga yang harus dikeluarkan
manusia ultra modern demi merasakan sensasi perubahan tanggal dan
kalender ? Atau bisa jadi malah dirinya ogah kembali lagi ke alam
kubur, dan memilih untuk ikut berpesta demi merayakan penemuan system
penanggalan yang dibuatnya sendiri.
Nyatanya,
pergeseran zaman turut serta menggeser kualitas sumber daya manusia,
berikut pola pikir, ketahanan mental serta kecerdasan intuitif
mereka. Beragamnya jenis santapan rupa-rupanya punya andil dalam
menambah jumlah sel-sel kelabu dalam otak, dan manusia ultra modern
menjadi berkelebihan dibanding para pendahulunya, yaitu lebih piawai
dalam mencari jalan pintas tersingkat dalam mewujudkan keinginannya.
Sehingga demi mencapai tujuan mereka tidak perlu lagi menggunakan
system serumit ciptaan para orang tua. Bukankah lebih cepat itu lebih
baik ? Memang. Namun segala kemudahan yang merupakan asal muasal
datangnya attitude
malas dan mudah menyerah itu dipandang sebagai celah dan peluang buat
sebagian kecil manusia ambisius, yang bersedia melakukan segala cara
demi menuju Kota Roma.
Kisah
Sang Pemberontak
Para
pembuat system bukanlah orang-orang masa kini, apalagi masa depan.
Mereka lahir dan dibesarkan dari masa yang sangat random dan antah
berantah, masa-masa penuh perjuangan nan berdarah-darah. Tanpa kerja
keras mereka hari ini kita belum tentu dapat saling berbicara dalam
Bahasa Indonesia, merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 maupun
memiliki kebanggaan karena memiliki kewarganegaraan Indonesia. Oleh
karenanya kita patut mengacungkan jempol karena membuat dan
meletakkan dasar-dasar bangunan Negara bukanlah pekerjaan mudah.
Salah sedikit bisa runtuh susu sebelanga. Akan tetapi, masih saja
ada cabang melintang di jalan, yang mengakibatkan perjalanan tidak
semulus seperti yang sudah diangan-angankan.
Apakah ambisi berkuasa sahaja sudah cukup untuk membuat manusia
lainnya dapat memahami apa yang diinginkannya ? Sayangnya tidak,
karena berbedanya nama tiap-tiap individu makhluk yang namanya
manusia, berbeda jualah isi kepalanya. Sedangkan saat ini adalah era
keemasan internet yang serba cepat, dan manusia merasa mereka telah
membuang waktunya dengan percuma manakala belajar memahami isi kepala
si A, E dan Z, atau mencoba menemukan solusi terbaik dengan
mengadakan musyawarah. Maka bisa dipahami kiranya jika kaum penguasa
seringkali membangun pagar berduri di sekelilingnya berupa sederetan
peraturan dan sanksi hukum, yang tidak perlu adil asalkan dapat
memberikan efek jera kepada para pemilik isi kepala yang mencoba
menjadi jagoan dengan menyatakan ketidaksetujuan.
Ibarat
mangga yang matang akibat diperam, tidak akan pernah bisa seranum
buah mangga yang matang dari pohonnya. Begitupun system yang dipaksa
digunakan untuk mengikat liyan, membosankan, kurang bergairah dan
loyo. Mereka hanya akan menjerumuskan para liyan ke dalam lingkaran
iblis stagnasi. Melalui jalan yang hanya berujung pada titik Sisifus,
maka titik klimaks, puncak pembuktian atas eksistensi sebagai makhluk
berakal budi sejati pun akan semakin jauh dari pandangan. Kegagalan
mencapai puncak hanya akan menimbulkan ketidakpuasan-ketidakpuasan,
yang di kemudian hari kekecewaan itu akan tumbuh dan dewasa sebagai
amok.
Pilihan
Sempurna
Tanpa manusia bersusah payah
pun sebenarnya alam sudah menyediakan segalanya yang mereka butuhkan,
termasuk diantaranya system. Hal itu nampak jelas ketika dua jenis
makhluk hidup yang berlandaskan kasih sayang berikrar dan membuat
komitmen untuk menjalin kerjasama dalam membangun sebuah keluarga.
Sebuah system paling sederhana di muka dunia terbentuk manakala sang
ayah memegang posisi sebagai pemimpin keluarga, ibu sebagai keluarga,
dan anak-anak sebagai makhluk kecil yang harus dirawat baik-baik,
agar dapat melanjutkan tongkat estafet system keluarga kelak saat
mereka sudah dewasa.
Bukan
manusia namanya jika tiada pernah terjerumus dalam lembah kealpaan.
Itulah yang mereka perbuat tatkala dengan gagah berani
memproklamirkan jalan hidup yang dipilihnya sebagai bentuk penolakan
terhadap system yang berlaku. Naifnya kesesatan alam pikiran membuat
mereka lupa, bahwa mereka bisa berjalan, makan dan bercinta karena
adanya system yang mengatur cara kerja organ tubuh masing-masing.
Sistem organ tubuhlah yang memberi tahu mereka kapan saatnya merasa
lapar, dan pada jam berapa mereka harus berangkat tidur. Manusia
tidak dapat melawan keteraturan system alami organ tubuh dengan
mendadak tidak makan seharian, maupun tidak tidur selama
berhari-hari, tanpa menanggung resiko penyakit kronis di belakang
hari. Bisa dipahamikah muasalnya penderitaan manusia ? Yakni pada
saat arogansi mereka menentang system alam, tanpa membekali diri
dengan penerimaan terhadap konsekuensi logis atas bibit yang telah
ditanamnya.
Pada
saat seseorang memutuskan untuk menolak menundukkan kepalanya
dalam-dalam terhadap sebuah system, saat itu pulalah ia ( seharusnya
) tahu jalur alternatif mana yang harus ditempuhnya. Untuk dapat
hidup dan berdiri di luar system, yang mana hal itu merupakan hak
asasi bagi tiap individu manusia untuk memilih, idealisme melulu
tidaklah akan pernah cukup. Perut keroncongan sampai kapanpun tidak
akan bisa dikenyangkan dengan hanya makan kata-kata,
semboyan,filosofi, motivasi, resolusi, dll. Hanya uanglah yang bisa
mengenyangkan perut, tetapi kita mempunyai berbagai macam pilihan
tentang bagaimana memperolehnya dengan cara-cara yang ideal.
Akhirul
kata, andaikata sesosok manusia tadi memang benar-benar keluar dari
system yang diemohinya, dan sukses bertahan hidup dengan jalan (yang
adalah juga merupakan panggilan lain dari kata ‘ system ‘) maka
dirinya pun juga harus bersiap sedia, jikalau di kemudian hari harus
berhadapan dengan sekelompok manusia muda lain yang seperti dirinya,
yang juga gerah berkompromi dengan system yang sama bertahun-tahun
lamanya. (swastantika)