Jumat, 24 November 2023

Masa Lalu Rumit Mengganggu Hak Untuk Hidup Sejahtera: Sejarah Gua Machpela

Gua Machpela memiliki dua nama lain, dan Anda dapat memilih salah satunya sesuai agama yang Anda yakini. Bagi masyarakat Kristen Ortodoks, Kristen, dan Katolik, Gua Machpela disebut Cave of The Patriarch (Gua Para Leluhur). Bagi umat Yahudi, gua ini disebut Me'arat HaMachpela. Sedangkan bagi umat Islam, mereka menyebut gua tersebut sebagai Masjid Ibrahimi.

Dalam artikel ini, saya menggunakan "Gua Machpela" untuk menyebut Cave of The Patriarch, mengikuti penyebutan nama Wikipedia bagi para pembaca asal Indonesia (Gua Makhpela dalam bahasa Indonesia).

Cave of The Patriarch terdaftar sebagai salah satu destinasi wisata dan bagian dari Wisata Tepi Barat bagi para wisatawan di seluruh dunia. Berdasarkan ulasan dari para pengunjung di Tripadvisor, Anda akan ditanya apakah Anda Muslim, Yahudi, atau Kristen saat mengunjungi situs ini sebagai ketentuan seberapa jauh Anda bisa berziarah di sini.

Itu benar, Gua Machpela terbagi menjadi bagian Yahudi dan Muslim, serta terdapat dua pintu masuk untuk tiap penganut agama yang juga dikelola oleh komunitas masing-masing.

Sedangkan bagi kelompok non-Muslim dan non-Yahudi, mereka hanya bisa melihat bagian luarnya saja. Sebelumnya, umat Nasrani dapat memasuki lokasi tersebut dari semua gerbang, tetapi seorang pengunjung di Tripadvisor mengatakan bahwa peraturan tersebut telah diubah. Masih belum diketahui apakah ada peraturan baru mengingat dinamika saat ini.

"Di kuburan leluhur kita beradu"

Dan itu benar-benar terjadi. Beberapa waktu lalu, ramai dibicarakan tentang penembakan massal di Gua Para Leluhur pada 1994 dan peristiwa yang mengikutinya. Sebenarnya, peristiwa ini bukanlah aksi kekerasan pertama di lokasi suci bagi tiga agama tersebut.

Gua Para Leluhur merupakan sebuah gua kecil di mana para Leluhur (Adam, Abraham, Ishak, dan Yakub) dan pasangan mereka dimakamkan. Dahulu kala, gua tersebut merupakan pemakaman biasa sampai Raja Herodes memutuskan untuk membangun dinding pelindung di sekitarnya.

Sumber gambar: YouTube/allaboutJerusalem

Gereja dan masjid sempat dibangun di sekitar kuburan suci dan silih berganti dihancurkan oleh mereka yang berhasil menaklukkan Yerusalem sebelum dan selama Perang Salib. Sedangkan kaum Yahudi sempat dilarang memasuki area kuburan suci selama beberapa waktu.

Saat artikel ini dibuat, ada dua pintu masuk terpisah bagi umat Yahudi dan Muslim. Umat Yahudi hanya bisa masuk lokasi ini dari sisi barat daya, sedangkan umat Islam diperbolehkan masuk dari barat laut setelah melalui masjid.

Kedua kelompok agama tersebut tidak boleh masuk lewat sisi yang lain. Artinya, pengunjung dari kalangan Yahudi tidak boleh masuk lewat pintu gerbang untuk Muslim, begitu pula sebaliknya.

Karena senotap (semacam tugu peringatan) Abraham/Ibrahim dan Sarah/Siti Sarah berada di sisi barat daya (sedangkan senotap Yakub dan Lea/Laya berada di sisi barat laut), umat Yahudi tidak dapat memberikan penghormatan kepada nenek moyangnya dalam jarak dekat (apalagi umat Kristen) selain di hari-hari besar agama Yahudi.

Mengapa hal ini penting? Karena Abraham merupakan leluhur Ibrani pertama dan termasuk tokoh suci dalam agama Kristen dan Islam.

Mencari cahaya

Saya terlahir sebagai seorang Muslim dari orang tua yang beragama Islam, dan mengenyam pendidikan pertama di TK Kristen Protestan dan SD Katolik. Saat itu bukan masalah besar bila seorang Muslim di kota saya untuk mengenyam pendidikan di sekolah Protestan atau Katolik.

Saya membaca doa Protestan dan Katolik, masuk dan duduk di gereja saat acara sekolah di tahun-tahun awal kehidupan saya, dan masih menjadi seorang Muslim hingga saat ini.

Agama dianggap dan dipandang setara dalam hukum dan ideologi Indonesia, meskipun beberapa orang khawatir bahwa keharmonisan ini mulai terkikis karena beberapa kelompok kecil umat beragama percaya Tuhan akan menghukum mereka karena tidak menjalankan ajaran-Nya dengan benar dan bergaul terlalu dekat dengan kalangan yang berbeda agama.

Dari kisah Gua Leluhur, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Yudaisme adalah agama pertama yang didirikan di wilayah tersebut (Palestina-Israel), disusul oleh Kristen dan Islam. Pemahaman dan pengakuan terhadap fakta Alkitab ini juga berperan dalam membentuk pendapat umum tentang konflik.

Konflik yang terus berlanjut juga menentukan dalam membentuk cara pandang terhadap orang lain. Pengalaman emosional kita berkontribusi dalam proses membenarkan cara berpikir tentang sesuatu, dan bukan keadaan sebenarnya mengenai hal itu. Sebuah perilaku yang membawa kita pada prasangka dan kebencian yang menghalangi kita untuk meresapi dan mencari cara memelihara perdamaian.

Di masa lampau, agama berdampingan dengan sistem politik sebagai alat untuk mengatur rakyat dan menjamin kehidupan sehari-hari yang harmonis serta teratur di kalangan masyarakat. Mereka yang tidak tahan menghadapi kebebasan yang kelewat batas akan memilih agama sebagai sarana agar rakyat patuh guna menciptakan stabilitas. Dan stabilitas (seharusnya) merupakan akibat langsung dari mengamalkan agama apa pun dengan sepenuh hati.

Sebagai penutup, tidak ada kata terlambat untuk bertanya pada diri sendiri apakah nilai-nilai agama masih bermanfaat, tidak hanya demi keselamatan dan keamanan, melainkan juga kewarasan individu yang penting untuk membangun masa depan lebih baik bagi generasi kini dan masa depan.

Rabu, 08 November 2023

Cara Aman Peduli Pada Sesama

Bencana alam, perang, dan berbagai peristiwa memilukan datang mengejutkan kita, entah kita siap atau tidak. Duka dan lara yang dialami para korban dipertontonkan di media setiap saat, sehingga kita iba pada penderitaan mereka.

Reaksi yang biasanya muncul adalah kita berusaha membantu dengan cara ikut memikirkan solusi, atau menyalahkan pihak-pihak yang menjadi penyebab penderitaan para korban (misalnya terkait perang atau kerusuhan).

Biasanya, seseorang yang tengah mengalami kesulitan hidup, entah itu karena masalah ekonomi, pertengkaran dalam keluarga, patah hati, kehilangan pekerjaan, banyak utang, dll., berusaha mencari “obat” guna meredakan rasa sakitnya. Dan terkadang “obat” itu adalah dengan cara menaruh empati kepada mereka yang bernasib lebih buruk dari kita.

Berempati pada penderitaan sesama itu baik, inilah kewajiban kita sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat. Namun, empati seharusnya muncul spontan dan ikhlas: tidak mengharap imbalan atau keinginan “mengobati” penderitaan kita sendiri, agar kebaikan yang Anda lakukan dapat diteruskan oleh seseorang atau pihak yang menerima kebaikan hati Anda.

Empati juga tidak semestinya menjadi bumerang bagi kita sendiri, ketika orang yang kita tolong ternyata hanya sekadar memanfaatkan ketulusan hati kita demi kepentingannya sendiri. Ketika si penerima amal Anda terus mengharap pemberian Anda sebagai cara mengakhiri situasi sulit yang dihadapinya.

Lantas, apakah ini artinya kita harus berhenti berempati pada penderitaan sesama? Tidak juga. Cukup renungkan dulu poin-poin berikut ini sebelum Anda memutuskan untuk memberi pertolongan pada seseorang:

Melihat situasi seperti apa adanya

Ada berlapis-lapis kisah mengapa seseorang bisa terjerembab dan membutuhkan bantuan orang lain untuk bangkit. Kisah-kisah itu bisa sangat mengejutkan, karena kita tidak pernah mengalaminya. Sebagaimana siang berganti malam dengan sendirinya, apapun bisa terjadi di dunia ini.

Pastikan angan-angan Anda tidak berkelana, menebak-nebak, atau melebih-lebihkan sebuah situasi yang sedang Anda lihat atau dengar. Biasakan untuk tetap fokus pada apa yang ada di depan Anda, bukan pada apa yang ada di dalam benak Anda.

Tunda reaksi

Hindari bereaksi seketika itu juga pada segala hal dan dalam segala situasi. Berikan waktu pada diri sendiri untuk menelaah suatu peristiwa yang sedang dibeberkan ke hadapan Anda. Bersikap skeptis adalah hak kita, jangan biarkan siapapun merebut hak ini dari tangan kita.

Orang-orang fear of missing out, bagi mereka ketinggalan sesuatu itu menakutkan. Namun, bereaksi salah terhadap suatu peristiwa itu lebih menakutkan lagi. Ingatkah Anda gelombang sanksi untuk Rusia atas penyerbuannya ke Ukraina? Itu semua berawal dari reaksi kemarahan warga net.

Kaji informasi dari semua sudut pandang

Kita bisa mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain yang bermil-mil jauhnya melalui media massa. Perlu diingat bahwa media massa tidak selalu netral; mereka membuat berita berdasarkan berbagai faktor, salah satunya pandangan politik media itu sendiri. Media juga membuat berita yang selaras dengan kepentingan pihak-pihak yang mendanainya.

Agar dapat menentukan sikap terhadap suatu peristiwa memilukan (misalnya, konflik), kita perlu mencerna informasi dari berbagai media mengenai peristiwa itu. Masalahnya, seringkali media yang tidak seiring dengan kepentingan nasional akan disisihkan, sehingga sulit bagi masyarakat biasa mendapat informasi yang berimbang.

Membantu semampunya

Nestapa yang dialami orang lain menimbulkan perasaan iba, bahkan ada juga yang merasakan kesedihan ekstrem. Wajar jika kita merasa tergerak untuk membantu orang yang sedang mengalami kesulitan, karena jauh dalam lubuk hati kita juga ingin dibantu bila mengalami situasi yang sama.

Bantuan yang kita berikan jangan sampai mempersulit kita sendiri di belakang hari, karena selalu ada konsekuensi atau risiko dari keputusan apapun yang kita ambil. Di sinilah pengendalian diri menjadi kompas Anda untuk mengukur dan menentukan sejauh atau sebesar apa Anda bisa membantu mereka yang membutuhkan.

Lupakan

Ibarat memberi uang receh pada pengemis, lupakan apa yang sudah pernah Anda lakukan untuk menolong seseorang. Melupakan kebaikan yang Anda lakukan adalah cara untuk menjadi ikhlas, sebesar atau sekecil apapun milik Anda yang Anda lepaskan untuk menjadi milik orang lain.

Pada akhirnya, kita harus kembali ke kehidupan kita sendiri dan tanggung jawab masing-masing. Dan menjalani rutinitas itu tidak mudah, karena problematika hidup setiap saat tidak pernah sama. Kita masih butuh tenaga dan kekuatan hati kita untuk mengemudikan kapal kita agar tidak tenggelam di tengah pasang surut laut kehidupan. Apabila semua Anda berikan untuk orang lain dan tak tersisa apapun, lalu dengan apa Anda akan menjalani hidup ini?

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...