Kamis, 12 Agustus 2021

Membangun Mimpi di Atas Ilusi: Ketika Negara Menjadi Bandar Narkoba

Pertama kali saya tahu kata “sabu-sabu” adalah sekitar tahun 1999, ketika seorang teman mahasiswa yang orang tuanya cukup berada memperkenalkan “mainan” baru ini kepada kami. Saat itu harga sabu-sabu, atau disebut juga metamfetamina alias crystal meth, masih sangat mahal dan hanya para mahasiswa kaya yang bisa membelinya. Darah muda memang identik dengan petualangan, apalagi bila petualangan itu bisa dilakukan dalam angan-angan tanpa harus pergi jauh. Setidaknya itulah yang biasanya dicari seorang pengguna narkoba. Dia mengenal narkoba dari teman-teman, dari dua orang menjadi tiga, lima, sepuluh, lima puluh … Sebuah kampus di mana 90% mahasiswanya pengguna narkoba, ini bukan hoaks. Pandemi COVID-19 yang membatasi gerakan para pelajar dan mahasiswa dituding menjadi biang kemerosotan pencapaian akademis generasi muda sedunia. Meski demikian, kuncitara selama lebih dari setahun dapat menanamkan kebiasaan bergaul yang baru dalam diri anak-anak muda. Suatu kebiasaan yang diharapkan akan melindungi diri mereka sendiri ketika jauh dari rumah dan bertemu berbagai jenis teman baru yang menawarkan hal-hal menggelitik untuk dicoba. Namun, apakah ini cukup?

 

Epidemi di dalam Epidemi

Sementara itu, di Amerika Serikat kuncitara diberlakukan sejak Maret 2020 dan sudah dilonggarkan beberapa waktu lalu. Namun, jejak-jejak yang ditinggalkan kuncitara mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk hilang sepenuhnya. Bagi kita semua, kuncitara bukan hanya menjadi awal bagi kesulitan ekonomi dan pengangguran berkepanjangan. Keadaan sulit di berbagai sendi kehidupan akibat COVID-19 telah memicu timbulnya wabah lain, yaitu penyakit jiwa atau lebih sering disebut depresi. Sebagaimana penyakit lainnya, daya tahan yang lemah adalah pra kondisi sempurna bagi segala jenis virus untuk merajalela. Dalam hal ini, kondisi kejiwaan yang rapuh menjadi lahan subur bagi depresi dan keinginan menyakiti diri sendiri untuk berkembang biak. Sebuah laporan menyebut terjadi kenaikan kematian akibat overdosis zat terlarang sekitar 30% year-on-year di tahun 2020 di AS, atau lebih dari 93.000 kasus. Artikel ini juga menggarisbawahi stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka dengan gangguan kejiwaan ibarat “orang cacat,” sehingga tidak sedikit dari mereka yang tidak mencari bantuan professional dan mencari kesembuhan dengan mengonsumsi obat-obat penenang seperti fentanyl yang pada saat artikel ini ditulis sedang booming di negeri Joe Biden.

Kita mulai mengenal nama fentanyl setelah obat legal ini dikaitkan dengan kematian legenda pop Prince 2016 lalu. Menurut sebuah dokumen resmi DEA, fentanyl adalah obat penenang yang 100 kali lebih kuat dibanding morfin dan 50 kali lebih keras dari heroin sebagai analgesik. Mirisnya, fentanyl adalah jenis obat yang diproduksi dan dijual secara legal di AS. Upaya mengurangi penggunaan fentanyl sebagai obat yang diresepkan dokter sudah dilakukan sejak 2011, tetapi belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Pandemi COVID-19 memicu apa yang disebut epidemi di dalam epidemi, ketika jumlah orang yang tewas akibat overdosis fentanyl meningkat bersamaan dengan jumlah kematian akibat virus korona. Sejumlah pihak menuding keberpihakan pemerintah AS pada Big Pharma (kelompok perusahaan-perusahaan farmasi besar yang mendominasi peredaran obat-obatan di AS maupun global) menjadi penyebab kegagalan AS menekan penyalahgunaan fentanyl dewasa ini.

Malangnya, penyalahgunaan fentanyl bukan satu-satunya penyebab epidemi dalam epidemi di Amerika Serikat. Sabu-sabu juga menjadi masalah besar, ketika beberapa Negara bagian AS sudah melegalkan penggunaan mariyuana sejak beberapa tahun lalu. Salah satu pemicunya adalah mudahnya membuat sabu-sabu menggunakan metode “shake-and-bake” dengan bahan dasar ephedrine atau pseudoephedrine, sebuah dekongestan dalam obat demam dan alergi yang dijual bebas di apotik. Ini adalah cara alternatif para pemadat ketika pasokan sabu dari Amerika Tengah sudah diputus pihak berwajib. Upaya DEA untuk mendesak Kongres AS mengatur peredaran obat demam juga pernah dipatahkan oleh Big Pharma yang berdalih masyarakat umum juga berhak dan bebas membeli obat demam sesuai kebutuhan tanpa resep dokter. Sebuah situs menyebutkan, Big Pharma merupakan penyumbang terbesar bagi anggaran Badan Obat dan Makanan AS (FDA). Kelompok ini juga mengerahkan pasukan pelobi sebanyak 1378 orang untuk menyebarkan pengaruhnya di Capitol Hill, memastikan agar kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah AS tidak menghalangi upaya mereka meraup profit.

 

Bulan Sabit Emas

Sementara itu di belahan dunia lainnya, Presiden Joe Biden mengakhiri operasi militer Amerika Serikat di Afghanistan yang sudah berlangsung 20 tahun. Sikap dunia terbelah dua terhadap keputusan itu, karena belakangan ini pasukan Taliban semakin menggila, membantai para pejabat pemerintah dan anggota militer Afghanistan, bahkan memenggal kepala para penerjemah Afghanistan yang pernah bekerja untuk militer AS. Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang menuding operasi militer AS sebagai upaya campur tangan dalam urusan dalam negeri bangsa lain. Terlepas dari kontroversi itu, ada satu masalah “sepele” yang belum berhasil mereka selesaikan ketika operasi militer mereka jatuh tempo Agustus 2021. Perdagangan narkoba.

Laporan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime/ Badan PBB untuk Narkoba dan Kriminalitas) mencatat, Afghanistan menjadi pemasok utama industri heroin sejak 1979, atau sesaat sebelum perang berkepanjangan berkecamuk di Negara itu. Luas lahan tanaman opium (bahan dasar heroin) di Afghanistan adalah 224 ribu hektar di tahun 2020, bertambah 37% atau 61 ribu hektar bila dibandingkan tahun 2019. Menurut studi lain yang dipublikasikan tahun 2005, heroin dari Afghanistan didistribusikan ke berbagai Negara, termasuk Eropa, Asia Barat Daya, dan China. Sementara itu di Afghanistan, jumlah pecandu heroin menurun karena mereka beralih ke sabu-sabu yang jumlahnya terus meningkat bersamaan dengan ketidakpastian hidup akibat situasi dalam negeri. Ironisnya, di antara mereka adalah kaum perempuan yang sebagian besar menjadi pecandu sabu-sabu akibat pengaruh para suami mereka.

Di tengah upaya membasmi peredaran opium Segitiga Emas, para penegak hukum China telah mendeteksi adanya wilayah perdagangan narkoba yang disebut Bulan Sabit Emas (Afghanistan, Pakistan, Iran) mengambil alih kejayaan jalur Segitiga Emas sejak 1990-an. Para produsen narkoba Bulan Sabit Emas telah merasuk ke wilayah China Barat melalui Provinsi Xinjiang, area transit sebelum narkoba diedarkan ke wilayah lain di China dan Asia. Pergeseran tren produksi Bulan Sabit Emas dari opium dan heroin ke sabu-sabu bisa jadi dipicu oleh peningkatan jumlah pemakainya di seluruh dunia.  Dibandingkan heroin atau mariyuana, setelah menghisap sabu-sabu seseorang akan merasa lebih percaya diri, lebih bugar saat beraktivitas, dugem, dan bercinta tanpa kenal lelah. Belakangan ini para pecandu narkoba tidak lagi menggunakan crystal meth untuk sekedar lari dari kejamnya kenyataan dan melayang di awang-awang. Mereka mendambakan energi yang kekal agar dapat bekerja keras non-stop untuk mengumpulkan banyak uang demi tercapainya cita-cita akan kesejahteraan hidup yang akan mengangkat derajat mereka dalam masyarakat, tanpa mengorbankan kesenangan. Efek dahsyat sabu-sabu memang dapat memberikan sensasi energi semacam itu, meski untuk sesaat.

Lalu siapakah yang menginisiasi berdirinya Bulan Sabit Emas di mana sumber energi delusi berasal? Mulai 1980-an sudah ada indikasi bahwa para mujahidin Afghanistan memanfaatkan produksi dan penjualan opium untuk mendanai penjualan senjata, yang belakangan mendiversifikasi bisnisnya ke penjualan sabu-sabu. Kemurnian sabu-sabu berbahan dasar obat demam tentunya akan kalah jauh dengan sabu-sabu buatan Afghanistan, karena ephedra (sejenis tanaman bahan dasar ephedrine) tumbuh subur di sana. Mengandalkan pengalaman panjang dalam hal pemrosesan dan distribusi heroin, Taliban mengendalikan seluruh jaringan narkoba Afghan dengan income sekitar 4,2 juta dolar per tahun. Dalam beberapa tahun, penyeludupan sabu-sabu Afghan telah terbongkar di Iran, Pakistan, dan Indonesia. Akan tetapi ini belum cukup untuk membasmi akar permasalahan, sementara peredaran sabu-sabu yang makin marak luput dari perhatian akibat riuh rendah pemberitaan varian Delta.

Saya jadi teringat kisah seorang teman yang kakaknya meninggal karena tertembak dalam sebuah operasi penggerebekan narkoba di sebuah kota. Teman saya sama sekali tak menyangka kakaknya terlibat jaringan perdagangan gelap, karena almarhum tidak merokok dan bukan pemabuk. Terungkap bahwa saat itu si kakak dan temannya, seorang bandar kelas kakap, berkendara dalam sebuah mobil yang membawa beberapa puluh kilogram metamfetamina. Pihak berwajib menembaknya karena berusaha melarikan diri. Teman saya juga bercerita bahwa si bandar besar sempat meneleponnya dari penjara sebelum dihukum mati di tahun 2011, bercerita bahwa dia sudah menyumbangkan uang “hasil kerja kerasnya” ke beberapa pondok pesantren di sebuah kota. Beberapa tahun lalu saya juga pernah mendengar gosip bahwa GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjual ganja untuk mendanai pembelian senjata dan aksi pemberontakan mereka. Benar dan tidaknya gosip ini, entahlah.

Dari kisah-kisah di atas bisa disimpulkan bahwa Bulan Sabit Emas tidaklah seindah namanya. Tidak dipungkiri bahwa cita-cita Taliban untuk mendirikan Negara Islam yang menegakkan Syariah Islam telah mengundang simpati dari kalangan umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagai seorang Muslim yang belum dapat menjalankan Syariah Islam dengan benar, saya sedikit lega ketika Taliban menjamin bahwa mereka akan memperlakukan kaum perempuan Afghan dengan lebih manusiawi sesuai dengan hak asasi manusia. Namun sebuah cita-cita seharusnya diwujudkan melalui jalan yang benar, karena apa pun nama agamanya seyogyanya tidak digunakan untuk membenarkan dan melegalkan berbagai tindakan keliru yang dengan sengaja kita lakukan semulia apa pun tujuan tindakan itu. Apakah tujuan menegakkan Syariah Islam bisa membuat orang memaafkan tindakan Taliban yang mengangkat senjata hasil penjualan narkoba?

Saya bukan orang yang sempurna dan tanpa dosa tetapi saya tidak terima bila siapa pun menggunakan agama sebagai dalih atau kedok, karena saya yakin bukan untuk itu agama diciptakan. Hasil tidak mengkhianati proses. Sebuah proses yang bersih tentunya juga akan menghasilkan sesuatu yang positif, bukan sebaliknya. PR utama bagi Taliban ketika mereka sudah berhasil menguasai Afghanistan adalah memutus lingkaran perdagangan narkoba yang sudah menafkahi masyarakat Afghan selama puluhan tahun, karena saya yakin semua negara menginginkan warga negaranya sehat fisik dan mental tanpa narkoba agar dapat bersama membangun kehidupan bangsa yang sejahtera. Saya bersyukur karena sudah menemukan cahaya di ujung lorong kegelapan, tetapi narkoba dan khususnya sabu-sabu masih menjadi ancaman hingga entah kapan. Seorang mantan bandar ganja yang telah meninggal 15 tahun lalu pernah mengatakan, “bisnis narkoba tidak akan pernah mati selama masih ada orang yang mau membelinya.” (dy)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...