Pertama kali saya tahu kata “sabu-sabu” adalah sekitar tahun 1999, ketika seorang teman mahasiswa yang orang tuanya cukup berada memperkenalkan “mainan” baru ini kepada kami. Saat itu harga sabu-sabu, atau disebut juga metamfetamina alias crystal meth, masih sangat mahal dan hanya para mahasiswa kaya yang bisa membelinya. Darah muda memang identik dengan petualangan, apalagi bila petualangan itu bisa dilakukan dalam angan-angan tanpa harus pergi jauh. Setidaknya itulah yang biasanya dicari seorang pengguna narkoba. Dia mengenal narkoba dari teman-teman, dari dua orang menjadi tiga, lima, sepuluh, lima puluh … Sebuah kampus di mana 90% mahasiswanya pengguna narkoba, ini bukan hoaks. Pandemi COVID-19 yang membatasi gerakan para pelajar dan mahasiswa dituding menjadi biang kemerosotan pencapaian akademis generasi muda sedunia. Meski demikian, kuncitara selama lebih dari setahun dapat menanamkan kebiasaan bergaul yang baru dalam diri anak-anak muda. Suatu kebiasaan yang diharapkan akan melindungi diri mereka sendiri ketika jauh dari rumah dan bertemu berbagai jenis teman baru yang menawarkan hal-hal menggelitik untuk dicoba. Namun, apakah ini cukup?
Epidemi di dalam
Epidemi
Sementara itu, di Amerika Serikat kuncitara diberlakukan
sejak Maret 2020 dan sudah dilonggarkan beberapa waktu lalu. Namun, jejak-jejak
yang ditinggalkan kuncitara mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk hilang
sepenuhnya. Bagi kita semua, kuncitara bukan hanya menjadi awal bagi kesulitan
ekonomi dan pengangguran berkepanjangan. Keadaan sulit di berbagai sendi
kehidupan akibat COVID-19 telah memicu timbulnya wabah lain, yaitu penyakit
jiwa atau lebih sering disebut depresi. Sebagaimana penyakit lainnya, daya
tahan yang lemah adalah pra kondisi sempurna bagi segala jenis virus untuk
merajalela. Dalam hal ini, kondisi kejiwaan yang rapuh menjadi lahan subur bagi
depresi dan keinginan menyakiti diri sendiri untuk berkembang biak. Sebuah laporan
menyebut terjadi kenaikan kematian akibat overdosis zat terlarang sekitar
30% year-on-year di tahun 2020 di AS, atau lebih dari 93.000 kasus. Artikel ini
juga menggarisbawahi stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka dengan gangguan
kejiwaan ibarat “orang cacat,” sehingga tidak sedikit dari mereka yang tidak
mencari bantuan professional dan mencari kesembuhan dengan mengonsumsi
obat-obat penenang seperti fentanyl yang pada saat artikel ini ditulis sedang
booming di negeri Joe Biden.
Kita mulai mengenal nama fentanyl setelah obat legal ini
dikaitkan dengan kematian legenda pop Prince 2016 lalu. Menurut sebuah dokumen
resmi DEA,
fentanyl adalah obat penenang yang 100 kali lebih kuat dibanding morfin dan 50
kali lebih keras dari heroin sebagai analgesik. Mirisnya, fentanyl adalah jenis
obat yang diproduksi dan dijual secara legal di AS. Upaya mengurangi penggunaan
fentanyl sebagai obat yang diresepkan dokter sudah dilakukan sejak 2011, tetapi
belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Pandemi COVID-19 memicu apa yang
disebut epidemi di dalam epidemi, ketika jumlah orang yang tewas akibat
overdosis fentanyl meningkat bersamaan dengan jumlah kematian akibat virus
korona. Sejumlah pihak menuding keberpihakan pemerintah AS pada Big Pharma
(kelompok perusahaan-perusahaan farmasi besar yang mendominasi peredaran
obat-obatan di AS maupun global) menjadi penyebab kegagalan AS menekan
penyalahgunaan fentanyl dewasa ini.
Malangnya, penyalahgunaan fentanyl bukan satu-satunya
penyebab epidemi dalam epidemi di Amerika Serikat. Sabu-sabu juga menjadi
masalah besar, ketika beberapa Negara bagian AS sudah melegalkan penggunaan
mariyuana sejak beberapa tahun lalu. Salah satu pemicunya adalah mudahnya
membuat sabu-sabu menggunakan metode “shake-and-bake” dengan bahan dasar
ephedrine atau pseudoephedrine, sebuah dekongestan dalam obat demam dan alergi
yang dijual bebas di apotik. Ini adalah cara alternatif para pemadat ketika
pasokan sabu dari Amerika Tengah sudah diputus pihak berwajib. Upaya DEA untuk mendesak
Kongres AS mengatur peredaran obat demam juga pernah dipatahkan oleh Big Pharma
yang berdalih masyarakat umum juga berhak dan bebas membeli obat demam sesuai
kebutuhan tanpa resep dokter. Sebuah situs menyebutkan, Big
Pharma merupakan penyumbang terbesar bagi anggaran Badan Obat dan Makanan AS
(FDA). Kelompok ini juga mengerahkan pasukan pelobi sebanyak 1378 orang untuk
menyebarkan pengaruhnya di Capitol Hill, memastikan agar kebijakan-kebijakan
yang dibuat pemerintah AS tidak menghalangi upaya mereka meraup profit.
Bulan Sabit Emas
Sementara itu di belahan dunia lainnya, Presiden Joe Biden
mengakhiri operasi militer Amerika Serikat di Afghanistan yang sudah
berlangsung 20 tahun. Sikap dunia terbelah dua terhadap keputusan itu, karena belakangan
ini pasukan Taliban semakin menggila, membantai para pejabat pemerintah dan
anggota militer Afghanistan, bahkan memenggal kepala para penerjemah
Afghanistan yang pernah bekerja untuk militer AS. Di sisi lain, tidak sedikit
pihak yang menuding operasi militer AS sebagai upaya campur tangan dalam urusan
dalam negeri bangsa lain. Terlepas dari kontroversi itu, ada satu masalah
“sepele” yang belum berhasil mereka selesaikan ketika operasi militer mereka
jatuh tempo Agustus 2021. Perdagangan narkoba.
Laporan UNODC
(United Nations Office on Drugs and Crime/ Badan PBB untuk Narkoba dan
Kriminalitas) mencatat, Afghanistan menjadi pemasok utama industri heroin sejak
1979, atau sesaat sebelum perang berkepanjangan berkecamuk di Negara itu. Luas
lahan tanaman opium (bahan dasar heroin) di Afghanistan adalah 224 ribu hektar
di tahun 2020, bertambah 37% atau 61 ribu hektar bila dibandingkan tahun 2019. Menurut
studi
lain yang dipublikasikan tahun 2005, heroin dari Afghanistan didistribusikan ke
berbagai Negara, termasuk Eropa, Asia Barat Daya, dan China. Sementara itu di
Afghanistan, jumlah pecandu heroin menurun karena mereka
beralih ke sabu-sabu yang jumlahnya terus meningkat bersamaan dengan ketidakpastian
hidup akibat situasi dalam negeri. Ironisnya, di antara mereka adalah kaum
perempuan yang sebagian besar menjadi pecandu sabu-sabu akibat pengaruh para
suami mereka.
Di tengah upaya membasmi peredaran opium Segitiga Emas, para
penegak hukum China telah mendeteksi adanya wilayah perdagangan narkoba yang
disebut Bulan Sabit
Emas (Afghanistan, Pakistan, Iran) mengambil alih kejayaan jalur Segitiga
Emas sejak 1990-an. Para produsen narkoba Bulan Sabit Emas telah merasuk ke
wilayah China Barat melalui Provinsi Xinjiang, area transit sebelum narkoba
diedarkan ke wilayah lain di China dan Asia. Pergeseran tren produksi Bulan
Sabit Emas dari opium dan heroin ke sabu-sabu bisa jadi dipicu oleh peningkatan
jumlah pemakainya di seluruh dunia. Dibandingkan
heroin atau mariyuana, setelah menghisap sabu-sabu seseorang akan merasa lebih
percaya diri, lebih bugar saat beraktivitas, dugem, dan bercinta tanpa kenal
lelah. Belakangan ini para pecandu narkoba tidak lagi menggunakan crystal meth untuk sekedar lari dari
kejamnya kenyataan dan melayang di awang-awang. Mereka mendambakan energi yang
kekal agar dapat bekerja keras non-stop untuk mengumpulkan banyak uang demi
tercapainya cita-cita akan kesejahteraan hidup yang akan mengangkat derajat mereka
dalam masyarakat, tanpa mengorbankan kesenangan. Efek dahsyat sabu-sabu memang
dapat memberikan sensasi energi semacam itu, meski untuk sesaat.
Lalu siapakah yang menginisiasi berdirinya Bulan Sabit Emas
di mana sumber energi delusi berasal? Mulai 1980-an sudah ada indikasi
bahwa para mujahidin Afghanistan memanfaatkan produksi dan penjualan opium untuk
mendanai penjualan senjata, yang belakangan mendiversifikasi bisnisnya ke
penjualan sabu-sabu. Kemurnian sabu-sabu berbahan dasar obat demam tentunya
akan kalah jauh dengan sabu-sabu buatan Afghanistan, karena ephedra (sejenis
tanaman bahan dasar ephedrine) tumbuh subur di sana. Mengandalkan pengalaman
panjang dalam hal pemrosesan dan distribusi heroin, Taliban
mengendalikan seluruh jaringan narkoba Afghan dengan income sekitar 4,2 juta dolar per tahun. Dalam beberapa tahun,
penyeludupan sabu-sabu Afghan telah terbongkar di Iran, Pakistan, dan Indonesia.
Akan tetapi ini belum cukup untuk membasmi akar permasalahan, sementara
peredaran sabu-sabu yang makin marak luput dari perhatian akibat riuh rendah
pemberitaan varian Delta.
Saya jadi teringat kisah seorang teman yang kakaknya
meninggal karena tertembak dalam sebuah operasi penggerebekan narkoba di sebuah
kota. Teman saya sama sekali tak menyangka kakaknya terlibat jaringan perdagangan
gelap, karena almarhum tidak merokok dan bukan pemabuk. Terungkap bahwa saat
itu si kakak dan temannya, seorang bandar kelas kakap, berkendara dalam sebuah
mobil yang membawa beberapa puluh kilogram metamfetamina. Pihak berwajib
menembaknya karena berusaha melarikan diri. Teman saya juga bercerita bahwa si bandar
besar sempat meneleponnya dari penjara sebelum dihukum mati di tahun 2011,
bercerita bahwa dia sudah menyumbangkan uang “hasil kerja kerasnya” ke beberapa
pondok pesantren di sebuah kota. Beberapa tahun lalu saya juga pernah mendengar
gosip bahwa GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menjual ganja untuk mendanai pembelian
senjata dan aksi pemberontakan mereka. Benar dan tidaknya gosip ini, entahlah.
Dari kisah-kisah di atas bisa disimpulkan bahwa Bulan Sabit
Emas tidaklah seindah namanya. Tidak dipungkiri bahwa cita-cita Taliban untuk
mendirikan Negara Islam yang menegakkan Syariah Islam telah mengundang simpati
dari kalangan umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagai
seorang Muslim yang belum dapat menjalankan Syariah Islam dengan benar, saya
sedikit lega ketika Taliban menjamin bahwa mereka akan memperlakukan kaum perempuan
Afghan dengan lebih manusiawi sesuai dengan hak asasi manusia. Namun sebuah
cita-cita seharusnya diwujudkan melalui jalan yang benar, karena apa pun nama
agamanya seyogyanya tidak digunakan untuk membenarkan dan melegalkan berbagai
tindakan keliru yang dengan sengaja kita lakukan semulia apa pun tujuan
tindakan itu. Apakah tujuan menegakkan Syariah Islam bisa membuat orang
memaafkan tindakan Taliban yang mengangkat senjata hasil penjualan narkoba?
Saya bukan orang yang sempurna dan tanpa dosa tetapi saya tidak terima bila siapa pun menggunakan agama sebagai dalih atau kedok, karena saya yakin bukan untuk itu agama diciptakan. Hasil tidak mengkhianati proses. Sebuah proses yang bersih tentunya juga akan menghasilkan sesuatu yang positif, bukan sebaliknya. PR utama bagi Taliban ketika mereka sudah berhasil menguasai Afghanistan adalah memutus lingkaran perdagangan narkoba yang sudah menafkahi masyarakat Afghan selama puluhan tahun, karena saya yakin semua negara menginginkan warga negaranya sehat fisik dan mental tanpa narkoba agar dapat bersama membangun kehidupan bangsa yang sejahtera. Saya bersyukur karena sudah menemukan cahaya di ujung lorong kegelapan, tetapi narkoba dan khususnya sabu-sabu masih menjadi ancaman hingga entah kapan. Seorang mantan bandar ganja yang telah meninggal 15 tahun lalu pernah mengatakan, “bisnis narkoba tidak akan pernah mati selama masih ada orang yang mau membelinya.” (dy)