Minggu, 29 Januari 2012

EARTH CORE


JALAN YANG BENAR

“ to be or not to be, that is the question “ ( William Shakespeare )

Manusia memantapkan hegemoninya sebagai penguasa seluruh makhluk di Bumi dengan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di benaknya : ‘ Mengapa begini ? Mengapa begitu ? ‘ . Akan tetapi, jawaban bukannya menghilangkan dahaga. Malah membukakan pintu kepada sebuah pertanyaan lain, pertanyaan selanjutnya, pertanyaan berikutnya, dan seterusnya. Contoh : pertanyaan klasik : lebih dulu mana ayam atau telur ? Kalau duluan telur, kira-kira pohon jenis apa yang berbuah telur ? Kalau duluan ayam, apakah sejak kecil ayam lahir sudah membawa telur di temboloknya ? Lalu darimanakah datangnya ayam, apakah ia berasal dari sejenis dinosaurus yang telah terseleksi alam atau reinkarnasi dari roh manusia yang bersifat serta berkelakuan ke’ayam-ayam’an semasa hidupnya ?

Si kakek buyut Plato mengatakan, ‘ masyarakat merupakan refleksi dari manusia perorangan ‘. Jadi, setelah manusia puas mengamati dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teknis seputar cara kerja tubuh dan alam seisinya, ia mendadak terhenyak, termangu dan kesepian. Di kanan kirinya ternyata ada manusia-manusia lain yang berciri-ciri fisik berbeda, namun berbicara dengan bahasa yang sama. Ia pun sadar ternyata tidak sedang sendiri saja dan adalah bagian dari sekelompok manusia tersebut. Akan tetapi mengapa mereka tak pernah tenang dan tentram dalam hidup sepanjang harinya ? Adakah mereka juga terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang sama, namun tak kunjung beroleh jawaban ? Ataukah sama-sama berkeinginan menjadi si nomor satu agar dituruti segala kehendak dan perintah kepada para manusia lainnya ?

Lalu ia pergi dan mengajak mereka duduk sama-sama minum kopi di pagi hari. ‘ Siapa nama Anda dan mengapa ada disini ? ‘ Begitulah mufakat itu diawali. Mereka berkompromi untuk meredam gejolak di pikiran dan libido berkuasa masing-masing. Direkalah sebuah rumusan yang telah disepakati bersama ( norma-norma, hukum adat, agama, KUHP, peraturan lalu llintas ), demi mengendalikan tingkah polah manusia dengan menuliskan batasan apa-apa yang ‘ benar ‘ dan ‘ salah ‘. Kesalahan dalam berbuat harus menerima hukuman sebagai konsekuensi. Kebenaran dalam bertindak apakah imbalannya ? Itulah yang saya coba gali disini. Meski tak sedalam sumur, mudah-mudahan tetap memancurkan sumber air nan sejuk segar.

Lurus Tidak Selalu Mulus
Mengapa perumpamaan abadi mengidentikkan ‘ benar ‘ itu dengan ‘ putih ‘ dan ‘ lurus ‘ ? Apakah mungkin, dikatakan ‘ putih ‘ itu adalah ekspresi kerinduan manusia fana terhadap sapuan cahaya Ilahi yang Maha Absurd dan hanya indra hati yang mampu mendeteksi keberadaannya ? Dan apakah disebut ‘ lurus ‘ sekedar sebagai penggambaran umum atas kekokohan batu karang menjulang tinggi hendak menembus cakrawala, pralambang dari hakekat tiap-tiap manusia, ialah pencarian seumur hidup atas jalan pulang yang kan membawanya kembali kepada Dia yang menciptanya ?

Yah entah sampai kapan pun jalan lurus itu selalu agak membosankan, karena hanya akan melangkah ke muka dan bukan tujuan lainnya. Meskipun harus menabrak dinding, dan menderita karena sakit benjol di kepala ( kecuali kita sejenis mutan, atau hantu yang memiliki keahlian khusus mampu menembus tembok ). Selalu ada sekian rambu-rambu yang belum tentu menggembirakan. Jalan yang salah menyilaukan mata, mudah, cepat serta menyenangkan. Sedangkan jalan yang benar menyesakkan, sulit dan butuh waktu yang tidak sebentar. Cepat atau lama, disitulah letak permasalahannya.

Perubahan Dan Kawan-kawannya
Sama halnya dengan situasi terkini, saat disana-sini beberapa kelompok mulai meneriakkan revolusi a.k.a perubahan dengan cepat melalui berbagai cara, bahkan yang haram sekalipun, seperti kerusuhan massal, kekerasan bersenjata tajam dan tumpul, original maupun rakitan, dan tindakan menumpahkan darah lainnya. Alternatif lainnya adalah evolusi. Yaitu semacam perubahan juga, yang lebih slow dilakukan oleh tangan alam dan waktu. Teknologi memang sih berjasa menaikkan derajat manusia sebagai penguasa;, mengeksplorasi, memanfaatkan dan menaklukkan planet Bumi dan galaksi Bima Sakti. Namun sampai kapanpun tiada jua akan berjaya memutar arah jarum jam, menukar posisi siang dan malam. Ada sesuatu dan lain hal yang hanya dapat dirubah melalui seleksi alam dan berlalunya waktu. Ada buah yang tidak bisa cepat-cepat dipetik, kecuali kita penggemar rasa asem atau sedang ngidam.

Jadi, perubahan berkarakter kencang atau perlahankah yang musti kita pilih ? Kecil kemungkinannya evolusi untuk mendadak laju. Sedangkan revolusi masih bisa diinjak remnya kuat-kuat, dilambatkan langkah dan membanting kemudi demi menghindari jumlah korban jiwa akibat hantaman kereta. Kita kan telah merasai hasil-hasil buruk, busuk dan lebay dari proses bertahun-tahun. Padahal kita manusia yang tak pernah puas dan menginginkan lebih. Lalu dimanakah letak kesalahannya ? Mungkin ide, sikap, tindakan atau budayalah yang pertama-tama harus dibenahi, sebelum ia membawa kita kembali ke jalan yang salah tuk kesekian kali. Jangan pernah lagi menyempitkan definisi budaya ke dalam lingkup aktivitas tari, musik, masakan, bahasa dan seni rupa belaka. Karena selain kehalusan rasa moralitas, keadilan, kemanusiaan dan kasih sayang menciptakan seni dan kesenian, bekerja bersama dengannya adalah kerasnya kerja otak memikir dan mempelajari. Sama seperti ketika Archimedes asyik berendam di bath tubnya, melamun sambil mengamati lantai kamar mandinya, ‘ Eureka … ! ‘.

Pola pikir orang gunung tidak sama dengan pola pikir orang pantai. Yang satu tiap hari kedinginan di ketinggian, sedang yang satunya tiap hari berjemur di terik matahari. Yang satu berpikir bagaimana supaya tetap hangat dan nyaman, sedang yang satunya lagi sibuk mencari cara agar tak lagi gerah dan kepanasan. Yang satu terbiasa memendam dengki demi menghindari konflik, sedang yang satunya lagi adalah si jujur mengatakan apa saja meski akhirnya meninggalkan luka. Perbedaan tak seharusnya ditakuti, dan oleh karenanya diseragamkan atas nama stabilitas dan keamanan. Pakaian dapat kita atur, namun apakah demikian halnya dengan isi perut, kepala dan hatinya ? Benturan-benturan kecil tak akan dapat dihindari, kecuali sebagian kecil yang masih waras berkenan mengalah demi situasi kondusif. Kompromi, itu jalan tengah temporari. Jikalau kompromi, kompromi dan kompromi mengucilkan kita jauh-jauh dari kesejatian diri, maka itu bukan lagi sebuah solusi. ( by : swastantika )

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...