“Waktu aku lahir hari sedang hujan gerimis.
Saat itu pagi hari dan matahari sudah keluar. Tapi bulan masih ada di langit. O
iya, saat itu di langit juga ada pelangi.” Ini diceritakan seorang teman asal
Atjeh pada saya sekitar 10 atau 11 tahun lalu. Seperti Anda saat ini, saat itu saya
tak yakin ia menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Saya hampir yakin ia
sedang lapar atau baru bangun tidur ketika menceritakan kisah kelahirannya pada
saya.
Saya curiga,
jangan-jangan ia terinspirasi oleh lukisan ‘Starry Night’ karya Vincent Van
Gogh. Apa boleh buat, lukisan itu memang sangat indah dan dianggap sebuah
breakthrough pada jamannya. Sesuai dengan judulnya, center of interest lukisan
ini adalah langit yang digambarkan kaya dengan beraneka kedalaman warna biru.
Jangan-jangan teman saya menganggap keindahan lukisan langit malam bertabur
bintang, dengan bulan yang mendekap matahari adalah realita. Realita yang diinginkannya
untuk terjadi dalam kehidupannya sendiri. Teman saya ini seorang pria, dan ia
juga pelukis seperti Van Gogh. Sayang sekali maut sudah keburu menjemput
sebelum dia bisa melihat konstelasi bulan, matahari, hujan dan pelangi itu
benar-benar terjadi pada satu waktu dan tempat yang sama.
Satu hal yang pasti,
dua sosok yang kita bicarakan di atas memiliki satu persamaan. Dua-duanya
membicarakan fenomena alam yang punya sedikit peluang untuk bisa terjadi. Lalu
darimana dua orang ini bisa menggambarkan dengan detil sebuah fenomena alam
yang belum pernah mereka lihat? Hujan gerimis, matahari terbit dan matahari
tenggelam, pelangi, semua bukan peristiwa aneh yang tidak bisa kita lihat
dengan mata telanjang. Bagi dua orang ini, peristiwa alam yang remeh itu
mengandung kecantikan tersendiri. Seniman, dalam hal ini pelukis, cenderung
peka terhadap hal-hal demikian, hal-hal yang menurut kita terlalu banal dan
biasa-biasa saja. Mereka juga memiliki pandangan lebih terbuka terhadap
berbagai kemungkinan. Mereka akan panik jika kemungkinan-kemungkinan itu tidak
ada, sehingga membuka jalan untuk menciptakan sendiri kemungkinan yang mereka
inginkan. Sejalan dengan ujaran Albert Einstein, “Imajinasi lebih penting
daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas pada apa yang kita ketahui dan
pahami saat ini. Sedangkan imajinasi merengkuh seluruh dunia, dan semua yang
ada di sana akan dapat diketahui dan dipahami ”( “Imagination is more important
than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand,
while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know
and understand”).
Apa yang Eyang Einstein
coba katakan adalah, tidak ada salahnya seseorang berimajinasi karena imajinasi
bagaikan suara dalam otak yang mengarahkan manusia untuk menciptakan
kemungkinan dari sesuatu yang tidak atau belum mungkin. Namun otak manusia
adalah suatu benda yang tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari benda lain
yang hidup dan bernama manusia. Dalam tubuh manusia otak harus berbagi tempat
dengan anggota tubuh lain yang sama-sama berfungsi baik. Ada jantung di mana manusia
bisa merasakan emosi. Ada juga lambung pusat dari segala keinginan lahiriah
manusia, baik makan, minum, mabuk atau bercinta. Sama seperti manusia,
anggota-anggota tubuh ini berada pada posisi rentan. Pilihan yang mereka miliki
adalah kalah, menang, atau fifty-fifty. Anggota tubuh yang kurang berlatih akan
kalah dalam persaingan menghadapi anggota tubuh lainnya. Daya pikir otak bisa
kalah oleh emosi yang ditandai dengan detak jantung tak teratur. Atau kalah
dengan nafsu yang terlihat dari perilaku makan, minum, mabuk atau bercinta
terus menerus. Sebaliknya, otak yang terlalu perkasa sanggup mengalahkan
kinerja anggota tubuh lainnya. Otak yang terlalu sibuk berpikir akan
menyingkirkan makan, minum, mabuk dan bercinta dari jadwal harian manusia. Ia
juga akan membunuh emosi, dan sibuk menghitung untung rugi atau cara mencapai
tujuan tanpa mengindahkan desakan rasa keadilan atau kasih sayang.
Seniman ‘nyeleneh’
Adolf Hitler dulunya
adalah seorang seniman, dan ia juga pernah kuliah di perguruan tinggi seni. Dengan
demikian, seharusnya ia menjadi sosok yang peka dan berperasaan, seperti para
seniman pada umumnya. Melihat karya lukis dan drawingnya, kita tak akan pernah
menyangka bahwa itu semua adalah buah karya seorang pemimpin yang … yah kita
semua sudah tahu kisah kehidupan Hitler bukan? Jika belum tahu, mari buat
smartphone Anda bermanfaat dengan mengetikkan kata ‘Hitler’ di kotak pencarian.
Anda bisa pilih sumber mana yang ingin Anda baca. Ada sebuah sumber yang
mengungkapkan bahwa Hitler ternyata punya masa kecil yang tidak menyenangkan.
Setelah ibunya meninggal, ia dan kakaknya dididik dengan keras oleh ayahnya.
Pukulan dan makian adalah santapan dua bocah cilik itu setiap hari. Kalau Adolf
Hitler kecil membuat kesalahan, ia akan dicambuk oleh ayahnya. Pernah suatu
kali ia dicambuk sekitar 32 kali dan ia berusaha untuk tidak menangis. Saat itu
umurnya 11 tahun. Rupanya inilah yang membuatnya terobsesi
pada kesempurnaan, karena saat kecil ia dihukum berat oleh ayahnya jika ia
melakukan kesalahan kecil, apalagi kesalahan besar.
Situs yang sama mendiagnosa Hitler sebagai pribadi dengan karakter narsistik.
Narsistik, atau pengagum diri sendiri rasanya kurang tepat jika dialamatkan
pada Hitler. Track record Hitler lebih condong pada perilaku OCD (obsessive
compulsion disorder), atau desakan untuk melakukan segala sesuatu dengan
sempurna menurut cara yang diyakininya. Ini lebih masuk akal sebagai akibat
dari obsesi pada kesempurnaan. Menurut suara dalam kepala Adolf, sesuatu yang
paling sempurna itu adalah sesuatu yang alami, asli dan berakar dari tempat itu
sendiri. Sesuatu yang seperti dirinya sendiri, dalam hal ini ras. Semua yang
berbeda itu tidak sempurna, sedangkan ketidaksempurnaan itu tak dapat
ditolerir. Oleh karena itu, semua yang berbeda itu harus diberangus. Ini tentu
berbeda dengan seorang gadis atau janda yang menolak cinta seorang jejaka atau
duda lantaran si cowok tidak suka film India. Lebih sedikit mirip dengan perang
antar suporter dari dua tim sepak bola yang bersaing memperebutkan puncak
klasemen. Kemenangan, baik dalam mengalahkan tim lawan maupun hati si gadis
pujaan, dibutuhkan seseorang untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia pantas
untuk menang. Mengapa ia layak menang? Karena ia dan hanya dialah yang
sempurna. Saya dan Anda tahu ini bukan hal baru. Saya yakin Anda sekarang baru
menyadari betapa berlimpahnya para penderita OCD di sekitar kita.
Apa kata suara dalam kepala?
Dengan demikian kita
bisa mengambil kesimpulan, bahwa Adolf Hitler tidak dilahirkan ke dunia dan ‘diberkahi’
oleh Pencipta dengan sifat-sifat yang membentuk dirinya menjadi seperti dalam
kisah sejarah. Ada banyak faktor saling berkelindan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi cara manusia berpikir, berbuat dan merasa, yang tidak ada
kaitannya dengan takdir, atau ‘dari sononya memang begitu’. Sekumpulan cara
berpikir, berbuat dan merasa yang sama diajarkan seorang ayah atau ibu pada
anaknya, seorang kakek pada cucunya, seorang guru pada muridnya (Meski kita
tahu hal ini sudah jarang terjadi, karena para guru tak ada waktu untuk
mengajarkan budaya. Beban mata pelajaran yang harus diajarkan telah menyita
waktu mereka. Mari berharap full day school akan membawa perubahan, walaupun
saya pesimis). Otak seseorang akan merekam setiap suara dengan baik, sehingga
suara itu bisa terus terdengar bahkan si pemilik suara telah tiada. Sekumpulan
suara yang akan berasimilasi menjadi satu suara baru di dalam kepala si
manusia.
Namun lupa adalah
nature setiap manusia, entah disengaja ataupun tidak. Pada situasi tertentu otak
berhasil menipu pemiliknya. Entah karena kurang minum air putih atau kurang
makan ikan, ada kalanya otak mengkhianati sang pemilik (dalam hal ini kita,
manusia) dengan cara tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya ia melupakan
apa kata suara yang pernah didengarnya. Ada otak manusia yang mendadak layu
terhadap peristiwa penting di masa lalu, janji penting dengan calon klien, lupa
menjemput pacar, lupa PIN ATM, lupa mengerjakan PR, dan lupa-lupa lainnya.
Itu semua bukanlah
dosa, kecuali kelupaan kita ‘berhasil’ mendatangkan masalah besar. Kecenderungan
ini sering kali dimanfaatkan sekelompok manusia untuk menguasai sekelompok atau
beberapa kelompok manusia lainnya demi mencapai tujuan pribadi. Caranya adalah
dengan memborbardir otak manusia dengan suara-suara yang dikatakan sebagai
fakta secara terus menerus, sampai otak manusia yang digunakan sebagai obyek
menganggapnya sebagai kenyataan. Stagflasi ekonomi dunia cepat lambat akan
berimbas pada ekonomi domestik. Dalam kondisi ekonomi baik-baik saja pun
manusia harus berjuang mencari nafkah, apalagi dalam kondisi ekonomi lesu.
Manusia jadi tidak punya waktu untuk mencerna informasi yang sibuk lalu lalang
di depannya. Mau benar atau tidak, dia merasa itu bukanlah urusannya. Ia sudah
terlalu lelah mencari uang untuk membeli beras, tak ada daya yang tersisa untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Tak ada waktu mendengarkan suara di dalam kepalanya. Lambat
laun suara-suara itu menghilang dan tak terdengar lagi kabarnya, karena banyak orang kurang edukasi mengenai masalah kejiwaan dan mereka menyangka berdialog dengan diri sendiri adalah tanda kegilaan.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup seorang diri. Namun itu bukan berarti dia harus terus menerus menyerahkan dirinya kepada mereka yang ada di sekitarnya. Orang tua bukanlah milik anak sepenuhnya, demikian juga sebaliknya. Suami dan istri saling memiliki, tetapi ada ruang bagi masing-masing untuk mendewasakan diri bersama waktu. Hidup berbaur bersama masyarakat sangat penting, apalagi sejarah membuktikan kesulitan bisa datang kapan saja dan masyarakat sekitar kitalah yang pertama kali datang menolong bila terjadi sesuatu. Akan tetapi, bagaimana bila keringantanganan masyarakat malah membuat kita malas untuk belajar mengatasi kesulitan seorang diri? Bagaimana bila kepercayaan diri kita terhadap kemampuan sendiri malah menjadi tembok penghalang antara kita dan realita sosial? Seperti apa sih aturan baku yang bisa menjadi garis merah bahwa kita sudah terlalu jauh masuk dalam kehidupan seseorang? Semua ini adalah suara dalam kepala yang sedang berdialog, melakukan eksperimen, mencari pemecahan masalah, yang bisa saja tidak akan terdengar bila manusia terlalu banyak menghabiskan waktu menanggapi suara banyak orang.
(swastantika)