Minggu, 06 Mei 2012

One HeArt

KITA DAN MEREKA

            Penundaan kenaikan harga BBM yang diumumkan pemerintah awal bulan lalu akhirnya bisa melegakan nafas kita barang sejenak. Paling tidak memberi kita waktu untuk beristirahat, sebelum akhirnya menanggung beban yang lebih berat dari sebelumnya pada 5-6 bulan ke depan. Entah apa yang melandasi keputusan yang sangat menggalaukan hati nasional berjamaah tersebut, apakah karena tekanan internasional, atau menipisnya persediaan minyak di bawah tanah tempat kita berdiri ini, walahualam. Yang jelas itu adalah sebuah tantangan baru bagi Anda yang menggemari permainan teka-teki silang dunia nyata. Haruskah mereka yang lemah selalu tergerus  gelak tawa kemenangan si kuat ?
            Para manusia penghuni awal Bumi ini tidak pernah bekerja. Mereka hanya mencari makan agar perutnya tidak lapar, tidak merasakan hawa panas menyengat maupun menggigil kedinginan, tidak juga basah kehujanan maupun diserang binatang buas saat lelap tertidur. Pola hidup purba itu berubah drastic manakala nenek moyang kita saling memperkenalkan dan mengenal uang sebagai alat tukar. Lambat laun mereka pun merubah cara pandang, dari makhluk yang sehari-harinya menggantungkan hidup kepada alam menjadi manusia yang mempertahankan hidup kepada seberapa banyak uang di dalam saku. Semakin banyak  memiliki alat tukar ( uang ), maka semakin banyak juga peluang bagi mereka untuk memiliki lebih banyak dan bermacam-macam barang.
            Bergesernya orientasi survival kaum perintis mencari alat tukar sebanyak mungkin sebenarnya terjadi bukan mendadak sontak. Karena perkawinan diantara mereka menghasilkan keturunan, dan keturunan mereka kemudian beranak pinak, maka bertambahlah jumlah penduduk yang mulanya sedikit. Peningkatan jumlah penduduk sekaligus memanaskan suhu persaingan diantara mereka demi mencari makan. Mereka yang dulunya berburu, mulai sulit medapat binatang buruan. Sedangkan mereka yang bercocok tanam harus berkompromi dengan cuaca yang tidak menentu. Pun, hasil panen  kebun kadang tidak sesuai dengan harapan.

Kapitalis Juga Manusia
            Tersebutlah di suatu tempat terdapat sekelompok orang beruntung dan memiliki sejumlah uang dalam jumlah besar yang hendak mereka investasikan dalam bentuk perusahaan. Mereka membutuhkan pegawai/ pekerja untuk memproduksi barang-barang yang hendak mereka jual. Sedangkan kita adalah sekelompok orang yang desperately membutuhkan uang agar dapur di rumah tetap mengepulkan asapnya. Singkat cerita, atas dasar asas saling membutuhkan  maka terciptalah kerja sama antara kita dan mereka.
            Kedudukan antara pimpinan dan bawahan tidak lagi berdasar besarnya gaji yang dipunya. Melainkan atas perbedaan luas dan sempitnya wilayah tanggung jawab, beserta deskripsi kerja masing-masing individu. Jadi, gaji seorang supervisor/pengawas lebih tinggi karena tugasnya lebih sulit dan kompleks daripada seorang pekerja biasa. Namun itu bukan berarti para pekerja sah-sah saja mendapat gaji ala kadarnya, karena tugas dan tanggung jawab mereka yang lebih sederhana dan tidak serumit tugas direktur utama perusahaan.
            Perusahaan tetap bertanggung jawab terhadap kesejahteraan serta kesehatan para pekerja, baik fisik maupun mental. Kesehatan fisik ada kaitannya dengan ketahanan dan stamina tubuh menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menguras tenaga. Sedangkan kesehatan mental berhubungan erat dengan konsentrasi dan pengendalian emosi para pekerja saat menyelesaikan pekerjaan. Dan tugas dan atau pekerjaan yang dapat selesai pada waktunya adalah keuntungan besar bagi perusahaan karena berhasil mengejar tenggat waktu produksi.
            Akan tetapi, seringkali kaum pemilik modal dan alat-alat usaha tersebut dilanda kekhawatiran atau ketakutan terhadap kemungkinan tidak stabilnya posisi yang sudah mereka capai dengan memeras darah dan air mata. Ketakutan ini mungkin timbul akibat traumatisme mendalam terhadap kejadian buruk di masa lalu ( misalnya, Holocaust di era Nazi yang menewaskan jutaan ras Yahudi, dimana kaum Yahudi disinyalir adalah penguasa dari beberapa konglomerasi tersukses di dunia pada saat ini ). Serta tiadanya jaminan bahwa penyelenggara kegiatan pemerintahan aka penguasa, yang merupakan satu-satunya yang berdaya kuasa mengatur hidup seluruh sendi kehidupan umat manusia, tidak akan melakukan kesalahan sekecil-kecil pun. Toh mereka hanyalah manusia biasa.
            Beberapa korporasi besar mungkin sudah terlampau banyak menenggelamkan sejumlah modal pada sebuah proyek maupun pabrik. Asal modal tersebut ialah berhutang kepada pihak lain atau menggadaikan ini itu. Terlunasinya hutang sebelum jatuh tempo akan meningkatkan kredibilitas mereka di mata kreditor, sehingga akan melapangkan urusan pinjam meminjam di lain waktu. Hasrat mengejar kredibilitas sebagai debitur teladan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya telah menjerumuskan mereka ke dalam api neraka duniawi.
            Betapa tidak, paranoia melatarbelakangi terbentuknya watak egois oportunis. Yaitu mereka yang cenderung untuk mencari keuntungan pribadi sendiri daripada kemaslahatan bersama. Para korporat enggan mengambil resiko menurunkan mutu barang hasil produksi, atau mereka harus siap-siap kehilangan konsumen. Sebagai gantinya, mereka memilih untuk mengurangi ongkos bagi kesejahteraan karyawan/ pekerja, menghapus hak kenaikan gaji bertahap dengan memberlakukan system kontrak, mengurangi tunjangan karyawan dan memperketat peraturan bekerja. Belum lagi tindakan-tindakan licik golongan korporasi sumber daya alam multi nasional ketika mereka mengabaikan hubungan timbal balik nan harmonis dengan alam sekitar.  Kadang kala kaum pemilik modal menutup mata rapat-rapat terhadap kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan mereka telah mencemari lingkungan atau bahkan mengakibatkan bencana alam yang menelan korban jiwa maupun harta benda.
Tertawa Paling Akhir
            `Kesulitan demi kesulitan hidup telah terlalu menguras ludas energi kita, sampai-sampai kita lupa menyempatkan waktu luang untuk tertawa. Tekanan dari tempat kerja berkejaran bersama tuntutan pemenuhan kebutuhan perut, berlomba menyesaki dada, mempermainkan emosi. Dalam sepuluh tahun terakhir, sadarkah Anda bahwa bangsa berkarakter ramah tamah, bertoleransi tinggi dan gemar bergotong royong yang selalu kita banggakan itu tinggalah sebuah kenangan ?  Dan tahukah Anda bahwa penyebabnya adalah uang, serta rasa putus asa dan tidak percaya diri mempertahankan hidup, sehingga mengambil jalan pintas yang menafikan dampaknya terhadap hubungan dengan sesama manusia di sekitarnya ?
            Tidak ada guru terbaik yang mampu mengajarkan jalan terbaik keluar dari problematika mengisi perut selain daripada kita sendiri. Sekarang dan selamanya gerakan mengupayakan perubahan adalah sama dengan menantang arus. Menantang arus adalah sama dengan menyatakan diri sendiri sebagai pembeda, dimana perbedaan atau ketidakseragaman merupakan sesuatu yang menakutkan karena itu adalah indikasi pembangkangan. Sedangkan pembangkangan adalah sama dengan makar. Maka jangan heran apabila para pencetusnya mengalami nasib seperti Malcolm X, Marsinah, Martin Luther King, Munir, maupun jutaan orang yang dibunuh oleh ‘ hanya Tuhan yang tahu siapa pelakunya ‘ di sepanjang 1965-1966. Seandainyapun lolos dari maut mungkin akan melalui jalan hidup yang lebih tidak biasa, sebagai konsekuensi memilih jalan keluar sebagai pemberontak.
            Di dalam perjalanan memperjuangkan hak atas penghidupan yang layak atas kemanusiaan, semestinya kita juga jangan sampai menginjak atau bahkan melupakan hak para liyan untuk memperoleh hak yang sama juga. Kita bukanlah satu-satunya golongan yang menapakkan kaki di Bumi. Dan kita tak pernah tahu kapan dan dimana akan membutuhkan bantuan dari mereka yang berada di kanan dan kiri. Ini bukan sesuatu yang gaib dan di luar logika. Kelapangan hati dalam hidup bermasyarakat, itulah modal awal jika kita serius hendak meraih ketentraman. Misalnya saja, Anda hidup bertetangga dengan seorang montir mobil yang sering bekerja hingga larut malam dan itu sebenarnya membuat anak Anda rewel karena tidurnya terganggu suara mesin mobil. Namun Anda memahami posisi sang montir yang punya banyak hutang sehingga ia harus bekerja ekstra demi mencari uang untuk menutup hutang-hutangnya. Dan Anda sadar memusuhinya adalah tindakan yang sangat merugikan. Karena Anda juga punya sebuah mobil di rumah yang sudah uzur dan sering mogok. Kan Ada tidak tahu kapan saatnya, pagi hari Anda harus segera tiba di kantor untuk urusan pekerjaan, tiba-tiba mobil Anda ngadat. Sedangkan jam masih menunjuk angka pukul 6 pagi, dan bengkel mana yang sudah buka selain sang tetangga montir yang bisa dimintai pertolongan.
            Pun sama halnya jika seorang mandor dan atau atasan tiba-tiba mengguyuri kita dengan sumpah serapah di tengah-tengah waktu bekerja. Jangan terburu marah, Gan. Mungkin saja kita memang bersalah, kurang disiplin, kurang terampil, kurang professional, dll. Sudah inrospeksi namun tak juga menemukan sesuatu yang salah di diri kita ? Ya mungkin kita harus menerapkan asas tenggang rasa juga kepada beliaunya. Mungkin sedang ada masalah di rumah tangganya, tidak mendapat jatah rokhani dsb itu bisa memicu ketakstabilan suasana hati juga lho. Betul tidak ?
           
           
           
           

           

           
             

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...