Senin, 29 Agustus 2011

JUS(T) TRIPLEKS

PENGUASA SESUNGGUHNYA



Manusia telah dikutuk seumur hidup menderita ketergantungan terhadap uang. Sejak jabang bayi masih merah saja sudah dikenai biaya persalinan ke dunia. Saat dewasa ia kian tak bisa lepas dari yang namanya uang. Mau makan butuh uang. Mau sekolah, senang-senang sampai ngentot ( bercinta ) pun juga butuh uang. ( Jangan ngeres dulu, Gan. Maksud saya disini, meskipun Anda berasal dan punya keluarga baik-baik, kan Anda juga butuh uang buat beli alat kontrasepsi, kecuali Anda sedang berencana punya banyak anak ). Uang memang menunjukkan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan. Jika setumpuk makanan lezat bergizi dinilai dengan sejumlah uang, maka untuk menghemat waktu dan proses ( karena kabarnya masa kini adalah jaman penuh tuntutan untuk serba cepat ), mengapa kita tidak langsung memakan uang itu mentah-mentah sekalian ? ( Kuda Lumping kaleee .. ).
Ah, seandainya uang tumbuh di pohon, mungkin kita tak perlu kerja keras dan tak perlu pula menyamar jadi tikus koruptor untuk bisa kaya. Tinggal tanam pohon, lalu petik daunnya banyak-banyak. Mungkin juga penggundulan hutan tak pernah terjadi, karena semua orang takut kehilangan sumber penghasil uang yang mudah, murah, halal pula.
Masalah keuangan memang klasik, lagu lama bulukan membosankan. Pertanyaannya, mengapa masalah ini musti kita alami berulang kali sepanjang hidup kita ? Apakah karena kita terlalu santai dan kurang memeras peluh saat bekerja ? Ataukah karena makanan yang kita santap kurang bergizi, sehingga tak cukup sanggup memancing otak kita berpikir dan bertindak lebih kreatif mengais kebutuhan hidup ? Apa mungkin mental kita telah letih dan letoy, memilih jalan pintas meminjam uang pada rentenir sebagai solusi masalah keuangan jangka pendek karena proses mudah, cairnya nggak pake lama dan pula berhadiah bunga mencekik ?

Pergeseran “ Keuangan “
          Di masa kejayaan nenek moyang uang berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah proses tukar menukar barang dan jasa, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai. Bila kita ingin memiliki sebuah barang, kita tinggal menghitung uang di kantong cukup atau tidak untuk membelinya. Kalau uang tidak cukup, ya tidak jadi beli. Abad berganti dan fungsi uang jadi tak sesederhana dulu lagi. Kemutakhiran era tidak hanya menggeser kearifan budaya peninggalan leluhur. Namun juga fungsi uang bagi para pemakainya. Yaitu :
          Pertama, ukuran keberhasilan dan atau kegagalan suatu Negara. Sebuah Negara dapat dikategorikan sukses sentosa bukan berdasarkan luas wilayah, keanekaragaman hayati dan budaya maupun kekayaan alam yang melimpah ruah. Melainkan dari cekatan dan terampilnya perangkat, staf dan aparat Negara mengatur pendistribusian kembali uang Negara kepada rakyat, dalam bentuk pelayanan birokrasi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dll secara adil merata. Karena Negara bukan cuma milik para penguasa. Rakyat pun berhak atas Negara dan berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Seandainya di tengah jalan mereka, penguasa dan karyawan/ karyawatinya, tersandung godaan akibat tipisnya iman dan berdisiplin rendah, lalu mendistribusikan uang Negara tersebut ke rekening pribadinya, maka demikianlah kisah sebuah Negara gagal dimulai.
       Kedua, pemicu meningkatnya angka kriminalitas dan kekerasan jalanan serta rumah tangga. Parade konsumtivisme bersimaharajalela di media massa, taman kota dan kampung-kampung. Kita toh tidak bisa menuntut pertanggungjawaban 100% dari era globalisasi dan dunia cyber. Mengingat keduanya hanyalah corong bagi suatu produk untuk dikenal orang banyak. Kesalahan adalah terletak kepada para produsen barang. Karena mereka tidak melakukan riset mendetil mengenai tingkat kesejahteraan masing-masing orang yang telah dijejali iklan produk mereka. Benarkah semua orang mampu membeli barang tersebut ? Apa mata pencaharian mereka ? Cukupkah penghasilan mereka untuk membeli barang ini, barang itu dan barang-barang lainnya ? Stabilkah emosi atau sehatkah logika mereka ? Apa yang kira-kira akan mereka lakukan manakala tak sanggup memiliki sebuah barang yang sangat menyilaukan nafsu ? Seekor kucing kelaparan mustahil tidak ngiler mencium bau ikan asin. Karena ia tak punya uang untuk membeli, maka dicurilah ikan asin itu dari meja makan Anda.
       Ketiga, bergesernya kebutuhan primer manusia. Dulu manusia masih sangat sedikit, sehingga tiap-tiap orang punya lahan luas untuk ditanami berbagai jenis tanaman bahan pangan. Mereka juga tidak membeli baju, karena tidak ada mall dan ketrampilan menjahit wajib hukumnya bagi kaum perempuan. Mereka mewarisi rumah peninggalan orang tua, atau tinggal bersama keluarga besar. Sedangkan kondisi terkini adalah, orang-orang sibuk bekerja demi segelintir uang untuk membeli sesuap nasi. Begitu kerasnya sehingga mereka lupa makan dan tidak pulang ke rumah. Bukan karena mereka tidak sayang diri sendiri maupun keluarga. Namun karena mereka sadar betapa mahal dan tingginya harga barang kebutuhan primer tersebut. Sehingga uang yang mereka hasilkan dari jerih payah itu tak kan pernah cukup. Jika para pendahulu mengatakan kebutuhan primer manusia adalah pangan, sandang dan papan, maka uang adalah kebutuhan yang maha, mega dan super primer. Tanpa uang amat sangat mustahil ketiga macam kebutuhan penopang hidup manusia itu diperoleh dan tercukupi.

Kemerdekaan Yang Tiada Abadi
      Ini adalah kala mangsa semua dinilai dan dihargai dengan uang. Termasuk hal-hal abstrak semacam simpati, harga diri, martabat, kasih sayang dan kekuasaan. Tidak salah memang. Toh tiada yang abadi selain keabadian itu sendiri, dan semua hal pasti akan berubah. Termasuk etika, nilai-nilai dan norma-norma buatan masyarakat. Jika perubahan dipaksakan atas dasar hukum untung rugi, dengan menganalisa seberapa banyak uang yang bakal didapat, dan bukannya keadilan sosial merata, maka : Selamat ! Anda sudah menjadi hamba uang. Hamba uang ? Ya. Terbukti sahih dan meyakinkan, manusia sebagai makhluk berlogika dan bernurani kalah telak oleh benda mati ( yaitu uang ). Kiranya tak berlebihan jika saya sebut uanglah sang penguasa dunia sesungguhnya. Suatu saat ( atau jangan-jangan sudah ) melengserkan Tuhan.
       Mengapa tidak ? Jika uang adalah penyebab utama lahirnya penjajahan di muka Bumi, maka bisa ditebak siapakah golongan yang paling merdeka. Jika uang bisa membeli segalanya, maka hanya orang-orang kaya sajalah yang bisa menikmati yang namanya kemerdekaan. Jika kemerdekaan finansial adalah sama artinya dengan kemerdekaan yang diperjuangkan Soekarno-Hatta dan rekan-rekan sejawatnya, maka akankah orang-orang yang tidak kaya terjajah selamanya ?
      Sebagian besar pengamat berpendapat, krisis utang yang menyerang sebagian Eropa dan Amerika Serikat belakangan ini adalah akibat kesalahan mereka sendiri. Negara-negara tersebut sangat maju, mapan dan alhamdullillah kaya raya. Apakah perasaan jumawa akibat kekayaan sendiri yang melegalkan kehendak mereka untuk menginvasi, intervensi, mengamankan konflik di Irak, Afghanistan, Mesir dan Libya ? Walahualam. Yang jelas hobi semacam ini tidak murah dan makan banyak biaya. Bank sentral tidak bisa mencetak uang baru terus menerus atau inflasi taruhannya. Karena solusi untuk mengatasi besar pasak daripada tiang adalah selalu dengan berutang, maka menumpuklah utang mereka. Hilanglah kemerdekaan sang Negara superpower kdi tengah lilitan utang. Sama seperti kita, buronan debt collector.

        Orang mencari pencerahan dalam agama, meditasi, seminar motivasi dan kebiasaan lurus lainnya, semata-mata mencari kunci pengendalian diri. Dan bukannya untuk merayu Tuhan agar melimpahkan lebih banyak lagi uang pada kita. Mengapa pengendalian diri ? Karena tidak ada yang bisa memerdekakan diri kita dari kuasa uang, selain kematian. Yang kita bisa lakukan adalah mengendalikan sebaik-baiknya diri agar emosi tetap dingin walau otak panas kepalang. Agar tak mencari pelampiasan kemarahan dengan makan enak-enak, shopping dan kegiatan menghabiskan uang lainnya. Agar bujukan korupsi lari menjauh tak kembali. Agar tetap sabar dan lemah lembut meski dimaki-maki penagih utang. Agar tak lekas lelah bekerja keras dan sekeras mungkin untuk tidak berhutang lagi.








Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...