Dunia mengenal Jack Ma sebagai pebisnis China dengan nilai kekayaan sebesar 41,2 biliun dolar, salah satu di antara sedikit wirausahawan Asia yang pernah menempati 10 besar orang terkaya sejagat. Pria kelahiran 10 September 1964 memulai karirnya sebagai guru Bahasa Inggris dan penerjemah, yang pernah dua kali gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi karena lemah di mata pelajaran Matematika. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat di tahun 1995, Ma menyadari bahwa ketiadaan situs web China adalah sebuah peluang besar yang menjadi inspirasi bagi pendirian beberapa situs web. Di antaranya adalah Alibaba, situs lokapasar yang di awal pendiriannya adalah perantara berbagai bisnis kecil di China menjadi raksasa e-dagang sekaligus kesuksesan besar bagi seorang Jack Ma.
Tak sedikit sumber yang menuding keberhasilan Ma adalah
berkat kedekatannya dengan Presiden Xi Jinping. Memang, antara 1998-1999 Ma
pernah mengepalai sebuah perusahaan internet yang didukung oleh Kementerian
Kerja Sama Perdagangan Luar Negeri dan Ekonomi China. Dia meninggalkan posisi
itu karena tidak ingin melewatkan berjuta peluang yang ditawarkan Internet. Ma
mengungkapkan perbedaan pandangan terhadap pemerintah China dalam sebuah pidato
di Shanghai 24 Oktober 2020. Saat itu dia mengatakan bank-bank China seperti
pegadaian, bermental seperti rentenir jaman dahulu yang mengandalkan sistem “pledge
and collateral (gadai dan agunan, artinya bila tidak mampu membayar pinjaman
maka barang jaminan akan disita)”. Ujaran ini dianggap subversif dan mahal
harganya. Sebulan kemudian, pemerintah China menggagalkan penawaran saham
perdana (IPO) Alibaba senilai 37 biliun dolar yang seharusnya memecahkan rekor
sebagai IPO termahal sepanjang masa.
Sapi perah bernama
perusahaan teknologi
Tekanan pemerintah bukan hanya dialami oleh Jack Ma dan
Alibaba. Bersama ledakan pandemi COVID-19 pada 2020, 90% aktivitas masyarakat
sedunia dilakukan di Internet yang mencakup pekerjaan, hiburan, belanja,
pendidikan, sampai interaksi sosial. Di tahun yang sama, Big Tech (Google,
Amazon, Apple, & Facebook) menghadapi pembersihan massif dari segala
penjuru dalam bentuk gugatan, pengetatan pengawasan, hingga hukuman denda atas
berbagai tuduhan mulai dari persaingan tidak sehat, kebocoran dan
penyalahgunaan data pengguna, penyebaran misinformasi, hingga praktik penarikan
komisi terselubung. Sebuah artikel
menyebut penyebab tekanan beruntun terhadap Big Tech, adalah kekuatan ajaib
yang mereka miliki dalam mengendalikan pikiran dan perilaku para pengguna
melalui algoritma yang tidak dipahami orang awam, termasuk sebagian besar dari
kalangan pembuat regulasi.
Di sisi lain, IMF
meyakini bahwa perusahaan teknologi adalah sumber pemasukan nasional yang
menguntungkan bagi pemerintah Uni Eropa (dan dunia, tentunya). Akibat kuncitara
besar-besaran, perdagangan dunia pun menderita demam yang entah kapan akan
pulih seperti sediakala. Pemerintah berbagai negara menyadari bahwa
penyelesaian masalah ekonomi tidak cukup dengan mengandalkan Quantitative Easing, karena bisa
berdampak fatal bagi nilai mata uang nasional dalam jangka panjang (Mengapa? Baca
artikel ini).
Kemandekan ini memaksa pemerintah berbagai negara mencari tambahan pemasukan
dengan menaikkan pajak bisnis, terutama dari bintang yang paling bersinar di
era pandemi, siapa lagi kalau bukan Big Tech dkk. Maka muncul anggapan
perusahaan-perusahaan digital akan menjadi masa depan yang cerah bagi sebuah
negara, karena besarnya nilai pajak yang akan mereka setorkan ke kas
negara. Dengan kata lain, semakin banyak
perusahaan digital yang beroperasi atau didirikan di suatu negara maka semakin
makmurlah negara itu. Apalagi bila pajak yang diberlakukan bagi perusahaan
digital sangat tinggi seperti saat ini, seharusnya suatu negara tidak akan lagi
terbelit utang di mana-mana. Perusahaan digital tidak mengambil apa pun dari
tanah, laut, dan udara di mana dia beroperasi, tidak menimbulkan polusi udara,
dan suara. Dampak lingkungan paling kentara berasal dari sampah komputer zaman
nenek moyang, tetapi dapat didaur ulang bila kita mencurahkan perhatian, waktu
dan tenaga untuk itu.
Melalui perdebatan panjang dan melelahkan, beberapa
perusahaan digital raksasa akhirnya bersedia
membayar pajak kepada negara-negara di mana mereka beroperasi meski besaran
pajak lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Big Tech berusaha menepis
tudingan bahwa mereka telah dengan sengaja memindahkan laba perusahaan ke
wilayah bebas pajak atau wilayah dengan pengenaan pajak yang lebih rendah,
dengan memberikan dukungan mereka atas mekanisme pajak global. Juru bicara
mereka juga mengajukan usulan
agar besaran pajak dapat diperkecil, karena semakin besar pajak semakin besar
pula tarif yang harus dibayar para pengguna layanan digital. Bagi mereka yang
memilih layanan digital gratisan, kenaikan pajak digital bisa berarti semakin
banyak iklan yang menghiasi layar gawai Anda. Tidak nyaman, jelas. Namun para
penyedia layanan digital membutuhkan pemasukan lebih besar agar tetap bisa
menghibur dan melayani Anda sekaligus membayar kewajiban pajak mereka. Kenaikan
pajak juga memaksa manajemen perusahaan memotong anggaran bagi sektor R&D
(research & development/ riset & pengembangan) yang bertanggung jawab
mencari dan melakukan inovasi agar suatu layanan digital dapat bertahan di
tengah persaingan ketat. Walakin, dukungan pemerintah berbagai negara terhadap
inovasi teknologi adalah suatu privilese bagi pemerintah itu sendiri. Bukan
hanya karena teknologi menghasilkan gelimang uang tetapi juga satu hal lain
yang dibahas di bawah ini.
Government hacking
Meski masih jadi platform jejaring sosial dengan pengguna
terbanyak di dunia, Facebook tidak lagi populer di kalangan anak muda. Saat ini
sebagian besar penggunanya adalah orang dewasa berusia 30 tahun ke atas, yang
di tahun 2009-2012 pernah jadi anak-anak muda pecicilan. Di tahun-tahun
kejayaan Facebook, siapa pun boleh memublikasikan apa pun di dinding Facebook
masing-masing (atau dinding orang lain). Mulai aktivitas remeh-temeh sehari-hari,
gosip, ajang temu kangen online, kritik sosial, sumpah serapah, sampai curhat
masalah rumah tangga semua diumbar sebebas-bebasnya di ‘dinding ratapan’ karya
Mark Zuckerberg dkk. Satu hal yang kita lupa bahwa menurut sejarahnya, internet
diciptakan oleh pemerintah (Amerika Serikat) pada 1960-an untuk mefasilitasi
pertukaran informasi di antara para periset pemerintah. Dengan adanya fakta
ini, tidak ada yang bisa melarang ketika pemerintah AS memutuskan untuk
memanfaatkan internet demi kepentingannya melalui otak dan tangan perusahaan
digital, tidak terkecuali Big Tech.
Masyarakat awam bisa menggunakan internet sebagai sebuah
cara untuk melihat dunia luar yang mungkin tidak akan pernah terjangkau sampai
akhir hayat mereka. Bagi pemerintah negara-negara, internet adalah sebuah cara
untuk mengawasi aktivitas warga negara secara rahasia, aman, dan akurat. Beberapa waktu lalu telah terungkap bahwa
suatu negara sudah merancang malicious
software (malware) yang bersembunyi dalam komputer para aktivis, para jurnalis,
dan para pembangkang. Kita sebaiknya tidak serta merta percaya ketika sebuah
layanan digital mengklaim bahwa data digital kita terenkripsi sehingga tidak
bisa dibocorkan atau diretas. Dengan dukungan berbagai jenis undang-undang,
proses pengadilan, atau tekanan di balik layar, para penyedia layanan digital
seperti Big Tech tidak mampu menentang kehendak otoritas mana pun yang ingin
tahu dengan siapa seorang demonstran berkawan, siapa pacarnya, siapa
selingkuhannya, berapa banyak utangnya, apa warna pakaian dalamnya … semua
rahasia tergelap dan kisah-kisah memalukan yang ingin dia lupakan untuk
selamanya. Ketika percakapan
mesra seorang tokoh organisasi massa Indonesia dengan kekasih gelapnya
dijadikan bukti untuk menyeretnya ke pengadilan, kita seharusnya sudah mulai
sadar bahwa dunia digital tidaklah sebebas yang kita sangka.
Platform digital selalu dituduh memanfaatkan konten dan percakapan pengguna sebagai umpan untuk menjalankan surveilans dan penambangan data. Para peretas telah ditetapkan sebagai sekelompok orang cerdas yang memilih jalan salah untuk mencari ketenaran dan penghasilan. Bagaimana seandainya platform digital dan para peretas sedari dulu dibentuk sebagai alat penguasa untuk memasukkan kita dalam jebakan, membaca pikiran, mengendalikan, dan mengadu domba antar manusia? Bila ya, lantas siapa yang menciptakan mereka? Seseorang di luar sana sangat membutuhkan kehadiran perusahaan teknologi untuk menambah pemasukan nasional sekaligus mengawasi “anak-anak nakal.” Dari sini kita bisa mengetahui siapa biang kerok sejati dari problema kerahasiaan data pengguna yang ibarat benang kusut tak kunjung usai. (dy)