Sabtu, 25 September 2021

Tidak Ada Lagi Kebebasan untuk (Perusahaan) Teknologi

Dunia mengenal Jack Ma sebagai pebisnis China dengan nilai kekayaan sebesar 41,2 biliun dolar, salah satu di antara sedikit wirausahawan Asia yang pernah menempati 10 besar orang terkaya sejagat. Pria kelahiran 10 September 1964 memulai karirnya sebagai guru Bahasa Inggris dan penerjemah, yang pernah dua kali gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi karena lemah di mata pelajaran Matematika. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat di tahun 1995, Ma menyadari bahwa ketiadaan situs web China adalah sebuah peluang besar yang menjadi inspirasi bagi pendirian beberapa situs web. Di antaranya adalah Alibaba, situs lokapasar yang di awal pendiriannya adalah perantara berbagai bisnis kecil di China menjadi raksasa e-dagang sekaligus kesuksesan besar bagi seorang Jack Ma.

Tak sedikit sumber yang menuding keberhasilan Ma adalah berkat kedekatannya dengan Presiden Xi Jinping. Memang, antara 1998-1999 Ma pernah mengepalai sebuah perusahaan internet yang didukung oleh Kementerian Kerja Sama Perdagangan Luar Negeri dan Ekonomi China. Dia meninggalkan posisi itu karena tidak ingin melewatkan berjuta peluang yang ditawarkan Internet. Ma mengungkapkan perbedaan pandangan terhadap pemerintah China dalam sebuah pidato di Shanghai 24 Oktober 2020. Saat itu dia mengatakan bank-bank China seperti pegadaian, bermental seperti rentenir jaman dahulu yang mengandalkan sistem “pledge and collateral (gadai dan agunan, artinya bila tidak mampu membayar pinjaman maka barang jaminan akan disita)”. Ujaran ini dianggap subversif dan mahal harganya. Sebulan kemudian, pemerintah China menggagalkan penawaran saham perdana (IPO) Alibaba senilai 37 biliun dolar yang seharusnya memecahkan rekor sebagai IPO termahal sepanjang masa.

 

Sapi perah bernama perusahaan teknologi

Tekanan pemerintah bukan hanya dialami oleh Jack Ma dan Alibaba. Bersama ledakan pandemi COVID-19 pada 2020, 90% aktivitas masyarakat sedunia dilakukan di Internet yang mencakup pekerjaan, hiburan, belanja, pendidikan, sampai interaksi sosial. Di tahun yang sama, Big Tech (Google, Amazon, Apple, & Facebook) menghadapi pembersihan massif dari segala penjuru dalam bentuk gugatan, pengetatan pengawasan, hingga hukuman denda atas berbagai tuduhan mulai dari persaingan tidak sehat, kebocoran dan penyalahgunaan data pengguna, penyebaran misinformasi, hingga praktik penarikan komisi terselubung. Sebuah artikel menyebut penyebab tekanan beruntun terhadap Big Tech, adalah kekuatan ajaib yang mereka miliki dalam mengendalikan pikiran dan perilaku para pengguna melalui algoritma yang tidak dipahami orang awam, termasuk sebagian besar dari kalangan pembuat regulasi.

Di sisi lain, IMF meyakini bahwa perusahaan teknologi adalah sumber pemasukan nasional yang menguntungkan bagi pemerintah Uni Eropa (dan dunia, tentunya). Akibat kuncitara besar-besaran, perdagangan dunia pun menderita demam yang entah kapan akan pulih seperti sediakala. Pemerintah berbagai negara menyadari bahwa penyelesaian masalah ekonomi tidak cukup dengan mengandalkan Quantitative Easing, karena bisa berdampak fatal bagi nilai mata uang nasional dalam jangka panjang (Mengapa? Baca artikel ini). Kemandekan ini memaksa pemerintah berbagai negara mencari tambahan pemasukan dengan menaikkan pajak bisnis, terutama dari bintang yang paling bersinar di era pandemi, siapa lagi kalau bukan Big Tech dkk. Maka muncul anggapan perusahaan-perusahaan digital akan menjadi masa depan yang cerah bagi sebuah negara, karena besarnya nilai pajak yang akan mereka setorkan ke kas negara.  Dengan kata lain, semakin banyak perusahaan digital yang beroperasi atau didirikan di suatu negara maka semakin makmurlah negara itu. Apalagi bila pajak yang diberlakukan bagi perusahaan digital sangat tinggi seperti saat ini, seharusnya suatu negara tidak akan lagi terbelit utang di mana-mana. Perusahaan digital tidak mengambil apa pun dari tanah, laut, dan udara di mana dia beroperasi, tidak menimbulkan polusi udara, dan suara. Dampak lingkungan paling kentara berasal dari sampah komputer zaman nenek moyang, tetapi dapat didaur ulang bila kita mencurahkan perhatian, waktu dan tenaga untuk itu.

Melalui perdebatan panjang dan melelahkan, beberapa perusahaan digital raksasa akhirnya bersedia membayar pajak kepada negara-negara di mana mereka beroperasi meski besaran pajak lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Big Tech berusaha menepis tudingan bahwa mereka telah dengan sengaja memindahkan laba perusahaan ke wilayah bebas pajak atau wilayah dengan pengenaan pajak yang lebih rendah, dengan memberikan dukungan mereka atas mekanisme pajak global. Juru bicara mereka juga mengajukan usulan agar besaran pajak dapat diperkecil, karena semakin besar pajak semakin besar pula tarif yang harus dibayar para pengguna layanan digital. Bagi mereka yang memilih layanan digital gratisan, kenaikan pajak digital bisa berarti semakin banyak iklan yang menghiasi layar gawai Anda. Tidak nyaman, jelas. Namun para penyedia layanan digital membutuhkan pemasukan lebih besar agar tetap bisa menghibur dan melayani Anda sekaligus membayar kewajiban pajak mereka. Kenaikan pajak juga memaksa manajemen perusahaan memotong anggaran bagi sektor R&D (research & development/ riset & pengembangan) yang bertanggung jawab mencari dan melakukan inovasi agar suatu layanan digital dapat bertahan di tengah persaingan ketat. Walakin, dukungan pemerintah berbagai negara terhadap inovasi teknologi adalah suatu privilese bagi pemerintah itu sendiri. Bukan hanya karena teknologi menghasilkan gelimang uang tetapi juga satu hal lain yang dibahas di bawah ini.

 

Government hacking

Meski masih jadi platform jejaring sosial dengan pengguna terbanyak di dunia, Facebook tidak lagi populer di kalangan anak muda. Saat ini sebagian besar penggunanya adalah orang dewasa berusia 30 tahun ke atas, yang di tahun 2009-2012 pernah jadi anak-anak muda pecicilan. Di tahun-tahun kejayaan Facebook, siapa pun boleh memublikasikan apa pun di dinding Facebook masing-masing (atau dinding orang lain). Mulai aktivitas remeh-temeh sehari-hari, gosip, ajang temu kangen online, kritik sosial, sumpah serapah, sampai curhat masalah rumah tangga semua diumbar sebebas-bebasnya di ‘dinding ratapan’ karya Mark Zuckerberg dkk. Satu hal yang kita lupa bahwa menurut sejarahnya, internet diciptakan oleh pemerintah (Amerika Serikat) pada 1960-an untuk mefasilitasi pertukaran informasi di antara para periset pemerintah. Dengan adanya fakta ini, tidak ada yang bisa melarang ketika pemerintah AS memutuskan untuk memanfaatkan internet demi kepentingannya melalui otak dan tangan perusahaan digital, tidak terkecuali Big Tech.

Masyarakat awam bisa menggunakan internet sebagai sebuah cara untuk melihat dunia luar yang mungkin tidak akan pernah terjangkau sampai akhir hayat mereka. Bagi pemerintah negara-negara, internet adalah sebuah cara untuk mengawasi aktivitas warga negara secara rahasia, aman, dan akurat.  Beberapa waktu lalu telah terungkap bahwa suatu negara sudah merancang malicious software (malware) yang bersembunyi dalam komputer para aktivis, para jurnalis, dan para pembangkang. Kita sebaiknya tidak serta merta percaya ketika sebuah layanan digital mengklaim bahwa data digital kita terenkripsi sehingga tidak bisa dibocorkan atau diretas. Dengan dukungan berbagai jenis undang-undang, proses pengadilan, atau tekanan di balik layar, para penyedia layanan digital seperti Big Tech tidak mampu menentang kehendak otoritas mana pun yang ingin tahu dengan siapa seorang demonstran berkawan, siapa pacarnya, siapa selingkuhannya, berapa banyak utangnya, apa warna pakaian dalamnya … semua rahasia tergelap dan kisah-kisah memalukan yang ingin dia lupakan untuk selamanya. Ketika percakapan mesra seorang tokoh organisasi massa Indonesia dengan kekasih gelapnya dijadikan bukti untuk menyeretnya ke pengadilan, kita seharusnya sudah mulai sadar bahwa dunia digital tidaklah sebebas yang kita sangka.

Platform digital selalu dituduh memanfaatkan konten dan percakapan pengguna sebagai umpan untuk menjalankan surveilans dan penambangan data. Para peretas telah ditetapkan sebagai sekelompok orang cerdas yang memilih jalan salah untuk mencari ketenaran dan penghasilan. Bagaimana seandainya platform digital dan para peretas sedari dulu dibentuk sebagai alat penguasa untuk memasukkan kita dalam jebakan, membaca pikiran, mengendalikan, dan mengadu domba antar manusia? Bila ya, lantas siapa yang menciptakan mereka? Seseorang di luar sana sangat membutuhkan kehadiran perusahaan teknologi untuk menambah pemasukan nasional sekaligus mengawasi “anak-anak nakal.” Dari sini kita bisa mengetahui siapa biang kerok sejati dari problema kerahasiaan data pengguna yang ibarat benang kusut tak kunjung usai. (dy)

Jumat, 03 September 2021

Represi Finansial: Solusi atau Bencana?

Mendengar kata ‘Bitcoin’ atau cryptocurrency, mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah suatu ruangan remang-remang di dalam bangunan bekas pabrik yang terbengkalai. Ada sosok misterius duduk di tengah ruangan sambil mengawasi anak buahnya: sederet mega komputer penambang elektronik bekerja membuat uang dari dunia maya, sembari mengirim pesan singkat ke sosok lain di seberang sana yang sedang menyusun rencana demonstrasi dan pemogokan besar-besaran di sebuah kota. Inilah gambaran ‘seram’ sebuah era ketika gerakan anti mata uang kripto dilancarkan berbagai pemerintahan di seluruh dunia, yang secara tidak langsung telah memberikan label tidak nasionalis atau bahkan anarkis kepada para penggiat cryptocurrency. Otoritas menganggap mata uang baru ini telah memainkan peranan besar sebagai alat pencucian uang, pembayaran aksi kriminalitas terorganisir, dan terorisme, sehingga pengawasan dan peraturan perlu diperketat. Pelabelan negatif ini terlalu berlebihan karena berbagai aktivitas ilegal di atas sudah ada berpuluh tahun silam sebelum Satoshi Nakamoto menciptakan bitcoin, dan bisa dilakukan lewat jalur transaksi perbankan biasa. 


Represi tanpa darah

Juragan Tesla, Elon Musk, pernah mengatakan bahwa ikhtiar menambang uang kripto memerlukan tenaga listrik dari sumber energi yang pada gilirannya melepaskan megaton emisi karbon ke atmosfer sehingga memperparah pemanasan global. Tudingan ini sukses memporakporandakan harga Bitcoin cs selama beberapa saat, setelah lambat laun publik menyadari bahwa jumlah para penambang kripto ‘perusak lingkungan’ hanya sekian persen dibandingkan total jumlah kendaraan bermotor berbahan bakar fosil di seluruh dunia. Tujuan utama penciptaan mata uang kripto sejatinya adalah menghilangkan “orang ketiga” antara dua pihak yang melakukan transaksi finansial, agar uang yang dipindahtangankan tidak berkurang nominalnya akibat komisi perantara dan kerahasiaan informasi kedua belah pihak tetap terjaga. Bitcoin sebagai pelopor mata uang kripto telah menciptakan alternatif sistem finansial konvensional dengan mengenyahkan peran si orang ketiga.    

Orang ketiga yang dimaksud di sini adalah bank sentral, bank pemerintah, dan bank swasta yang menjadi perantara transaksi finansial, mengawasi, dan melakukan verifikasi validitas. Di antara tiga lembaga ini, bank sentral berada di posisi tertinggi karena bertanggung jawab untuk menerbitkan, mengedarkan, mencabut, menarik, serta memusnahkan uang dari peredaran. Akibat pandemi COVID-19, nyaris seluruh negara di dunia mengalami kesulitan keuangan yang dimulai dari kebijakan pembatasan untuk mencegah meluasnya virus. Tidak terkecuali Amerika Serikat sebagai ekonomi nomor satu sejagat raya. Sebagai upaya mempertahankan gerak ekonomi, The Fed (Bank Sentral AS) memutuskan untuk menerbitkan triliunan dolar uang baru untuk membeli obligasi pemerintah AS melalui sejumlah bank komersial di pasar terbuka (atau disebut Quantitative Easing/ QE). Hal yang sama juga dilakukan bank sentral berbagai negara di mana wabah menelan korban sejak 2020.

Mengapa bank sentral tidak menerbitkan uang dalam jumlah tak terbatas dan membagikannya kepada warga negara agar tidak ada lagi kemiskinan di antara kita? Tak berbeda dengan hukum permintaan dan penawaran, ketika persediaan suatu barang atau jasa melimpah di pasar maka harga/nilainya akan turun. Tidak terkecuali uang. Untuk menjaga kestabilan nilai uang nasional dari konsekuensi QE, pemerintah mendorong masyarakat meningkatkan konsumsi supaya uang dapat disalurkan ke berbagai penyedia barang dan jasa. Sampai di sini kita bisa memahami mengapa pusat perbelanjaan jadi tempat yang pertama kali dibuka untuk umum setelah pandemi mereda, bukan? Konsumsi tinggi yang lebih tinggi dari ketersediaan pasokan barang dan jasa menyebabkan inflasi, di saat harga barang dan jasa berubah menjadi lebih mahal secara bertahap dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ditambah dengan keadaan panik massal, seperti pandemi, bencana alam, perang atau kekacauan politik yang membuat masyarakat memilih memegang uang tunai agar merasa aman di tengah ketidakpastian. Masyarakat tidak mempunyai pilihan selain menarik uang dari bank dan menghabiskan uang gaji bulanan hasil memeras keringat untuk mengejar cuci gudang, sebelum uang mereka kehilangan nilainya esok hari.


Pilihan sulit

Apa yang dipaparkan di atas adalah beberapa situasi yang biasa terjadi bila suatu negara sedang menerapkan represi finansial. Represi finansial tidaklah menakutkan, meskipun makna ‘represi’ secara harafiah adalah tindakan penahanan, pengekangan, dan penekanan. Negara-negara maju maupun berkembang sudah tidak asing dengan istilah ini. Tidak ada tindakan hukum atau sanksi yang dijatuhkan sebagai tanggapan atas represi finansial, karena langkah ini biasa dipilih sebagai jalan keluar untuk mengatasi kondisi finansial luar biasa yang terjadi di berbagai negara. Sesuai dengan namanya, represi finansial mengarah kepada tindakan yang dilakukan untuk memperketat peraturan pemerintah di bidang keuangan. Setelah menggelontorkan uang yang baru dicetak ke masyarakat, pemerintah cenderung mencegah masuknya modal asing ke dalam negeri dengan cara menurunkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Suku bunga acuan juga diturunkan agar tidak memberatkan mereka yang harus membayar pinjaman di era kesuraman.  

Saya yakin iklan dan judul berita yang menjejali gawai Anda belakangan ini adalah keunggulan produk dalam negeri, iklan rumah minimalis baru nan murah, mobil listrik, gawai terbaru, atau tempat wisata cantik di pulau terpencil. Publikasi semacam ini diperlukan untuk menerbitkan kepercayaan masyarakat untuk terus mengonsumsi barang dan jasa. Bagaimana kalau kita tidak punya cukup uang untuk memiliki semua keindahan itu? Mari kita pinjam uang di bank! Kita tidak perlu khawatir tidak bisa membayar cicilan mobil listrik atau cicilan kartu kredit, bukankah suku bunga pinjaman sudah lebih rendah daripada 2-3 tahun lalu? Asal tahu saja, pemerintah berbagai negara juga diuntungkan karena suku bunga rendah sangat membantu memperkecil jumlah pinjaman atau utang yang harus dibayar pemerintah. 

Bagi banyak orang berutang atau meminjam uang dari bank satu-satunya jalan keluar ketika semua pintu sudah tertutup, walaupun ada juga orang yang berutang untuk mengembangkan bisnis dan kesejahteraan pribadi. Memang, ada segelintir orang yang bisa berbangga hati di kemudian hari ketika sudah berhasil melunasi cicilan mobil Tesla. Namun jangan kita abai pada mereka yang luluh lantak akibat utang. Tak sedikit yang menganggap utang sebagai bagian dari hidup untuk dijalani hingga akhir hayat, sebab mereka percaya pengorbanan mutlak diperlukan dalam perjuangan mencapai cita-cita. Sebaiknya kita berpikir panjang sebelum memutuskan untuk berutang karena ketenangan hidup Anda menjadi taruhannya. Tidak ada salahnya menerapkan hidup minimalis. Hidup sesuai kemampuan dan tidak memaksakan diri membeli rumah, mobil, perhiasan atau gawai mahal yang cicilannya tak terjangkau dompet kita. Menjadi seseorang yang tidak punya kemewahan untuk dipamerkan dan tidak punya utang. (dy)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...