Senin, 31 Desember 2018

New Rose


Nasionalisme, Alasan atau Jawaban?


“Nationalism is a betrayal of patriotism (nasionalisme adalah pengkhianatan patriotism).” Demikian ujar Presiden Macron dalam pidatonya di depan para pemimpin dunia di peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I di Paris (11/11), kira-kira satu bulan sebelum digoncang aksi Gilets Jaunes (Jas Kuning). Salah satu pemimpin yang mengernyitkan kening mendengar pidato tersebut adalah President Trump, dan kita bisa lihat fotonya di sini. Pemimpin Prancis itu juga menambahkan apa yang telah direnggut oleh nasionalisme dari setiap negara, yaitu adalah “nilai-nilai moral negara tersebut.” Pernyataan kontroversial itu sudah jelas direspon “sangat meriah” oleh para netizen di Prancis dan di sejumlah negara lainnya. Kita yang tinggal di Indonesia dan dikenal dengan masyarakat penjunjung tinggi nasionalisme pasti tidak habis pikir. Mengapa justru presiden sebuah negara yang memelopori tumbuhnya nasionalisme di Eropa melalui Revolusi Prancis menganggap nasionalisme adalah sebuah kekeliruan. 

Supaya kita bisa memahami mengapa Macron beranggapan demikian, kita sebaiknya memperluas sedikit cakrawala kepada kondisi terkini di daratan Eropa. Sejak dua tahun terakhir Benua Biru kebanjiran pengungsi dari Suriah yang saat itu sedang dilanda konflik bersenjata. Pada awalnya Angela Merkel, petinggi Uni Eropa saat itu, bermaksud baik dengan menawarkan tempat tinggal sementara untuk para pengungsi. Namun beliau melupakan fakta bahwa para pengungsi itu berasal dari daratan lain dengan kondisi budaya yang jauh berbeda. Mereka tidak biasa melihat perempuan berpakaian terbuka, akibatnya banyak terjadi kasus pemerkosaan dengan pelaku oknum pengungsi. Para pengungsi mau bekerja dengan gaji rendah demi bertahan hidup, sehingga berkuranglah lapangan kerja untuk penduduk asli sejumlah negara Eropa. Dua isu ini hanya sebagian kecil buah gesekan kultural yang dipahami masing-masing pihak pengungsi dan penduduk asli. Akan tetapi sudah cukup untuk memicu keruwetan lainnya.

Sepanjang 2017-2018, golongan sayap kanan di sejumlah negara Eropa mengalami masa kebangkitannya. Di Austria, Swedia, Denmark, Swiss, Finlandia, dan Jerman, partai sayap kanan menjadi popular seiring dengan meluasnya krisis finansial dan krisis pengungsi. Jumlah pemilih yang mencoblos partai sayap kanan meningkat lantaran adanya kekhawatiran tentang menghilangnya identitas nasional dan kebiasaan para pengungsi yang dianggap tidak sejalan dengan nilai yang sudah dianut masyarakat Eropa selama ribuan tahun. Bila di masa lalu nasionalisme menjadi motivasi melawan penindasan, di jaman now nasionalisme menjadi dalih untuk bertahan dari “gempuran” para pengungsi. Pergeseran makna nasionalisme di sejumlah negara inilah yang membuat Macron cemas, dan mungkin bertanya-tanya mengapa sebuah kaum yang dikenal sebagai salah satu pilar ekonomi dunia menjadi paranoid terhadap kaum papa?

Dari dalam ke luar

Pada coretan kali ini akan dipaparkan sekelumit perjalanan nasionalisme sebagai sebuah ideologi pada tingkatan internasional maupun lokal, mulai sejak awal paham ini menjadi hits sampai bagaimana wujud transformasinya di masa kekinian. Sering kita mendengar nasionalisme disebut-sebut untuk memoles visi misi sejumlah golongan, dan menjadi penggerak untuk melakukan perubahan. Apakah Anda termasuk salah satu yang bertanya-tanya, akankah nasionalisme berhasil mengarahkan langkah sebuah bangsa mencapai cita-citanya? 

Kalah dalam perang atau kehilangan wilayah kekuasaan adalah dua faktor utama yang berkecamuk dalam batin sebuah bangsa dan menjadi bahan bakar untuk menggerakkan nasionalisme. Itulah situasi yang terjadi di Prancis setelah kalah perang melawan Jerman di tahun 1871. Menderita kekalahan setelah mempertaruhkan segalanya adalah sangat pedih bukan? Apalagi melihat apa yang dulu menjadi milik kita sudah diambil orang lain. Kepedihan sering kali menjadi sumber inspirasi ide-ide besar. Inilah yang mengilhami sejumlah tokoh Prancis saat itu menginisiasi gerakan Revanchism, atau balas dendam-isme, dengan tujuan membalas dendam atas kekalahan Prancis dan merebut kembali wilayah yang jatuh ke tangan Jerman. Gerakan ini mendapat kekuatannya dari pemikiran patriotik yang seringkali dimotivasi oleh faktor ekonomi dan geopolitik. Politik revanchism tergantung pada identifikasi sebuah bangsa dengan negara bangsa (nation state) dan memobilisasi sentimen keakaran nasionalisme etnis untuk mengembalikan keutuhan bangsa dalam hal wilayah berdasarkan dinamika historis. Berhasilkah paham ini menggerakkan masyarakat Prancis di era itu menduduki kembali wilayahnya?

Setelah melalui jalan panjang berliku, tekad membalas dendam itu pun tuntas meski butuh waktu sekitar 47 tahun kemudian. Kedua negara itu terbawa oleh arus nasib yang mempertemukan mereka kembali di arena Perang Dunia I, ketika Eropa terpecah menjadi dua blok besar, yaitu Triple Entente (Prancis, Rusia, Inggris) vs Triple Alliance (Jerman, Austria-Hungaria, Italia). Tak jauh beda dengan pencapaian Die Mannschaft (sebutan untuk timnas sepak bola Jerman) di Piala Dunia 2018, pada Perang Dunia I Jerman berada di pihak yang menderita kekalahan. Angkatan bersenjata Jerman dilucuti dan dikurangi, ribuan penduduknya mati kelaparan karena ketergantungan pada impor bahan makanan dari AS dan Inggris. Selain mengalami pengurangan wilayah sampai 13%, negara ini dan negara-negara lain yang kalah perang  harus membayar kerugian materiil akibat perang pada komite negara-negara pemenang. Kenyataan ini membuat seorang mantan prajurit bernama Adolf Hitler merasa negaranya bagaikan ditikam dari belakang. Ketika dipenjara akibat upayanya melawan pemerintah, ia menulis “Mein Kampf” yang intinya adalah ide mengembalikan kejayaan Jerman sebagai sebuah bangsa dengan menciptakan negara dengan ras tunggal. Kisah selanjutnya, kita sudah sama-sama tahu bagaimana dahsyatnya Holocaust dan agresi militer di bawah komandonya. Kepahitan akibat keterpurukan ternyata bisa juga mengubah manusia menjadi monster.  

Di jaman now, contoh paling gres tentang sinergi harmonis revanchisme dan nasionalisme adalah perang dagang antara Tiongkok vs Amerika Serikat. Produk buatan Tiongkok sudah terkenal karena harganya terjangkau. Menurut AS, produk Tiongkok tidak orisinil karena cenderung menjiplak merek-merek terkenal. Namun, apapun kualitas barangnya konsumen cenderung memilih barang yang lebih murah bukan? Hal ini membuat barang produksi AS kalah bersaing di dunia internasional, bahkan juga di negaranya sendiri. Selain itu, kenyataan sebagian besar merek ternama AS cenderung membuka pabrik di Tiongkok membuat pemerintah AS geram, karena lapangan pekerjaan di dalam negeri jadi berkurang. Sebagai tindakan balas dendam terhadap kenyataan itu, AS menaikkan tarif terhadap sejumlah barang yang diimpor dari Tiongkok (dan dari negara-negara lainnya), dan dibalas Tiongkok dengan menaikkan tarif barang impor produk AS yang masuk ke pihaknya. Baik AS maupun Tiongkok sama-sama berdalih membela harga diri bangsa masing-masing dalam konflik tanpa senjata ini. Meski kesepakatan “gencatan senjata” perang dagang telah ditandatangani kedua belah pihak, ketegangan masih terus berlangsung. Asal tahu saja, seiring dengan perkembangan jaman, nasionalisme bukan lagi melulu soal mengusir penjajah atau membela kedaulatan negara. Persaingan memperebutkan pasar atau konsumen saat ini cenderung menjadi pendorong tindakan heroik yang mengatasnamakan nasionalisme.

Dari luar ke dalam

Makhluk hidup mana pun bisa bertahan hidup bukan hanya karena kekuatan dan potensinya, namun juga karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang terus berubah. Pada awalnya mungkin akan ada penolakan untuk keluar dari kenyamanan situasi sebelumnya. Akan tetapi makhluk hidup hanya bertahan hidup bukanlah satu-satunya cara melanjutkan hidup, itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Demikian halnya dengan nasionalisme. Selain adanya dorongan massal di dalam batin sebuah bangsa, hal lain yang menggerakkan nasionalisme adalah adanya faktor-faktor luar yang eksis di sekeliling mereka.

Krimea adalah sebuah semenanjung di pesisir utara Laut Hitam di Eropa Timur, berbatasan dengan Ukraina, Rusia, Rumania dan Turki. Posisi geografisnya yang strategis membuat wilayah ini jadi rebutan bangsa-bangsa lain sejak masa Abad Pertengahan. Meski dianugerahi pemandangan alam laut yang memanjakan mata, sejarah semenanjung Krimea relatif kompleks. Di tahun 1954, Rusia yang saat itu bernama Uni Soviet ‘menghadiahkan’ Semenanjung Crimea kepada Republik Ukraina, berdasarkan pertimbangan bahwa kedua wilayah memiliki kesamaan kultural dan pertalian ekonomi. Mungkinkah dekrit ini dilatarbelakangi dengan adanya kesamaan ideologi antara Uni Soviet dan Ukraina pada saat itu? Yang jelas, dekrit ini ‘mengkhianati’ kesepakatan sebelumnya, yaitu Treaty of Paris 1856. Dalam Treaty of Paris yang menandai berakhirnya Perang Krimea antara Kekaisaran Rusia dan persekutuan Kekaisaran Utsmaniyah, Britania Raya, Kekaisaran Perancis Kedua, dan Kerajaan Sardinia, disebutkan bahwa persekutuan harus angkat kaki dari sejumlah kota pelabuhan Krimea dan mengembalikannya pada Kekaisaran Rusia. Kurun waktu mulai dari tahun 1856 sampai 1954 adalah cukup lama bagi warga Krimea untuk terbiasa dengan identitas sebagai bagian dari Rusia. Maka bisa dipahami apabila dalam referendum 2014 yang mewajibkan warga Krimea memilih untuk bergabung dengan Ukraina atau Rusia, mereka memilih Rusia. Hasil referendum itu merefleksikan aspirasi warga Krimea yang dipicu kesadaran untuk kembali ke asal, setelah hampir satu abad terpisah dari akar sejarahnya.  

Kembali ke akar sejarah, menurut sebagian orang, adalah salah satu cara terbaik untuk membangkitkan kembali nasionalisme sebagai pandangan hidup sebuah bangsa. Alasannya, melalui sejarah kita bisa mengetahui apa yang mendasari kehendak sebuah bangsa untuk mendirikan negara dengan segala kompleksitasnya. Masalahnya, sentimen kembali ke akar sejarah kadang hanya terbatas sebagai romantisme, bagaikan nostalgia jaman SMA yang hanya bisa dikenang sambil ngopi bersama teman-teman dan tak pernah bisa terulang kembali. Apakah cukup mengenang kejayaan bangsa dengan kembali mengenakan busana adat, misalnya? Kisah bangsa kita menjadi sedikit lebih rumit, karena nasionalisme kita yang dibangun oleh para nenek moyang di atas keberagaman dalam segala hal sangat rentan menjadi pupus dan pudar bukan karena pengaruh luar, melainkan karena penafsiran yang keliru mengenai nasionalisme itu sendiri.  

Adalah wajar jika kita bercita-cita menjadi bangsa yang tidak dipandang sebelah mata dalam pergaulan internasional. Bagaimana bisa kita menjadi bangsa bergengsi, bila terlalu silau pada gemerlap budaya luar, atau sebaliknya, memandang negatif pada segala hal yang datang dari luar bangsa kita. Lalu harus gimana dong? Untuk mencapai cita-cita itu diperlukan proses, bukan hanya proses untuk memoles diri agar tampil bergengsi. Namun juga proses memoles mindset di dalam diri agar siap untuk menjadi bergengsi. (swastantika).

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...