Kamis, 04 Desember 2014

MADHAV'S TREE


ANAK MUDA, HARUSKAH BERBAHAYA?

Sekitar tahun 2009-2011 saya mendapat pekerjaan pertama sebagai seorang operator di sebuah warnet yang letaknya hanya sekitar beberapa kilometer saja dari rumah orang tua saya tempat saya menumpang hidup beberapa tahun terakhir ini. Saya yang waktu itu hampir buta sama sekali dengan yang namanya komputer dan internet terpaksa harus belajar segalanya dari nol, meski pekerjaan itu dipandang mudah oleh sebagian orang.

Bayangkan saja, waktu itu saya tak tahu apa itu memory card, termasuk cara menggunakan card reader. Singkat kata, sangat gaptek dan malu-maluin! Dalam saat-saat genting biasanya seorang operator lain yang sudah senior (dan sekarang menjadi sahabat saya) akan memberikan instruksinya. Tapi, dia pun punya kehidupan sendiri dan menghabiskan waktu selama 12 jam lebih di depan komputer mungkin hanya sanggup dilakukan para gamer.

Pada suatu hari, sang operator senior tak ada di tempat karena suatu urusan. Dan tinggalah saya di sana sendiri bersama para user pelanggan saya. Mendadak sinyal internet terputus dan muncul tulisan connection lost di layar. Beberapa user menggerutu dan mendatangi meja saya. Sebagai seseorang yang saat itu sangat gaptek terhadap teknologi, tentu saja saya panic dibuatnya.

Jangankan memikirkan solusi mengatasi sinyal yang putus itu, saya aja sama sekali tak tahu apa harus saya katakan pada para pelanggan yang marah-marah karena aktivitas ngegame mereka terganggu. Dan wajah saya waktu itu mungkin mirip sekali dengan seseorang yang habis menguntal leksotan sebanyak 20 butir sekaligus!

Di saat seperti itu, orang cenderung memimpikan datangnya dewa penyelamat. Dan tahukah Anda, bahwa sang dewa yang menyelamatkan saya itu ternyata bukan Mahadewa yang berambut gondrong dan berkalung ular, atau Basudewa yang berkulit biru bersenjata cakra. Melainkan seorang anak ABG berseragam putih abu-abu, berkulit hitam dan tinggi kurus, yang tiba-tiba datang ke meja saya dan bilang agar saya mencoba mematikan modem dan router selama lima menit lalu menyalakannya kembali. 

Saya, bagaikan seekor kerbau yang dicocok hidungnya, menuruti saja saran anak muda itu. Dan apa yang terjadi, Saudara-saudara? Sinyal internet yang hilang itu pun kembali pulang! Dan para pelanggan tidak jadi melontarkan gerutuan mereka pada saya, kembali duduk manis di depan layar masing-masing dan memainkan Point Blank (sebuah game online yang saat itu lagi populer).

Abimanyu, Si Bonek Yang Ganteng

Pasti Anda akan sepakat jika saya mengatakan, masa remaja adalah masa yang paling indah. Meski indah, sayangnya masa ini tak akan terulang kembali dan tak seorang pun di dunia ini akan mengalami masa remaja untuk kedua kalinya. Jika para remaja di Amerika merayakan ulang tahun ke-18 mereka dengan gembira karena boleh memiliki SIM dan berkendara bebas di jalan raya, para remaja Indonesia merayakan ulang tahun ke-14 atau ke-15 mereka dengan nekat berkendara di jalan raya tanpa SIM dan kendaraan bermotor milik orang tuanya. Kalau perlu tanpa memakai helm atau sabuk pengaman, karena semakin melanggar peraturan akan semakin terbuktilah pada dunia bahwa mereka adalah anak muda yang pemberani.

Bahkan jika di masa dewasa mereka telah kehilangan ‘keberanian’nya, paling tidak para ABG tua ini masih dapat mengenang kisah di masa lalu, ketika ia masih seorang anak muda berbahaya mencari  pengakuan sebagai pemberani dari teman-temannya berdasarkan jumlah peraturan yang telah ia langgar.

Ya, Bapak dan Ibu, si Kecil kini sudah tak kecil lagi, bahkan tinggi tubuhnya pun telah melampaui tubuh kita, sehingga kita harus mendongak ketika hendak memarahinya. Mungkin Anda sekarang sedang merasa kecewa karena seiring bertambahnya usia, semakin jauh pula si buah hati yang Anda besarkan dengan susah payah ini dari orang tuanya. Namun, bukankah kebanggaan orang tua terletak pada seorang anak yang mampu hidup tanpa bantuan orang tuanya? 

Si Kecil Anda bukannya tak lagi menyayangi orang tuanya, melainkan sedang terlalu sibuk memikirkan cara terbaik untuk mendapatkan pengakuan tentang eksistensinya, baik dari teman-teman maupun orang tuanya. Motif demi mendapatkan pengakuan dari teman-teman mungkin akan lebih mendominasi tujuan hidup para remaja, dan ini biasanya berkaitan erat dengan seseorang yang berlawanan jenis daripada dirinya. 

Maka dari itu berbahagialah para remaja yang memiliki segudang keahlian, baik menyanyi, bermusik, menggambar atau berolah raga, karena mereka dapat menggunakan keahlian itu untuk mendapatkan simpati dari orang-orang di sekelilingnya dengan cara-cara unik, namun masuk akal dan juga terhormat.

Like father, like son. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keahlian memanah Abimanyu jika dibandingkan dengan kemampuan Arjuna, ayahnya. Dalam usianya yang ke-16 tahun Abimanyu tidak berperang melawan musuh di arena Lost Saga (sejenis nama game online), melainkan adalah seorang pemuda penganut subkultur bonek (bondo/modal nekat) yang berjuang sendirian memecahkan formasi Chakravyuha untuk menghindarkan bala tentara Pandawa dari kekalahan. 

Pamannya, Yudistira, memohon agar Abimanyu tidak menyerang demi keselamatan dirinya sendiri. Akan tetapi, darah Abimanyu adalah darah muda. Sedangkan darah muda adalah darahnya para remaja, yang selalu merasa gagah dan tak pernah mau mengalah. Upaya perlindungan dari Yudistira dan ketiga pamannya yang lain malah membuatnya berontak dan makin panas hati untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia bukan anak kecil lagi, bahwa ia memiliki kemampuan yang sama seperti ayahnya, Arjuna yang saat itu sedang berperang di arena pertempuran lain berjarak berkilo-kilo meter dari Kuruksetra. 

Ksatria macam apa yang berani mengeroyok seorang anak remaja secara bersama-sama? (Ya, paling tidak pertanyaan ini mudah-mudahan akan timbul dalam benak setiap pria sebelum mereka mengeroyok seorang pencuri jemuran yang tertangkap basah secara massal). Abimanyu pun menerjang pasukan musuh dengan semangat 45 setelah Paman Yudistira mengijinkannya dengan berat hati.

Saat ke-6 orang ksatria Kurawa senior mengepung dan menyerangnya dengan hujan anak panah, ia pun sadar bahwa ia tak akan menang berperang melawan mereka. Namun demi menjaga nama baik ayahnya dan demi mendapatkan pengakuan terhadap kemampuan dan keberaniannya, ia tak mau menjerit kesakitan meski tubuhnya telah remuk redam oleh gada Duryudana dan menyunggingkan senyum di wajahnya yang ganteng saat menemui ajal.

Kisah kepahlawanan seorang anak remaja bernama Abimanyu ini pasti membuat para ibu meneteskan air mata. Karena bagi para ibu, kehilangan seorang anak-bahkan yang belum sempat dilahirkan karena keguguran sekalipun adalah lebih buruk daripada kehilangan suami atau anggota keluarga lainnya. 

Andaikan Abimanyu hidup di masa sekarang, lebih baik ia jadi anak punk yang bisa cari duit sendiri dengan berjualan sayur di pasar. Ia bisa menunjukkan eksistensinya sebagai anak muda yang berbahaya, yang tahan terhadap rasa sakit dengan membuat tato Circle A atau tato lainnya di sekujur tubuh, dan dapat membuat Ayah Bundanya  merasa senang plus bangga karena Abimanyu tak lagi merepotkan mereka.

Mereka pasti senang melihat si Kecilnya mampu menjalani hari dengan optimisme dan pengetahuan-pengetahuan baru. Mereka juga dapat menjalani masa tuanya dengan tenang tanpa didera kekhawatiran putra kesayangan tak sedang pergi berperang, atau melakukan suatu hal yang akan menjerumuskan diri sendiri dalam bahaya. Yah ,, itulah solusi yang mendamaikan hati, setidaknya jika dilihat dari sudut pandang sebagai orang tua. 

Tapi, Bapak dan Ibu, y
ou are the bows from which your children as living arrows are sent forth, kau adalah busur Gandiwa dari anak-anakmu, anak-anak panah hidup yang diberikan kepadamu, begitulah wejang Kahlil Gibran. Gandiwa dapat mengarahkan panah Pashupatastra ke mana saja, namun Pashupatastra bisa jadi punya pendapat lain dan mencari kata hatinya sendiri. Jikalau panah Pashupatastra mengalami kegagalan yang di luar dugaan, apakah hal itu akan membuat Gandiwa kehilangan kemampuannya sebagai jiwa yang stabil dan pemberi yang tak mengharapkan imbalan? 


Tak Ada Cermin Yang Tak Retak

Yah memang benar bahwa kita bukanlah manusia yang tanpa dosa dan bersih dari kesalahan. Ada saat-saat di mana sesosok individu tersesat, karena nekat berjalan tanpa kompas dan peta. Bagi manusia semacam ini, keberuntungannya bukan terletak pada harta karun berlimpah, tapi pada seorang teman atau seseorang yang sedang nongkrong di lampu merah untuk ditanyai tentang arah jalan yang benar agar kita tak tersesat lagi buat yang kesekian kalinya.

Mungkin tak semua orang beruntung dapat hidup bersama dengan teman-teman seperjuangan yang dapat ditemuinya kapan dan dimana saja sesuka hatinya. Mungkin ada beberapa perantau yang sudah puas bertemu dengan kawan lama, meski hanya di dalam dunia maya. Buat orang-orang semacam ini, mereka tak perlu khawatir akan tak punya tempat untuk bertanya jika suatu hari mereka kembali tersesat.

Pandangilah wajah anak-anak (baik anak Anda atau anak tetangga) ketika Anda memikirkan sebuah pertanyaan yang tak seorangpun bisa menjawabnya. Jiwa anak yang polos dan belum berdosa akan merefleksikan segalanya pada Anda, tentang kasih sayang, pengetahuan, komitmen, dedikasi dan bahkan seluruh dunia. Sekalipun ia bukan anak kandung Anda, Anda akan dapat menemukan diri sendiri di dalam dirinya ketika Anda mengajaknya bicara, berjalan-jalan atau menggambar atau main sepak bola.

Demikian pula suatu bangsa yang tak kunjung berhasil menemukan jati dirinya akan mendapatkan pencerahan mengenai penyebab segala kemalangan nasional atau ketidakberuntungan berjamaah dalam diri anak-anak yang sedang dibesarkan di Tanah ini.

Misalnya, seorang anak manja adalah cerminan karakter seorang manusia dewasa dengan kehidupan berkecukupan berkat alam yang kaya dan subur, malas bekerja dan bersusah payah karena merasa telah memiliki segalanya. Atau seorang anak yang suka buang sampah sembarangan akan membuat orang lain merasa repot karena harus membersihkan sampah yang ia tinggalkan. Dan seorang anak yang suka mengadu adalah refleksi dari manusia tanpa rasa berani untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Maka dari itu, adalah sebuah ketidakadilan besar jika suatu bangsa sudah membebankan tanggung jawab mengangkat harkat dan martabat bangsa itu sendiri di pundak anak-anak muda, baik yang telah lahir, sedang akan lahir, ataupun yang belum dilahirkan. Mereka tidak terlibat dalam ikhwal yang menyebabkan keterpurukan itu, lalu mengapa musti meminta mereka turun tangan untuk menyelesaikannya?

Sadarkah kita bahwa usia yang panjang dipandang sebagai azab oleh sebagian kecil manusia lanjut usia, karena mereka dipaksa melihat akibat perbuatan di masa lalu dan didera rasa penyesalan berkepanjangan? Saya yakin, di antara kita semua tak ada yang ingin menjalani masa tua dengan penuh duka cita. Daripada mengharapkan anak-anak kita mendatangkan kebahagiaan itu kepada kita, lebih baik kita kelola saja diri dan situasi terkini kita ini baik-baik, agar di masa depan kita bisa menuai buah kebaikan yang pernah kita tanam, tanpa harus dimusuhi anak muda yang bercita-cita menjadi Singha, si maharaja hutan yang selalu berbahaya, baik di usia muda maupun tua.



Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...