Minggu, 25 Februari 2024

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. Menarik ucapan, atau bahkan menyangkal ucapannya sendiri kian menjadi kelaziman, seakan-akan ini satu-satunya cara praktis mencapai tujuan.

Sampai sekitar dua atau tiga tahun lalu, peradaban modern masih bisa membanggakan diri prinsip, nilai-nilai, kehormatan, harga diri, reputasi ... segala hal yang kita banggakan dan jaga baik-baik demi membentuk citra diri yang sesuai harapan dan norma-norma masyarakat. Kini tidak lagi.

Menolak uang mudah adalah salah satu bentuk self-respect.

Politik “jual diri”

Katakanlah kita pebisnis yang ingin sukses di bidang kita, langkah pertama kita adalah melakukan riset tentang kebutuhan khalayak, lalu menciptakan produk yang sesuai. Selanjutnya kita menciptakan merek, nama, identitas, dan nilai produk yang sejalan dengan apa yang berlaku di masyarakat.

Mengingat khalayak adalah konsumen kita, pemasar yang baik tidak akan mengabaikan mereka dalam setiap langkahnya. Guna merebut hati calon konsumen, sebuah merek sebaiknya membangun komunikasi pemasaran yang persuasive dan kepedulian mendalam pada mereka.

Sikap kita menyikapi persaingan yang semakin ketat juga merupakan cerminan dari seberapa tingginya kepercayaan diri sebuah merek.

Mengikuti tren memang bisa meningkatkan nilai jual sebuah merek dalam jangka pendek dan dalam waktu singkat. Namun, terlalu sering berubah sesuai tren menunjukkan ketidakpercayaan diri merek terhadap citra diri yang sudah dibangunnya sejak awal.

Dan, bagaimana kita akan sukses meyakinkan orang lain kalau kita tidak yakin dengan diri sendiri?

Politik “jual diri” atau pencitraan banyak diterapkan para pemimpin dan tokoh dari berbagai belahan dunia sebagai cara menumbuhkan rasa hormat publik, yang selanjutnya (diharapkan) diikuti dengan kepatuhan masyarakat pada mereka.

Masyarakat pun juga dapat menerimanya, sepanjang para pemimpin dan tokoh tersebut menunjukkan tindak-tanduk sesuai citra diri yang mereka presentasikan. Jangankan patuh, rasa hormat rakyat jelata pada pemimpinnya akan hilang bila sang pemimpin tidak mampu menghormati dirinya sendiri.

Sedihnya, pemimpin dan tokoh semacam ini tidak sedikit jumlahnya.

Self-respect vs profit

Menurut pakar kesehatan mental, menghormati diri sendiri (self-respect) penting guna mendukung ketahanan psikis seseorang menghadapi tantangan, membangun kebahagiaan, meraih sukses tanpa rasa kehilangan harga diri.

Self-respect adalah satu hal yang menjaga kita dari tergoda melibatkan diri dalam segala sesuatu yang pada akhirnya kita sesali di belakang hari. Dialah penjaga keamanan tak terlihat yang selalu bersama kita hingga hembusan nafas terakhir.

Namun, sering kali orang mengabaikan self-respect demi keuntungan materi dalam jangka pendek tanpa bijak mempertimbangkan dampaknya di belakang hari.

Seorang aktivis pergerakan yang mendadak berubah sikap setelah menduduki jabatan penting di pemerintahan, seorang tokoh oposisi yang bertahun-tahun getol anti pemerintah mendadak menjilat ludahnya sendiri .. Saya yakin Anda bisa membayangkan siapa mereka.

Dampak pandangan jangka pendek

Bekerja keras mencari uang adalah hak tiap manusia, siapa pun tak bisa menghakimi seseorang tentang cara yang ia tempuh untuk memenuhi kebutuhan. Kecuali bila ia melanggar hukum dan peraturan yang berlaku, tentu saja.

Akan tetapi, inflasi, sempitnya lapangan kerja, jatuhnya nilai tukar mata uang nasional, adalah beberapa di antara faktor ekonomi yang mendorong seorang individu condong pada cara termudah memperoleh penghasilan. Ngapain jalan kaki kalo bisa naik motor ke tujuan, bukan begitu?

Adalah naif jika saya meyakinkan Anda tidak ada dampak dari menanggalkan prinsip demi keuntungan materi, meski di sisi lain saya dan Anda sama-sama tahu kita berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga (bila sudah berkeluarga). Pun, tidak ada undang-undang yang melarang kita untuk menanggalkan prinsip lama dan beralih ke prinsip baru yang lebih praktis dan menguntungkan.

Apakah ukuran “asal tidak salah” sudah cukup untuk menjamin langkah ke depan yang tanpa masalah? Apakah tiadanya masalah sudah cukup sebagai pernyataan bahwa proses yang kita tempuh sudah benar menurut nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran budi, norma-norma sosial?

Saya tidak yakin pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul dalam benak siapa pun yang mengutamakan keuntungan jangka pendek. 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...