Selasa, 31 Juli 2012

NERAKA DUNIA ?


TIDAK SENDIRIAN


            Memiliki anak autisme, menyandang cacat fisik, dan berkebutuhan khusus lainnya dikatakan sebagai ‘ berkah ‘ tersendiri bagi orang tuanya. Yah, merawat mereka memang membutuhkan perhatian, tenaga, kesabaran serta biaya ekstra,, dikarenakan kekhususan yang mereka miliki tidak bisa disamakan dengan pola pengasuhan terhadap anak normal lainnya. Saya dapat berkata demikian, karena secara kebetulan Sang Maha Hidup telah menganugerahkan 1 anak dengan ADHD  (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) ke tengah keluarga kami, sekitar 12 tahun yang lalu.
             Keresahan saat membesarkan anak-anak berkebutuhan khusus bukan terletak pada materi, melainkan pada sejauh manakah kita dapat menjadi orang tua yang memahami perasaan atau keinginan mereka. Anugrah yang mereka miliki telah membatasi kemampuannya  untuk berperilaku secara normal, serta mengekspresikan isi hatinya dengan cara yang normal pula. Seandainya dengan bahasa verbal yang paling sederhanapun tidak sanggup mewakili kegelisahannya, haruskan kita menjadi paranormal untuk dapat membaca isi hatinya ?
           
Menguras Tenaga
            Sudah semenjak jabang bayi kita dibiasakan untuk menomorsatukan bahasa verbal dalam pergaulan sehari-hari. Kita memperoleh pendidikan juga dari penggunaan bahasa verbal. Era keemasan dunia hiburan elektronik pun dimulai ketika teknologi awal 1930an berhasil memadupadankan antara gambar bergerak dengan dialog para penampilnya ( untuk diketahui, era tersebut sekaligus menandai berakhirnya kejayaan film bisu, yang hanya menampilkan gambar bergerak dan menjual kemampuan para aktor dan aktris dalam berakting tanpa mengucapkan sepatah katapun  ). Namun, justru ada beberapa kalangan mengais rezeki dan bermata pencaharian dari ketrampilannya menjual kata-kata, seperti salesman/girl, pedagang, humas/juru bicara, penyiar, reporter, dan tentu saja, politikus.
            Meski demikian, lidah itu tidak bertulang, Saudara-saudari, dan kita tidak bisa memastikan kapan tepatnya tiba-tiba lidah tergelincir di tengah perjalanan, kemudian mengucapkan kata-kata yang salah, di hadapan orang-orang yang salah pula.
Masih ingat kah Anda mengenai fenomena seorang pejabat X, yang hampir selalu menjadi headline atas interpretasi yang salah mengenai kata-kata yang diucapkannya. Maksud mencairkan suasana dengan bersenda gurau pun menjadi sumpah serapah, saat beliau pernah dengan sengaja mengatakan ‘ kalau takut ombak jangan tinggal di pantai ‘, beberapa saat setelah terjadinya bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, 2010 silam.
            Jadi, apakah kemampuan  berpikir secara cepat para manusia kadang-kadang ikutan keseleo, dan menjadi berbanding terbalik dengan kemampuan berbicara secara cepatnya ?  Ataukah tiba-tiba mereka merasa lemas dan kehabisan energi karena terlampau banyak menghabiskan waktu untuk berbicara, baik di depan cermin, penggemar, maupun via Skype, sehingga tidak luput dari kesalahan berucap?  Namun, apa daya, kesalahan itu harus diterima dan dimaklumi, untuk kemudian dimaafkan dan saling memaafkannya di hari raya Lebaran.
Alih-alih meminimalisir jumlah kesalahan sekecil mungkin, ada sebagian golongan yang lantas mengobral ‘kesalahan’ dalam berkata-kata, sama banyak dengan kata maaf yang akan diobralnya di kemudian hari. Buat apa berhati-hati dalam berkata, jika di kemudian hari warga masyarakat akan memaafkannya, ikhlas tidak ikhlas itu urusan belakang.  Toh,  berbicara kan tidak terlalu menghabiskan banyak energi jika dibandingkan dengan berlarian mengejar bola, berlari mengejar layangan, maupun berlari mengejar bus kota to ?

Telinganya Jangan Sombong   
            Seorang bocah laki-laki berusia 8 tahun, Cole Sear, mengaku bisa melihat hantu dan mereka mengunjunginya setiap saat dengan berbagai bentuk yang menyeramkan, sesuai dengan kondisi terakhir mereka menjelang ajalnya. Ibunya, Lynn Sear, khawatir anaknya mengidap gangguan psikologis, dikarenakan kesepian serta bullying yang dialaminya di sekolah. Kemudian mereka menemui seorang psikolog anak, Dr. Malcolm Crowe, yang setengah percaya setengah tidak akan ‘kemampuan’ Cole tersebut. Dengan bijak, Crowe pun akhirnya menyarankan agar Cole menanyai para hantu mengenai maksud dan tujuan mereka mendatangi dia, yakni dengan berkomunikasi melalui pikirannya.
            Tentu saja semua itu hanya terjadi di The Sixth Sense, sebuah film horror psikologi karya M. Night Shymalan, yang dirilis September 1999 lalu. Jadul ? Tapi hantu ternyata tidak sejadul yang kita bayangkan lho. Selain berhasil eksis melalui beberapa film hantu ‘hot’ (dan sesudah itu ‘kramas’ tentunya), mereka juga nongol di sejumlah video dan foto, versi You Tube. Sosok mereka yang unik, sekonyong-konyong dan nyentrik begitu mudah membuat kita ternganga, sehingga pun melupakan  sebab musabab mereka sampai begitu nekat menampangkan sosok yang tidak bisa dibilang rupawan itu ke hadapan kita. Benarkah penampakan hantu dan beberapa makhluk halus lainnya, dikarenakan adanya urusan yang belum selesai di dunia badan kasarnya ?
            Lalu, apakah hanya dengan kata-kata Anda akan mampu memahami orang-orang itu ? Bagaimana seandainya takdir membawa Anda ke tengah kaum yang tidak menggunakan bahasa verbal untuk berkomunikasi, misalnya saja Anda tiba-tiba berkemampuan linuwih seperti Cole Sear, dan harus meladeni penampakan makhluk halus secara silih berganti ? Kabur ?
Sepakat atau tidak sepakat, tetap ada satu pelajaran positif dari sekelumit ulasan di atas. Yakni, ternyata segala jenis makhluk butuh untuk dipahami oleh sesamanya (maupun oleh makhluk yang bukan berasal dari spesies yang sama dengannya). Beda dengan aktifitas berbicara yang membutuhkan sejumlah besar energi, keberanian, dan ketrampilan mengolah kata secara lisan, untuk memahami orang lain Anda bisa jadi tidak perlu mengeluarkan tenaga sama sekali, namun menuntut sejumlah besar pengorbanan, yakni menyediakan telinga dan waktu bagi ‘sampah’ dari orang-orang di sekitar Anda.( Bukan berarti Anda harus menjadi cleaning service, meskipun itu adalah salah satu pekerjaan termulia dewasa ini lho).

Konon, pada HUTnya yang  ke 100 Liverpool Football Club, alias Liverpool, melakukan perubahan pada lambang klub, dengan menambahkan   tulisan 'You'll Never Walk Alone' di atas tameng 'Liver Bird' , yang ditujukan untuk mengingat jasa manajer Bill Shankly yang telah menjadi pondasi kokoh bagi Liverpool FC.  Meskipun prestasi The Reds (panggilan kesayangan Liverpool) termasuk jeblok pada musim lalu, mudah-mudahan itu cukup untuk sekedar mengingatkan bahwa saya, Anda dan kita tidak akan dan tidak pernah sendirian, dalam segala cuaca panas, hujan, maupun pancaroba.
Didengarkan orang memang akan membanggakan bagi harga diri. Bagaimana dengan mendengarkan, apakah itu juga berharga bagi Anda ?

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...