Minggu, 30 Juli 2023

Ilusi Kesempurnaan

Sempurna itu indah, lebih unggul dari lainnya. Merasa memiliki kesempurnaan adalah apa yang dibutuhkan mayoritas orang untuk bangga dan puas dengan hidup mereka agar terhindar jadi bahan olokan di muka umum. Entah itu kesempurnaan yang datang dari hasil kerja keras mereka, atau didapatkan sebagai warisan.

Mereka yang berhasil mengeklaim kesempurnaan setelah melalui jatuh bangun dalam usaha mereka akan cenderung menjaga “prestasi” ini baik-baik agar tidak lepas begitu saja, karena mempertahankan sesuatu lebih sulit daripada meraihnya.

Ketika Perang Ukraina meletus 24 Februari 2022, negara-negara yang enggan memilih kubu menyatakan diri sebagai pihak netral. Beberapa dari mereka menunjukkan itikad baik sebagai mediator, entah karena sangat terganggu konflik Eropa Timur itu atau memang berniat jadi penengah; sikap yang menurut beberapa kultur dan ajaran agama sebaiknya dikedepankan ketika kita terjebak di tengah kemelut perseteruan. Salah satu di antara kelompok netral ini adalah Turki.

Selain mengajukan diri sebagai mediator antara pihak Rusia dan Ukraina, pada Juni 2022 Turki bersedia mefasilitasi ekspor biji-bijian Ukraina dan Rusia ke negara-negara yang membutuhkan.

Turki juga menampung lima orang tahanan perang dari pihak Ukraina dari Batalyon Azov setelah kekalahan dari pasukan Rusia dalam pertempuran panjang di pabrik baja Azovstal 2022 lalu melalui perjanjian resmi antar pemerintah Turki-Rusia.

Entah mengapa Turki sekonyong-konyong mengubah sikap. Presiden Recep Erdogan mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky secara pribadi untuk berkunjung ke negaranya dan membawa pulang lima tahanan perang yang seharusnya tidak menghirup udara bebas sampai operasi militer Rusia di Ukraina berakhir. Pihak Rusia, tentu saja, menyesalkan pelanggaran kesepakatan yang dilakukan Turki di awal musim panas 2023.

“Iman”

Iman (faith) adalah kesediaan untuk percaya dengan penuh keyakinan tanpa keraguan dan penolakan terhadap sesuatu (atau seseorang) yang pada gilirannya memengaruhi falsafah, pandangan hidup, tingkah laku, sikap, dan perbuatan sehari-hari. Iman bukan hanya menyangkut-paut dunia rohani atau sebagai pernyataan keadaan religiusitas seseorang, meskipun istilah ini nyaris jarang meninggalkan dua wilayah itu.

Menurut riwayatnya, faith (iman) dikenal sejak abad 13 sebagai sebuah kata yang bermakna “keyakinan pada kepercayaan atau janji; kesetiaan pada seseorang.” Kata ini merupakan bentukan dari kata Prancis Kuno feid yang berarti “kepercayaan, percaya, keyakinan, ikrar” dari sebuah kata Latin fides dengan makna “percaya, iman, keyakinan, kepercayaan, kredo, anutan.”

Ada dinamika dalam makna orisinil faith selama abad 14 ketika kata ini digunakan untuk mendefinisikan persetujuan akal pikiran pada kebenaran pernyataan yang buktinya tidak lengkap, khususnya dalam hal keyakinan pada hal-hal religius. Awalnya, faith digunakan untuk merujuk referensi yang berkaitan dengan agama apapun, lebih jauh lagi, referensi tentang persuasi agama. Makna faith kembali meluas di akhir abad yang sama sebagai “keyakinan pada seseorang atau sesuatu yang merujuk pada keadaan yang sebenarnya dan dapat dipercaya.”

Karena mengejar kesempurnaan tidak selamanya baik, orang tua dan para pendahulu menasehati kita untuk lebih fokus pada menjaga kualitas kepribadian atau karakter sebagai manusia melalui laku sederhana yang tidak sundul langit. Di antaranya, dengan menepati janji.

Manusia membuat janji hampir setiap hari pada siapapun; keluarga, kolega, pasangan, atasan, penagih utang … Himpitan kesulitan hidup yang makin berat akibat berbagai hal mendorong manusia untuk buru-buru melepaskan diri dari tekanan dengan membuat janji tanpa memperhitungkan kemampuan diri untuk memenuhi janji tersebut.

Berlandaskan penjabaran asal dan makna kata faith secara luas di luar konteks agama di atas, tidak salah bila ditafsirkan bahwa seseorang murtad (apostate) saat ia melanggar janji yang telah diikrarkannya sendiri, di mana kemurtadan adalah apokalips; sebuah tonggak penanda akhir dan awal suatu fase akibat tersingkapnya sebuah kasunyatan yang menimbulkan penolakan kelompok atau kalangan tertentu. Ketika dunia ibarat runtuh bagi mereka yang kita khianati, di saat yang sama dunia mekar bersemi bagi mereka yang mendapat profit sebagai hasil pengingkaran janji tersebut.

“Tertuduh” yang setia

Memercayai sesuatu adalah bagian dari hak dasar manusia yang dilindungi hukum internasional, termasuk kebebasan untuk memutuskan berganti keyakinan atau mengalihkan kepercayaan dari satu entitas ke entitas lainnya. Peradaban manusia akan tetap ada selama Bumi masih ada, dan senantiasa mengubah diri demi bertahan untuk tetap ada.

Sama halnya keyakinan manusia bisa luntur dan pergi ke tempat lain (hijrah) ketika ia merasa dirinya tak lagi mampu bertahan untuk tetap ada akibat memegang keyakinan lamanya. Perpindahan ini diputuskan di bawah dorongan keyakinan yang timbul setelah menerima persuasi bahwa tempat baru lebih baik.

Pada cuplikan salah satu skena Perang Ukraina di atas, Turki yakin sudah bertindak benar dengan melepaskan lima tahanan perang Ukraina supaya mereka bisa kembali membela negaranya. Demi bertindak di jalan kebenaran, Turki mengkianati kepercayaan sahabatnya, Rusia, dan mengorbankan hubungan baik yang sudah berjalan puluhan tahun. Meskipun ajaran berbagai agama besar menganjurkannya, menegakkan kebenaran tidak selalu berdampak manis bagi semua pihak -- selalu akan ada yang merasa dikecewakan.

Menyadari bahwa dirinya bukan “orang baik-baik”, seseorang akan cenderung mengalihkan rasa sakit itu ke hal-hal lain yang diharapkan dapat meredakannya. Mungkin ia akan rajin beribadah atau terlibat aktivitas amal untuk membuang uang jutaan dolar demi menebus “dosa-dosanya”. Apakah semua itu akan membuat Tuhan tergerak untuk mengampuni kita? Kita tidak pernah tahu, kecuali kita meninggalkan dunia ini dan bisa kembali ke rumah untuk bercerita tentang pengalaman kita.

Oleh karena itu, mengejar kesempurnaan adalah ikhtiar yang sia-sia karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dibutuhkan kerja keras secara fisik maupun mental untuk bersedia menerima tanpa penolakan tentang kenyataan itu, sembari tetap melakukan yang terbaik sesuai bidang kita masing-masing.   

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...