Kamis, 04 Desember 2014

MADHAV'S TREE


ANAK MUDA, HARUSKAH BERBAHAYA?

Sekitar tahun 2009-2011 saya mendapat pekerjaan pertama sebagai seorang operator di sebuah warnet yang letaknya hanya sekitar beberapa kilometer saja dari rumah orang tua saya tempat saya menumpang hidup beberapa tahun terakhir ini. Saya yang waktu itu hampir buta sama sekali dengan yang namanya komputer dan internet terpaksa harus belajar segalanya dari nol, meski pekerjaan itu dipandang mudah oleh sebagian orang.

Bayangkan saja, waktu itu saya tak tahu apa itu memory card, termasuk cara menggunakan card reader. Singkat kata, sangat gaptek dan malu-maluin! Dalam saat-saat genting biasanya seorang operator lain yang sudah senior (dan sekarang menjadi sahabat saya) akan memberikan instruksinya. Tapi, dia pun punya kehidupan sendiri dan menghabiskan waktu selama 12 jam lebih di depan komputer mungkin hanya sanggup dilakukan para gamer.

Pada suatu hari, sang operator senior tak ada di tempat karena suatu urusan. Dan tinggalah saya di sana sendiri bersama para user pelanggan saya. Mendadak sinyal internet terputus dan muncul tulisan connection lost di layar. Beberapa user menggerutu dan mendatangi meja saya. Sebagai seseorang yang saat itu sangat gaptek terhadap teknologi, tentu saja saya panic dibuatnya.

Jangankan memikirkan solusi mengatasi sinyal yang putus itu, saya aja sama sekali tak tahu apa harus saya katakan pada para pelanggan yang marah-marah karena aktivitas ngegame mereka terganggu. Dan wajah saya waktu itu mungkin mirip sekali dengan seseorang yang habis menguntal leksotan sebanyak 20 butir sekaligus!

Di saat seperti itu, orang cenderung memimpikan datangnya dewa penyelamat. Dan tahukah Anda, bahwa sang dewa yang menyelamatkan saya itu ternyata bukan Mahadewa yang berambut gondrong dan berkalung ular, atau Basudewa yang berkulit biru bersenjata cakra. Melainkan seorang anak ABG berseragam putih abu-abu, berkulit hitam dan tinggi kurus, yang tiba-tiba datang ke meja saya dan bilang agar saya mencoba mematikan modem dan router selama lima menit lalu menyalakannya kembali. 

Saya, bagaikan seekor kerbau yang dicocok hidungnya, menuruti saja saran anak muda itu. Dan apa yang terjadi, Saudara-saudara? Sinyal internet yang hilang itu pun kembali pulang! Dan para pelanggan tidak jadi melontarkan gerutuan mereka pada saya, kembali duduk manis di depan layar masing-masing dan memainkan Point Blank (sebuah game online yang saat itu lagi populer).

Abimanyu, Si Bonek Yang Ganteng

Pasti Anda akan sepakat jika saya mengatakan, masa remaja adalah masa yang paling indah. Meski indah, sayangnya masa ini tak akan terulang kembali dan tak seorang pun di dunia ini akan mengalami masa remaja untuk kedua kalinya. Jika para remaja di Amerika merayakan ulang tahun ke-18 mereka dengan gembira karena boleh memiliki SIM dan berkendara bebas di jalan raya, para remaja Indonesia merayakan ulang tahun ke-14 atau ke-15 mereka dengan nekat berkendara di jalan raya tanpa SIM dan kendaraan bermotor milik orang tuanya. Kalau perlu tanpa memakai helm atau sabuk pengaman, karena semakin melanggar peraturan akan semakin terbuktilah pada dunia bahwa mereka adalah anak muda yang pemberani.

Bahkan jika di masa dewasa mereka telah kehilangan ‘keberanian’nya, paling tidak para ABG tua ini masih dapat mengenang kisah di masa lalu, ketika ia masih seorang anak muda berbahaya mencari  pengakuan sebagai pemberani dari teman-temannya berdasarkan jumlah peraturan yang telah ia langgar.

Ya, Bapak dan Ibu, si Kecil kini sudah tak kecil lagi, bahkan tinggi tubuhnya pun telah melampaui tubuh kita, sehingga kita harus mendongak ketika hendak memarahinya. Mungkin Anda sekarang sedang merasa kecewa karena seiring bertambahnya usia, semakin jauh pula si buah hati yang Anda besarkan dengan susah payah ini dari orang tuanya. Namun, bukankah kebanggaan orang tua terletak pada seorang anak yang mampu hidup tanpa bantuan orang tuanya? 

Si Kecil Anda bukannya tak lagi menyayangi orang tuanya, melainkan sedang terlalu sibuk memikirkan cara terbaik untuk mendapatkan pengakuan tentang eksistensinya, baik dari teman-teman maupun orang tuanya. Motif demi mendapatkan pengakuan dari teman-teman mungkin akan lebih mendominasi tujuan hidup para remaja, dan ini biasanya berkaitan erat dengan seseorang yang berlawanan jenis daripada dirinya. 

Maka dari itu berbahagialah para remaja yang memiliki segudang keahlian, baik menyanyi, bermusik, menggambar atau berolah raga, karena mereka dapat menggunakan keahlian itu untuk mendapatkan simpati dari orang-orang di sekelilingnya dengan cara-cara unik, namun masuk akal dan juga terhormat.

Like father, like son. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keahlian memanah Abimanyu jika dibandingkan dengan kemampuan Arjuna, ayahnya. Dalam usianya yang ke-16 tahun Abimanyu tidak berperang melawan musuh di arena Lost Saga (sejenis nama game online), melainkan adalah seorang pemuda penganut subkultur bonek (bondo/modal nekat) yang berjuang sendirian memecahkan formasi Chakravyuha untuk menghindarkan bala tentara Pandawa dari kekalahan. 

Pamannya, Yudistira, memohon agar Abimanyu tidak menyerang demi keselamatan dirinya sendiri. Akan tetapi, darah Abimanyu adalah darah muda. Sedangkan darah muda adalah darahnya para remaja, yang selalu merasa gagah dan tak pernah mau mengalah. Upaya perlindungan dari Yudistira dan ketiga pamannya yang lain malah membuatnya berontak dan makin panas hati untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia bukan anak kecil lagi, bahwa ia memiliki kemampuan yang sama seperti ayahnya, Arjuna yang saat itu sedang berperang di arena pertempuran lain berjarak berkilo-kilo meter dari Kuruksetra. 

Ksatria macam apa yang berani mengeroyok seorang anak remaja secara bersama-sama? (Ya, paling tidak pertanyaan ini mudah-mudahan akan timbul dalam benak setiap pria sebelum mereka mengeroyok seorang pencuri jemuran yang tertangkap basah secara massal). Abimanyu pun menerjang pasukan musuh dengan semangat 45 setelah Paman Yudistira mengijinkannya dengan berat hati.

Saat ke-6 orang ksatria Kurawa senior mengepung dan menyerangnya dengan hujan anak panah, ia pun sadar bahwa ia tak akan menang berperang melawan mereka. Namun demi menjaga nama baik ayahnya dan demi mendapatkan pengakuan terhadap kemampuan dan keberaniannya, ia tak mau menjerit kesakitan meski tubuhnya telah remuk redam oleh gada Duryudana dan menyunggingkan senyum di wajahnya yang ganteng saat menemui ajal.

Kisah kepahlawanan seorang anak remaja bernama Abimanyu ini pasti membuat para ibu meneteskan air mata. Karena bagi para ibu, kehilangan seorang anak-bahkan yang belum sempat dilahirkan karena keguguran sekalipun adalah lebih buruk daripada kehilangan suami atau anggota keluarga lainnya. 

Andaikan Abimanyu hidup di masa sekarang, lebih baik ia jadi anak punk yang bisa cari duit sendiri dengan berjualan sayur di pasar. Ia bisa menunjukkan eksistensinya sebagai anak muda yang berbahaya, yang tahan terhadap rasa sakit dengan membuat tato Circle A atau tato lainnya di sekujur tubuh, dan dapat membuat Ayah Bundanya  merasa senang plus bangga karena Abimanyu tak lagi merepotkan mereka.

Mereka pasti senang melihat si Kecilnya mampu menjalani hari dengan optimisme dan pengetahuan-pengetahuan baru. Mereka juga dapat menjalani masa tuanya dengan tenang tanpa didera kekhawatiran putra kesayangan tak sedang pergi berperang, atau melakukan suatu hal yang akan menjerumuskan diri sendiri dalam bahaya. Yah ,, itulah solusi yang mendamaikan hati, setidaknya jika dilihat dari sudut pandang sebagai orang tua. 

Tapi, Bapak dan Ibu, y
ou are the bows from which your children as living arrows are sent forth, kau adalah busur Gandiwa dari anak-anakmu, anak-anak panah hidup yang diberikan kepadamu, begitulah wejang Kahlil Gibran. Gandiwa dapat mengarahkan panah Pashupatastra ke mana saja, namun Pashupatastra bisa jadi punya pendapat lain dan mencari kata hatinya sendiri. Jikalau panah Pashupatastra mengalami kegagalan yang di luar dugaan, apakah hal itu akan membuat Gandiwa kehilangan kemampuannya sebagai jiwa yang stabil dan pemberi yang tak mengharapkan imbalan? 


Tak Ada Cermin Yang Tak Retak

Yah memang benar bahwa kita bukanlah manusia yang tanpa dosa dan bersih dari kesalahan. Ada saat-saat di mana sesosok individu tersesat, karena nekat berjalan tanpa kompas dan peta. Bagi manusia semacam ini, keberuntungannya bukan terletak pada harta karun berlimpah, tapi pada seorang teman atau seseorang yang sedang nongkrong di lampu merah untuk ditanyai tentang arah jalan yang benar agar kita tak tersesat lagi buat yang kesekian kalinya.

Mungkin tak semua orang beruntung dapat hidup bersama dengan teman-teman seperjuangan yang dapat ditemuinya kapan dan dimana saja sesuka hatinya. Mungkin ada beberapa perantau yang sudah puas bertemu dengan kawan lama, meski hanya di dalam dunia maya. Buat orang-orang semacam ini, mereka tak perlu khawatir akan tak punya tempat untuk bertanya jika suatu hari mereka kembali tersesat.

Pandangilah wajah anak-anak (baik anak Anda atau anak tetangga) ketika Anda memikirkan sebuah pertanyaan yang tak seorangpun bisa menjawabnya. Jiwa anak yang polos dan belum berdosa akan merefleksikan segalanya pada Anda, tentang kasih sayang, pengetahuan, komitmen, dedikasi dan bahkan seluruh dunia. Sekalipun ia bukan anak kandung Anda, Anda akan dapat menemukan diri sendiri di dalam dirinya ketika Anda mengajaknya bicara, berjalan-jalan atau menggambar atau main sepak bola.

Demikian pula suatu bangsa yang tak kunjung berhasil menemukan jati dirinya akan mendapatkan pencerahan mengenai penyebab segala kemalangan nasional atau ketidakberuntungan berjamaah dalam diri anak-anak yang sedang dibesarkan di Tanah ini.

Misalnya, seorang anak manja adalah cerminan karakter seorang manusia dewasa dengan kehidupan berkecukupan berkat alam yang kaya dan subur, malas bekerja dan bersusah payah karena merasa telah memiliki segalanya. Atau seorang anak yang suka buang sampah sembarangan akan membuat orang lain merasa repot karena harus membersihkan sampah yang ia tinggalkan. Dan seorang anak yang suka mengadu adalah refleksi dari manusia tanpa rasa berani untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Maka dari itu, adalah sebuah ketidakadilan besar jika suatu bangsa sudah membebankan tanggung jawab mengangkat harkat dan martabat bangsa itu sendiri di pundak anak-anak muda, baik yang telah lahir, sedang akan lahir, ataupun yang belum dilahirkan. Mereka tidak terlibat dalam ikhwal yang menyebabkan keterpurukan itu, lalu mengapa musti meminta mereka turun tangan untuk menyelesaikannya?

Sadarkah kita bahwa usia yang panjang dipandang sebagai azab oleh sebagian kecil manusia lanjut usia, karena mereka dipaksa melihat akibat perbuatan di masa lalu dan didera rasa penyesalan berkepanjangan? Saya yakin, di antara kita semua tak ada yang ingin menjalani masa tua dengan penuh duka cita. Daripada mengharapkan anak-anak kita mendatangkan kebahagiaan itu kepada kita, lebih baik kita kelola saja diri dan situasi terkini kita ini baik-baik, agar di masa depan kita bisa menuai buah kebaikan yang pernah kita tanam, tanpa harus dimusuhi anak muda yang bercita-cita menjadi Singha, si maharaja hutan yang selalu berbahaya, baik di usia muda maupun tua.



Minggu, 31 Agustus 2014

BANGUN KESIANGAN


KETIKA PESTA USAI

“Kegelisahan terletak di kepala yang mengenakan mahkota.”


—William Shakespeare
Henry IV, Part II

Semua keceriaan, kegembiraan dan eforia sesaat berakhir ketika satu per satu pesta meninggalkan kita, mulai dari pesta sepak bola dunia, pesta demokrasi, pesta ketupat dan pesta panjat pinang. Di tengah-tengah pesta kita dibujuk untuk melupakan segala masalah, dan kita dengan ikhlas dan tanpa syak wasangka menerima begitu saja bujukan itu. Kita membiarkan diri kita terhanyut dan mabuk oleh keadaan (yang lebih hemat daripada mabuk miras oplosan karena kita nggak harus mengeluarkan uang sepeserpun demi bisa merasakan yang namanya mabuk). Gangguan kepada suasana pesta dan mabuk keadaan ini adalah merupakan pelanggaran serius, dan kita akan dapat dengan mudah menjadi murka karenanya. Tak segan-segan kita memutuskan hubungan pertemanan yang telah dijalin bertahun-tahun akibat hal remeh temeh, ketika si teman tega mengganggu dengan menuliskan komentar pedas terhadap kesenangan kita pada postingannya di jejaring sosial. Berkelahi demi membela sesuatu yang kita senangi adalah hal yang biasa, demikian pula perpecahan dalam keluarga karena masing-masing anggota memiliki kesenangan yang berbeda. 

Tapi pesta-pesta yang usai itu menyisakan lebih dari sekedar polemik akibat perbedaan kesenangan. Ada sesuatu yang hilang ketika mendadak segala gegap gempita itu meninggalkan kita, menghilang dalam waktu dan era. Bahkan dalam tidur pun kita seperti masih bisa mendengar gelak tawa, setiap gebyar kembang api dan suara denting botol bir yang bersentuhan. Semua seperti memanggil-memanggil kita untuk kembali, seperti menolak dilupakan dan dibiarkan berlalu. Kita tidak siap menghadapi keheningan yang datang mendadak. Tidak siap menghadapi hilangnya puluhan, ratusan atau ribuan pasang mata yang menatap iri dan kagum pada kita. Kita memang tak selalu mengenal baik para pemilik sorotan mata itu, beberapa di antara mereka mungkin namanya pun tidak kita kenal. Namun di tengah pesta, identitas bukan lagi menjadi hal utama. Karena, selain daripada bersosialisasi, di dalam pesta kita mencari kegembiraan, dan juga pengakuan.

Seorang pertapa yang telah menyepi begitu lama tidak berminat terhadap hedonism dunia fana. Akan tetapi manusia dengan darah mudanya masih membutuhkan pengakuan dari pihak lain yang berada di luar dirinya. Pengakuan yang dianggapnya dapat menjadi modal untuk dapat berjalan dengan kepala tegak. 

Demikian pula suatu bangsa dan negara yang telah dijerat dalam nasib buruk sejak puluhan ribu tahun silam. Sebuah bangsa yang belum berumur seabad, seperti mereka yang mendiami tanah ini. Ketika para perantau tak diundang menjejakkan kaki dan mengatakan kepada mereka bahwa di sini, di tanah ini adalah tanah yang dihuni kaum tak beradab, liar dan barbar; kaum pribumi yang lugu yakin kalau diri mereka sendiri adalah barbar, karena sistem yang mereka ciptakan terus menerus membawa mereka dalam pertengkaran abadi yang meresahkan. Oleh karena itu, rakyat yang berdiam di Tanah Perak Jawa Barat tak menolak ketika seorang perantau dari India yang bernama Dewawarman datang berkunjung dan mengusulkan pendirian sebuah kerajaan yang di kemudian hari dinamakan dengan Kerajaan Salakanagara, kerajaan pertama di tanah Jawa. 

Toh bangkitnya hegemoni kerajaan tak menjamin kehidupan masyarakat pribumi semakin jauh dari sengketa. Perjalanan sejarah di Tanah Jawa (dan juga tanah lainnya di pelosok Nusantara) selalu diwarnai dengan pertumpahan darah, perebutan kekuasaan dan singgasana. Nyaris tak ada kerajaan yang bisa bertahan lama setelah terlibat dalam peperangan. Mereka musnah karena tak punya kekuatan atau dihukum oleh bencana alam atau akibat kedatangan para pendatang lain yang memiliki karakter berbeda dan lebih kejam. Dan masyarakat pribumi pun semakin lupa bahwa pada jaman dahulu kala, di kala segala gemerlapannya harta benda dan pesta kerajaan hanyalah kisah pengantar tidur dari para perantau negeri seberang; bahwa mereka pernah hidup dengan lebih damai, tenang dalam kesederhanaan, di bawah naungan sistem yang mereka buat sendiri sebelum datangnya sistem kerajaan. Sistem apakah itu? Saya akan membahasnya lain waktu.  

Semua suka memakai mahkota
Apa sih yang biasanya Anda lakukan saat berpesta? Makan? Minum? Mabuk? Mencari teman kencan? Memamerkan kesuksesan? Apapun itu, pesta ibarat keadilan bagi semua, berbagi kesenangan secara merata. Dan jika seorang tamu pesta tetap merasa sedih hingga pesta berakhir, itu artinya panitia penyelenggara pesta telah gagal. Hal semacam inilah yang kadang luput dari perhatian penyelenggara pesta, apakah hadirin merasa senang atau tidak bukanlah urusan tuan rumah. Tuan rumah hanya bertugas menyediakan kebutuhan fisik, bukan untuk menyenangkan kebutuhan batin tamunya. Bisa jadi tujuan utama pesta memang bukanlah bekerja sama menyenangkan diri masing-masing. Namun lebih sekedar upaya menunjukkan eksistensi diri melalui segenap kemewahan hidangan dan hiburan. Bahwa pemberian yang mahal secara cuma-cuma adalah semacam pernyataan tingkat kesejahteraan yang melebihi siapapun, bahkan para tamu yang hadir di dalam pesta. 

Dahulu memang hanya sang raja saja yang memakai mahkota. Namun kini, siapapun bisa bangga memakai mahkota dengan membelinya. Ya, membeli. Rumah yang bagus, perhiasan mewah, mobil impor, karir yang menanjak sudah cukup membuat sekelompok orang merasa bangga. Kesejahteraan yang dipamerkan dalam bentuk upaya menyenangkan hati semua orang seharusnya tidak salah. Namun permasalahan akan timbul di kala orang-orang itu tidak mengetahui cara sesat atau benarkah yang dipakai seseorang dalam mendapatkan mahkotanya. Seseorang sadar telah menempuh jalan yang salah, lalu akan berusaha menutup mulut orang-orang di sekitarnya untuk bertanya. Itu adalah hal yang sangat wajar karena kebanggaan adalah sesuatu yang berharga, dan rongrongan terhadap kebanggaan adalah sama dengan tindakan terorisme terhadap eksistensi diri, terhadap kebutuhan sebuah pihak untuk mendapatkan pengakuan.

Kebutuhan mendapatkan pengakuan? Bukankah itu penyakit temporer yang diderita para ABG? Sedangkan usia kita di sini sudah terlalu kadaluarsa untuk disebut ABG. Jangan salah, kebutuhan mendapatkan pengakuan itu adalah milik siapa saja, untuk segala umur. Pencipta karakter Hello Kitty pun masih merasa perlu meluruskan jati diri si tokoh yang identik dengan warna pink, meski kini Kitty telah berumur 40 tahun. Dalam sebuah jumpa pers diungkapkan bahwa meski berwajah mirip kucing, Kitty bukanlah seekor kucing. Ia adalah anak manusia yang berkulit putih, tidak tinggal di Inggris dan bermata sipit. Mungkin Kitty mengalami guncangan hebat secara psikologis, kehilangan sesuatu, ditinggalkan oleh seseorang atau menjadi korban perang, sehingga ia membonsaikan dirinya sendiri dalam kenangan atas masa kecil yang membahagiakan. Waktu berlalu, dan Kitty dalam umurnya yang ke-40 tetap menjadi seorang anak kelas 3 SD, mungkin untuk selamanya.

Suatu negara pasti pernah meragukan rasa cinta para warga negara terhadap dirinya. Oleh karena itulah slogan-slogan patriotism digembar-gemborkan demi untuk mengingatkan warga negara agar selalu mencintainya. Ibarat seorang kekasih yang menaruh curiga akan kesetiaan belahan jiwanya. Ia membutuhkan pengakuan untuk menyembuhkan keragu-raguannya, yang mana adalah penyakit hati yang telah dibuatnya sendiri. 

Ya, keraguan yang kita bayangkan sesungguhnya hanya ilusi. Ilusi yang timbul bukan karena pengaruh narkoba, melainkan karena keputusasaan setelah menyadari kekurangberuntungan nasibnya sebagai obyek yang harus tunduk terhadap perintah orang lain, kaum linuwih (lebih) dalam hal apa saja dibandingkan dengan nasib mereka sendiri.

Selama beratus tahun sebelum kedatangan para perantau Hindustan, setiap tanah di Nusantara telah memiliki dan mengembangkan kemampuan untuk mengorganisasi diri mereka menjadi sebuah kelompok besar yang bergerak berdasarkan kesepakatan. Pemimpin bukanlah jabatan untuk dipamerkan, melainkan koordinator yang bertugas merumuskan dan menyimpulkan kebijakan terbaik berdasarkan banyak pendapat. Meski demikian, bukan berarti sistem yang lahir di awal kisah sejarah manusia Bumi dituliskan ini bebas dari prahara. Friksi tetap saja terjadi, dan tak jauh beda dengan masa kini, ujung pangkal masalah selalu tak lain dan tak bukan adalah tentang uang dan usaha mendapatkan makanan. Makanan yang enak akan memuaskan lidah, namun hanya kebanggaan dan kehormatanlah yang mampu memusnahkan rasa haus oleh pengakuan. Makanan yang enak bisa dibeli. Jadi, bisakah kita membeli kebanggaan?

Membiasakan diri dengan kehinaan
Mungkinkah dahulu tanah ini begitu penuh sesak oleh keajaiban, sehingga siapapun yang berdiam di atasnya tak pernah ingin meninggalkannya? Bahwa tanah ini ditakdirkan menjadi comfort zone, zona nyaman yang mampu menghidupi manusia rakus yang menjelajahi punggung-punggung perbukitan, tinggal di dalam gua dan menghabiskan waktu dengan melukis gambar tangan atau monyet. Kehidupan yang sangat sederhana menjadi pilihan bukan karena kebodohan atau kurang ilmu pengetahuan. Melainkan karena mereka tiadanya keinginan untuk hidup melampaui batas, dan berakibat menyinggung perasaan orang lain. 


Naif, Anda bilang?  Ya, memang. Dan kini Anda pun tahu sebuah sisi dari karakter nenek moyang kita yang sebenarnya. Sekumpulan orang pecinta ketentraman yang suka berkumpul bersama keluarga dan tetangga dan teman-teman yang jauh. Sangat kaya karena berkat makanan yang disediakan hutan secara gratis. Suatu paguyuban yang tak pernah menanti undangan pesta, karena mereka berpesta setiap hari dalam keramahtamahan alam yang mencintai ketidakserakahan. 

Namun, alam bukanlah suatu individu dengan karakter penuh kedamaian. Alam yang cantik, halus tutur katanya  dan baik hati seperti Dewi Parwati, bisa menjelma menjadi kekuatan yang menghancurkan, menjadi sumber bagi semua penderitaan dan kemalangan, seperti Dewi Parwati yang menjelma menjadi Dewi Kali ketika tersulut emosi, tak segan meletakkan kaki di dada Siwa, orang yang dicintainya. Apakah ini juga merupakan suatu pertanda bahwa penyakit psikologis gangguan emosi atau bipolar disorder telah menjangkiti manusia ribuan tahun yang lampau? Bisa jadi. Yang jelas, ada sesuatu yang hilang di masa ketika para perantau negri yang jauh itu datang. Semenjak kedatangan mereka, para nenek moyang pribumi mendadak setuju meninggalkan sistem yang dibuatnya, seolah hasil karya entah-siapa-itu yang telah mereka praktekkan sejak masa ayah mereka dan ayah dari ayah mereka dan ayah dari ayah ayah mereka dan seterusnya adalah sesuatu yang hina dan tak pantas dibanggakan.

Para nenek moyang berusaha membiasakan diri hidup dalam kehinaan dengan mengadaptasikan diri terhadap pengaruh baru, berusaha mempelajari baik-baik nilai-nilai baru. Dan dengan penuh penghormatan terhadap para pendahulu yang membentuk sistem mereka, pengaruh baru itu dilunakkan dengan tutur bahasa yang halus dan mungkin juga rayuan, bahwa ada kesamaan di antara pengaruh asli dan pengaruh baru, jadi mengapa kita tidak menyatukan diri saja. Suatu pilihan yang sangat amat mengesankan karakter oportunis alami suatu bangsa, bukan? 


Tapi saya berusaha memandang dari sudut pandang positif, bahwa kompromi mereka lakukan agar budaya asli tak kehilangan tempat dan pengikutnya. Bahwa dalam kedamaian yang seolah-olah itu mereka menyimpan penyesalan karena merasa terhina di tanah kelahiran mereka sendiri. Hal ini terbukti karena adanya karakter pencitraan, jaga imej, jaga iman, demi gengsi, dsb. dll. dst. yang begitu kental dan terus menerus diajarkan secara turun menurun. Karakter yang disertai tindakan membaik-baikkan diri dengan semua kesempurnaan untuk menutupi kegelapan di bawah permukaan. Menutup-nutupi hal yang hina, kehinaan atau perasaan terhina dengan kebanggaan dan hal-hal yang memancing rasa bangga. Dan mereka tak ragu untuk mengangkat senjata di kala segala upaya artifisial ini menemui kegagalan dalam memusnahkan rasa keterhinaan.


Pesta yang berakhir meninggalkan rasa bangga atau terhina atau tidak ada rasanya, itulah peran kebijaksanaan manusia yang berpesta. Berhasilkah si bijaksana menerima kebanggaan atau kehinaan dengan suka rela, duka cita, atau suka sama suka? Semuanya hanya manusia yang hidup saja bisa menjawabnya. (swastantika)

Senin, 28 April 2014

KRAM OTAK


SI TANPA DOSA DIANTARA KITA


“Not for God or country – FOR FAMILY” (Sick of It All)

Beberapa waktu lalu diantara kita mungkin bergantian mengelus dada ketika mendengar, melihat atau membaca kisah Siti Aisyah, seorang anak perempuan berusia 8 tahun yang hidup dan merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan, yang menderita sakit selama hampir setahun, serta tinggal di atas sebuah becak karena mereka tuna wisma. Atau kisah Iqbal, bocah berusia 3,5 tahun, yang sekarat akibat dianiaya oleh mantan pacar ibunya ketika tak berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp 40 ribu dalam sehari dari hasil mengamen. Ada juga kisah heroik 7 anak penghuni panti asuhan yang berhasil melarikan diri dari panti asuhan yang dikepalai seorang pemilik panti kejam dan memperlakukan mereka secara tak layak sedari mereka masih bayi. 


Mungkin akan ada suara-suara yang berkilah bahwa kondisi semacam ini telah ada dan mengada sejak puluhan tahun silam, dan kemutakhiran sesuatu yang bernama internetlah yang membuatnya seolah baru dan sangat ‘wow’. Ada sebagian kecil anak yang memang dididik untuk prihatin sejak kecil, dibesarkan dengan cara-cara ekstrem oleh orang tuanya dan beberapa diantaranya menjadi orang sukses karena belajar banyak hal di masa kecilnya yang serba kekurangan. Hukuman fisik (kepada anak yang merupakan salah satu manifestasi dari hidup prihatin) nyatanya masih diperbolehkan dalam ajaran suatu agama yang menganjurkan untuk memukul anak ketika mereka menolak untuk melakukan ibadah. Sejumlah sekolah pun masih melegalkan pemberian hukuman fisik atas nama meningkatkan kedisiplinan siswa, dan didukung secara diam-diam oleh masyarakat yang mulai jengah terhadap perilaku para anak muda tanggung yang kian terang-terangan mempertontonkan keacuhan mereka terhadap norma sosial dan adat istiadat. Mereka berharap hukuman fisik dapat mengembalikan keadaan dimana mereka dulu masih sekolah; tertib, terkendali dan under control.

Sebagai orang-orang yang telah termakan usia dan disebut sebagai bapak atau ibu oleh para waiter dan waitress saat sedang nongkrong di sebuah kafe, kian mudah masuk angin ketika tidur terlalu larut, mudah uring-uringan ketika gajian terlambat satu hari, dan menyimpan sejumlah karakteristik khas orang tua lainnya, kita mau tak mau mengkhawatirkan segala sesuatu yang mungkin akan menghadang di masa depan. Akan jadi seperti apakah anak kita ketika mereka dewasa? Akankah sanggup mereka menghadapi kerasnya dunia? Seperti apa wajah Bumi ini ketika mereka dewasa, apakah benar permukaan air laut akan meninggi dan menenggelamkan Pulau Jawa seperti kata seorang ahli nujum terkenal? Dan apakah kita bersedia dan bisa menerima jalan yang mereka pilih dan seperti apa nantinya mereka akan menjadi?

Ternyata, selain sebagai sebuah anugerah kehadiran anak-anak kandung menjadi cobaan bagi sebagian dari manusia yang memiliki mereka. Semacam ujian abadi dalam hal psikologis (menjadi orang tua), strategi (dalam mencari celah antara perang dan damai dengan ayah/ibu mereka) dan juga marketing (memasarkan keahlian diri untuk memperoleh uang guna membiayai kebutuhan hidup). Bahkan setelah anak-anak dewasa dan hidup terpisah pun mereka masih menjadi cobaan bagi orang tuanya. Ini karena orang tualah yang pertama kali menjadi sorotan di balik kisah kesuksesan ataupun kemalangan seseorang. Ya, anak-anak adalah sesuatu bentuk pertanggungjawaban, takdir, penebusan dan harga yang harus Anda bayar setelah menikmati indahnya cinta bersama pasangan. Anak-anak kita akan selalu mengikuti kita, baik secara fisik maupun dalam mimpi dan ikatan itu pun tak akan terpisahkan kecuali melalui kematian.

Siapa yang Belum jadi Dewasa?
Secara fisik, anak-anak memang tidak ada apa-apanya dibandingkan orang dewasa. Badan mereka lebih kecil dan lemah, karakternya polos , mudah mempercayai apa yang dikatakan orang dewasa. Segala keterbatasan anak-anak semestinya dapat menumbuhkan belas kasih orang dewasa untuk melindungi mereka, sebagai salah satu bentuk tanggung jawab manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Bukankah semua agama tidak ada yang tidak mengajarkan hal ini pada umatnya? Saya yakin, Anda semua sudah lulus SD dan pasti pernah menerima pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila atau PPKN atau PKN) selama 6 tahun, dan selama itu pula kita diharuskan menghafal tentang moralitas yang mungkin masih kita ingat.

Lalu, apakah yang membuat kita tergoda untuk menyakiti anak-anak? Apakah karena mereka tak akan punya kesempatan untuk membalas? Apakah karena mereka sudah terlalu nakal, sehingga iblis di dalam hati kita naik darah dan mengirimkan perintah pada kita untuk memukul saja si biang kerok agar ia tak lagi mengulang kenakalannya? Ataukah semacam aksi balas dendam karena kita pun mengalami hal yang sama di masa kanak-kanak?

Saya yakin Anda bukanlah orang dewasa yang sekonyong-konyong keluar dari rahim ibunda dengan tubuh tinggi besar dan sudah dikhitan (bagi yang laki-laki). Ada masa-masa diantara hidup dan kematian dimana kita berjalan dengan empat kaki, dua kaki dan tiga kaki, kecuali, tentu saja, bagi mereka yang mati di usia muda, atau bahkan sesaat setelah dilahirkan. Semua manusia adalah anak-anak ketika ia belum menjadi dewasa (atau bahkan ketika ia sudah dewasa). Termasuk Anda dan saya. Jadi, Anda dan saya adalah masokis kelas ikan lele akut alias penyuka kegiatan menyakiti diri sendiri, jika kita sengaja maupun tak sengaja sering kali menyakiti anak-anak, baik secara fisik maupun verbal.

Manusia memang adalah makhluk paling eksentrik yang pernah diciptakan. Ia sering kali melupakan hal-hal penting dan malah mengingat hal-hal yang tidak penting. Sesuatu yang tidak menyenangkan dan membawa kesedihan cenderung untuk dilupakan, dan ia mengakui, atau berpura-pura mengakui telah melupakannya. Namun, tindak tanduk si makhluk berkaki dua ini senantiasa menunjukkan bahwa dirinya masih terikat dengan masa lalu dan secara tidak sadar mencari pelampiasan untuk mengurangi rasa sesak yang setiap saat mengikuti. Menolak lupa dan menolak ingat terlibat pertarungan abadi dalam diri individu yang tak jua menemukan batas antara kebatilan dan kebenaran, menghasilkan pribadi-pribadi sakit dan ogah bekerja keras menyelesaikan masalah. Dan itulah alasan mengapa Pegadaian dan rentenir diserbu warga di hari raya karena mereka menawarkan solusi cepat untuk menyelesaikan masalah keuangan.

Padahal kita semua tahu, solusi instan tak akan pernah mencerabut kanker untuk selama-lamanya. Hanya meredakan nyeri untuk sekejap, seperti narkoba yang menenangkan atau cairan yang memabukkan. (Tahukah Anda bahwa berbagai narkoba memang disengaja digelontorkan oleh pihak asing misterius untuk melemahkan konsentrasi dan daya tahan generasi muda atau tua, agar kita mudah dikuasai melalui budaya dan gaya hidup konsumerisme?) Kita toh tahu itu semua tidak menyehatkan, namun mengapa tetap kita jejalkan ke dalam tubuh? Apakah Anda sudah bisa membaca? Sudah kuliah? Sudah punya anak? Sudah menikah untuk kali ke berapa? Ya memang kita berfisik seperti manusia dewasa, tapi sesuatu di masa lalu belum terselesaikan membuat kita bermimpi menjadi anak-anak kembali, memutar waktu mundur tepat di saat masalah yang memedihkan ini terjadi. Slogan kakek-kakek murah senyum yang mengatakan ‘piye le, penak jamanku to?’ adalah contoh terbaik. 

Seperti arwah yang bergentayangan karena menuntut untuk disempurnakan, masa lalu melancarkan aksi berupa gangguan pada perilaku dan pola pikir di masa kini. Masa lalu yang tak pernah diakui sebagai hasil kesalahan dalam bertindak, baik secara kolektif maupun individu, akan membuka celah untuk terulangnya kesalahan yang sama, karena kita tak pernah mengajari sistem kerja otak kita sendiri untuk mengenali kesalahan itu sebagai sebuah kekhilafan yang membutuhkan permaafan dari nurani di dalam diri kita sendiri. Kita tidak pernah mengatakan
do it (to) yourself  kepada diri yang bersemayam dalam tubuh kita, lantaran takut mengakui bahwa pantulan wajah si buruk rupa dalam cermin itu adalah wajah kita yang sesungguhnya.

Pembantaian 1965 itu memang begitu sadis, dan tak pernah diakui, dan saya pun tak berharap kejadian itu terulang lagi. Kita berhutang sesuatu pada masa lalu, namun menolak untuk membayarnya. Kita semua pernah kehilangan sesuatu di masa lalu, dan berharap yang hilang itu kembali ketika kita merekayasa keadaan sekitar menjadi seperti masa lalu, diperkuat dengan attitude penolakan untuk bertahan memalingkan muka ke depan sambil berharap yang hilang akan kembali ketika kita tiba-tiba memalingkan muka ke belakang. Lalu bagaimana kita akan tahu bahwa ada jurang di suatu tempat di perjalanan berikutnya? 

Pergumulan Terakhir 
Pernahkah Anda merasa sangat tenang, tentram dan damai ketika berada di dekat seseorang yang belum pernah Anda kenal sebelumnya? Atau, pernahkah Anda merasa sangat lelah ketika berada di tengah banyak orang, meski Anda tidak berbicara sepatah katapun pada mereka? Rasa tenteram atau tidak tenteram itu tidak ada hubungannya dengan perasaan kita mengenai dan terhadap seseorang itu, apakah kita menyukai atau tidak menyukainya, melainkan karena sesuatu yang tersimpan dalam benaknya.

Kita tak perlu menjadi cenayang atau berkemampuan linuwih untuk dapat menebak rasa di dalam hati seseorang yang kini berada di samping Anda, karena semuanya dapat Anda ketahui melalui perubahan air muka, nada bicara, sorot mata dan bahasa tubuhnya. Seseorang yang memendam rasa ‘baik-baik’ seperti kebahagiaan, cinta, kasih sayang, ketulusan, keikhlasan, kejujuran dan sebangsanya akan membuat kita merasa nyaman. Sementara seseorang yang memelihara rasa ‘jahat’ seperti kecurigaan, iri, dengki, culas, cemburu, dusta, sombong dan rekan-rekannya membuat kita bertanya-tanya mengapa mereka merasakan itu dan apakah kehadiran kita yang membuatnya menjadi memiliki rasa yang sangat negatif.

Rasa yang berbeda juga dapat kita temui ketika berada di samping anak-anak , dan bandingkan dengan apa yang kita rasakan saat berada di kerumunan orang yang sedang berdesakan dalam bis kota. Raut muka pegawai kantor dan mahasiswa mengatakan sesuatu yang sama dan keduanya sama-sama merasakan beban berat karena hari itu, misalnya, hari Senin sesudah long weekend. Sementara anak-anak balita (dalam kondisi keluarga yang normal dan tak sedang mengalami tragedy bencana alam, kebakaran ,dll.) tak pernah menyimpan prasangka dan hanya memiliki rasa senang, ceria atau rasa ingin tahu, sehingga kita pasti betah berada di sisinya.

Jika saja semua orang hidup di planet ini sama-sama punya tekad yang sama untuk mengubah wajah dunia, mereka akan tahu bahwa semua itu dapat dilakukan dengan mudah, bahkan semudah membalik telapak tangan. Ketika seseorang menganggap hidup adalah perjuangan demi cita-cita, menegakkan keadilan, jodoh, uang, atau apa pun yang membuat mereka tak akan berhenti sebelum mencapainya, mereka sesungguhnya berada dalam kesia-siaan karena bagaimana pun juga manusia tidak memiliki banyak waktu, karena pada hakekatnya semua manusia sedang menunggu giliran untuk mengalami yang namanya tua, lemah dan mati. 

Jadi, kesimpulannya, semua manusia sama-sama hanya mempunyai satu pertarungan untuk dimenangkan dan semua manusia membutuhkan satu cara mudah untuk memenangkan pertarungan dengan segera selagi masih bernafas.Dan cara itu adalah dengan berada di samping anak-anak untuk mempertahankan rasa tenang dan damai menetap di hati kita, dan membayar kontan ketentraman itu dengan cara mengisi rasa ingin tahu mereka terhadap jawaban-jawaban yang merupakan bagian dari rencana Anda untuk menuju perubahan. Tak harus anak kandung, keponakan, sepupu, anak tetangga, anak yatim piatu, anak terlantar, anak jalanan, anak apa saja kecuali anak binatang (karena binatang dan manusia berbeda spesiesnya. dan belum tentu pengetahuan Anda bisa dipahami oleh anak binatang). 

Jika kita memimpikan terjadinya revolusi tanpa kekerasan, ini adalah langkah terbaik untuk memulainya. Kita memang akan kehilangan sensasi unik yang memicu adrenalin ketika turun ke jalan bersama rekan-rekan sepemahaman, atau ketika dikejar-kejar aparat dan melemparkan bom Molotov ke arah kerumunan berseragam. Anda mungkin akan berkata, ‘itulah pertarungan!’ Namun, para pejuang pendahulu kita telah melewati pertarungan yang jauh lebih berat dengan maksud agar kita tak perlu terlibat dalam pertarungan berat seperti mereka dan terluka.

Mereka bertarung bukan demi Tuhan, ataupun demi Negara, melainkan demi kita, anak cucunya, demi keluarganya yang tak mereka kehendaki untuk mengalami hidup dalam kesusahan. Tuhan adalah Dzat Yang Tak Perlu Kita Pertentangkan, bahkan dengan penjajah sekalipun (waktu itu), karena Ia tak butuh apapun untuk mempertahankan eksistensi-Nya dihadapan manusia. Sedangkan Negara adalah sebuah sistem, sebuah benda mati dan tidak hidup kecuali di’hidup’kan oleh manusia dengan cara menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa harus bergumul demi sebuah benda mati ketika kita bisa memanfaatkan energi dan tenaga untuk ‘berkelahi’ di ladang, menanam dan memelihara bibit-bibit terbaik dalam hati anak-anak, memonitor pergerakan mereka, dan menghembuskan nafas terakhir dalam damai ketika pada akhirnya di tangan merekalah perubahan yang kita impikan itu tercapai, suatu saat nanti?  

Jumat, 03 Januari 2014

BERDIRI DI TITIK NOL

Tersebutlah di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang Jawa Timur, berdirilah sebuah peninggalan Kerajaan Singhasari yang dikenal masyarakat dengan nama Candi Sumberawan. Berbeda dengan candi-candi yang tersebar di wilayah Jawa Timur yang pada umumnya, candi, atau lebih tepatnya Stupa Sumberawan, memiliki karakteristik Budha dan dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Singhasari dengan mayoritas penduduk yang beragama Hindu. Stupa Sumberawan hanya berupa bangunan batu dengan dasar berbentuk bujur sangkar, tanpa arca dewa dewi, tanpa ornamen, tanpa kepala kala, tanpa relief sama sekali.  Stupa tanpa hiasan semacam ini memiliki kemiripan dengan stupa induk Arupadathu pada Candi Borobudur, yang diyakini pemeluk agama Budha sebagai simbolisasi dari keagungan dan kebesaran Yang Maha Hidup.

Ada sesuatu yang menggelitik saat saya mengakses akun sebuah media sosial tepat di malam pergantian tahun yang baru saja berlalu. Ketika seisi jagat raya berpesta musik, kembang api dan miras, sejumlah sahabat yang beberapa diantaranya saya kenal baik menyatakan dengan terus terang dalam status update-nya bahwa mereka ‘tidak dan menolak melakukan segala jenis pesta, serta memilih untuk larut dalam kontemplasi diri dan menjauhi riuh rendah duniawi’. Apakah pernyataan implisit/ eksplisit itu dibuat dengan sesadar-sadar mungkin, ataukah sekedar kekecewaan karena faktor cuaca (hujan deras), ekonomi (karena perayaan tahun baru selalu jatuh di tanggal tua), personal (sedang menjomblo atau baru diputus pacar sehingga tidak tahu harus berpesta dengan siapa), keputusan pemerintah setempat (dan memang berlaku di salah satu daerah ternama dalam wilayah Indonesia), tugas (sedang ditempatkan untuk bekerja di suatu lokasi yang sangat terpencil) atau yah Anda bisa menambahkan sendiri alasan Anda, nampaknya telah berhasil menahan kaki manusia di satu tempat dan dari aktifitas hedonism yang bertahun-tahun sebelumnya biasa mereka lakukan.

Untuk membahas kecenderungan para sahabat saya tersebut, mari kita buka kembali album foto yang sudah berdebu di lemari buku. Karena masa 1980-1990-an Adobe Photoshop belum dipikirkan oleh para penciptanya, maka saya yakin seyakin-yakinnya bahwa foto-foto lama itu merupakan representasi dari kejadian sesungguhnya saat diabadikan. Coba bandingkanlah sosok yang mirip dengan Anda itu dengan, misalnya, foto profil akun jejaring sosial Anda. Apa yang Anda lihat dahulu, dan apa yang Anda lihat sekarang? Sorot mata elang idola para gadis yang kini menyipit akibat kerutan atau mata duitan? Tubuh molek si bunga desa ataukah timbunan lemak dari masa kehamilan yang tak jua sirna meski jabang bayi telah tumbuh remaja? Perut six-pack yang bermetamorfosa menjadi one-pack bergelambir? Bagaimana bisa berpesta semalam suntuk manakala si doyan begadang kini mudah terserang masuk angin?

Manusia tak akan pernah menang melawan kekuatan alam yang digerakkan oleh waktu, dan tubuh Anda, dan juga saya, adalah bukti sederhana nan tak terbantahkan. Pada kehidupan awalnya manusia gemar menghiasi diri dengan apa-apa yang baru ditemukan atau memang telah dibawa sejak kelahirannya. Semakin ke atas dan semakin tua apa-apa tersebut menghilang satu demi satu hingga akhirnya mencapai ketiadaan yang nol.

Titik Nol
Jabang bayi keluar dari rahim dalam keadaan polos tanpa pengetahuan apapun tentang kejamnya dunia. Ketidaktahuan telah menjebloskannya ke dalam beberapa jebakan, sering kali ketidaktahuan itu menyesatkannya untuk selalu mengambil jalan yang sama, dan kembali jatuh ke dalam lubang yang sama pula. Bukan kesalahan alam raya yang tak mampu membuat kata-kata yang bisa didengar secara verbal dan harafiah, sehingga si manusia tak pernah berhasil mempelajari apapun. Melainkan manusia yang menolak untuk mengakui bahwa dirinya memang tidak berpengetahuan, dan oleh karenanya berkehendak untuk membebaskan diri dari kejaran batu Sisifus dan memperoleh pengetahuan.

Apakah manusia langsung terbebas dari derita ketika ia memperoleh pengetahuan? Tidak juga. Dengan satu dan seribu satu cara pengetahuan kemudian ia dapatkan, dan sifat malas belajarnya pun kembali muncul. Jaman yang serba cepat bukan hanya membuat orang menggerutu ketika menunggu loading suatu laman situs internet, namun perilaku menggerutu yang sama sering kali terbawa pada saat mereka sudah tak lagi menghadapi dunia maya. Adakah suatu jalan pintas agar kita berhasil lulus dalam ujian dengan tanpa belajar? Ada, yaitu menyontek. Bagaimana kalau ketahuan? Gampang, kita suap saja pengawas ujiannya.

Nah, suatu saat  si tokoh kita ini mengendap-endap dalam kelamnya malam dengan segenggam ikat uang dalam sakunya untuk diberikan pada pengawas ujian. Belum sempat uang diberikan guna melicinkan jalannya tiba-tiba lampu kamera menyambar-nyambar dimana-mana. Detik berikutnya tangan sudah terborgol, dan sadarlah kita bahwa kita ternyata masih kembali jatuh di lubang yang sama. Dalam dinginnya penyesalan, manusia terkapar sendirian  ditinggalkan dan dilupakan. Disini angan-angan apapun akan bangkit dan merajalela berandai-andai jika sesuatu datang membawa kita pergi menjauh dari pahitnya kenyataan, tapi kedua tangan serta kaki tak menerima perintah apapun untuk bergerak. Disinilah titik dimana Anda dan saya tak punya jalan pulang, peluang ke depan pun sama tertutupnya. Bukan, bukan jalan buntu. Jalan buntu masih memungkinkan kita untuk menggali jalan alternatif meski dengan bantuan tikus-tikus got. Ini adalah titik nol, dimana kita harus mengakui bahwa kita berkedudukan setara dengan dedemit dan genderuwo, antara ada dan tiada, mati segan hidup pun tak mau.

Deadline jangka panjang
Hidup manusia tak pernah lepas dari nol, baik dalam suka maupun duka. Kemanapun kaki melangkah kita akan selalu ditemani oleh nol. Baik nol sebelum pengisian BBM kendaraan Anda dimulai, nol pada speedometer mobil-mobil yang terjebak kemacetan, nol dalam jam hitungan mundur tahun baru, nol dalam saldo ATM di akhir bulan, nol yang banyak sekali dalam daftar aset yang dimiliki seorang pengusaha terkemuka, dan sejumlah nol-nol lainnya. Jadi jangan khawatir, kita tak akan pernah berdiri sendirian di titik nol. Yah Ada beberapa dan banyak orang di luar sana yang tak menyadari kesamaan nasib mereka, karena terlalu sibuk menyesali kemalangan masing-masing. Tapi, biarlah. Itu masalah mereka dalam dunianya sendiri.

Sebelum pepohonan kembali menumbuhkan tunas di musim semi, mereka akan terlebih dahulu meranggas, mengeringkan, menggugurkan daun-daunnya dan berpura-pura mati. Sebelum Anda-anda semua dapat lahir dan tumbuh besar menjadi manusia-manusia baru, para ibu harus berjuang keras, beberapa diantara mereka bahkan tidak selamat, dalam upayanya menghadirkan kehidupan di dunia. Sebelum dompet kembali tebal, sering kali kita harus berhutang, dan hampir ‘mati’ tenggelam di dalam lautan hutang yang bertubi-tubi tersebut.  Kita menyesali dan berupaya keras untuk menghindari kematian, namun berdiri di titik nol adalah lebih buruk dari itu sehingga Anda dan juga saya mungkin akan menghiba-hiba agar kematian segera datang untuk membawa kita pergi dari titik nol. Angka nol itu adalah suatu akhir, memang benar. Tapi angka satu pun tak akan pernah dimulai jika nol belum tercapai. Apakah yang akan terjadi kemudian jika angka satu telah tampil? Tentu saja angka dua akan menyusul, angka empat, lima, dan seterusnya.

Apa yang terjadi jika semua angka yang ada di dunia ini telah habis? Jelas, kita kembali ke nol lagi. WTF! kata Anda. Apapun jalan yang kita pilih hanya akan selalu menjadi alternatif atau versi lain dari perjalanan menuju nol, yang suatu saat akan berakhir, lalu dimulai, berakhir lagi, dimulai lagi, mati, hidup, byar, pet, dst. Mengapa harus menyiksa diri dalam pekerjaan yang tak akan pernah berakhir jika kita adalah masih pribadi-pribadi waras dan awas terhadap arah pintu keluar? Lalu bagaimana jika ternyata pintu keluar itu ternyata mengarahkan kita ke sebuah pintu keluar lain, dan pintu keluar lain, dan pintu keluar lain-lainnya lagi?


Ada beberapa jenis pekerjaan di dunia ini yang terbentuk atau eksis berkat kinerja sinergis para manusia di masa-masa yang telah lewat untuk mengisi hari-hari sederhana mereka. Seperti sepasang orang tua tak akan pernah lelah ‘bekerja’ sebagai orang tua hingga akhir hayatnya, sebagaimana anak-anak yang tak juga pernah lelah merepotkan orang tuanya. Tahukah kita kapan jatuhnya deadline untuk menjadi anak, ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, kakek, nenek, buyut, cucu, mertua, menantu, ipar, suami/ istri, sahabat, TTM (teman tapi mesra)?  Well, saya kira saya tahu jawaban Anda. (swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...