Senin, 31 Desember 2018

New Rose


Nasionalisme, Alasan atau Jawaban?


“Nationalism is a betrayal of patriotism (nasionalisme adalah pengkhianatan patriotism).” Demikian ujar Presiden Macron dalam pidatonya di depan para pemimpin dunia di peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I di Paris (11/11), kira-kira satu bulan sebelum digoncang aksi Gilets Jaunes (Jas Kuning). Salah satu pemimpin yang mengernyitkan kening mendengar pidato tersebut adalah President Trump, dan kita bisa lihat fotonya di sini. Pemimpin Prancis itu juga menambahkan apa yang telah direnggut oleh nasionalisme dari setiap negara, yaitu adalah “nilai-nilai moral negara tersebut.” Pernyataan kontroversial itu sudah jelas direspon “sangat meriah” oleh para netizen di Prancis dan di sejumlah negara lainnya. Kita yang tinggal di Indonesia dan dikenal dengan masyarakat penjunjung tinggi nasionalisme pasti tidak habis pikir. Mengapa justru presiden sebuah negara yang memelopori tumbuhnya nasionalisme di Eropa melalui Revolusi Prancis menganggap nasionalisme adalah sebuah kekeliruan. 

Supaya kita bisa memahami mengapa Macron beranggapan demikian, kita sebaiknya memperluas sedikit cakrawala kepada kondisi terkini di daratan Eropa. Sejak dua tahun terakhir Benua Biru kebanjiran pengungsi dari Suriah yang saat itu sedang dilanda konflik bersenjata. Pada awalnya Angela Merkel, petinggi Uni Eropa saat itu, bermaksud baik dengan menawarkan tempat tinggal sementara untuk para pengungsi. Namun beliau melupakan fakta bahwa para pengungsi itu berasal dari daratan lain dengan kondisi budaya yang jauh berbeda. Mereka tidak biasa melihat perempuan berpakaian terbuka, akibatnya banyak terjadi kasus pemerkosaan dengan pelaku oknum pengungsi. Para pengungsi mau bekerja dengan gaji rendah demi bertahan hidup, sehingga berkuranglah lapangan kerja untuk penduduk asli sejumlah negara Eropa. Dua isu ini hanya sebagian kecil buah gesekan kultural yang dipahami masing-masing pihak pengungsi dan penduduk asli. Akan tetapi sudah cukup untuk memicu keruwetan lainnya.

Sepanjang 2017-2018, golongan sayap kanan di sejumlah negara Eropa mengalami masa kebangkitannya. Di Austria, Swedia, Denmark, Swiss, Finlandia, dan Jerman, partai sayap kanan menjadi popular seiring dengan meluasnya krisis finansial dan krisis pengungsi. Jumlah pemilih yang mencoblos partai sayap kanan meningkat lantaran adanya kekhawatiran tentang menghilangnya identitas nasional dan kebiasaan para pengungsi yang dianggap tidak sejalan dengan nilai yang sudah dianut masyarakat Eropa selama ribuan tahun. Bila di masa lalu nasionalisme menjadi motivasi melawan penindasan, di jaman now nasionalisme menjadi dalih untuk bertahan dari “gempuran” para pengungsi. Pergeseran makna nasionalisme di sejumlah negara inilah yang membuat Macron cemas, dan mungkin bertanya-tanya mengapa sebuah kaum yang dikenal sebagai salah satu pilar ekonomi dunia menjadi paranoid terhadap kaum papa?

Dari dalam ke luar

Pada coretan kali ini akan dipaparkan sekelumit perjalanan nasionalisme sebagai sebuah ideologi pada tingkatan internasional maupun lokal, mulai sejak awal paham ini menjadi hits sampai bagaimana wujud transformasinya di masa kekinian. Sering kita mendengar nasionalisme disebut-sebut untuk memoles visi misi sejumlah golongan, dan menjadi penggerak untuk melakukan perubahan. Apakah Anda termasuk salah satu yang bertanya-tanya, akankah nasionalisme berhasil mengarahkan langkah sebuah bangsa mencapai cita-citanya? 

Kalah dalam perang atau kehilangan wilayah kekuasaan adalah dua faktor utama yang berkecamuk dalam batin sebuah bangsa dan menjadi bahan bakar untuk menggerakkan nasionalisme. Itulah situasi yang terjadi di Prancis setelah kalah perang melawan Jerman di tahun 1871. Menderita kekalahan setelah mempertaruhkan segalanya adalah sangat pedih bukan? Apalagi melihat apa yang dulu menjadi milik kita sudah diambil orang lain. Kepedihan sering kali menjadi sumber inspirasi ide-ide besar. Inilah yang mengilhami sejumlah tokoh Prancis saat itu menginisiasi gerakan Revanchism, atau balas dendam-isme, dengan tujuan membalas dendam atas kekalahan Prancis dan merebut kembali wilayah yang jatuh ke tangan Jerman. Gerakan ini mendapat kekuatannya dari pemikiran patriotik yang seringkali dimotivasi oleh faktor ekonomi dan geopolitik. Politik revanchism tergantung pada identifikasi sebuah bangsa dengan negara bangsa (nation state) dan memobilisasi sentimen keakaran nasionalisme etnis untuk mengembalikan keutuhan bangsa dalam hal wilayah berdasarkan dinamika historis. Berhasilkah paham ini menggerakkan masyarakat Prancis di era itu menduduki kembali wilayahnya?

Setelah melalui jalan panjang berliku, tekad membalas dendam itu pun tuntas meski butuh waktu sekitar 47 tahun kemudian. Kedua negara itu terbawa oleh arus nasib yang mempertemukan mereka kembali di arena Perang Dunia I, ketika Eropa terpecah menjadi dua blok besar, yaitu Triple Entente (Prancis, Rusia, Inggris) vs Triple Alliance (Jerman, Austria-Hungaria, Italia). Tak jauh beda dengan pencapaian Die Mannschaft (sebutan untuk timnas sepak bola Jerman) di Piala Dunia 2018, pada Perang Dunia I Jerman berada di pihak yang menderita kekalahan. Angkatan bersenjata Jerman dilucuti dan dikurangi, ribuan penduduknya mati kelaparan karena ketergantungan pada impor bahan makanan dari AS dan Inggris. Selain mengalami pengurangan wilayah sampai 13%, negara ini dan negara-negara lain yang kalah perang  harus membayar kerugian materiil akibat perang pada komite negara-negara pemenang. Kenyataan ini membuat seorang mantan prajurit bernama Adolf Hitler merasa negaranya bagaikan ditikam dari belakang. Ketika dipenjara akibat upayanya melawan pemerintah, ia menulis “Mein Kampf” yang intinya adalah ide mengembalikan kejayaan Jerman sebagai sebuah bangsa dengan menciptakan negara dengan ras tunggal. Kisah selanjutnya, kita sudah sama-sama tahu bagaimana dahsyatnya Holocaust dan agresi militer di bawah komandonya. Kepahitan akibat keterpurukan ternyata bisa juga mengubah manusia menjadi monster.  

Di jaman now, contoh paling gres tentang sinergi harmonis revanchisme dan nasionalisme adalah perang dagang antara Tiongkok vs Amerika Serikat. Produk buatan Tiongkok sudah terkenal karena harganya terjangkau. Menurut AS, produk Tiongkok tidak orisinil karena cenderung menjiplak merek-merek terkenal. Namun, apapun kualitas barangnya konsumen cenderung memilih barang yang lebih murah bukan? Hal ini membuat barang produksi AS kalah bersaing di dunia internasional, bahkan juga di negaranya sendiri. Selain itu, kenyataan sebagian besar merek ternama AS cenderung membuka pabrik di Tiongkok membuat pemerintah AS geram, karena lapangan pekerjaan di dalam negeri jadi berkurang. Sebagai tindakan balas dendam terhadap kenyataan itu, AS menaikkan tarif terhadap sejumlah barang yang diimpor dari Tiongkok (dan dari negara-negara lainnya), dan dibalas Tiongkok dengan menaikkan tarif barang impor produk AS yang masuk ke pihaknya. Baik AS maupun Tiongkok sama-sama berdalih membela harga diri bangsa masing-masing dalam konflik tanpa senjata ini. Meski kesepakatan “gencatan senjata” perang dagang telah ditandatangani kedua belah pihak, ketegangan masih terus berlangsung. Asal tahu saja, seiring dengan perkembangan jaman, nasionalisme bukan lagi melulu soal mengusir penjajah atau membela kedaulatan negara. Persaingan memperebutkan pasar atau konsumen saat ini cenderung menjadi pendorong tindakan heroik yang mengatasnamakan nasionalisme.

Dari luar ke dalam

Makhluk hidup mana pun bisa bertahan hidup bukan hanya karena kekuatan dan potensinya, namun juga karena kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang terus berubah. Pada awalnya mungkin akan ada penolakan untuk keluar dari kenyamanan situasi sebelumnya. Akan tetapi makhluk hidup hanya bertahan hidup bukanlah satu-satunya cara melanjutkan hidup, itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Demikian halnya dengan nasionalisme. Selain adanya dorongan massal di dalam batin sebuah bangsa, hal lain yang menggerakkan nasionalisme adalah adanya faktor-faktor luar yang eksis di sekeliling mereka.

Krimea adalah sebuah semenanjung di pesisir utara Laut Hitam di Eropa Timur, berbatasan dengan Ukraina, Rusia, Rumania dan Turki. Posisi geografisnya yang strategis membuat wilayah ini jadi rebutan bangsa-bangsa lain sejak masa Abad Pertengahan. Meski dianugerahi pemandangan alam laut yang memanjakan mata, sejarah semenanjung Krimea relatif kompleks. Di tahun 1954, Rusia yang saat itu bernama Uni Soviet ‘menghadiahkan’ Semenanjung Crimea kepada Republik Ukraina, berdasarkan pertimbangan bahwa kedua wilayah memiliki kesamaan kultural dan pertalian ekonomi. Mungkinkah dekrit ini dilatarbelakangi dengan adanya kesamaan ideologi antara Uni Soviet dan Ukraina pada saat itu? Yang jelas, dekrit ini ‘mengkhianati’ kesepakatan sebelumnya, yaitu Treaty of Paris 1856. Dalam Treaty of Paris yang menandai berakhirnya Perang Krimea antara Kekaisaran Rusia dan persekutuan Kekaisaran Utsmaniyah, Britania Raya, Kekaisaran Perancis Kedua, dan Kerajaan Sardinia, disebutkan bahwa persekutuan harus angkat kaki dari sejumlah kota pelabuhan Krimea dan mengembalikannya pada Kekaisaran Rusia. Kurun waktu mulai dari tahun 1856 sampai 1954 adalah cukup lama bagi warga Krimea untuk terbiasa dengan identitas sebagai bagian dari Rusia. Maka bisa dipahami apabila dalam referendum 2014 yang mewajibkan warga Krimea memilih untuk bergabung dengan Ukraina atau Rusia, mereka memilih Rusia. Hasil referendum itu merefleksikan aspirasi warga Krimea yang dipicu kesadaran untuk kembali ke asal, setelah hampir satu abad terpisah dari akar sejarahnya.  

Kembali ke akar sejarah, menurut sebagian orang, adalah salah satu cara terbaik untuk membangkitkan kembali nasionalisme sebagai pandangan hidup sebuah bangsa. Alasannya, melalui sejarah kita bisa mengetahui apa yang mendasari kehendak sebuah bangsa untuk mendirikan negara dengan segala kompleksitasnya. Masalahnya, sentimen kembali ke akar sejarah kadang hanya terbatas sebagai romantisme, bagaikan nostalgia jaman SMA yang hanya bisa dikenang sambil ngopi bersama teman-teman dan tak pernah bisa terulang kembali. Apakah cukup mengenang kejayaan bangsa dengan kembali mengenakan busana adat, misalnya? Kisah bangsa kita menjadi sedikit lebih rumit, karena nasionalisme kita yang dibangun oleh para nenek moyang di atas keberagaman dalam segala hal sangat rentan menjadi pupus dan pudar bukan karena pengaruh luar, melainkan karena penafsiran yang keliru mengenai nasionalisme itu sendiri.  

Adalah wajar jika kita bercita-cita menjadi bangsa yang tidak dipandang sebelah mata dalam pergaulan internasional. Bagaimana bisa kita menjadi bangsa bergengsi, bila terlalu silau pada gemerlap budaya luar, atau sebaliknya, memandang negatif pada segala hal yang datang dari luar bangsa kita. Lalu harus gimana dong? Untuk mencapai cita-cita itu diperlukan proses, bukan hanya proses untuk memoles diri agar tampil bergengsi. Namun juga proses memoles mindset di dalam diri agar siap untuk menjadi bergengsi. (swastantika).

Selasa, 25 September 2018

Protes dan Bertahan

Dua makhluk berbeda jenis dan heteroseksual memiliki banyak atau sedikit peluang untuk bertemu, saling jatuh cinta, dan menjalin hubungan. Dahulu, hubungan antar dua manusia yang berbeda jenis biasanya akan masuk ke tahap selanjutnya, yaitu memiliki anak-anak, menantu, dan cucu-cucu. Di kemudian hari ketika sepasang makhluk itu sudah meninggal dunia, keturunan mereka yang masih hidup dan segar bugar dihadapkan pada dua pilihan. Akankah mereka tetap saling menjaga api persaudaraan, atau membiarkannya padam. Di setiap keluarga umumnya memiliki sepasang kakek nenek yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai ini. Mereka ingin agar suatu saat ketika mereka sudah tiada, para keturunannya bisa saling membantu bila ada di antara mereka yang mengalami kesusahan. Ini karena mereka sudah hidup terlalu lama untuk menyadari bahwa hidup manusia tidaklah selalu penuh dengan berkah dan suka cita. Ada kalanya roda kehidupan berbalik arah. Keluarga yang mengalaminya sebaiknya dibantu sebisanya agar mereka punya motivasi untuk membalikkan arah roda kehidupan itu seperti semula.

Kenyataannya, menjaga ikatan persaudaraan agar hangat dan penuh cinta itu lebih sulit daripada teorinya. Lebih rumit daripada sekedar kumpul-kumpul di Hari Raya dan makan bersama. Dua saudara sekandung yang dulunya sepaham bisa jadi tidak lagi sepaham setelah mereka punya pasangan dan anak-anak. Apalagi sebuah keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga inti dari anak pertama, kedua, dst. dan mereka punya anak-anak yang sudah punya anak-anak, dst. Lantaran ingin menjaga kesan supaya tidak ada anggota keluarga inti yang terluka, kadang satu pihak keluarga inti yang merasa tidak sepaham dengan keluarga inti lainnya akan cenderung mengabaikan ketidaksepahaman itu. Keluarga ini mengambil sikap wait and see, menunggu waktu terbaik untuk menyelesaikan ketidaksepahaman. Namun ada juga kelompok keluarga inti lain yang langsung menghilang karena menemui ketidaksepahaman, karena beranggapan ketidaksepahaman itu lebih baik tidak dibicarakan. Toh nanti tidak akan ada yang mau mengalah atau mengakui kesalahan. Langkah mereka diikuti oleh kelompok keluarga lainnya, mereka menghilang satu demi satu. Lambat laun musnahlah ikatan persaudaraan, hanya tinggal nama, foto-foto kenangan, dan makam para tetua saja.

Ketidaksepahaman dan konsekuensinya

Bisakah ketidaksepahaman itu berubah menjadi sepaham dalam waktu singkat, tanpa diskusi debat publik bertele-tele? Jawabannya, bisa. Tapi sayangnya ini tidak abadi. Pada waktu tertentu dan karena kesamaan kepentingan, semua perbedaan disingkirkan untuk membasmi musuh bersama. Bahkan puji-pujian dilontarkan demi mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma dari seseorang yang dibenci setengah mati. Istilahnya, baik karena ada maunya. Terdengar familiar? Pasti lah ya. Pasti ada satu di antara anggota keluarga Anda yang berkarakter seperti itu.

Beberapa waktu lalu sebuah media lokal terbitan Jawa Timur menulis tentang kecurigaan sejumlah pihak terhadap peran Presiden Rusia di balik peristiwa keracunan yang dialami seorang agen ganda bernama Skripal dan putrinya, Yulia. Disinyalir kalau racun yang digunakan adalah Novichok, sebuah racun syaraf yang merupakan buatan Rusia, sehingga dengan demikian pasti Rusia dalangnya. Begitulah menurut pemerintah Inggris. Artikel tersebut menjadi seram karena keracunan Novichok juga dialami Pyotr Verzilov yang namanya menjadi terkenal lantaran menerobos masuk ke lapangan saat pertandingan final Piala Dunia 2018 antara Kroasia vs Prancis sedang berlangsung. Pertandingan sepak bola kelas dunia, apalagi final, adalah gelaran yang ditunggu-tunggu semua lapisan masyarakat, baik pecinta bola sejati atau musiman. Siapa yang tidak geram bila pertandingan sakral itu diganggu seseorang, yang bukan suporter pendukung salah satu tim bahkan. Lalu siapakah gerangan penerobos gagah berani bernama Pyotr Verzilov ini?

Pyotr Verzilov adalah suami dari Nadezhda Tolokonnikova, seorang perempuan anggota band punk asal Rusia, Pussy Riot (Пусси Райот). Awalnya, mereka adalah kolektif yang didirikan tahun 2011 dan terdiri dari lusinan orang, laki-laki dan perempuan, yang saling berbagi tugas melakukan performance art dan sisanya mendokumentasikan aksi mereka dalam bentuk video dan diposting di internet. Salah satu anggota mereka, Garadzha (bukan nama sebenarnya) mengatakan, mereka terbuka buat para simpatisan dari kaum perempuan yang tidak bisa bermain musik. “You don’t have to sing very well. It’s punk. You just scream a lot.” Begitu katanya. Seperti band-band anarcho punk pada umumnya, mereka menyuarakan protes terhadap penguasa yang dipandang represif terhadap kebebasan berekspresi. Pussy Riot mendukung hak-hak LGBT dan mendeklarasikan feminism sebagai latar belakang perjuangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat anti gereja Russian Orthodox dan Presiden Vladimir Putin.

Meski kolektif dan band Pussy Riot sering mengekspresikan ide-ide mereka dalam bentuk performance art, namun aksi mereka bisa dibilang ekstrim, bahkan bagi kalangan scene punk di pelosok dunia. Pada penampilan publik pertama mereka di tahun 2011, para anggota Pussy Riot tampil di stasiun bawah tanah Moskow dan di atas gerbong kereta bawah tanah sambil merobek bantal bulu angsa. Pernah juga mereka tampil di atas atap penjara di mana dua anggota kolektif ditahan di tahun yang sama. Akan tetapi yang paling kontroversial adalah aksi tahun 2012 ketika mereka menerobos masuk ke Cathedral of Christ the Saviour dan sejumlah gereja lain di Moskow dan berjingkrak-jingkrak di altar. Semua aksi ini direkam dan dipublikasikan di dunia maya.

Dalam dunia anarcho punk berlaku dogma bahwa siapa pun harus siap dan bersedia menanggung konsekuensi atas tindakannya. Konsekuensi itu ada dua macam, konsekuensi baik dan konsekuensi buruk. Pussy Riots mendapat dukungan dari beragam kalangan, mulai dari organisasi internasional sekelas Amnesty International, para selebritis (Madonna, Bjork, dan Yoko Ono), politisi (Hillary Clinton), dan pastinya rekan-rekan sesama punk di Amerika Serikat, Eropa, dan sejumlah negara lainnya. Konsekuensi buruknya, para anggota sering keluar masuk penjara karena dianggap mengganggu ketentraman masyarakat. “Invasi” mereka ke sejumlah gereja di Moskow dinilai melecehkan agama, dan mengakibatkan Nadezhda Tolokonnikova, Yekaterina Samutsevich, dan Maria Aloykhina dituntut hukuman penjara dan kerja paksa selama dua tahun. Pada saat itu baik Tolokonnikova dan Aloykhina masing-masing sudah punya anak. Tolokonnikova sempat melakukan aksi mogok makan dalam upaya memrotes pelanggaran HAM di penjara. Meski aksi itu akhirnya berakibat ia harus dirawat di rumah sakit penjara selama beberapa minggu, tetap saja sebagian besar publik Rusia memandang negatif dan ogah-ogahan mendukung perjuangan mereka.

Sebuah petisi online di tahun 2013 diluncurkan untuk memohon pembebasan Tolokonnikova dari penjara, dan saya termasuk salah satu yang ikut menandatanganinya. Tidak banyak perempuan eksis di dunia punk yang sarat dengan imaji kejantanan. Apalagi yang berani melakukan tindakan-tindakan protes bahkan sampai dipenjara karena idealism mereka. Sesungguhnya dunia ini membutuhkan para perempuan seperti mereka yang berani menyuarakan ketidakberesan di sekitarnya. Pertanyaannya, siapkah kita dengan harga dari kebebasan berekspresi itu?

Ketidaksetaraan dan cara mengatasinya

Ngomong-ngomong, selain anarchy, dalam punk juga ada yang namanya equality alias kesetaraan. Dua frase ini seharusnya tidak dipisahkan dan saling mendukung agar siapa pun yang memilih punk sebagai jalan hidup selalu ingat bahwa pada saat pencarian kebebasan, dia tidaklah sedang sendirian. Selama ini para punks menganggap equality adalah kesetaraan diri pribadi dengan teman-teman sesama punk. Padahal selain teman-teman punknya, ada masyarakat, ada pemerintah, dan ada juga tetangga yang sama-sama manusia. Ketika seorang individu mengekspresikan pandangan hidup atau kritiknya terhadap sesuatu, ia berupaya dengan segala cara untuk menarik perhatian siapa pun baik yang memposisikan diri lebih rendah atau lebih tinggi agar mendengarkan suaranya. Dengan kata lain, ia “memaksa” siapa pun yang mendengarnya untuk menilai diri masing-masing sederajat dengannya. Ketika publik sudah mendengar apa isi di dalam perwujudan ekspresinya, diharapkan mereka bertindak secara bersama-sama.

Dibandingkan anarchy yang sering kali dipandang sebagai utopia, sesungguhnya equality masih dan akan selalu relevan dengan kekinian. Hal ini karena ketidaksetaraan akan selalu ditemukan di pelosok Bumi mana pun, tanpa memandang warna kulit, bahasa, kondisi geografis, ataupun ukuran celana. Dewasa ini, ketidaksetaraan adalah ancaman nyata setelah genderang perang dagang ditabuh oleh dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan Cina. Masing-masing pihak berdalih menaikkan tarif impor demi melindungi pasar dan kesejahteraan rakyatnya masing-masing. Inilah contoh pahit ketika patriotism mengambil alih rasionalitas dan mendorong kedua negara dalam ajang berbalas menaikkan tarif. Yang namanya perang pasti akan memakan korban, begitu pula dalam perang dagang ini. Dampak perang dagang meluas juga ke negara-negara lain di seluruh penjuru dunia, baik Asia, Afrika, dan Eropa, pada semua negara yang menjual produk mereka ke Amerika Serikat, termasuk Indonesia pastinya.

Kita sebagai masyarakat kebanyakan belakangan sudah mulai merasakan percikan api perang dagang ini dengan menguatnya dolar terhadap rupiah. Namun menuntut pemerintah agar menaikkan nilai rupiah dengan segera adalah irasional, karena selain akibat perang dagang, pelemahan rupiah saat ini sesungguhnya adalah buah dari sikap dan pandangan berbisnis yang telah menahun dan kita terlanjur menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Misalnya, kelangkaan komoditas tertentu secara mendadak dari pasar, atau naiknya sejumlah bahan pokok di event-event tertentu. Apakah merubah hal ini dengan segera akan menaikkan nilai rupiah? Sepertinya itu sulit untuk dilakukan bukan? Menurut prediksi, menaikkan ekspor adalah salah satu cara untuk bertahan dari perang dagang ini. Kita sebagai warga biasa sebenarnya bisa mendukung upaya itu dengan menjual kemampuan dan produk ke luar negeri. Penduduk Indonesia ini puluhan juta jumlahnya. Itu hanya usul saja sih dari saya yang tidak tahu apa-apa tentang dunia ekonomi dan finansial. Tapi bila semuanya tergerak melakukan hal yang sama, paling tidak bersama-sama mencari solusi sesuai bidang kita masing-masing untuk mengatasi dampak buruk kenaikan dolar, kita akan dipandang sebagai bangsa yang berdaya meski tidak bisa menang dalam perang dagang ini. Bukankah Leo Tolstoy pernah berkata, “The two most powerful warriors are patience and time”?

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah protes. Pastinya bukan protes ke pemerintah lokal ya, tapi protes ke pemerintah AS. Sejumlah band punk sudah punya lagu sentiment negatif terhadap AS, seperti The Exploited (Fuck The) USA, The Clash (I’m so Bored with the USA), We Called It America (NOFX), dan termasuk Pussy Riot yang sudah merilis Make America Great Again (sebuah lagu punk yang menyindir Donald Trump) sesaat sebelum pemilu presiden AS berlangsung. Dengan situasi terkini yang semakin memanas, ada kemungkinan daftar lagu-lagu sejenis akan bertambah panjang. Ketidaksepahaman antar anggota keluarga yang direspon dan diekspresikan secara ekstrim itu berbahaya, karena bisa membuat kita melupakan bahaya lain dan lebih ganas yang siap mengunyah kita sampai lumat. Alasan lainnya, peluang kita menyerang tapi salah sasaran juga terbuka lebar. (swastantika)



Sabtu, 17 Maret 2018

Menyederhanakan Penyesalan


Seperti apa sih wajah kita waktu sedang mengatakan “maaf”? Sebuah cermin mungkin akan mengatakan semuanya. Tapi pasti aneh bukan kalau kita bilang “maaf” sambil bercermin? Lawan bicara Anda mungkin akan menjauh pergi, bukan karena tidak mau memaafkan. Ia mungkin khawatir akan ketularan “penyakit” Anda.

Merasakan penyesalan, pada awalnya memang tidak mengenakkan. Pada suatu kondisi ketika penyesalan adalah sesuatu yang tidak bisa tidak kita katakan, manusia dihadapkan pada dua pilihan tentang bagaimana ia merespon desakan mengungkapkan penyesalan. Mengungkapkan penyesalan bersamaan dengan meruntuhkan gengsi-gengsi yang memagari, inilah pilihan pertama. Sedangkan pilihan kedua adalah menggunakan penyesalan sebagai lipstik. Penyesalan diungkapkan dalam kata-kata tanpa membiarkan kesadaran diri untuk menerimanya. Kedua pilihan ini kelihatannya sama-sama buruk. Pilihan pertama akan menimbulkan tamparan di muka seseorang. Tamparan yang begitu menyakitkan dan terngiang sepanjang hidupnya, mengingatkan agar jangan sampai kesalahan yang mengakibatkan penyesalan kembali terulang. Pilihan kedua malah lebih parah lagi, karena seseorang memaksa dirinya untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya bertentangan dengan kehendak bebasnya, yaitu tidak ingin menyesali perbuatannya. Persamaan kedua pilihan ini adalah, baik pilihan pertama maupun pilihan kedua sama-sama tak bisa menghapus kenyataan bahwa kesalahan atau sesuatu yang membuat seseorang merasa menyesal memang pernah terjadi. Bahkan sebuah pakaian yang pernah dicuci bersih pun tak dapat memungkiri kenyataan bahwa kotoran pernah menempel kepadanya.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh Friedrich Engels, “Alle mit Naturnotwendigkeit eintretenden Ereignissse tragen ihren Trost in sich, sie mogen noch so furchtbar sein”, atau “ Semua hal di alam yang mendapatkan penghiburan di dalam hal itu sendiri, mungkin adalah hal yang paling tak terperi.” Sesuatu peristiwa telah menjadi sebuah patahan dalam jiwa yang begitu pahit, sehingga diputuskan untuk tak akan diakui, baik dengan cara menyesalinya atau menuliskannya dalam buku sejarah kehidupan pribadi maupun publik. Siapa tak akan merasa pahit paska sebuah peristiwa besar yang merenggut nyawa banyak manusia? Peperangan besar di dunia seperti Perang Salib dan Perang Dunia dikenal semua umat berbagai kalangan dan jaman. Pernah nggak sih kita membayangkan siapa sesungguhnya pihak yang meraih semua kegemerlapan segera setelah perang dinyatakan berakhir? Nama-nama mereka memang bisa dilihat di buku sejarah. Tetapi apakah mereka para pemenang merasa puas dan semua masalahnya teratasi dengan kemenangan itu? Sulit untuk dijawab karena pihak X dan Y sama-sama menderita kerugian besar. Pihak X yang tercatat sebagai pemenang bahkan tak punya waktu untuk merayakan kemenangannya, lantaran sibuk memutar otak bagaimana cara ia melunasi semua pinjaman yang dipakai sebagai biaya untuk berperang. Sementara pihak Y yang menderita kekalahan harus menanggung stigma sebagai golongan musuh yang durjana dan wajib dimusuhi sampai selamanya.

The root of all “disorder” (Bibit semua penyakit)

Manusia memang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi di sekitarnya. Namun tingkat kecepatan untuk beradaptasi tidak sama. Penyebabnya, kesadaran manusia dibentuk oleh lingkungan sekitar di mana individu itu lahir, tinggal, dan dibesarkan. Sedangkan kondisi alam tidak sama antara belahan Bumi satu dan lainnya. Oleh karena itu, ada beragam reaksi yang ditampilkan sekelompok orang setelah mereka melalui sebuah peristiwa besar. Dalam Bahasa Inggris, reaksi itu disebut dengan “aftermath”, di mana “after” adalah sesudah dan “math” adalah matematika. Tidak seperti bahasa dan bidang ilmu sosial, matematika adalah ilmu yang paling jujur. Angka tidak bisa berbohong, tidak bisa dibengkokkan atau ditafsirkan dengan cara berbeda dari sudut pandang berbeda. Apa jadinya dunia ini bila suatu hari 2 + 2 = 5? Dalam Matematika, hasil suatu tindakan (persamaan) itu pasti dan bisa diketahui apa saja yang menyebabkan hasil tsb mengemuka. Ketika urutan angka dalam suatu operasi penjumlahan atau pengurangan diubah, hasilnya tetap sama. Yang bisa berbeda-beda adalah sumber, asal muasal, atau dari mana datangnya angka 2, 3, 13, 666, dan seterusnya. Meski sejarah telah mencatat sejuta pristiwa berbeda dari berbagai belahan dunia, beberapa di antara peristiwa besar itu ternyata hasilnya sama, yaitu penyesalan. Faktor situasi, kondisi, dan dinamika lingkungan sekitar pembentuk kesadaran inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan reaksi dan cara sekelompok manusia dalam merespon penyesalan.

Air yang mengalir di sungai tak pernah sama, alirannya menggerus tepian sungai sedikit demi sedikit tanpa ada yang menyadarinya. Namun alih fungsi hutan menjadi hunian juga berdampak pada sungai. Debit airnya berkurang, sehingga luas permukaan sungai semakin menyempit. Demikian juga wajah dunia dan suatu negara dibentuk oleh serangkaian peristiwa yang telah dialaminya dan oleh caranya bereaksi menanggapi peristiwa-peristiwa yang sejenis. Misalnya, sebuah negara mengalami krisis ekonomi, inflasi melonjak tinggi, pengangguran ada di mana-mana, sektor industri macet, hutang negara semakin bertumpuk. Sepertinya cepat atau lambat negara itu akan jatuh bangkrut. Ini bukan sebuah peristiwa baru dalam sejarah negara itu. Setelah menimbang satu dan lain hal, negara tsb akhirnya menerapkan proteksionisme dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak barang-barang atau badan usaha dari luar negeri yang berbisnis di negara tsb, bila diasumsikan bahwa menaikkan tarif pajak yang harus dibayar warga negaranya akan mengundang risiko impeachment alias menggoyang tampuk kekuasaan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pilihan itu, karena reaksi umum makhluk hidup mana pun yang merasa dirinya berada dalam bahaya adalah berupaya sebisanya untuk melindungi dirinya sendiri (protek/ to protect = melindungi). Asal muasal sikap itu pun bisa ditelusuri berdasarkan (lagi-lagi) catatan sejarah, dalam hal ini selain tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara.

Saya yakin, semua dasar fundamental di negara manapun tidak ada yang mengimbau warganya untuk tidak menerima adanya perbedaan. Semua menekankan pentingnya mengedepankan kesetaraan hak dan kewajiban tanpa memandang perbedaan, apakah itu perbedaan jenis kelamin, ras, suku, dan agama. Pada kenyataannya, perbedaan muncul bukan hanya pada masalah fisik atau keyakinan pribadi individu saja. Ada juga yang namanya perbedaan prinsip, baik prinsip ekonomi maupun prinsip politik. Apa boleh buat, ternyata teori menanggapi perbedaan lebih mudah daripada prakteknya. Bila individu atau kelompok masyarakat yang seumur hidupnya berada dalam lingkungan di mana ia atau mereka tak pernah menemukan adanya perbedaan, maka reaksi pertamanya terhadap perbedaan adalah defensif karena mekanisme otak mendefinisikan perbedaan itu sebagai sebuah ancaman. Salah satu bentuk manifestasi sikap defensif ini adalah dengan memproteksi diri. Sikap ini kemudian diwariskan secara turun temurun agar generasi selanjutnya untuk menanamkan cara pandang yang sama terhadap perbedaan. Media bolehlah menyanjung generasi milleneal dan adik-adiknya setinggi langit sebagai “generasi baru yang lebih baik”. Tapi, sekali lagi, kesadaran manusia dibentuk oleh kondisi yang melingkupinya. Sekarang waktu yang akan membuktikan apakah generasi penerus akan melestarikan dogma para pendahulunya, atau move on dan membuat cara pandang yang baru.

Apapun opsi yang dipilih, baik generasi muda, tua, setengah tua, atau yang belum lahir sekalipun sebaiknya mempertimbangkan bahwa penyesalan yang tak terungkapkan juga bisa menjadi bahan bakar bagi reaksi defensif terhadap perbedaan. Lama setelah berlangsungnya peristiwa penyebab penyesalan, seseorang atau sebuah kelompok mencoba menelaah kembali berbagai fakta yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Ketika ditemukan bahwa sebuah pembedalah yang menjadi pokok permasalahan, maka tindakan preventif sudah bisa ditebak. Tindakan itu adalah membabat habis faktor pembeda bahkan sejak ia masih berupa bibit. Ini adalah sebuah tindakan pragmatis yang memang bisa mengunci si pembeda di liang lahatnya. Namun tindakan tersebut belum mampu mengungkap satu pertanyaan besar, yaitu mengapa ada perbedaan, mengapa kita tak bisa sama? Kita harus menggerakkan diri sendiri untuk mencari penyebabnya. Tanpa menceburkan diri dalam kolam, kita tak akan bisa melihat dasarnya. Sama seperti cara kita merespon perbedaan. Tetap ada peluang bahwa setelah menyelam di dasar kolam, kita baru akan tahu bahwa ternyata di situ tidak ada buayanya. Saya bisa mengerti bila ternyata banyak dari kita yang tidak bisa berenang. Masalahnya sekarang adalah, maukah Anda belajar berenang untuk bisa melihat kecantikan ikan-ikan yang hidup di dalamnya? (swastantika).

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...