Kamis, 31 Desember 2020

Menjadi Bebas Bersama Pembatasan

 Apa yang terjadi pada otak manusia setelah terisolasi dari dunia luar sekian lama? Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa terisolasi secara fisik dan emosional cenderung mengakibatkan penurunan fungsi otak. Max Planck Institute for Human Development melakukan tes pada 9 awak stasiun penelitian Antartika Neumayer III, dan mereka mendeteksi adanya perubahan pada dentate gyrus, yaitu bagian otak yang memegang peranan penting dalam hal mempelajari dan mengingat sesuatu. Bagian otak ini telah menyusut 7% dalam waktu 14 bulan yang dihabiskan para kru menunaikan tugas mereka di Antartika. Pada kurun waktu tersebut, mereka bertahan hidup di tengah suhu minus 50 derajat Celcius, terpapar perubahan drastis cahaya alami dan tanpa kontak di lokasi terpencil ujung Utara Planet Bumi.

Para manula yang terisolasi cenderung lebih cepat mengalami penurunan kondisi kesehatan dibandingkan para manula dari kalangan usia yang sama, tetapi tidak enggan bersosialisasi dengan sesama dan keluarganya. Di masa pandemi COVID-19, para pasien yang kabur dari rumah sakit lantaran tidak betah terisolasi sudah bukan breaking news lagi. Sedangkan bagi seorang narapidana yang tengah berada di dalam kurungan, waktu berjalan sangat lambat.  Isolasi mengakibatkan perasaan kesepian yang mendalam, keputusasaan, dan tanpa harapan untuk masa depan. Depresi bisa menyerang siapa saja, baik tua dan muda, yang merasa kebebasan mereka terenggut dan tidak dapat lagi menikmati hidup bebas.  

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dijalani para pendahulu kita. Para penemu, ilmuwan, dan seniman ternama justru berhasil menciptakan buah karya terbaik dan pencapaian terbesar dalam bidang yang mereka tekuni setelah mengisolasi diri, menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia untuk berkontemplasi, menguji coba, menganalisa, menghubungkan pola-pola, dan merealisasikan ide-ide. Wabah Besar atau The Great Plague (1665-1666) adalah pandemi terbesar di era itu akibat meluasnya penyakit pes yang menewaskan 20% penduduk London. Wabah ini memaksa banyak orang mengisolasi diri, termasuk Sir Isaac Newton. Ia dan teman-teman sesama mahasiswa meninggalkan kampus Universitas Cambridge untuk mengisolasi diri agar tidak tertular penyakit.

Newton menyebut masa itu sebagai masa terproduktif dalam hidupnya, annus mirabilis (years of wonders) yang telah menciptakan ruang baginya untuk merefleksikan dan mengembangkan berbagai teorinya dalam hal optik, kalkulus, dan eksperimen prisma yang sangat terkenal sampai saat ini. Mungkin lantaran bosan terisolasi, Newton muda melubangi dinding kamarnya sehingga seberkas sinar matahari menerobos masuk. Ia letakkan dua buah prisma dalam posisi sejajar dan searah dengan pancaran sinar matahari. Dan ia takjub ketika dua prisma itu berhasil menguraikan sinar matahari menjadi tujuh macam warna. Ide untuk “menangkap” sinar matahari ini di kemudian hari berperan besar dalam penciptaan alat-alat fotografi, kamera video, televisi, layar komputer, dan layar hape Anda juga pastinya.

 

Keterbukaan sebagai Salah Satu Bentuk Isolasi

Dengan berjalannya waktu, isolasi bukan lagi bermakna keterkurungan di suatu tempat. Keterkurungan itu bukan hanya bisa diterapkan dengan membatasi gerak fisik seseorang, tetapi juga pada pola berpikir dan daya ciptanya. Newton sangat beruntung karena isolasi tidak berhasil mengurung imajinasinya ketika mengamati benda-benda di sekitarnya yang membosankan. Keterbatasan fasilitas di masa itu (masih belum ada listrik, apalagi internet) membuat manusia jaman kuno menjelajahi alam pikirannya sendiri agar bisa sejenak melupakan ketidaknyamanan akibat terkurung dalam waktu lama. Di tengah kontemplasi itulah mereka menemukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari jawaban melalui eksperimen-eksperimen. Dan hal ini juga dijalani sebagian kecil orang di tengah masa kuncitara COVID-19. Mereka membantu banyak orang melalui teknologi untuk mengatasi keterbatasan, tanpa tertular virus korona. Lihat penemuan-penemuan baru yang diciptakan selama pandemi di sini.  

Ada beberapa manusia yang berusaha mengatasi keterbatasan dengan membayangkan kalau batas-batas itu tidak ada. Pembatasan mobilitasnya sebagai individu memaksa seorang manusia menghabiskan banyak waktu dengan dirinya sendiri dan mengamati kondisi yang terjadi di dalam jiwa dan raganya. Reaksi yang pertama kali muncul sudah pasti adalah perlawanan, karena manusia yang sudah merasakan kenyamanan cenderung akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kenyamanan itu. Aksi protes anti lockdown yang terjadi di beberapa tempat adalah salah satu contoh nyata untuk kebiasaan ini.  

Apakah itu berarti keterbukaan dan atau kebebasan dari kekangan selalu lebih baik daripada pembatasan? Alam demokrasi mengizinkan masyarakat menyuarakan aspirasi dan berekspresi sebebas-bebasnya. Bagaimana mungkin kebebasan ini menjadi kurungan yang tidak terlihat? Bila diberi kebebasan untuk berselancar di internet, 80% dari kita akan memilih untuk mengakses hal-hal yang kita sukai dan tidak ada di dunia nyata. Itulah mengapa, para siswa yang bersekolah dari rumah lebih suka menonton YouTube daripada membuka Wikipedia, misalnya. Kebebasan di dunia maya juga sangat rapuh, karena hasrat untuk merebut semakin banyak likes dan views mendorong para netizen untuk mengekspos aktivitas yang sedang banyak disukai. Yang terjadi kemudian adalah keseragaman, baik dalam hal cara berekspresi maupun kualitas ekspresi itu sendiri.

Sungguh tak terbatas hal yang bisa kita gali dari internet, apa pun bisa kita pelajari mulai dari memasak, cara membangun rumah sampai belajar bahasa asing. Namun bila kita menganggap internet adalah sebuah tempat di mana kita bisa bersembunyi dari kejamnya dunia nyata, bisa dipastikan kita tidak akan mendapat apa-apa karena kita menganggap tempat tersebut sekedar pelarian dan bukan “rumah” di mana kita akan tinggal secara virtual. Internet adalah sebuah dunia lain dengan realita, norma-norma, dan hukum endemik yang khas dengan atau tanpa kaitan apa pun dengan dunia nyata.  Tanpa literasi digital yang progresif, para netizen akan berhenti berkembang dengan cara mengurung diri mereka di tengah mainstream tren terkini agar menghindari perundungan (bullying) secara daring atau pun luring. Alih-alih menjadi suatu momentum untuk memaknai kebebasan dengan cara berani bersikap berbeda tetapi bertanggung jawab, keterbukaan digital malah mengurung para netizen dalam arus utama di segala bidang, baik informasi, tren, maupun gaya hidup.

Contoh riilnya adalah pro dan kontra yang dialami vaksin COVID-19 buatan Institut Gamaleya, Sputnik V. Inisiatif pembuatan vaksin ini muncul akibat kerisauan tentang dampak sosial dan ekonomi yang harus diterima masyarakat global akibat pandemi. Globalisasi bukan hanya membuat semua negara bebas berdagang dengan pihak mana pun, tetapi juga membuat sektor perdagangan saling tergantung satu sama lain. Bila satu wilayah mengunci diri, semua pihak yang sebelumnya bekerja sama dengan wilayah ini juga akan terdampak.

Maka, satu-satunya cara menghentikan penyebaran virus adalah membuat seluruh komunitas global kebal terhadap virus dalam waktu yang bersamaan. Vaksin Sputnik V dikembangkan dalam waktu singkat, jauh lebih cepat dari produsen lainnya untuk mengejar tenggat tersebut dan dengan harga yang lebih terjangkau. Namun permainan politik kotor para kompetitor berusaha mencari celah untuk menurunkan reputasi vaksin COVID-19 pertama yang diakui oleh WHO. Setelah menuding Sputnik V sengaja melewati uji klinis Fase III dan keamanannya dipertanyakan, beberapa media menyorot reaksi alergi yang dialami sejumlah relawan yang menerima vaksin ini.

 

Mempersiapkan Diri Memetik Buah Ekspresi

Berbicara kebebasan berekspresi menyiratkan dua jenis tindakan yang berbeda arah. Yang pertama adalah mengekspresikan diri, sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat masing-masing. Sedangkan yang kedua adalah mengekspresikan pendapat tentang sesuatu peristiwa atau fenomena yang terjadi di sekeliling kita. Bila pihak yang pertama adalah penampil, maka pihak kedua adalah penonton. Bila pihak pertama bebas melakukan apa saja yang ia inginkan, pihak kedua bebas mengomentari apa yang dilakukan pihak kedua. Hubungan semacam ini biasa ditemukan dalam pergaulan digital, terutama di jejaring sosial.

Bertahun-tahun sebelum Mark Zuckerberg mendapat pencerahan untuk mendirikan Facebook, hubungan antara pengomentar dan terkomentar sudah terjadi di tempat lain, yaitu di sebuah kampus di mana saya sempat menempuh pendidikan seni. Para mahasiswa di kampus saya mempelajari seni rupa, seni pertunjukan, dan seni media elektronik. Setiap mahasiswa di akhir tiap semester harus mempresentasikan karya seni mereka di hadapan dosen dan rekan-rekan se-angkatan, di mana presentasi tersebut menjelaskan tentang judul karya, proses penciptaan, dan alasan penciptaan karyanya. Di akhir presentasi siapa saja boleh bertanya tentang karyanya, dan ia harus bisa mempertahankan konsep yang sudah disiapkan. Perdebatan tentang karya juga biasa terjadi di koridor kampus, warung kopi, bahkan kos-kosan. Perdebatan bisa berlangsung sengit, tetapi untunglah semua itu tidak dibawa masuk ke hati karena tujuannya adalah saling memberikan pendapat tentang progress masing-masing.

Dengan menjadi peserta interaksi semacam ini, siapa saja akan memahami bahwa kita akan memetik apa yang kita tanam. Artinya, selalu ada konsekuensi dari segala yang kita yakini dan kita membiarkan mereka di luar kita mengetahuinya. Mengingat reaksi yang akan muncul bisa sangat massif dan pedas, akhirnya kita menciptakan sendiri batas-batas untuk meluruskan kebebasan kita ke jalan yang benar. Kita akan berpikir panjang sebelum bertindak apabila nurani mengakui kalau kita sebenarnya belum siap memetik buahnya. Sebuah moral compass ternyata bisa kita ciptakan sendiri tanpa perintah pihak lain, di mana akhirnya kita bisa menajdi juragan atas diri kita sendiri. Namun tentunya, panjang sekali jalan yang harus kita tempuh agar bisa mencapai tahap ini.

Adalah sebuah kewajaran bila di saat ini kita merasa belum siap memetika buah ekspresi, dan memilih untuk menahan diri tidak mengeluarkan statement yang memancing kehebohan. Memilih untuk mengikuti mainstream dan hidup dalam damai juga adalah sebuah pilihan, sehingga hal ini juga merupakan salah satu bentuk kebebasan dalam menentukan sikap. Apakah dengan memilih menjadi mainstream akan aman hidup kita selamanya? Apa pun yang menunggu kita di akhir hari, bukan ini yang menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah sudah cukup kuatkah jantung Anda menerima kejutan-kejutannya? (swast) 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...