Senin, 14 Desember 2015
Pahlawan Berkepribadian Ganda
Siapa
sih dia? Mengapa dia dijuluki pahlawan, dan mengapa pula dia harus kita akui
sebagai pahlawan? Kita sebenarnya sudah tahu apa jawaban pertanyaan-pertanyaan
itu. Hanya saja, pahlawan dalam dunia nyata sering kali menimbulkan pro dan
kontra dan bukannya kekaguman seperti yang kita rasakan pada para tokoh
superhero dunia khayalan. Selaras dengan sebuah pertanyaan klasik, ‘mengapa
seseorang yang membunuh musuhnya dalam perang dianggap pahlawan, sedangkan
seseorang yang membunuh musuhnya dalam perkelahian di bar disebut pembunuh?’
Industri
komik dan animasi melahirkan ratusan tokoh superhero setiap tahun, bahkan
mungkin setiap minggu. Tapi saya hanya mengenal satu dan dia bernama Batman. Buat
saya dialah satu-satunya superhero yang mendekati kenyataan karena dia tak
punya kekuatan super yang jatuh dari langit, namun syukurlah ia anak orang kaya
sehingga tak pernah kekurangan uang untuk meneruskan hobinya menegakkan
kebenaran.
Di
siang hari Bruce Wayne adalah seorang pebisnis, milyuner yang dikelilingi
banyak wanita dan pusat perhatian media massa. Di malam hari ia suka
berjalan-jalan sendiri, berkostum hitam-hitam, berdiri di atap gedung tinggi
mencari-cari orang jahat yang mengganggu ketertiban umum.
Mengapa Bruce mau capek-capek
menangkap maling di kala semua orang sedang tertidur? Apakah karena ia memang
bercita-cita jadi polisi sejak kecil karena kedekatannya dengan Jim Gordon,
seorang polisi yang menemaninya tepat di saat orangtuanya terbunuh? Atau karena
ia benar-benar ingin mengamankan situasi Gotham, karena suasana kacau tak baik
untuk bisnis? Atau mungkin karena ia
menderita dissociative personality disorder (gangguan kepribadian terbelah)
akibat trauma masa kecil?
Jauh
sebelum Bob Kane menciptakan Batman, ratusan tahun sebelumnya kitab Mahabharata
sudah muncul duluan dan kita bisa menemukan banyak sekali tokoh penyelamat di
dalamnya dengan permasalahan personal mereka sendiri. Di sisi Pandawa kita
pasti udah kenal sama yang namanya Arjuna, si pahlawan yang gagah perkasa dan
ganteng pula. Namun semua kekuatannya seakan sirna dan ia seakan lumpuh ketika
istrinya, Drupadi, (atau kakak iparnya kalo menurut versi Jawa) dipermalukan di
depan umum dalam permainan dadu. Seperti Bruce Wayne, Arjuna disinyalir juga
mengalami dissociative personality disorder karena ia berhasil menyamar menjadi
banci bernama Brihanala selama dua tahun tanpa ketahuan saat menjalankan misi
penyamaran di Kerajaan Wirata.
Dari
sini kita bisa mengumpulkan berbagai persamaan dari dua tokoh legendaris dari
jaman yang berbeda, sama-sama gagah, pembela kebenaran, ganteng, pujaan wanita,
kaya, terkenal, tapi juga sama-sama berkepribadian ganda/ terbelah, dan
dua-duanya juga sanggup melakukan apapun demi menaklukkan musuhnya, termasuk
membunuh. Singkat kata, ketidaksempurnaan itu selalu ada di setiap makhluk,
termasuk pada para pahlawan.
Harapan, sumber segala bencana
Ketika
kita masih anak-anak, dunia tampak lebih indah karena kita belum tahu pahit
getirnya mencari nafkah, maupun dendam membara akibat cinta yang ditolak. Kita
dididik untuk selalu condong pada sisi kebenaran, sisi orang baik-baik, karena
orangtua mana yang tak hancur hatinya melihat anaknya menderita akibat
perbuatan yang salah. Karena penjara pasti akan penuh sesak jika semua anak di
dunia ini menjadi penjahat.
Akan
tetapi, dunia nyata, sekali lagi, seringkali bertolak belakang dari konsep
kehidupan ideal yang sudah ditanamkan dalam otak kita sejak usia dini. Dalam
kehidupan nyata kejahatan lebih sulit ditaklukkan, karena para penjahat selalu
mempunyai cara baru untuk menjalankan misinya, selalu bisa mencari
kolega-kolega baru untuk mencapai tujuannya. Tujuan mereka pun semakin
bervariasi, mulai dari memperkaya diri atau sengaja berbuat onar atas perintah
penjahat yang jauh lebih jahat dari dirinya atau seseorang penjahat lain yang
(ternyata) menderita sindrom kepribadian terbelah, yaitu ingin menjadi orang baik
dengan cara yang jahat.
Dalam
jiwa seseorang semacam ini tersembunyi harapan dan cita-cita yang tinggi, namun
ia ogah bekerja keras untuk mencapai tujuannya. Cara singkat yang dipilihnya
juga bervariasi, mulai dari menjual jiwanya kepada iblis, hingga menjual
nuraninya kepada uang. Dari menjual sensasi demi ketenaran, sampai menjual alam
kepada pemilik modal. Maka orangtua sebaiknya jangan menaruh harapan yang
terlalu tinggi kepada anak, kecuali Anda bisa mengetahui karakternya sejak ia
dilahirkan. Harapan yang tinggi memang baik untuk dijadikan motivasi, tapi
bukan itu saja yang bisa dilakukan sebuah hal bernama harapan.
Dilihat
dari arti katanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harap berarti keinginan
akan sesuatu agar terjadi. Sedangkan keinginan ada kaitannya dengan nafsu,
dengan sesuatu yang tidak kita miliki saat ini tapi kita berandai-andai agar
sesuatu itu ada dan menjadi milik kita. Saat mencermati asal katanya saja kita
sudah bisa menyimpulkan, harapan cenderung menyesatkan dan menjadi beban hati
karena dengan berharap kita mengarahkan diri kita untuk mendekati khayalan
tentang apa yang tidak/ belum kita miliki saat ini sehingga menjauhkan diri
dari kenyataan.
Percaya
atau tidak, penggemar DC Comics yang berusia dewasa telah mengganti pahlawan
mereka dari Batman menjadi Joker. Mereka bilang, Jokerlah yang sebenarnya
pantas dianggap pahlawan. Apakah mereka juga gila seperti Joker? Mungkin tidak,
mereka mungkin hanya menderita putus asa berkepanjangan melihat segala kekacauan
terus berlangsung di dunia dan tak pernah ada Batman yang cukup perkasa untuk
mengalahkan mereka semua.
Satu alasan yang membuat fans mengidolakan Joker adalah kelihaiannya merancang satu bom untuk membumihanguskan Kota Gotham dalam waktu singkat. Saat Kota Gotham dihancurkan, orang baik mungkin akan banyak yang mati, tapi orang jahat juga banyak yang mati kan? Hukum sudah gagal menjalankan khittahnya sebagai payung penjamin keadilan umat manusia, kenapa nggak kita coba sebuah cara baru yang lebih cepat, tepat dan ‘fun’? Mungkin itu yang mereka pikirkan.
Satu alasan yang membuat fans mengidolakan Joker adalah kelihaiannya merancang satu bom untuk membumihanguskan Kota Gotham dalam waktu singkat. Saat Kota Gotham dihancurkan, orang baik mungkin akan banyak yang mati, tapi orang jahat juga banyak yang mati kan? Hukum sudah gagal menjalankan khittahnya sebagai payung penjamin keadilan umat manusia, kenapa nggak kita coba sebuah cara baru yang lebih cepat, tepat dan ‘fun’? Mungkin itu yang mereka pikirkan.
Ya,
harapan mereka akan kehidupan yang lebih baik ternyata hampa belaka dan palsu.
Menyalahkan para pemimpin lokal dan dunia tiada berarti lagi. Karena mereka,
para pemimpin, itu sudah depresi dan tak mampu lagi mendengar suara apapun
selain suaranya sendiri. Menyesali tindakan atau aktivitas berharap yang dulu
pernah kita lakukan, atau menyesali harapan yang tersia-sia, atau menyesali
keputusan karena berharap pada seseorang yang ternyata tidak capable tidaklah
cukup. Cara mengatasi kesemerawutan ini hanya ada satu jalan, yaitu jangan berhenti
berjalan dan jangan berharap lagi.
Strategi rayuan gombal
Kita
tahu orang Jawa jaman dahulu selalu meletakkan keris, senjata andalannya, di
punggung. Mengapa harus di punggung? Mengapa tidak diselipkan di dada, atau di
pinggang? Meletakkan senjata tajam di pinggang memang tampak lebih praktis
karena senjata lebih mudah dijangkau. Tapi musuh dapat dengan mudah membaca
gesture tubuh Anda yang bersiap hendak menyerang dan ia bisa lebih dulu
menyerang Anda.
Lain hal kalo kita meletakkan senjata di punggung. Musuh di depan tidak bisa melihat apakah kita membawa senjata atau tidak. Dia juga tidak bisa memastikan apakah tangan kita sedang garuk-garuk punggung atau mencomot senjata. Yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar mengamati musuh dan memutuskan saat yang tepat mencabut keris dengan perkasa.
Strategi ini sesuai sekali dengan karakter orang Jawa yang lemah lembut dan cenderung menjaga perasaan orang lain. Untuk menghindari konfrontasi mereka tak segan menampakkan persetujuan, meski dalam hatinya memberontak. Namun tujuan strategi keris pun telah bergeser seiring dengan berlalunya waktu.
Lain hal kalo kita meletakkan senjata di punggung. Musuh di depan tidak bisa melihat apakah kita membawa senjata atau tidak. Dia juga tidak bisa memastikan apakah tangan kita sedang garuk-garuk punggung atau mencomot senjata. Yang perlu kita lakukan hanyalah bersabar mengamati musuh dan memutuskan saat yang tepat mencabut keris dengan perkasa.
Strategi ini sesuai sekali dengan karakter orang Jawa yang lemah lembut dan cenderung menjaga perasaan orang lain. Untuk menghindari konfrontasi mereka tak segan menampakkan persetujuan, meski dalam hatinya memberontak. Namun tujuan strategi keris pun telah bergeser seiring dengan berlalunya waktu.
Di
masa lalu orang menyimpan keris di belakang punggung dengan tujuan untuk
membela dan mempertahankan diri. Di masa kini orang menyimpan wajah buruknya di
belakang punggung agar dapat merayu seseorang jatuh dalam pelukannya dan memberikan
apa yang ia inginkan.
Demi
meraih tujuan mereka mampu bersikap baik dan memasang senyum selebar mungkin untuk
menutupi sadisme dalam dirinya. Apakah sebutan yang patut kita berikan pada
orang yang tetap mampu tertawa lebar setelah membunuh ratusan jiwa manusia?
Ironisnya,
sindrom ini telah menyebar luas ke berbagai tempat belakangan ini. Di dalam
komik seorang tokoh memanfaatkan gangguan jiwa yang dialami akibat kepribadian
terbelah untuk membasmi kejahatan. Di dunia nyata seseorang bisa tampil bak
malaikat dengan tujuan membaik-baikkan dirinya dan menutupi perbuatan jahat
yang dilakukannya di belakang layar. Sekarang siapa yang lebih terganggu
jiwanya, mereka yang ada di rumah sakit jiwa atau mereka yang setiap hari
tampil di televisi sebagai pejabat dan politikus?
Tulisan
ini saya tutup dengan sebuah kesimpulan, bahwa berterus terang bahwa kita ini
adalah orang jahat ternyata lebih sulit daripada berterus terang kita ini orang
baik. Sebuah noda tak akan pernah hilang dengan hanya disembunyikan. Layar yang
menutupi noda itu harus diangkat dan terlihat sebelum kita bisa memutuskan apa
yang sebaiknya kita lakukan untuk membersihkan npda itu untuk selamanya.
(swastantika)
Langganan:
Postingan (Atom)
Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...
-
Kesulitan ekonomi bukanlah sesuatu yang memalukan, bisa menimpa siapa saja dan di mana saja, mulai dari seorang ibu tunggal di pedesaan samp...
-
Karena satu dan lain hal, kita berutang pada seseorang, sebuah bank, pinjaman online, atau pihak manapun sebagai pemberi pinjaman. Dengan me...
-
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...