Selasa, 15 Maret 2022

Bukan Perang Dunia III, Melainkan Akhir Liberalisme

 “Those who do not remember the past are condemned to repeat it,” kata George Santayana. Perang urat saraf antara Rusia vs Eropa dan Amerika Serikat terkait perekrutan Ukraina sebagai anggota baru NATO telah berubah menjadi adu senjata sejak 24 Februari 2022. Presiden Rusia Vladimir Putin berulang kali menegaskan bahwa tujuan operasi militer khusus Rusia adalah “denazifikasi” dan “demiliterisasi” militer Ukraina dari ideologi dan antek-antek ultranasionalis yang telah menebar teror atas ribuan warga Rusia di Ukraina, terutama mereka yang tinggal di wilayah Donetsk and Lugansk People’s Republics (DLPR) yang telah menjadi korban sejak 2014. Dunia seolah menutup mata atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama bertahun-tahun, sehingga Rusia memutuskan untuk memusnahkan fasilitas militer Ukraina tanpa menyerang warga sipil.

Siapa dan apa kelompok ekstremis sayap kanan yang disebut-sebut sebagai virus bagi masyarakat Ukraina? Sebuah situs mengaitkan keberadaan mereka sebagai ekses dari peristiwa unjuk rasa massal yang berbuntut penggulingan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych di tahun 2014, atau populer dengan sebutan Euromaidan. Mengingat sejarahnya sebagai bekas wilayah Uni Soviet, dunia Barat cenderung memandang Euromaidan adalah momen “kemenangan” rakyat Ukraina atas “penguasa asing” Rusia, karena Yanukovych pro Rusia. Larut dalam euforia terbebas dari pengaruh Rusia, sekelompok anak muda Ukraina yang pernah menjadi penggerak dalam aksi massal Euromaidan berubah menjadi massa liar tanpa pemimpin kuat.

Dengan berjalannya waktu, slogan nasionalisme Ukraina berubah menjadi ultranasionalisme. Kelompok yang menamakan dirinya The Right Sector bukan hanya mengumandangkan kebanggaan atas identitas Ukraina, tetapi juga ujaran kebencian terhadap para aktivis perempuan, LGBT, dan anti orang asing. Namun akar far-right (sayap kanan) Ukraina sesungguhnya sudah tumbuh sejak 1929 dengan berdirinya Organization of Ukrainian Nationalists (OUN), yang menjadi radikal di tengah peperangan Ukraina melawan Polandia saat itu. OUN terpisah menjadi OUN (b) yang dipimpin Stepan Bandera, dan OUN(m) dengan ketuanya Andrii Mel’nyk. Dua tokoh yang sama-sama totalitarian, anti Semit, dan fasis. Ketika Nazi merambah Ukraina, OUN(m) menyatakan kesetiaan pada Adolf Hitler. Paska Euromaidan, pemerintah nasionalis Ukraina menulis ulang sejarahnya, antara lain dengan menghapus tokoh-tokoh pro Soviet Rusia dari buku sejarah dan menjadikan tokoh fasis Stepan Bandera sebagai pahlawan.

 

Sejarah yang Berulang

Uni Eropa dan Amerika Serikat, pada akhirnya, memenuhi sumpah mereka untuk mempersulit ekonomi Rusia bila Presiden Putin benar-benar memerintahkan penyerangan atas Ukraina. Terhitung sejak pemberlakuan operasi militer di Ukraina, Rusia telah menerima ribuan sanksi dan restriksi yang meliputi embargo ekonomi, perdagangan, finansial, teknologi, media massa, energi, dan larangan terbang bagi pesawat-pesawat buatan atau milik maskapai penerbangan Rusia. Restriksi juga menjalar ke berbagai bidang yang seharusnya ranah bebas politik seperti seni, sastra, dan olahraga. Sentimen anti Rusia merebak di seluruh dunia, bahkan anjing dan kucing endemik Rusia dilarang mengikuti kompetisi binatang peliharaan. Jejaring media sosial yang mengklaim menjunjung tinggi kebebasan berbicara memperbolehkan ujaran kebencian terhadap warga negara Rusia.

Fenomena ini mendekati pengulangan sejarah kelam yang pernah terjadi di awal abad ke-20, ketika Nazi menancapkan kukunya di tanah Jerman. Atas dasar nasionalisme sempit yang berlandaskan kesukuan, Nazi memberlakukan peraturan anti Yahudi Jerman. Ratusan ribu orang Yahudi dipecat dari pekerjaan, aset-aset mereka dibekukan dan disita, termasuk bisnis atau perusahaan yang mereka miliki. Para artis dan atlet keturunan Yahudi dilarang bertanding atau tampil di depan publik. Akses pendidikan untuk anak-anak Yahudi ditutup. Bersama etnis Rusia, Polandia, dan Rumania, kaum Yahudi dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk dipekerjakan sebagai budak sebelum akhirnya meregang nyawa.

Tragedi zaman modern yang lazim disebut Holocaust telah menjadi bahan cerita ratusan film dan novel, beberapa di antaranya bahkan memenangkan penghargaan internasional. Rupanya semua itu justru menginspirasi beberapa orang untuk menjadi Nazi-Nazi baru zaman sekarang. Slogan-slogan persatuan dan anti rasisme terbukti tiada bertaji dan gagal netral dalam konflik Ukraina. Di tengah tekanan internasional, beberapa negara yaitu China, India, Israel, Turki, Uni Emirat Arab, Venezuela, Serbia, Pakistan, Kuba, Belarusia, Meksiko, Myanmar, dan mayoritas negara Asia Tengah menyatakan tidak akan menjatuhkan sanksi kepada dan mempertahankan hubungan diplomatik mereka dengan Rusia. Sebuah perpaduan negara-negara dengan keanekaragaman latar belakang sejarah yang “unik”. Namun banyak pihak, terutama kalangan Barat, meragukan kemampuan bakal aliansi ini bertahan menghadapi ancaman, tekanan, dan sanksi unilateral dari Amerika Serikat dan para sekutunya. Yang jelas, Rusia melalui Wakil Menteri Luar Negeri Sergey Vershinin telah menegaskan bahwa sanksi-sanksi Barat tidak akan mengubah pendirian Rusia.  

 

Akhir Sebuah Masa

Beberapa saat sebelum pandemi COVID-19, wacana Revolusi Industri 4.0 menjadi tren di beberapa negara. Istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, di tahun 2015 yang mengacu pada perubahan cepat di bidang teknologi, industri, dan pola-pola serta proses sosial di abad 21 berkat meningkatnya inter konektivitas dan otomasi cerdas. Bentuk perubahan ini di antaranya adalah kemunculan kecerdasan buatan, pengeditan gen, hingga robot-robot mutakhir yang menggantikan tenaga manusia demi terwujudnya efisiensi industri. Kemajuan era digital hingga terciptanya metaverse, yang bertujuan pemutakhiran komunikasi dan cara mengenal serta berinteraksi dengan jagat sekitar kita, semua ini adalah sedikit contoh dari apa yang bisa dihasilkan Revolusi Industri 4.0.

Dengan efisiensi yang makin tinggi, akan lebih banyak produk atau barang siap jual dalam waktu singkat jika dibandingkan teknik produksi tradisional yang masih menggunakan tenaga manusia. Akan tetapi, kenaikan hasil produksi tidak selalu berbanding lurus dengan bertambahnya tingkat permintaan. Para pelaku industri selalu membutuhkan konsumen dan pasar baru agar hasil produksi mereka bisa diserap dan memperoleh pendapatan. Persaingan usaha di mana pun adalah sesuatu yang wajar saja, sebetulnya. Hal ini menjadi tidak wajar ketika para pelaku industri melakukan monopoli usaha dengan tujuan menyingkirkan para pesaing secara paksa.

Niat menyingkirkan Rusia (dan China) dari percaturan bisnis internasional sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Bisa kita lihat dari kenaikan tarif unilateral yang pernah dijatuhkan Amerika Serikat kepada China di tahun 2019, atau upaya AS memanfaatkan CAATSA untuk menakut-nakuti berbagai negara yang ingin membeli produk-produk militer buatan Rusia. Ketika berbagai produk Rusia menghilang dari pasar, mereka yang hadir menggantikannya kemungkinan besar adalah para pesaing bisnis dengan tendensi monopoli usaha demi meningkatkan pendapatan.

“Tetapi kapitalisme tidak tinggal di zaman mudanya saja, kapitalisme itu menjadi subur, membesar, meningkat, dan menua … Kapitalisme itu kini sudah tidak lagi di zaman “Aufstieg (Bangkit)”, tetapi “Niedergang (turun)” … Kini yang lemah telah tersapu dari muka bumi, atau telah tergabung menjadi persekutuan besar satu dengan yang lain; yang maha besar. Kini malahan persekutuan-persekutuan besar itu telah selesai perjuangannya dengan yang lain; kini tinggal badan-badan monopool (monopoli) saja yang berhadapan satu sama lain. Vrij concurentie (persaingan bebas) sudah selesai, tidak perlu lagi. Yang perlu ialah menjaga tegaknya raksasa-raksasa monopool itu saja. Maka oleh karena itu liberalisme dan parlementaire democratie (demokrasi parlementer) lantas “tidak laku lagi” … Liberalisme dibuang jauh-jauh, diperkutukkan sebagai sistem kolot yang sudah tak laku lagi … dan dilahirkanlah satu sistem baru yang cocok dengan menjaga tegaknya monopool itu. Satu sistem baru yang sudah tentu bersifat monopool pula … inilah sistem fasisme!” (Dikutip dari “Di Bawah Bendera Revolusi” oleh Ir.Soekarno, 1959).

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...