“Those who do not remember the past are condemned to repeat it,” kata George Santayana. Perang urat saraf antara Rusia vs Eropa dan Amerika Serikat terkait perekrutan Ukraina sebagai anggota baru NATO telah berubah menjadi adu senjata sejak 24 Februari 2022. Presiden Rusia Vladimir Putin berulang kali menegaskan bahwa tujuan operasi militer khusus Rusia adalah “denazifikasi” dan “demiliterisasi” militer Ukraina dari ideologi dan antek-antek ultranasionalis yang telah menebar teror atas ribuan warga Rusia di Ukraina, terutama mereka yang tinggal di wilayah Donetsk and Lugansk People’s Republics (DLPR) yang telah menjadi korban sejak 2014. Dunia seolah menutup mata atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama bertahun-tahun, sehingga Rusia memutuskan untuk memusnahkan fasilitas militer Ukraina tanpa menyerang warga sipil.
Siapa dan apa kelompok ekstremis sayap kanan yang
disebut-sebut sebagai virus bagi masyarakat Ukraina? Sebuah situs
mengaitkan keberadaan mereka sebagai ekses dari peristiwa unjuk rasa massal
yang berbuntut penggulingan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych di tahun 2014,
atau populer dengan sebutan Euromaidan. Mengingat sejarahnya sebagai bekas
wilayah Uni Soviet, dunia Barat cenderung memandang Euromaidan adalah momen
“kemenangan” rakyat Ukraina atas “penguasa asing” Rusia, karena Yanukovych pro
Rusia. Larut dalam euforia terbebas dari pengaruh Rusia, sekelompok anak muda
Ukraina yang pernah menjadi penggerak dalam aksi massal Euromaidan berubah
menjadi massa liar tanpa pemimpin kuat.
Dengan berjalannya waktu, slogan nasionalisme Ukraina
berubah menjadi ultranasionalisme. Kelompok yang menamakan dirinya The Right
Sector bukan hanya mengumandangkan kebanggaan atas identitas Ukraina, tetapi
juga ujaran kebencian terhadap para aktivis perempuan, LGBT, dan anti orang
asing. Namun akar far-right (sayap
kanan) Ukraina sesungguhnya sudah tumbuh sejak 1929 dengan berdirinya Organization
of Ukrainian Nationalists (OUN), yang menjadi radikal di tengah peperangan
Ukraina melawan Polandia saat itu. OUN terpisah menjadi OUN (b) yang dipimpin
Stepan Bandera, dan OUN(m) dengan ketuanya Andrii Mel’nyk. Dua tokoh yang
sama-sama totalitarian, anti Semit, dan fasis. Ketika Nazi merambah Ukraina,
OUN(m) menyatakan kesetiaan pada Adolf Hitler. Paska Euromaidan, pemerintah
nasionalis Ukraina menulis ulang sejarahnya, antara lain dengan menghapus
tokoh-tokoh pro Soviet Rusia dari buku sejarah dan menjadikan tokoh fasis
Stepan Bandera sebagai pahlawan.
Sejarah yang Berulang
Uni Eropa dan Amerika Serikat, pada akhirnya, memenuhi sumpah
mereka untuk mempersulit ekonomi Rusia bila Presiden Putin benar-benar
memerintahkan penyerangan atas Ukraina. Terhitung sejak pemberlakuan operasi
militer di Ukraina, Rusia telah menerima ribuan sanksi dan restriksi yang
meliputi embargo ekonomi, perdagangan, finansial, teknologi, media massa,
energi, dan larangan terbang bagi pesawat-pesawat buatan atau milik maskapai
penerbangan Rusia. Restriksi juga menjalar ke berbagai bidang yang seharusnya ranah
bebas politik seperti seni, sastra, dan olahraga. Sentimen
anti Rusia merebak di seluruh dunia, bahkan anjing dan kucing endemik Rusia
dilarang mengikuti kompetisi binatang peliharaan. Jejaring
media sosial yang mengklaim menjunjung tinggi kebebasan berbicara
memperbolehkan ujaran kebencian terhadap warga negara Rusia.
Fenomena ini mendekati pengulangan sejarah kelam yang pernah
terjadi di awal abad ke-20, ketika Nazi menancapkan
kukunya di tanah Jerman. Atas dasar nasionalisme sempit yang berlandaskan
kesukuan, Nazi memberlakukan peraturan anti Yahudi Jerman. Ratusan ribu orang
Yahudi dipecat dari pekerjaan, aset-aset mereka dibekukan dan disita, termasuk
bisnis atau perusahaan yang mereka miliki. Para artis dan atlet keturunan
Yahudi dilarang bertanding atau tampil di depan publik. Akses pendidikan untuk
anak-anak Yahudi ditutup. Bersama etnis Rusia, Polandia, dan Rumania, kaum
Yahudi dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk dipekerjakan sebagai budak
sebelum akhirnya meregang nyawa.
Tragedi zaman modern yang lazim disebut Holocaust telah
menjadi bahan cerita ratusan film dan novel, beberapa di antaranya bahkan
memenangkan penghargaan internasional. Rupanya semua itu justru menginspirasi beberapa
orang untuk menjadi Nazi-Nazi baru zaman sekarang. Slogan-slogan persatuan dan
anti rasisme terbukti tiada bertaji dan gagal netral dalam konflik Ukraina. Di
tengah tekanan internasional, beberapa negara yaitu China, India, Israel,
Turki, Uni Emirat Arab, Venezuela, Serbia, Pakistan, Kuba, Belarusia, Meksiko,
Myanmar, dan mayoritas negara Asia Tengah menyatakan tidak akan menjatuhkan sanksi
kepada dan mempertahankan hubungan diplomatik mereka dengan Rusia. Sebuah
perpaduan negara-negara dengan keanekaragaman latar belakang sejarah yang
“unik”. Namun banyak pihak, terutama kalangan Barat, meragukan kemampuan bakal aliansi
ini bertahan menghadapi ancaman, tekanan, dan sanksi unilateral dari Amerika
Serikat dan para sekutunya. Yang jelas, Rusia melalui Wakil Menteri Luar Negeri
Sergey Vershinin telah menegaskan
bahwa sanksi-sanksi Barat tidak akan mengubah pendirian Rusia.
Akhir Sebuah Masa
Beberapa saat sebelum pandemi COVID-19, wacana Revolusi
Industri 4.0 menjadi tren di beberapa negara. Istilah ini dipopulerkan pertama
kali oleh Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, di tahun 2015 yang
mengacu pada perubahan cepat di bidang teknologi, industri, dan pola-pola serta
proses sosial di abad 21 berkat meningkatnya inter konektivitas dan otomasi
cerdas. Bentuk perubahan ini di antaranya adalah kemunculan kecerdasan buatan,
pengeditan gen, hingga robot-robot mutakhir yang menggantikan tenaga manusia
demi terwujudnya efisiensi industri. Kemajuan era digital hingga terciptanya
metaverse, yang bertujuan pemutakhiran komunikasi dan cara mengenal serta
berinteraksi dengan jagat sekitar kita, semua ini adalah sedikit contoh dari
apa yang bisa dihasilkan Revolusi Industri 4.0.
Dengan efisiensi yang makin tinggi, akan lebih banyak produk
atau barang siap jual dalam waktu singkat jika dibandingkan teknik produksi
tradisional yang masih menggunakan tenaga manusia. Akan tetapi, kenaikan hasil
produksi tidak selalu berbanding lurus dengan bertambahnya tingkat permintaan. Para
pelaku industri selalu membutuhkan konsumen dan pasar baru agar hasil produksi
mereka bisa diserap dan memperoleh pendapatan. Persaingan usaha di mana pun
adalah sesuatu yang wajar saja, sebetulnya. Hal ini menjadi tidak wajar ketika
para pelaku industri melakukan monopoli usaha dengan tujuan menyingkirkan para
pesaing secara paksa.
Niat menyingkirkan Rusia (dan China) dari percaturan bisnis
internasional sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Bisa kita lihat dari
kenaikan tarif unilateral yang pernah dijatuhkan Amerika Serikat kepada China
di tahun 2019, atau upaya AS memanfaatkan CAATSA untuk menakut-nakuti berbagai
negara yang ingin membeli produk-produk militer buatan Rusia. Ketika berbagai
produk Rusia menghilang dari pasar, mereka yang hadir menggantikannya
kemungkinan besar adalah para pesaing bisnis dengan tendensi monopoli usaha
demi meningkatkan pendapatan.
“Tetapi kapitalisme tidak tinggal di zaman mudanya saja, kapitalisme itu menjadi subur, membesar, meningkat, dan menua … Kapitalisme itu kini sudah tidak lagi di zaman “Aufstieg (Bangkit)”, tetapi “Niedergang (turun)” … Kini yang lemah telah tersapu dari muka bumi, atau telah tergabung menjadi persekutuan besar satu dengan yang lain; yang maha besar. Kini malahan persekutuan-persekutuan besar itu telah selesai perjuangannya dengan yang lain; kini tinggal badan-badan monopool (monopoli) saja yang berhadapan satu sama lain. Vrij concurentie (persaingan bebas) sudah selesai, tidak perlu lagi. Yang perlu ialah menjaga tegaknya raksasa-raksasa monopool itu saja. Maka oleh karena itu liberalisme dan parlementaire democratie (demokrasi parlementer) lantas “tidak laku lagi” … Liberalisme dibuang jauh-jauh, diperkutukkan sebagai sistem kolot yang sudah tak laku lagi … dan dilahirkanlah satu sistem baru yang cocok dengan menjaga tegaknya monopool itu. Satu sistem baru yang sudah tentu bersifat monopool pula … inilah sistem fasisme!” (Dikutip dari “Di Bawah Bendera Revolusi” oleh Ir.Soekarno, 1959).