Minggu, 29 Desember 2019

Jerat Kebebasan


Manusia mungkin tidak pernah meminta untuk dilahirkan, toh ia tetap dilahirkan juga. Ia tidak bebas menentukan siapa orang tua dan keluarganya, tapi ia bisa memilih saat untuk dilahirkan ke dunia. Sejak awal penciptaannya, manusia sudah mendapat pelajaran penting perihal kebebasan. Bahwa ada hal-hal yang bisa diwujudkan sesuai keinginannya, dan ada yang tidak. Sekelompok manusia yang menjalani kehidupan yang nyaman sentosa sejak jabang bayi sampai usia senja memang adalah golongan yang beruntung. Akan tetapi manusia tidak dapat memprediksi kapan kehidupan nyamannya akan berakhir, sehingga pada saat akhir itu tiba manusia menjadi gagap dan merasa sakit karena hidupnya tidak lagi nyaman. Lantaran merasa tidak berdaya menghadapi perubahan, manusia meneriakkan protes ketika kehidupan berbalik arah dan tidak sejalan dengan keinginannya. Sejalan dengan hukum alam, sesuatu reaksi akan terjadi karena ada tindakan yang dilakukan sebelumnya. Sederhananya begini, karena merasa lapar maka perut akan keroncongan alias berteriak. Tampaknya segelintir manusia telah alpa, bahwa kebebasan bukan hanya dimiliki oleh mereka saja. Keadaaan juga memiliki kebebasan untuk berubah-ubah, dengan tanpa memandang siapa pun yang mengendalikannya.  

Meski demikian, bila kita luangkan waktu sejenak untuk menelaah secara mendalam, ada sejumlah aksi massa besar yang terjadi belakangan ini bertentangan dengan hukum alam karena aksi dilancarkan untuk memprotes sebuah rencana, sesuatu yang belum benar-benar terjadi karena masih dalam tahap penyusunan dasar hukum untuk menguatkan sebuah keputusan. Aksi massa Yellow Vest yang dilakukan secara heroik sampai berminggu-minggu adalah ungkapan protes terhadap rencana pemerintah Prancis untuk menaikkan pajak bahan bakar minyak. Lalu ada juga aksi unjuk rasa para Hong Kongers yang awalnya memprotes RUU Ekstradisi beberapa waktu lalu. Walaupun RUU tersebut telah dibatalkan, Hong Kongers terus melanjutkan aksi protesnya. Bahkan aksi yang awalnya tertib damai berubah beringas (kemudian reda kembali dan mudah-mudahan tidak akan  dan kabarnya didukung sejumlah negara Barat berkembang menuntut kemerdekaan dari Tiongkok sebagai penguasa negara pulau sekaligus pusat bursa efek Asia. Sementara di Indonesia, aksi demo mahasiswa yang terjadi di beberapa kota menyuarakan protes terhadap banyak RUU. Mulai dari  RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pekerja Seks Komersial, dan sejumlah masalah lainnya. Seperti dua unjuk rasa fenomenal lainnya, aksi unjuk rasa ini juga berakhir rusuh dan menelan korban jiwa. Di penghujung 2019, India juga diguncang gelombang demonstrasi yang berawal dari rencana pengesahan UU Kewarganegaraan. Aksi yang menelan korban jiwa kabarnya juga dipicu oleh kekeliruan dalam menafsirkan makna undang-undang, sehingga muncul anggapan bahwa UU tersebut anti Muslim. 

Di tengah berjayanya aliran politik identitas di sejumlah negara, ternyata perbedaan ras, bahasa, dan budaya tidak menjadi halangan bagi masyarakat dunia untuk mempercayai kemujaraban sebuah aksi protes. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana para pengunjuk rasa berusaha keras agar apa yang mereka suarakan bisa terwujud, pengunjuk rasa masa kini yang sebagian besar adalah kaum milenial berusaha keras menarik perhatian media massa untuk mengumpulkan lebih banyak dukungan terhadap aksi-aksi mereka. Apakah strategi ini efektif? Ya, karena pihak pemerintah yang mereka protes akhirnya mengalah pada tuntutan mereka. Akan tetapi hal itu ternyata tidak menyurutkan aksi protes. Sejumlah pemrotes masih turun ke jalan dan menyuarakan aksi protes terhadap hal-hal lainnya walaupun pemerintah sebagai pihak yang diprotes sudah memenuhi tuntutan mereka. Semua manusia di muka Bumi ini memang bebas menyuarakan aspirasi mereka dalam bentuk aksi unjuk rasa. Sampai detik ini pun kebebasan berekspresi masih menjadi suatu hak asasi yang wajib dilindungi negara-negara di seluruh penjuru dunia. Dengan kebebasan, manusia bisa membangun perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan kebebasan, manusia bisa mencari kelegaan dari beban hati yang tidak puas dengan keadaan. Benarkah demikian? 

Kehendak bawah sadar kolektif  

Pada saat didirikan pada 1 Januari 1995, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) mengikrarkan bahwa tujuan organisasi tersebut adalah untuk meningkatkan taraf hidup, mewujudkan lapangan kerja penuh, menambah pendapatan riil dan permintaan, memperbesar produksi dan perdagangan barang dan jasa dengan menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan, serta integrasi negara-negara berkembang dalam sistem perdagangan dunia. Sejak saat itu, semua negara bebas memasarkan produknya ke negara mana saja dengan berpatokan pada undang-undang perdagangan internasional yang telah ditetapkan oleh WTO. Salah satu dari ketentuan itu adalah menggunakan mata uang dolar (USD) sebagai alat tukar dalam aktivitas perdagangan antar negara.  

Ketika Perang Dunia I meletus tahun 1914, sejumlah negara Eropa yang tergabung dalam kelompok Sekutu menjual cadangan emas negara untuk ditukar dengan uang kertas. Uang kertas dikumpulkan untuk membayar pembelian senjata dan barang-barang lainnya dari negara penyuplai, yaitu Amerika Serikat. Pada Perang Dunia II, negara-negara Sekutu memutuskan untuk membeli persenjataan dari Amerika Serikat dengan emas sehingga Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah cadangan emas terbesar di dunia ketika perang berakhir. Pada 1944 di Bretton Woods, AS, 44 negara menyepakati sebuah sistem pertukaran mata uang asing yang tidak merugikan negara-negara mana pun. Mulai saat itu ditetapkan bahwa nilai mata uang semua negara tidak lagi tergantung pada jumlah cadangan emas yang dimiliki negara tersebut. Nilai mata uang suatu negara akan tergantung pada nilai mata uang USD (dolar AS) yang berkorelasi dengan emas. Begitulah asal muasal dolar AS menjadi mata uang nomor satu di dunia.  

Kita tidak perlu menjadi sarjana ilmu psikologi untuk bisa menyimpulkan bahwa perjalanan sejarah akan memengaruhi tingkah laku, pandangan, dan cita-cita masa depan seseorang, sebuah kelompok masyarakat, atau sebuah entitas. Apabila sejarah mencatat tentang sebuah kenikmatan yang pernah dialami , naluri akan mengarahkan manusia bertindak untuk mempertahankan kenikmatan itu agar dapat dirasakan lebih lama lagi. Sekali merasakan nikmatnya memegang kendali atas keberlangsungan hidup negara-negara lain dalam hal finansial, mengapa tidak mempertahankan kenikmatan tersebut bila ada peluang? Tekad itu ditanamkan menjadi bagian dari bawah sadar kolektif (collective unconscious) suatu kaum dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita-cerita sejarah yang diajarkan di institusi-institusi pendidikan. Media juga berperan dalam menanamkan bawah sadar kolektif tentang imaji keadidayaan dengan cara menebar pemberitaan negatif tentang pihak-pihak lain yang tidak sepaham agar suatu kaum selalu sepakat bahwa satu-satunya cara agar tidak ditindas bangsa lain, siapa pun itu, adalah menjadi yang terkuat di antara mereka dengan segala cara.  

Meninjau Ulang Kebebasan  

Aksi massa memang sering kali berhasil menarik simpati pihak lain yang pada akhirnya tertarik untuk memberi dukungan pada semua isu yang diperjuangkan kelompok tersebut. Apalagi bila yang memberi dukungan adalah pihak-pihak berkekuatan besar. Memang tidak ada yang melarang sih. Akan tetapi hal semacam itu bisa dikatakan mencampuri rumah tangga orang dan tidak patut ditiru atau diterapkan dalam pergaulan, apapun ruang lingkupnya, kelas RT-RW atau kelas global. Sialnya, kelompok yang mendapat dukungan dari Negara lain justru bersikap bangga dan berterima kasih pada pihak yang sebenarnya sudah melanggar kedaulatan Negara lain secara halus. Contoh nyata adalah sekelompok Hong Kongers yang melakukan pawai ke Kedubes Amerika Serikat di Hong Kong sambil membawa spanduk "Thank You, America”. Fenomena ini adalah sebuah ironi, ketika kaum milenial memandang pemerintah yang sah adalah monster dan mereka lebih memercayai pihak luar. Mereka seperti melupakan sebuah ungkapan yang sangat terkenal, yaitu “tidak ada makan siang gratis”. Sesuatu yang mudah didapat biasanya mengandung konsekuensi kurang menyenangkan di belakang hari.

Pada tulisan saya sebelumnya, saya memandang protes adalah cara untuk bertahan. Tulisan itu dibuat beberapa waktu lalu ketika saya belum menemukan konklusi bahwa protes ternyata bukan satu-satunya tindakan yang bisa digunakan warga negara untuk menyuarakan pendapatnya. Seiring dengan berjalannya waktu, saya menemukan fakta bahwa faktor dominan yang memicu protes adalah kekecewaan, dan ini adalah salah satu bentuk dari emosi negatif.  Ibarat gerhana, emosi negatif adalah bulan yang bergerak perlahan menutupi matahari sehingga untuk sesaat sinar matahari tidak dapat menerangi hamparan benak manusia. Perilaku destruktif yang nyaris tak dapat dipisahkan dari aksi massa, pembangkangan massal, dan kecenderungan untuk secara naif menerima dukungan pihak luar, apakah ini semua bukan bukti nyata terjadinya gerhana massal di benak masing-masing pengunjuk rasa? Kebebasan dan atau memperjuangkan kebebasan menjadi tameng untuk melegalkan perilaku merusak tatanan suatu wilayah berdaulat.

Entah kebetulan atau tidak, perilaku yang sama juga ditunjukkan oleh pemerintah AS (presiden, DPR, dan menteri-menterinya) dalam upaya mereka menegakkan kebebasan berekonomi dan berpolitik luar negeri. Mereka tidak cukup puas dengan pencapaian ‘hanya’ memiliki mata uang yang menjadi patokan mata uang negara-negara lain di dunia. Orang-orang cerdas di negara itu berhasil menemukan cara untuk memproduksi barang-barang berkualitas tinggi dalam waktu singkat. Akan tetapi, keberlimpahan hasil produksi tidak dibarengi dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Semakin baik kualitas suatu barang semakin tinggi pula harganya, dan tidak semua warga negara bisa membelinya. Barang-barang tersebut harus dijual di tempat lain supaya terbeli dan ada aliran uang masuk untuk memproduksi dan menjual lagi. Di masa lalu, negara-negara berkembang belum cukup terampil memproduksi barang-barang dengan kualitas yang sama seperti barang made in USA, sehingga negara-negara ini menjadi lokasi di mana AS memasarkan produk-produknya, mulai dari komoditas pertanian, peralatan elektronik, busana, sampai budaya populer. Akan tetapi masyarakat di negara-negara tersebut ternyata tidak hanya membeli, melainkan juga mempelajari bagaimana proses pembuatan produk tersebut dan mempunyai ide untuk membuatnya sendiri dan menjualnya dengan harga yang lebih murah. Akibatnya bukan hanya kehilangan pasar, AS sebagai pihak pertama yang mempunyai ide untuk memproduksi barang tersebut juga kecolongan kekayaan intelektual. Begitulah kurang lebih bagaimana kisah perang dagang AS-Tiongkok bermula, demikian juga kisah peperangan dagang yang dikobarkan AS terhadap negara-negara lain seperti Rusia  (dan Jerman dalam sengketa jaringan pipa gas Nord Stream 2) dan Prancis (sebagai aksi retaliasi terhadap pajak digital yang diberlakukan Prancis).

Aksi koboi di percaturan ekonomi global maupun di jalanan, bukan ini yang kita harapkan untuk terciptanya dunia yang lebih baik. Maka dari itu, tidak berlebihan kiranya bila Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan bahwa “liberal idea has failed (gagasan liberal telah gagal)”.  Kebebasan ala liberalisme telah gagal membebaskan negara pejuang kebebasan dari kesempitan mindset dan itikad untuk memperkaya diri sendiri. Sebagai warga negara sebaiknya kita bersyukur karena negara kita masing-masing telah memiliki ideologi dan cara pandang yang tidak sama persis dengan liberalisme. Kita pun tidak perlu terlalu silau dengan kebebasan yang dipertontonkan negara-negara liberal. Semua negara membutuhkan kestabilan agar dapat membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Tugas rakyat adalah bersedia bekerja sama menciptakan kestabilan, dan ini bisa mengakibatkan suara protes kita tidak selantang dulu lagi. Bersediakah kita? (dswasti)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...