Manusia mungkin tidak pernah meminta untuk dilahirkan, toh
ia tetap dilahirkan juga. Ia tidak bebas menentukan siapa orang tua dan
keluarganya, tapi ia bisa memilih saat untuk dilahirkan ke dunia. Sejak awal
penciptaannya, manusia sudah mendapat pelajaran penting perihal kebebasan.
Bahwa ada hal-hal yang bisa diwujudkan sesuai keinginannya, dan ada yang tidak.
Sekelompok manusia yang menjalani kehidupan yang nyaman sentosa sejak jabang
bayi sampai usia senja memang adalah golongan yang beruntung. Akan tetapi
manusia tidak dapat memprediksi kapan kehidupan nyamannya akan berakhir,
sehingga pada saat akhir itu tiba manusia menjadi gagap dan merasa sakit karena
hidupnya tidak lagi nyaman. Lantaran merasa tidak berdaya menghadapi perubahan,
manusia meneriakkan protes ketika kehidupan berbalik arah dan tidak sejalan
dengan keinginannya. Sejalan dengan hukum alam, sesuatu reaksi akan terjadi
karena ada tindakan yang dilakukan sebelumnya. Sederhananya begini, karena
merasa lapar maka perut akan keroncongan alias berteriak. Tampaknya segelintir
manusia telah alpa, bahwa kebebasan bukan hanya dimiliki oleh mereka saja. Keadaaan
juga memiliki kebebasan untuk berubah-ubah, dengan tanpa memandang siapa pun
yang mengendalikannya.
Meski demikian, bila kita luangkan waktu sejenak untuk
menelaah secara mendalam, ada sejumlah aksi massa besar yang terjadi belakangan
ini bertentangan dengan hukum alam karena aksi dilancarkan untuk memprotes
sebuah rencana, sesuatu yang belum benar-benar terjadi karena masih dalam tahap
penyusunan dasar hukum untuk menguatkan sebuah keputusan. Aksi massa Yellow
Vest yang dilakukan secara heroik sampai berminggu-minggu adalah ungkapan
protes terhadap rencana pemerintah Prancis untuk menaikkan pajak bahan bakar
minyak. Lalu ada juga aksi unjuk rasa para Hong Kongers yang awalnya memprotes
RUU Ekstradisi beberapa waktu lalu. Walaupun RUU tersebut telah dibatalkan,
Hong Kongers terus melanjutkan aksi protesnya. Bahkan aksi yang awalnya tertib
damai berubah beringas (kemudian reda kembali dan mudah-mudahan tidak akan dan kabarnya didukung sejumlah negara Barat
berkembang menuntut kemerdekaan dari Tiongkok sebagai penguasa negara pulau
sekaligus pusat bursa efek Asia. Sementara di Indonesia, aksi demo mahasiswa
yang terjadi di beberapa kota menyuarakan protes terhadap banyak RUU. Mulai
dari RKUHP, RUU KPK, RUU
Ketenagakerjaan, RUU Pekerja Seks Komersial, dan sejumlah masalah lainnya.
Seperti dua unjuk rasa fenomenal lainnya, aksi unjuk rasa ini juga berakhir
rusuh dan menelan korban jiwa. Di penghujung 2019, India juga diguncang
gelombang demonstrasi yang berawal dari rencana pengesahan UU Kewarganegaraan.
Aksi yang menelan korban jiwa kabarnya juga dipicu oleh
kekeliruan
dalam menafsirkan makna undang-undang, sehingga muncul anggapan
bahwa UU tersebut anti Muslim.
Di tengah berjayanya aliran politik identitas di sejumlah
negara, ternyata perbedaan ras, bahasa, dan budaya tidak menjadi halangan bagi
masyarakat dunia untuk mempercayai kemujaraban sebuah aksi protes. Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya di mana para pengunjuk rasa berusaha keras agar
apa yang mereka suarakan bisa terwujud, pengunjuk rasa masa kini yang sebagian
besar adalah kaum milenial berusaha keras menarik perhatian media massa untuk
mengumpulkan lebih banyak dukungan terhadap aksi-aksi mereka. Apakah strategi
ini efektif? Ya, karena pihak pemerintah yang mereka protes akhirnya mengalah
pada tuntutan mereka. Akan tetapi hal itu ternyata tidak menyurutkan aksi
protes. Sejumlah pemrotes masih turun ke jalan dan menyuarakan aksi protes
terhadap hal-hal lainnya walaupun pemerintah sebagai pihak yang diprotes sudah
memenuhi tuntutan mereka. Semua manusia di muka Bumi ini memang bebas
menyuarakan aspirasi mereka dalam bentuk aksi unjuk rasa. Sampai detik ini pun
kebebasan berekspresi masih menjadi suatu hak asasi yang wajib dilindungi
negara-negara di seluruh penjuru dunia. Dengan kebebasan, manusia bisa
membangun perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan kebebasan, manusia bisa
mencari kelegaan dari beban hati yang tidak puas dengan keadaan. Benarkah
demikian?
Kehendak bawah sadar
kolektif
Pada saat didirikan pada 1 Januari 1995, WTO (Organisasi
Perdagangan Dunia) mengikrarkan bahwa tujuan organisasi tersebut adalah untuk
meningkatkan taraf hidup, mewujudkan lapangan kerja penuh, menambah pendapatan
riil dan permintaan, memperbesar produksi dan perdagangan barang dan jasa
dengan menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan, serta integrasi
negara-negara berkembang dalam sistem perdagangan dunia. Sejak saat itu, semua
negara bebas memasarkan produknya ke negara mana saja dengan berpatokan pada
undang-undang perdagangan internasional yang telah ditetapkan oleh WTO. Salah
satu dari ketentuan itu adalah menggunakan mata uang dolar (USD) sebagai alat
tukar dalam aktivitas perdagangan antar negara.
Ketika Perang Dunia I meletus tahun 1914, sejumlah negara
Eropa yang tergabung dalam kelompok Sekutu menjual cadangan emas negara untuk
ditukar dengan uang kertas. Uang kertas dikumpulkan untuk membayar pembelian
senjata dan barang-barang lainnya dari negara penyuplai, yaitu Amerika Serikat.
Pada Perang Dunia II, negara-negara Sekutu memutuskan untuk membeli
persenjataan dari Amerika Serikat dengan emas sehingga Amerika Serikat menjadi
negara dengan jumlah cadangan emas terbesar di dunia ketika perang berakhir. Pada
1944 di Bretton Woods, AS, 44 negara menyepakati sebuah sistem pertukaran mata
uang asing yang tidak merugikan negara-negara mana pun. Mulai saat itu
ditetapkan bahwa nilai mata uang semua negara tidak lagi tergantung pada jumlah
cadangan emas yang dimiliki negara tersebut. Nilai mata uang suatu negara akan
tergantung pada nilai mata uang USD (dolar AS) yang berkorelasi dengan emas. Begitulah
asal muasal dolar AS menjadi mata uang nomor satu di dunia.
Kita tidak perlu menjadi sarjana ilmu psikologi untuk bisa
menyimpulkan bahwa perjalanan sejarah akan memengaruhi tingkah laku, pandangan,
dan cita-cita masa depan seseorang, sebuah kelompok masyarakat, atau sebuah
entitas. Apabila sejarah mencatat tentang sebuah kenikmatan yang pernah dialami
, naluri akan mengarahkan manusia bertindak untuk mempertahankan kenikmatan itu
agar dapat dirasakan lebih lama lagi. Sekali merasakan nikmatnya memegang
kendali atas keberlangsungan hidup negara-negara lain dalam hal finansial,
mengapa tidak mempertahankan kenikmatan tersebut bila ada peluang? Tekad itu
ditanamkan menjadi bagian dari
bawah
sadar kolektif (collective unconscious) suatu kaum dan diwariskan
dari generasi ke generasi melalui cerita-cerita sejarah yang diajarkan di
institusi-institusi pendidikan. Media juga berperan dalam menanamkan bawah
sadar kolektif tentang imaji keadidayaan dengan cara menebar pemberitaan
negatif tentang pihak-pihak lain yang tidak sepaham agar suatu kaum selalu
sepakat bahwa satu-satunya cara agar tidak ditindas bangsa lain, siapa pun itu,
adalah menjadi yang terkuat di antara mereka dengan segala cara.
Meninjau Ulang
Kebebasan
Aksi massa memang sering kali berhasil menarik simpati pihak
lain yang pada akhirnya tertarik untuk memberi dukungan pada semua isu yang
diperjuangkan kelompok tersebut. Apalagi bila yang memberi dukungan adalah
pihak-pihak berkekuatan besar. Memang tidak ada yang melarang sih. Akan tetapi
hal semacam itu bisa dikatakan mencampuri rumah tangga orang dan tidak patut
ditiru atau diterapkan dalam pergaulan, apapun ruang lingkupnya, kelas RT-RW atau
kelas global. Sialnya, kelompok yang mendapat dukungan dari Negara lain justru
bersikap bangga dan berterima kasih pada pihak yang sebenarnya sudah melanggar
kedaulatan Negara lain secara halus. Contoh nyata adalah sekelompok Hong
Kongers yang melakukan pawai ke Kedubes Amerika Serikat di Hong Kong sambil
membawa spanduk "Thank You, America”. Fenomena ini adalah sebuah ironi,
ketika kaum milenial memandang pemerintah yang sah adalah monster dan mereka
lebih memercayai pihak luar. Mereka seperti melupakan sebuah ungkapan yang
sangat terkenal, yaitu “tidak ada makan siang gratis”. Sesuatu yang mudah
didapat biasanya mengandung konsekuensi kurang menyenangkan di belakang hari.
Pada tulisan saya sebelumnya, saya memandang protes adalah
cara untuk bertahan. Tulisan itu dibuat beberapa waktu lalu ketika saya belum
menemukan konklusi bahwa protes ternyata bukan satu-satunya tindakan yang bisa
digunakan warga negara untuk menyuarakan pendapatnya. Seiring dengan
berjalannya waktu, saya menemukan fakta bahwa faktor dominan yang memicu protes
adalah kekecewaan, dan ini adalah salah satu bentuk dari emosi negatif. Ibarat gerhana, emosi negatif adalah bulan
yang bergerak perlahan menutupi matahari sehingga untuk sesaat sinar matahari
tidak dapat menerangi hamparan benak manusia. Perilaku destruktif yang nyaris
tak dapat dipisahkan dari aksi massa, pembangkangan massal, dan kecenderungan
untuk secara naif menerima dukungan pihak luar, apakah ini semua bukan bukti
nyata terjadinya gerhana massal di benak masing-masing pengunjuk rasa? Kebebasan
dan atau memperjuangkan kebebasan menjadi tameng untuk melegalkan perilaku
merusak tatanan suatu wilayah berdaulat.
Entah kebetulan atau tidak, perilaku yang sama juga
ditunjukkan oleh pemerintah AS (presiden, DPR, dan menteri-menterinya) dalam
upaya mereka menegakkan kebebasan berekonomi dan berpolitik luar negeri. Mereka
tidak cukup puas dengan pencapaian ‘hanya’ memiliki mata uang yang menjadi
patokan mata uang negara-negara lain di dunia. Orang-orang cerdas di negara itu
berhasil menemukan cara untuk memproduksi barang-barang berkualitas tinggi
dalam waktu singkat. Akan tetapi, keberlimpahan hasil produksi tidak dibarengi
dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Semakin baik kualitas suatu barang
semakin tinggi pula harganya, dan tidak semua warga negara bisa membelinya. Barang-barang
tersebut harus dijual di tempat lain supaya terbeli dan ada aliran uang masuk
untuk memproduksi dan menjual lagi. Di masa lalu, negara-negara berkembang
belum cukup terampil memproduksi barang-barang dengan kualitas yang sama
seperti barang made in USA, sehingga negara-negara ini menjadi lokasi di mana
AS memasarkan produk-produknya, mulai dari komoditas pertanian, peralatan
elektronik, busana, sampai budaya populer. Akan tetapi masyarakat di
negara-negara tersebut ternyata tidak hanya membeli, melainkan juga mempelajari
bagaimana proses pembuatan produk tersebut dan mempunyai ide untuk membuatnya
sendiri dan menjualnya dengan harga yang lebih murah. Akibatnya bukan hanya
kehilangan pasar, AS sebagai pihak pertama yang mempunyai ide untuk memproduksi
barang tersebut juga kecolongan kekayaan intelektual. Begitulah kurang lebih
bagaimana kisah perang dagang AS-Tiongkok bermula, demikian juga kisah
peperangan dagang yang dikobarkan AS terhadap negara-negara lain seperti
Rusia
(dan Jerman dalam sengketa
jaringan
pipa gas Nord Stream 2) dan Prancis (sebagai
aksi
retaliasi terhadap pajak digital yang diberlakukan Prancis).
Aksi koboi di percaturan ekonomi global maupun di jalanan,
bukan ini yang kita harapkan untuk terciptanya dunia yang lebih baik. Maka dari
itu, tidak berlebihan kiranya bila Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan
bahwa “
liberal
idea has failed (gagasan liberal telah gagal)”.
Kebebasan ala liberalisme telah gagal
membebaskan negara pejuang kebebasan dari kesempitan mindset dan itikad untuk
memperkaya diri sendiri. Sebagai warga negara sebaiknya kita bersyukur karena
negara kita masing-masing telah memiliki ideologi dan cara pandang yang tidak
sama persis dengan liberalisme. Kita pun tidak perlu terlalu silau dengan
kebebasan yang dipertontonkan negara-negara liberal. Semua negara membutuhkan
kestabilan agar dapat membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Tugas rakyat
adalah bersedia bekerja sama menciptakan kestabilan, dan ini bisa mengakibatkan
suara protes kita tidak selantang dulu lagi. Bersediakah kita? (dswasti)