Sabtu, 31 Juli 2021

Kehendak Bebas Untuk Membebaskan

Kebebasan, saya akui, adalah topik favorit karena saya pecinta kebebasan jebolan sebuah kampus yang dulu pernah menjadi surga buat anak-anak (yang pernah) muda seperti saya. Kami cukup beruntung menjadi bagian sebuah generasi yang mengabaikan pencitraan, lantang mengekspresikan ide-ide, korban sekaligus pelaku bullying yang jarang sekali berujung pada perkelahian atau permusuhan. Akan tetapi, waktu berjalan ke depan dan bukan ke belakang. Ketika rambut sudah mulai memutih, kami menyadari ternyata kebebasan telah berganti wajah. Kini dia bukan lagi sesuatu yang kami cintai di masa muda, melainkan monster pengumbar nafsu yang siap memakan dan memenjarakan akal sehat. Dulu kebebasan sangat berharga melebihi emas, karena sangat sulit didapatkan. Kini harganya turun drastis dan nyaris kehilangan makna sejatinya. Sudah saatnya kita mengkaji kembali makna kebebasan dengan tanpa mengorbankan hak asasi manusia untuk hidup dalam damai dan sejahtera.

Meski sudah mendapat pengakuan di beberapa tempat di dunia, tidak sedikit yang enggan membahas isu LGBT+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, + ditujukan untuk mereka dengan orientasi seks yang tidak termasuk di kelompok mana pun) karena masalah moralitas dan kepantasan. Kaum LGBT+ sudah cukup lama menerima perlakuan sewenang-wenang, pelecehan, diskriminasi, korban kejahatan akibat kebencian, rudapaksa, bahkan pemenjaraan akibat apa yang mereka percayai sebagai jati diri mereka. Di tahun 1940-an kelompok LGBT+ mulai bangkit di Amerika Serikat menuntut hak mereka untuk diperlakukan sebagai manusia. Mereka beroleh kemenangan ketika semua negara bagian Amerika Serikat mencabut larangan hubungan seks sesama jenis di tahun 2003.

Angin segar bagi kalangan LGBT+ semakin sejuk ketika Uni Eropa mengesahkan undang-undang perlindungan hak-hak LGBT+, dan menindak tegas negara anggota yang dianggap tidak menunjukkan niat untuk menerima undang-undang itu sepenuhnya. Hungaria memersepsikan undang-undang itu dengan cara yang berbeda. Negara itu berkomitmen untuk melindungi nilai-nilai tradisional keluarga dari “kampanye” LGBT+ melalui sebuah peraturan yang melarang propaganda LGBT+ di sekolah, televisi maupun iklan bagi anak-anak di bawah usia 18+. Hungaria melalui PM Viktor Orban telah menolak tudingan peraturan itu dibuat karena Hungaria anti LGBT+.  Sialnya, Hungaria dihujani kecaman dan diancam dikeluarkan dari keanggotaan Uni Eropa bila tidak mencabut peraturan tersebut. Ini belum seberapa, karena saat artikel ini ditulis beberapa negara Barat sedang merumuskan undang-undang yang mengizinkan anak di bawah usia 15 tahun untuk memutuskan berganti jenis kelamin.

 

Ketika Kebebasan Tidak Membebaskan

Kebebasan itu memang seharusnya bisa membebaskan, agar manusia tidak terhimpit oleh penolakan dari dalam dirinya terhadap situasi yang sedang berlangsung di sekitarnya di mana ia terlibat langsung atau pun sebagai penonton. Agar siapa pun bisa memilih dan menentukan apa yang terbaik untuk dirinya, tumbuh dan berkembang di arah sesuai harapan dan cita-citanya. Sayangnya ini hanyalah sebuah utopia tentang kehidupan yang ideal, karena kenyataan tidak dapat diramalkan. Kehendak bebas (free will) tidak muncul sekonyong-konyong. Awalnya, kehendak bebas muncul karena ada tekanan, di mana keduanya adalah sepasang sejoli yang saling mengisi. Ketika tekanan sudah tidak ada, maka kehendak bebas mengembara tak tentu arah, mendesak di dalam relung-relung sempit dalam Pikiran manusia yang mempunyai kebiasaan egosentris melawan kehendak kehidupan untuk hidup dalam kewajaran. Apakah ini berarti tekanan memang dibutuhkan agar kehendak bebas dalam diri masing-masing manusia tidak salah jalan?

Sanksi bidang ekonomi, keuangan, dan militer dari Amerika Serikat untuk Kuba adalah yang terpanjang  dalam sejarah dunia. Selama kurang lebih 60 tahun, masyarakat Kuba tidak diperkenankan melakukan perdagangan dengan negara mana pun, tidak dapat menggunakan metode pembayaran internasional baik untuk keperluan nasional maupun pribadi, mengalami keterbatasan pasokan obat dan makanan, dan tidak dapat menjual produksi dalam negerinya ke negara mana pun. Sanksi yang dijatuhkan sejak jaman Dwight Eisenhower dan semakin meluas di tahun 2021, telah berlaku sejak tahun 1960 ketika Fidel Castro menggulingkan Presiden Fulgencio Batista (1952-1959) yang didukung Amerika Serikat. Dalam sudut pandang Amerika, sanksi ini dijatuhkan sebagai hukuman atas tindakan pemerintah Fidel Castro di tahun 1959 yang menasionalisasi beberapa aset milik warga AS di Kuba di bawah Undang-Undang Reformasi Pertanian, serta peran serta negara itu dalam mensponsori pergerakan revolusioner di wilayah Karibia.

Sanksi Amerika Serikat yang bertujuan memberi pelajaran kepada negara-negara pembangkang biasanya bertujuan agar rakyat negara itu bangkit dan mengakhiri rezim berkuasa yang bertentangan dengan kepentingan sang negara adidaya. Bila sanksi adalah salah satu manifestasi tekanan, maka perlawanan rakyat adalah kehendak bebas yang seharusnya muncul sebagai pangkal dari hubungan sebab akibat ini. Akan tetapi, tekanan dari sanksi berasal dari luar (Amerika Serikat) yang jelas-jelas pelanggaran terhadap kedaulatan suatu bangsa. Sebagian warga Kuba yang menjadi imigran di AS menyadari hal ini, dan melakukan aksi protes terhadap pemerintah AS di Washington menuntut pencabutan sanksi atas Tanah Air mereka. Apa yang mereka lakukan patut menjadi bahan renungan kita, karena komunitas Kuba yang kita bicarakan meninggalkan negaranya akibat ketidaksepahaman dengan pemerintah komunis Kuba.    

Kisah perseteruan Kuba dan Amerika Serikat berawal dari kehendak bebas Presiden Fidel Castro dengan berbagai aksinya yang memicu reaksi yaitu sanksi AS. Namun, sebelum itu Amerika Serikat sudah berniat memadamkan komunisme di Kuba dengan memberikan dukungan kepada Presiden Batista. Komunisme bagi Amerika adalah paham gagal yang otoriter, pelanggar hak asasi manusia karena negara menerapkan berbagai peraturan mengikat untuk menjaga kedisplinan warga negaranya dari ujung rambut sampai kaki. Kehidupan masyarakat dijamin oleh negara komunis, ibarat orang tua yang bekerja keras demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sebagai imbalannya, anak-anak harus patuh dan mendengarkan kata orang tua supaya mereka aman hingga dewasa. Artinya, anak-anak itu dilatih untuk tidak memiliki free will yang bagi pemerintah komunis sangat merepotkan dan bisa menyebar laksana virus dari satu anak ke anak lain.

Anak-anak yang cinta kebebasan tentunya sangat ketakutan membayangkan musnahnya kebebasan. Di alam demokrasi pendapat pribadi dapat diekspresikan sebebas mungkin, tidak ada hukuman bagi pembuat karikatur atau meme presiden. Warga negara juga bebas mencari nafkah dan memilih agama atau kepercayaan. Cakupan kebebasan pun meluas seiring dengan berjalannya waktu, di mana kehendak memutuskan menjadi LGBT+ adalah salah satunya. Semua yang kita bahas di bagian ini adalah contoh-contoh kasus di mana kehendak bebas gagal untuk membebaskan manusia, baik secara individu maupun kolektif, dari eksklusivitas. Mereka menciptakan pagar pembatas yang memisahkan diri mereka dari kehidupan bermasyarakat, baik itu Fidel Castro, para presiden AS pembela sanksi Kuba, maupun para pejuang LGBT+. Kehendak bebas dalam sudut pandang kita tidak selalu sejalan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, tetapi individu tidak harus mengorbankan kesenangan pribadinya agar tercipta kestabilan dalam masyarakat. Inilah yang diperjuangkan oleh kalangan yang meyakini bahwa kekuatan suatu bangsa terdapat pada kekuatan masing-masing individu dalam berkehendak dan mewujudkan kehendaknya. Kegigihan memperjuangkan kehendak bebas dalam contoh di atas mengundang konflik dalam berbagai bentuk dan skala keparahan, tidak berhasil membebaskan komunitas dari tekanan agar dapat melangkah maju untuk mencapai hal-hal lain yang lebih berarti.

Apakah ini berarti kehendak bebas adalah sesuatu yang terlarang? Tidak juga. Tidak ada yang bisa menentukan orientasi seksual seseorang, atau menasihati seorang pemimpin tentang bagaimana cara memerintah wilayahnya, termasuk bagaimana cara bersikap terhadap musuh-musuhnya. Kita membutuhkan kehendak bebas agar berani bereksperimen dan berani menanggung akibatnya. Sebuah kehendak bebas akan membebaskan ketika dia tidak lagi eksklusif, tidak menakutkan bagi masyarakat, tetapi ada ruang rahasia baginya untuk bebas dari berbagai keharusan. Ruang yang bisa tercipta ketika kita tidak lagi membutuhkan pengakuan, dan menyadari peran kita dalam mempertahankan kestabilan suatu kebersamaan. (swastantika)     

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...