Kebebasan, saya akui, adalah topik favorit karena saya pecinta kebebasan jebolan sebuah kampus yang dulu pernah menjadi surga buat anak-anak (yang pernah) muda seperti saya. Kami cukup beruntung menjadi bagian sebuah generasi yang mengabaikan pencitraan, lantang mengekspresikan ide-ide, korban sekaligus pelaku bullying yang jarang sekali berujung pada perkelahian atau permusuhan. Akan tetapi, waktu berjalan ke depan dan bukan ke belakang. Ketika rambut sudah mulai memutih, kami menyadari ternyata kebebasan telah berganti wajah. Kini dia bukan lagi sesuatu yang kami cintai di masa muda, melainkan monster pengumbar nafsu yang siap memakan dan memenjarakan akal sehat. Dulu kebebasan sangat berharga melebihi emas, karena sangat sulit didapatkan. Kini harganya turun drastis dan nyaris kehilangan makna sejatinya. Sudah saatnya kita mengkaji kembali makna kebebasan dengan tanpa mengorbankan hak asasi manusia untuk hidup dalam damai dan sejahtera.
Meski sudah mendapat pengakuan di beberapa tempat di dunia,
tidak sedikit yang enggan membahas isu LGBT+ (lesbian, gay, biseksual,
transgender, + ditujukan untuk mereka dengan orientasi seks yang tidak termasuk
di kelompok mana pun) karena masalah moralitas dan kepantasan. Kaum LGBT+ sudah
cukup lama menerima perlakuan sewenang-wenang, pelecehan, diskriminasi, korban
kejahatan akibat kebencian, rudapaksa, bahkan pemenjaraan akibat apa yang
mereka percayai sebagai jati diri mereka. Di tahun 1940-an kelompok LGBT+ mulai
bangkit di Amerika Serikat menuntut hak mereka untuk diperlakukan sebagai
manusia. Mereka beroleh kemenangan ketika semua negara bagian Amerika Serikat
mencabut larangan hubungan seks sesama jenis di tahun 2003.
Angin segar bagi kalangan LGBT+ semakin sejuk ketika Uni
Eropa mengesahkan undang-undang perlindungan hak-hak LGBT+, dan menindak tegas
negara anggota yang dianggap tidak menunjukkan niat untuk menerima
undang-undang itu sepenuhnya. Hungaria memersepsikan undang-undang itu dengan cara yang
berbeda. Negara itu berkomitmen untuk melindungi nilai-nilai tradisional keluarga
dari “kampanye” LGBT+ melalui sebuah peraturan yang melarang propaganda LGBT+
di sekolah, televisi maupun iklan bagi anak-anak di bawah usia 18+. Hungaria
melalui PM Viktor Orban telah menolak tudingan peraturan itu dibuat karena
Hungaria anti LGBT+. Sialnya, Hungaria
dihujani kecaman dan diancam dikeluarkan dari keanggotaan Uni Eropa bila tidak
mencabut peraturan tersebut. Ini belum seberapa, karena saat artikel ini
ditulis beberapa negara Barat sedang merumuskan undang-undang yang mengizinkan
anak di bawah usia 15 tahun untuk memutuskan berganti jenis kelamin.
Ketika Kebebasan
Tidak Membebaskan
Kebebasan itu memang seharusnya bisa membebaskan, agar
manusia tidak terhimpit oleh penolakan dari dalam dirinya terhadap situasi yang
sedang berlangsung di sekitarnya di mana ia terlibat langsung atau pun sebagai
penonton. Agar siapa pun bisa memilih dan menentukan apa yang terbaik untuk
dirinya, tumbuh dan berkembang di arah sesuai harapan dan cita-citanya.
Sayangnya ini hanyalah sebuah utopia tentang kehidupan yang ideal, karena kenyataan
tidak dapat diramalkan. Kehendak bebas (free will) tidak muncul
sekonyong-konyong. Awalnya, kehendak bebas muncul karena ada tekanan, di mana
keduanya adalah sepasang sejoli yang saling mengisi. Ketika tekanan sudah tidak
ada, maka kehendak bebas mengembara tak tentu arah, mendesak di dalam
relung-relung sempit dalam Pikiran manusia yang mempunyai kebiasaan egosentris
melawan kehendak kehidupan untuk hidup dalam kewajaran. Apakah ini berarti
tekanan memang dibutuhkan agar kehendak bebas dalam diri masing-masing manusia
tidak salah jalan?
Sanksi bidang ekonomi, keuangan, dan militer dari Amerika
Serikat untuk Kuba adalah yang terpanjang
dalam sejarah dunia. Selama kurang lebih 60 tahun, masyarakat Kuba tidak
diperkenankan melakukan perdagangan dengan negara mana pun, tidak dapat
menggunakan metode pembayaran internasional baik untuk keperluan nasional
maupun pribadi, mengalami keterbatasan pasokan obat dan makanan, dan tidak
dapat menjual produksi dalam negerinya ke negara mana pun. Sanksi yang
dijatuhkan sejak jaman Dwight Eisenhower dan semakin meluas di tahun 2021,
telah berlaku sejak tahun 1960 ketika Fidel Castro menggulingkan Presiden Fulgencio
Batista (1952-1959) yang didukung Amerika Serikat. Dalam sudut pandang Amerika, sanksi ini dijatuhkan sebagai hukuman atas tindakan pemerintah Fidel Castro di tahun 1959 yang menasionalisasi beberapa
aset milik warga AS di Kuba di bawah Undang-Undang Reformasi Pertanian, serta
peran serta negara itu dalam mensponsori pergerakan revolusioner di wilayah Karibia.
Sanksi Amerika Serikat yang bertujuan memberi pelajaran
kepada negara-negara pembangkang biasanya bertujuan agar rakyat negara itu
bangkit dan mengakhiri rezim berkuasa yang bertentangan dengan kepentingan sang
negara adidaya. Bila sanksi adalah salah satu manifestasi tekanan, maka
perlawanan rakyat adalah kehendak bebas yang seharusnya muncul sebagai pangkal
dari hubungan sebab akibat ini. Akan tetapi, tekanan dari sanksi berasal dari
luar (Amerika Serikat) yang jelas-jelas pelanggaran terhadap kedaulatan suatu
bangsa. Sebagian warga Kuba yang menjadi imigran di AS menyadari hal ini, dan
melakukan aksi protes terhadap pemerintah AS di Washington menuntut pencabutan sanksi atas
Tanah Air mereka. Apa yang mereka lakukan patut menjadi bahan renungan kita,
karena komunitas Kuba yang kita bicarakan meninggalkan negaranya akibat
ketidaksepahaman dengan pemerintah komunis Kuba.
Kisah perseteruan Kuba dan Amerika Serikat berawal dari kehendak
bebas Presiden Fidel Castro dengan berbagai aksinya yang memicu reaksi yaitu sanksi AS.
Namun, sebelum itu Amerika Serikat sudah berniat memadamkan komunisme di Kuba
dengan memberikan dukungan kepada Presiden Batista. Komunisme bagi Amerika
adalah paham gagal yang otoriter, pelanggar hak asasi manusia karena negara
menerapkan berbagai peraturan mengikat untuk menjaga kedisplinan warga
negaranya dari ujung rambut sampai kaki. Kehidupan masyarakat dijamin oleh
negara komunis, ibarat orang tua yang bekerja keras demi memenuhi kebutuhan
anak-anaknya. Sebagai imbalannya, anak-anak harus patuh dan mendengarkan kata
orang tua supaya mereka aman hingga dewasa. Artinya, anak-anak itu dilatih
untuk tidak memiliki free will yang bagi pemerintah komunis sangat merepotkan
dan bisa menyebar laksana virus dari satu anak ke anak lain.
Anak-anak yang cinta kebebasan tentunya sangat ketakutan
membayangkan musnahnya kebebasan. Di alam demokrasi pendapat pribadi dapat
diekspresikan sebebas mungkin, tidak ada hukuman bagi pembuat karikatur atau
meme presiden. Warga negara juga bebas mencari nafkah dan memilih agama atau kepercayaan. Cakupan kebebasan pun meluas seiring dengan berjalannya
waktu, di mana kehendak memutuskan menjadi LGBT+ adalah salah satunya. Semua
yang kita bahas di bagian ini adalah contoh-contoh kasus di mana kehendak bebas
gagal untuk membebaskan manusia, baik secara individu maupun kolektif, dari
eksklusivitas. Mereka menciptakan pagar pembatas yang memisahkan diri mereka
dari kehidupan bermasyarakat, baik itu Fidel Castro, para presiden AS pembela
sanksi Kuba, maupun para pejuang LGBT+. Kehendak bebas dalam sudut pandang kita
tidak selalu sejalan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, tetapi
individu tidak harus mengorbankan kesenangan pribadinya agar tercipta
kestabilan dalam masyarakat. Inilah yang diperjuangkan oleh kalangan yang
meyakini bahwa kekuatan suatu bangsa terdapat pada kekuatan masing-masing
individu dalam berkehendak dan mewujudkan kehendaknya. Kegigihan memperjuangkan
kehendak bebas dalam contoh di atas mengundang konflik dalam berbagai bentuk
dan skala keparahan, tidak berhasil membebaskan komunitas dari tekanan agar
dapat melangkah maju untuk mencapai hal-hal lain yang lebih berarti.
Apakah ini berarti kehendak bebas adalah sesuatu yang terlarang? Tidak juga. Tidak ada yang bisa menentukan orientasi seksual seseorang, atau menasihati seorang pemimpin tentang bagaimana cara memerintah wilayahnya, termasuk bagaimana cara bersikap terhadap musuh-musuhnya. Kita membutuhkan kehendak bebas agar berani bereksperimen dan berani menanggung akibatnya. Sebuah kehendak bebas akan membebaskan ketika dia tidak lagi eksklusif, tidak menakutkan bagi masyarakat, tetapi ada ruang rahasia baginya untuk bebas dari berbagai keharusan. Ruang yang bisa tercipta ketika kita tidak lagi membutuhkan pengakuan, dan menyadari peran kita dalam mempertahankan kestabilan suatu kebersamaan. (swastantika)