Rabu, 01 Desember 2021

Perubahan Iklim Itu Gawat, Tetapi ...

Suatu pagi yang cerah dan langit biru bersih tanpa awan, saya terapung-apung di tengah lautan menuju Pulau Karangmajat, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kami berangkat sekitar jam 07.00 WIB dari Pelabuhan Siberut dengan perahu motor berkapasitas 10 orang, menyusuri sungai dan rawa sepanjang perjalanan. Sekitar 1 jam kemudian tibalah kami di perairan Teluk Siberut Barat Daya yang tenang. Saya terpesona melihat pulau-pulau kecil (luas rata-rata di bawah 90 meter persegi) bertebaran; kecil, tanpa penghuni kecuali beberapa ekor camar laut, hanya pasir putih di bawah satu dua pohon kelapa dan gundukan rumput laut.

Teman kami, si pemilik perahu, berkata, “Dulu di sini ada banyak pulau kecil. Hampir hilang semua sekarang, Kak, tenggelam. Pulau ini dulu nggak kecil seperti sekarang.” Dia menunjuk sebuah pulau kecil yang kami lewati. “Tiap kali ke sini, semakin sempit pulau ini dan pasti ada saja pulau kecil yang hilang.” Saat itu Mei 2006, 15 tahun yang lalu. Ketika seorang pejabat kondang menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut adalah lebih berbahaya daripada COVID-19, saya jadi teringat pulau kecil berpasir putih di gugusan Kepulauan Mentawai. Entah masih ada atau sudah tenggelamkah pulau tanpa nama itu sekarang.

Sebuah studi mengungkapkan bahwa di tahun 2100 630 juta orang yang saat ini tinggal di daratan diperkirakan akan mengalami banjir tahunan akibat permukaan air laut terus menggenang. Artinya bila kini Anda dan keluarga menikmati tempat tinggal yang kering dan tidak pernah kebanjiran, cucu, cicit, beserta keturunan Anda kelak mungkin tidak akan mengalaminya. Kita bisa saja abai, karena toh kita mungkin sudah tiada ketika bencana maha dahsyat itu benar-benar menyapu Bumi seperti yang digambarkan dalam film-film Hollywood. Namun memilih menutup mata dan menanggalkan tanggung jawab atas kerusakan yang kita perbuat di masa lalu adalah suatu tindakan mencoreng arang di dahi sendiri, sekaligus menyakitkan bagi generasi penerus kita.

 

Pajak karbon, siapa yang diuntungkan?  

Saya yakin pembaca sekalian sudah tahu bahwa kenaikan air laut disebabkan oleh melelehnya gunung-gunung es di Kutub Utara dan Selatan. Pelelehan massal itu disebabkan peningkatan suhu di permukaan Bumi yang dipicu oleh emisi karbon dari asap pabrik, pembangkit listrik, dan kendaraan bermotor, semua yang melepaskan karbondioksida. Berangkat dari kekhawatiran akan masa depan Bumi dan keengganan menerima kenyataan hidup di atas air suatu hari nanti, di tahun 1973 David Gordon Wilson mengemukakan wacana biaya karbon (carbon fee).

Menurut skema ini, seluruh aktivitas produksi barang dan jasa yang menghasilkan emisi karbon dikenakan biaya alih-alih pajak karbon. Perbedaannya adalah, uang pajak karbon masuk ke kas pemerintah. Sedangkan biaya karbon yang diusulkan Wilson akan dibayarkan kembali sepenuhnya kepada warga negara, meski para penerimanya tidak selalu pihak pembayar biaya itu. Pajak berbasis karbon, menurut dia, cenderung bersifat melemahkan daya beli. Masyarakat berpendapatan rendah akan sangat terpukul, karena mereka harus membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk transportasi atau keperluan rumah tangga. Apabila masyarakat dari kalangan ini memperoleh bagian yang sama dari biaya karbon yang terkumpul tiap akhir bulan, maka mereka dengan pendapatan rendah akan dapat bertahan.

Skema pajak karbon tidak saja menambah beban pengeluaran masyarakat biasa, kalangan industri (dan terutama sektor perminyakan) sedikit banyak juga akan terdampak peraturan ini. Secara singkat, pajak karbon dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Sedangkan subyek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sementara di satu sisi jumlah total aktivitas manusia, baik secara perorangan atau kolektif, yang tidak menghasilkan karbon sangat dapat dihitung dengan jari.

Bagi dunia industri, pajak karbon juga berarti kenaikan biaya produksi yang secara jangka panjang akan mengganjal pemulihan beberapa sektor paska pandemi. Untungnya, dunia industri memiliki sebuah alternatif yaitu cap-and-trade yang sudah mulai dijalankan beberapa negara. Tetap saja ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah berbagai negara penganut sistem carbon tax dan/ atau cap-and-trade. 

Di Amerika Serikat sudah ada perdebatan mengenai pemanfaatan uang yang terkumpul dari hasil pembayaran pajak karbon. Mengingat jumlah totalnya yang jelas tidak sedikit, wajar jika siapa pun ingin tahu akan dialokasikan untuk keperluan apa revenue pajak karbon. Menurut sebuah sumber, ada usulan uang hasil pajak karbon digunakan untuk mengurangi pajak yang dibebankan pada berbagai aktivitas produktif (misalnya pengurangan pajak upah pekerja pabrik). Ada gagasan lain yang mirip usulan David Gordon Wilson, yaitu mendistribusikan semua uang hasil pajak karbon dalam bentuk dividen karbon untuk semua konsumen atau digunakan untuk pembiayaan dan pemeliharaan infrastruktur. Konsep ini di atas kertas sangat ideal. Apalagi bila dipersenjatai semangat untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu Bumi yang lebih hijau dan sejahtera secara merata bagi semua penghuninya. Oh, indahnya!

Segala gegap gempita di seputar isu perubahan iklim sebenarnya sedikit basi, karena ini bukanlah isu breaking news yang sekonyong-konyong muncul menggemparkan dunia seperti pandemi COVID-19. Masyarakat awam mungkin terperangah membaca pemaparan berbagai wacana bahwa peralihan ke energi hijau yang lebih ramah lingkungan adalah satu-satunya solusi mengatasi perubahan iklim. Sementara para aktivis lingkungan hidup mungkin takjub membaca hujan pernyataan para pejabat tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri, tentang kekhawatiran mereka terhadap perubahan iklim ketika nyaris tak ada tindakan bermakna untuk masalah-masalah lingkungan hidup yang tak kalah penting seperti deforestasi yang dilegalkan atas nama ekonomi atau kepunahan satwa liar. Ada sebagian masyarakat pesisir Pantai Utara Jawa yang sudah kehilangan tempat tinggal mereka akibat naiknya air laut ke pemukiman warga, dan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Mengapa kita tidak melihat upaya terkait hal ini?

 

Energi bersih mahal

Terlepas dari nominal pajak karbon yang diterapkan dengan patokan yang berbeda di tiap negara, kita harus mengakui bahwa peralihan dari energi kotor ke energi bersih adalah ikhtiar yang tidak murah. Mobil listrik dipandang sebagai penyelamat di tengah meningkatnya panic attack akibat (isu) perubahan iklim, dengan Tesla yang tampil sebagai pionirnya dan Elon Musk sebagai pendiri Tesla berhasil jadi orang terkaya sejagat raya. Ide dan kreativitas memang harus mendapat imbalan yang setimpal, maka wajar jika Model Y dibanderol 61 ribu dolar AS (sekitar Rp 841 juta, belum termasuk pajak dan lain-lain). China juga meluncurkan mobil listrik Nio yang diklaim akan menggeser Tesla berkat kecepatan produksi dan harga yang lebih terjangkau. Kuat kemungkinan perang mobil listrik segera meletus dalam waktu dekat.

Lalu bagaimana nasib mobil berbahan bakar fosil? Ketika artikel ini ditulis, saya masih mendapati beberapa iklan yang mempromosikan tipe baru mobil BBM dari berbagai merek. Bahkan ada yang menawarkan potongan harga gede-gedean, khususnya para penjual mobil secondhand. Gelagat ini seakan menunjukkan keengganan para produsen mobil menanggung kerugian akibat peralihan energi, sehingga seluruh mobil BBM yang sudah diproduksi harus habis terjual sebelum kebijakan peralihan energi resmi diberlakukan. Namun tentunya mereka tidak akan pernah memedulikan bagaimana perasaan para pemilik mobil BBM yang pada gilirannya harus menanggung biaya bahan bakar lebih tinggi akibat pajak karbon.

Menghentikan penggunaan energi fosil sama sekali tidak semudah membalik telapak tangan bagi beberapa negara. Beberapa waktu lalu, China yang disebut-sebut kalangan internasional sebagai salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar di luar Eropa dan Amerika telah mengambil langkah drastis. Pemerintahan Xi Jinping memutuskan untuk menekan emisi karbon dengan cara mengurangi produksi dan penggunaan batubara untuk pembangkit listrik. Akibat dari kebijakan ini adalah pasokan listrik menjadi terbatas karena 60% pembangkit listrik di China menggunakan batubara. Pada gilirannya, aktivitas masyarakat dan industri terganggu akibat pemadaman bergilir. Kerugian makin menggunung, terutama bagi kalangan industri yang baru menggeliat setelah badai pandemi. Dua bulan setelah diberlakukan, China membatalkan kebijakan perubahan iklim tersebut.

 

Less is more

Dampak perubahan iklim seharusnya tidak perlu dipikul sendiri oleh pemerintah berbagai negara, karena masalah ini juga menjadi kekhawatiran masyarakat luas di mana saja. Dengan himbauan yang tepat, mereka bisa dilibatkan untuk berperan lebih aktif mengingat Bumi adalah milik bersama. Himbauan sebaiknya tidak sebatas pada seruan meninggalkan kendaraan pribadi yang berbahan bakar fosil dan beralih ke kendaraan listrik, atau memasang panel surya di rumah masing-masing. Solusi energi semacam ini membutuhkan biaya besar, sedangkan daya beli masyarakat berbagai negara sedang melemah akibat inflasi tinggi dan kenaikan pajak. Kecuali negara bersedia memberikan dana kepada masyarakat untuk biaya membeli mobil listrik atau untuk pembelian plus pemasangan panel surya, kecll kemungkinan antusiasme masif terhadap solusi ramah lingkungan semacam ini tumbuh pesat.

Mengapa? Di artikel sebelumnya tentang Represi Finansial, inflasi didorong agar sektor finansial pulih ke kondisi pra COVID-19. Ditambah beban pajak karbon, konsekuensi kebijakan ini sangat mahal bagi masyarakat karena harga barang dan jasa naik sedangkan gaji tidak naik. Siapa saja di mana saja terpaksa meminimalkan pengeluaran agar roda kehidupan tetap berjalan. Di tengah situasi seperti ini pengaturan anggaran rumah tangga menjadi keahlian yang wajib dikuasai, kecuali bila mereka tak keberatan meminjam uang dan terbebani utang sampai entah kapan. Bagi yang enggan berutang, mereka harus cermat memilih kebutuhan yang diprioritaskan. Semakin panjang daftar, semakin baik.

Less is more pernah menjadi buah bibir ketika gaya hidup minimalis trending beberapa waktu lalu. Misi utama gaya hidup ini adalah mengurangi konsumerisme serendah mungkin, meski bukan berarti Anda tidak boleh memiliki apa pun selain pakaian yang menempel di badan. Seseorang dengan gaya hidup minimalis akan mengutamakan kualitas suatu barang daripada harganya. Sebagai contoh, lebih baik membeli perangkat elektronik yang lebih mahal tetapi berkualitas tinggi daripada perangkat elektronik murah yang rusak 1-2 bulan sejak kita membelinya. Earphone atau power bank, misalnya, adalah perangkat elektronik sekunder dan harganya tidak mahal bila dibandingkan iPhone 13. Lantaran harganya yang murah, kita cenderung tidak ambil pusing ketika perangkat semacam ini rusak dan orang akan cenderung menyarankan beli yang baru daripada memperbaikinya.

Pernahkah kita berpikir, akan dibawa ke mana sampah earphone yang salah satu sisinya sudah tidak bersuara atau tombol volumenya macet? Saya termasuk penggemar earphone, dan kami sekeluarga bisa menghasilkan sekitar 10 earphone rusak dalam satu tahun. Bayangkan kalau jumlah itu dikalikan jumlah pengguna earphone murah satu negara. Membeli perangkat elektronik mahal memang memberatkan anggaran. Namun pilihan ini sebenarnya lebih praktis dalam jangka panjang, karena kita tidak harus direpotkan perangkat remeh yang mudah rusak dan harus mengeluarkan uang untuk penggantinya. Yah, ini sebenarnya salah satu cara sederhana untuk membuktikan peran kita dalam upaya penyelamatan Bumi. (dy)      

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...