Suatu pagi yang cerah dan langit biru bersih tanpa awan, saya terapung-apung di tengah lautan menuju Pulau Karangmajat, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kami berangkat sekitar jam 07.00 WIB dari Pelabuhan Siberut dengan perahu motor berkapasitas 10 orang, menyusuri sungai dan rawa sepanjang perjalanan. Sekitar 1 jam kemudian tibalah kami di perairan Teluk Siberut Barat Daya yang tenang. Saya terpesona melihat pulau-pulau kecil (luas rata-rata di bawah 90 meter persegi) bertebaran; kecil, tanpa penghuni kecuali beberapa ekor camar laut, hanya pasir putih di bawah satu dua pohon kelapa dan gundukan rumput laut.
Teman kami, si pemilik perahu,
berkata, “Dulu di sini ada banyak pulau kecil. Hampir hilang semua sekarang,
Kak, tenggelam. Pulau ini dulu nggak kecil seperti sekarang.” Dia menunjuk
sebuah pulau kecil yang kami lewati. “Tiap kali ke sini, semakin sempit pulau
ini dan pasti ada saja pulau kecil yang hilang.” Saat itu Mei 2006, 15 tahun
yang lalu. Ketika seorang pejabat kondang menyatakan bahwa kenaikan permukaan
air laut adalah lebih berbahaya daripada COVID-19, saya jadi teringat pulau
kecil berpasir putih di gugusan Kepulauan Mentawai. Entah masih ada atau sudah
tenggelamkah pulau tanpa nama itu sekarang.
Sebuah studi
mengungkapkan bahwa di tahun 2100 630 juta orang yang saat ini tinggal di
daratan diperkirakan akan mengalami banjir tahunan akibat permukaan air laut
terus menggenang. Artinya bila kini Anda dan keluarga menikmati tempat tinggal
yang kering dan tidak pernah kebanjiran, cucu, cicit, beserta keturunan Anda
kelak mungkin tidak akan mengalaminya. Kita bisa saja abai, karena toh kita
mungkin sudah tiada ketika bencana maha dahsyat itu benar-benar menyapu Bumi
seperti yang digambarkan dalam film-film Hollywood. Namun memilih menutup mata
dan menanggalkan tanggung jawab atas kerusakan yang kita perbuat di masa lalu
adalah suatu tindakan mencoreng arang di dahi sendiri, sekaligus menyakitkan
bagi generasi penerus kita.
Pajak karbon, siapa yang diuntungkan?
Saya yakin pembaca sekalian sudah
tahu bahwa kenaikan air laut disebabkan oleh melelehnya gunung-gunung es di
Kutub Utara dan Selatan. Pelelehan massal itu disebabkan peningkatan suhu di
permukaan Bumi yang dipicu oleh emisi karbon dari asap pabrik, pembangkit
listrik, dan kendaraan bermotor, semua yang melepaskan karbondioksida. Berangkat
dari kekhawatiran akan masa depan Bumi dan keengganan menerima kenyataan hidup
di atas air suatu hari nanti, di tahun 1973 David
Gordon Wilson mengemukakan wacana biaya karbon (carbon fee).
Menurut skema ini, seluruh
aktivitas produksi barang dan jasa yang menghasilkan emisi karbon dikenakan
biaya alih-alih pajak karbon. Perbedaannya adalah, uang pajak karbon masuk ke
kas pemerintah. Sedangkan biaya karbon yang diusulkan Wilson akan dibayarkan
kembali sepenuhnya kepada warga negara, meski para penerimanya tidak selalu
pihak pembayar biaya itu. Pajak berbasis karbon, menurut dia, cenderung
bersifat melemahkan daya beli. Masyarakat berpendapatan rendah akan sangat
terpukul, karena mereka harus membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk transportasi
atau keperluan rumah tangga. Apabila masyarakat dari kalangan ini memperoleh
bagian yang sama dari biaya karbon yang terkumpul tiap akhir bulan, maka mereka
dengan pendapatan rendah akan dapat bertahan.
Skema pajak karbon tidak saja menambah
beban pengeluaran masyarakat biasa, kalangan industri (dan terutama sektor
perminyakan) sedikit banyak juga akan terdampak peraturan ini. Secara singkat,
pajak karbon dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap pemakaian
bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Sedangkan subyek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung
karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sementara di
satu sisi jumlah total aktivitas manusia, baik secara perorangan atau kolektif,
yang tidak menghasilkan karbon sangat dapat dihitung dengan jari.
Bagi dunia industri,
pajak karbon juga berarti kenaikan biaya produksi yang secara jangka panjang
akan mengganjal pemulihan beberapa sektor paska pandemi. Untungnya, dunia
industri memiliki sebuah alternatif yaitu cap-and-trade yang sudah mulai dijalankan beberapa negara. Tetap saja ada satu
pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah berbagai negara penganut
sistem carbon tax dan/ atau cap-and-trade.
Di Amerika Serikat sudah ada
perdebatan mengenai pemanfaatan uang yang terkumpul dari hasil pembayaran pajak
karbon. Mengingat jumlah totalnya yang jelas tidak sedikit, wajar jika siapa
pun ingin tahu akan dialokasikan untuk keperluan apa revenue pajak karbon. Menurut sebuah sumber, ada usulan
uang hasil pajak karbon digunakan untuk mengurangi pajak yang dibebankan pada
berbagai aktivitas produktif (misalnya pengurangan pajak upah pekerja pabrik).
Ada gagasan lain yang mirip usulan David Gordon Wilson, yaitu mendistribusikan
semua uang hasil pajak karbon dalam bentuk dividen karbon untuk semua konsumen
atau digunakan untuk pembiayaan dan pemeliharaan infrastruktur. Konsep ini di
atas kertas sangat ideal. Apalagi bila dipersenjatai semangat untuk mewujudkan
cita-cita bersama, yaitu Bumi yang lebih hijau dan sejahtera secara merata bagi
semua penghuninya. Oh, indahnya!
Segala gegap gempita
di seputar isu perubahan iklim sebenarnya sedikit basi, karena ini bukanlah isu
breaking news yang sekonyong-konyong
muncul menggemparkan dunia seperti pandemi COVID-19. Masyarakat awam mungkin
terperangah membaca pemaparan berbagai wacana bahwa peralihan ke energi hijau
yang lebih ramah lingkungan adalah satu-satunya solusi mengatasi perubahan
iklim. Sementara para aktivis lingkungan hidup mungkin takjub membaca hujan
pernyataan para pejabat tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri, tentang
kekhawatiran mereka terhadap perubahan iklim ketika nyaris tak ada tindakan
bermakna untuk masalah-masalah lingkungan hidup yang tak kalah penting seperti
deforestasi yang dilegalkan atas nama ekonomi atau kepunahan satwa liar. Ada
sebagian masyarakat pesisir Pantai Utara Jawa yang sudah kehilangan tempat
tinggal mereka akibat naiknya air laut ke pemukiman warga, dan ini sudah
terjadi sejak beberapa tahun lalu. Mengapa kita tidak melihat upaya terkait hal
ini?
Energi bersih mahal
Terlepas dari nominal
pajak karbon yang diterapkan dengan patokan yang berbeda di tiap negara, kita
harus mengakui bahwa peralihan dari energi kotor ke energi bersih adalah
ikhtiar yang tidak murah. Mobil listrik dipandang sebagai penyelamat di tengah
meningkatnya panic attack akibat
(isu) perubahan iklim, dengan Tesla yang tampil sebagai pionirnya dan Elon Musk
sebagai pendiri Tesla berhasil jadi orang terkaya sejagat raya. Ide dan
kreativitas memang harus mendapat imbalan yang setimpal, maka wajar jika Model
Y dibanderol 61 ribu dolar AS (sekitar Rp 841 juta, belum termasuk pajak dan
lain-lain). China juga meluncurkan mobil listrik Nio yang diklaim akan
menggeser Tesla berkat kecepatan produksi dan harga yang lebih terjangkau. Kuat
kemungkinan perang mobil listrik segera meletus dalam waktu dekat.
Lalu bagaimana nasib
mobil berbahan bakar fosil? Ketika artikel ini ditulis, saya masih mendapati
beberapa iklan yang mempromosikan tipe baru mobil BBM dari berbagai merek.
Bahkan ada yang menawarkan potongan harga gede-gedean, khususnya para penjual
mobil secondhand. Gelagat ini seakan menunjukkan keengganan para produsen mobil
menanggung kerugian akibat peralihan energi, sehingga seluruh mobil BBM yang
sudah diproduksi harus habis terjual sebelum kebijakan peralihan energi resmi diberlakukan.
Namun tentunya mereka tidak akan pernah memedulikan bagaimana perasaan para
pemilik mobil BBM yang pada gilirannya harus menanggung biaya bahan bakar lebih
tinggi akibat pajak karbon.
Menghentikan penggunaan
energi fosil sama sekali tidak semudah membalik telapak tangan bagi beberapa
negara. Beberapa waktu lalu, China yang disebut-sebut kalangan internasional
sebagai salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar di luar Eropa dan
Amerika telah mengambil langkah drastis. Pemerintahan Xi Jinping memutuskan
untuk menekan emisi karbon dengan cara mengurangi produksi dan penggunaan
batubara untuk pembangkit listrik. Akibat dari kebijakan ini adalah pasokan
listrik menjadi terbatas karena 60% pembangkit listrik di China menggunakan
batubara. Pada gilirannya, aktivitas masyarakat dan industri terganggu akibat
pemadaman bergilir. Kerugian makin menggunung, terutama bagi kalangan industri
yang baru menggeliat setelah badai pandemi. Dua bulan setelah diberlakukan,
China membatalkan kebijakan perubahan iklim
tersebut.
Less is more
Dampak perubahan
iklim seharusnya tidak perlu dipikul sendiri oleh pemerintah berbagai negara, karena
masalah ini juga menjadi kekhawatiran masyarakat luas di mana saja. Dengan
himbauan yang tepat, mereka bisa dilibatkan untuk berperan lebih aktif
mengingat Bumi adalah milik bersama. Himbauan sebaiknya tidak sebatas pada
seruan meninggalkan kendaraan pribadi yang berbahan bakar fosil dan beralih ke
kendaraan listrik, atau memasang panel surya di rumah masing-masing. Solusi
energi semacam ini membutuhkan biaya besar, sedangkan daya beli masyarakat
berbagai negara sedang melemah akibat inflasi tinggi dan kenaikan pajak. Kecuali
negara bersedia memberikan dana kepada masyarakat untuk biaya membeli mobil
listrik atau untuk pembelian plus pemasangan panel surya, kecll kemungkinan
antusiasme masif terhadap solusi ramah lingkungan semacam ini tumbuh pesat.
Mengapa? Di artikel sebelumnya tentang
Represi Finansial, inflasi didorong agar sektor finansial pulih ke kondisi pra
COVID-19. Ditambah beban pajak karbon, konsekuensi
kebijakan ini sangat mahal bagi masyarakat karena harga barang dan jasa naik
sedangkan gaji tidak naik. Siapa saja di mana saja terpaksa meminimalkan
pengeluaran agar roda kehidupan tetap berjalan. Di tengah situasi seperti ini pengaturan
anggaran rumah tangga menjadi keahlian yang wajib dikuasai, kecuali bila mereka
tak keberatan meminjam uang dan terbebani utang sampai entah kapan. Bagi yang
enggan berutang, mereka harus cermat memilih kebutuhan yang diprioritaskan. Semakin
panjang daftar, semakin baik.
Less is more pernah menjadi buah bibir ketika gaya hidup minimalis trending beberapa waktu lalu. Misi utama
gaya hidup ini adalah mengurangi konsumerisme serendah mungkin, meski bukan
berarti Anda tidak boleh memiliki apa pun selain pakaian yang menempel di
badan. Seseorang dengan gaya hidup minimalis akan mengutamakan kualitas suatu
barang daripada harganya. Sebagai contoh, lebih baik membeli perangkat
elektronik yang lebih mahal tetapi berkualitas tinggi daripada perangkat
elektronik murah yang rusak 1-2 bulan sejak kita membelinya. Earphone atau
power bank, misalnya, adalah perangkat elektronik sekunder dan harganya tidak
mahal bila dibandingkan iPhone 13. Lantaran harganya yang murah, kita cenderung
tidak ambil pusing ketika perangkat semacam ini rusak dan orang akan cenderung
menyarankan beli yang baru daripada memperbaikinya.
Pernahkah kita berpikir, akan dibawa ke mana sampah earphone yang salah satu sisinya sudah tidak bersuara atau tombol volumenya macet? Saya termasuk penggemar earphone, dan kami sekeluarga bisa menghasilkan sekitar 10 earphone rusak dalam satu tahun. Bayangkan kalau jumlah itu dikalikan jumlah pengguna earphone murah satu negara. Membeli perangkat elektronik mahal memang memberatkan anggaran. Namun pilihan ini sebenarnya lebih praktis dalam jangka panjang, karena kita tidak harus direpotkan perangkat remeh yang mudah rusak dan harus mengeluarkan uang untuk penggantinya. Yah, ini sebenarnya salah satu cara sederhana untuk membuktikan peran kita dalam upaya penyelamatan Bumi. (dy)