Orang bilang sebuah penolakan atau tidak tercapainya tujuan adalah hidden blessing (berkah tersembunyi), karena kita akan terpacu untuk memperbaiki diri agar lebih layak menggapai cita-cita. Namun, tentunya, tidak mudah mengatakan itu semua kepada sekelompok masyarakat yang baru kehilangan tempat tinggal akibat bencana, baru mengalami PHK, atau kehilangan anggota keluarga. Ada warna kesedihan yang sama di balik itu semua, dan dibutuhkan waktu yang cukup lama agar dapat memandang ketidakberuntungan sebagai berkah tersembunyi.
Akhir Desember 1991, di manakah Anda berada saat itu?
Sekitar tahun itu di kota saya hanya ada satu channel TV pemerintah yang
disebut TVRI. Belum ada internet apalagi ponsel, sehingga otomatis masa liburan
kala itu hanya ada TVRI mulai petang sampai malam hari sebagai hiburan bagi
para anak rumahan. Hari itu tanggal 26
Desember. Ada satu tayangan Dunia Dalam Berita malam itu yang masih terus
terkenang dalam benak saya hingga kini. Peristiwa penurunan bendera Uni Soviet.
Daya nalar seorang remaja 13 tahun mengira peristiwa itu sekedar seremonial
belaka, seperti upacara bendera yang diadakan semua sekolah di Indonesia tiap
hari Senin era pra pandemi. Bedanya, bendera merah Uni Soviet tidak pernah terlihat
berkibar kembali di perhelatan internasional sejak itu.
Sekitar 30 tahun kemudian saya menyadari bahwa kehilangan
sesuatu yang pernah menjadi kebanggaan kita bukanlah sesuatu yang mudah. Apakah
ada hidden blessings di balik peristiwa
yang terjadi 25 Desember 1991, tetapi kami di Indonesia menontonnya di televisi
26 Desember 1991 akibat perbedaan waktu (stasiun yang menayangkan peristiwa itu
adalah ABC, stasiun televisi Amerika Serikat)? Apakah emosi yang menguasai
batin ketika melihat bendera yang kita puja sebagai identitas nasional
dinyatakan tidak berharga lagi, terlepas siapa pun yang menyatakannya? Meskipun
saya dan Anda yang tinggal di luar Uni Soviet (saat itu) hanyalah penonton, tidakkah
kita menyadari bahwa situasi dalam konteks yang kurang lebih sama pernah dan
atau sedang ada di depan mata kita saat ini?
Freedom from want
Demokrasi dijunjung tinggi di banyak negara berkat berbagai
kelebihan yang ditawarkan sistem ini. Franklin D. Roosevelt menguraikan
keistimewaan utama demokrasi melalui pidatonya pada 6 Januari 1941 tentang Empat
Kebebasan (Four Freedoms). Freedom from want adalah salah satu
bentuk kebebasan yang dipresentasikan. Secara literal terjemahan dari kata “want” di sini adalah keinginan, sehingga
arti frasa “freedom from want” secara
literal adalah “kebebasan dari keinginan”.
Dari semua jenis kebebasan yang disebut dalam Four Freedom, freedom from want adalah alasan utama
yang menggerakkan manusia. Semua manusia
menginginkan sesuatu dalam hidupnya; kebahagiaan, kemakmuran, kesuksesan, silakan
sebut lainnya. Berkat kemajuan teknologi digital, manusia semakin mudah
mendapatkan apa pun yang diinginkan melalui lokapasar daring, jodoh pun bisa
dicari di situs kontak jodoh seperti Tinder. Itulah keajaiban demokrasi, karena
kebebasan yang mengiringinya melapangkan jalan bagi manusia untuk mencipta dan
mengembangkan ide-ide demi tercapainya, menurut Roosevelt, healthy peacetime life (kehidupan yang sehat di masa damai).
Dengan berjalannya waktu, keinginan manusia pun semakin
bertambah. Ibarat menenggak vodka, makin banyak minum makin kering tenggorokan.
Sebagian masyarakat tidak lagi merasa cukup bahagia dengan makanan lezat yang
disantap bersama keluarga di rumah. Standar kehidupan layak pun juga berubah,
karena makin banyak orang yang merasa cukup bahagia hidup bersama pasangan
tanpa anak atau hidup sebatang kara menjelajah dunia. Sementara di belahan lain
planet ini orang-orang masih kelimpungan mendefinisikan apa makna kebahagiaan
dan memilih berbagai opsi yang mengada berkat adanya kebebasan. Di Amerika
Serikat, gerakan “Great Resignation” muncul akibat para karyawan yang kabarnya
tidak menemukan kebahagiaan dari pekerjaan mereka. Mungkin bagi mereka hidup
terasa hampa, dan kehampaan itu tidak bisa diobati dengan gaji puluhan juta.
Fenomena kehidupan malam, narkoba, dan segala yang
‘remang-remang’ membuat kaum religius menuding kealpaan religiusitas dalam
hidup manusia kekinian sebagai pangkal dari ketidakmampuan sebagian orang
melihat cahaya di ujung terowongan, sebuah tudingan yang sekaligus memicu
radikalisme agama di berbagai tempat. Jangan lupa, bagi sebagian orang religiusitas
juga termasuk upaya mencapai freedom from
want ketika mereka menganggap religi adalah jalan membebaskan diri dari
keinginan duniawi yang membelenggu kesehatan pikiran dan jiwa.
Bagaimana pun juga, adalah freedom from want yang memotivasi manusia berlomba-lomba
mengumpulkan profit sebanyak mungkin lantaran kebutuhan hidup mereka banyak
sehingga banyak pula uang yang dibutuhkan untuk mencukupinya. Kesejahteraan
ekonomi yang tidak merata membuat beberapa kelompok manusia merasa tidak aman
menjalani hidup mereka dan mencari-cari celah untuk mengamankan masa depannya. Mereka
yang cukup beruntung memiliki akses infrastruktur dan relasi untuk mendukung
berbagai tujuan akan keluar sebagai para pemenang di tengah kompetisi pasar
bebas. Semua ini berkat demokrasi yang membebaskan orang untuk berusaha
semampunya demi hidup yang lebih baik.
Di alam demokrasi pemerintah berbagai negara mengurangi
peranan sebagai pengawas pertandingan, tetapi akan tetap bertindak tegas bila
otoritas mereka dilanggar. Teknologi informasi dan internet of things dikembangkan semaksimal mungkin bukan hanya untuk
mendukung kebebasan berbisnis, tetapi juga memudahkan pengendalian kebebasan
anggota masyarakat. Mereka diarahkan untuk mencari kebanggaan di area-area yang
sudah ditentukan dan menguntungkan para pengendali serta para pemilik modal.
Di Mana Mencari
Kebanggaan?
Seandainya kita kehilangan rumah, kendaraan, uang akibat
bencana atau dicuri orang, kita bisa memperoleh yang lebih baik suatu saat
nanti. Bagaimana kalau yang hilang adalah kebanggaan, harus ke mana kita
mencarinya? Kebanggaan itu tidak kasat mata, lalu bagaimana mungkin bisa
hilang? Meski berkah tersembunyi yang baru terungkap kemudian setelah
kejatuhannya, menghilangnya
USSR dari peta dunia meninggalkan jejak abadi di benak warga yang dulu
pernah menjadi bagiannya. Ada yang bersikukuh Uni Soviet masih ada, sementara hasil jajak pendapat
Maret 2021 menunjukkan 58% masyarakat Rusia menyesali keruntuhannya. Amerika
Serikat dan para sekutunya mungkin memandangnya sebagai sebuah prestasi, tetapi
mereka tidak menyadari bahwa jutaan manusia lainnya termasuk warga mereka sendiri
dan bahkan mungkin sebagian dari kita tengah merasakan apa yang dirasakan warga
Uni Soviet dahulu dan kini.
Mereka dengan latar belakang ekonomi, budaya, sosial, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, dan usia berbeda bisa merasakan keterhempasan yang
sama, ketika seseorang atau sesuatu memutuskan bahwa apa yang sedang mereka
banggakan saat ini sudah tidak berharga lagi. Mereka mungkin salah satu dari penganut
kepercayaan leluhur yang dianggap sesat oleh kelompok kepercayaan yang lebih
kekinian. Atau seorang keturunan imigran yang lahir dan dibesarkan di negara
yang bukan negara asal orang tuanya, berusaha memperjuangkan hak yang sama
seperti warga asli selama bertahun-tahun, tetapi pupus akibat pernyataan
“America For The Americans.” Atau suku asli yang terusir dari tanah nenek
moyang mereka setelah kedatangan bangsa lain yang yakin diri mereka lebih
beradab dan cerdas. Mereka kehilangan kebanggaan atas identitas warisan
keluarga, komunitas, bangsa, karena desakan berbagai pihak dari luar yang juga
bangga dengan identitas mereka dan membutuhkan pengakuan.
Artinya, identitas kita saat ini sebaiknya hanya menempati 10% saja dari rasa bangga di dada Anda. Ya, identitas ada dan yang tidak ada di KTP seperti apa ras atau suku bangsa kedua orang tua Anda, partai politik pilihan Anda, atau jurusan apa yang Anda pilih semasa kuliah. Apa pun yang membuat kita merasa bangga telah memilikinya dan atau menjadi bagian dari itu sejak kurun waktu tertentu dalam hidup. Tidak peduli seberapa aman dunia kita saat ini, tetap ada saja pihak yang ingin melucuti kebanggaan kita melalui narasi tentang upaya pemurnian asal-usul, agama, dan kepercayaan sebagai cara yang “benar” untuk mencari jati diri. Kita harus ingat bahwa kebanggaan bukanlah hadiah pemberian seseorang, bukan pula tujuan. Kebanggaan adalah sebuah dampak yang kita rasakan sebagai konsekuensi dari hal bermakna yang sudah atau pernah kita lakukan. Lalu bagaimana seandainya kita belum pernah melakukan hal semacam itu, apakah kita tidak bisa menemukan kebanggaan? “The darker the night, the brighter the stars,” kata Fyodor Dostoevsky