Jumat, 21 Januari 2022

Ke Mana Mencari Kebanggaan yang Hilang?

Orang bilang sebuah penolakan atau tidak tercapainya tujuan adalah hidden blessing (berkah tersembunyi), karena kita akan terpacu untuk memperbaiki diri agar lebih layak menggapai cita-cita. Namun, tentunya, tidak mudah mengatakan itu semua kepada sekelompok masyarakat yang baru kehilangan tempat tinggal akibat bencana, baru mengalami PHK, atau kehilangan anggota keluarga. Ada warna kesedihan yang sama di balik itu semua, dan dibutuhkan waktu yang cukup lama agar dapat memandang ketidakberuntungan sebagai berkah tersembunyi.

Akhir Desember 1991, di manakah Anda berada saat itu? Sekitar tahun itu di kota saya hanya ada satu channel TV pemerintah yang disebut TVRI. Belum ada internet apalagi ponsel, sehingga otomatis masa liburan kala itu hanya ada TVRI mulai petang sampai malam hari sebagai hiburan bagi para anak rumahan.  Hari itu tanggal 26 Desember. Ada satu tayangan Dunia Dalam Berita malam itu yang masih terus terkenang dalam benak saya hingga kini. Peristiwa penurunan bendera Uni Soviet. Daya nalar seorang remaja 13 tahun mengira peristiwa itu sekedar seremonial belaka, seperti upacara bendera yang diadakan semua sekolah di Indonesia tiap hari Senin era pra pandemi. Bedanya, bendera merah Uni Soviet tidak pernah terlihat berkibar kembali di perhelatan internasional sejak itu.

Sekitar 30 tahun kemudian saya menyadari bahwa kehilangan sesuatu yang pernah menjadi kebanggaan kita bukanlah sesuatu yang mudah. Apakah ada hidden blessings di balik peristiwa yang terjadi 25 Desember 1991, tetapi kami di Indonesia menontonnya di televisi 26 Desember 1991 akibat perbedaan waktu (stasiun yang menayangkan peristiwa itu adalah ABC, stasiun televisi Amerika Serikat)? Apakah emosi yang menguasai batin ketika melihat bendera yang kita puja sebagai identitas nasional dinyatakan tidak berharga lagi, terlepas siapa pun yang menyatakannya? Meskipun saya dan Anda yang tinggal di luar Uni Soviet (saat itu) hanyalah penonton, tidakkah kita menyadari bahwa situasi dalam konteks yang kurang lebih sama pernah dan atau sedang ada di depan mata kita saat ini?

 

Freedom from want

Demokrasi dijunjung tinggi di banyak negara berkat berbagai kelebihan yang ditawarkan sistem ini. Franklin D. Roosevelt menguraikan keistimewaan utama demokrasi melalui pidatonya pada 6 Januari 1941 tentang Empat Kebebasan (Four Freedoms). Freedom from want adalah salah satu bentuk kebebasan yang dipresentasikan. Secara literal terjemahan dari kata “want” di sini adalah keinginan, sehingga arti frasa “freedom from want” secara literal adalah “kebebasan dari keinginan”.

Dari semua jenis kebebasan yang disebut dalam Four Freedom, freedom from want adalah alasan utama yang menggerakkan manusia.  Semua manusia menginginkan sesuatu dalam hidupnya; kebahagiaan, kemakmuran, kesuksesan, silakan sebut lainnya. Berkat kemajuan teknologi digital, manusia semakin mudah mendapatkan apa pun yang diinginkan melalui lokapasar daring, jodoh pun bisa dicari di situs kontak jodoh seperti Tinder. Itulah keajaiban demokrasi, karena kebebasan yang mengiringinya melapangkan jalan bagi manusia untuk mencipta dan mengembangkan ide-ide demi tercapainya, menurut Roosevelt, healthy peacetime life (kehidupan yang sehat di masa damai).

Dengan berjalannya waktu, keinginan manusia pun semakin bertambah. Ibarat menenggak vodka, makin banyak minum makin kering tenggorokan. Sebagian masyarakat tidak lagi merasa cukup bahagia dengan makanan lezat yang disantap bersama keluarga di rumah. Standar kehidupan layak pun juga berubah, karena makin banyak orang yang merasa cukup bahagia hidup bersama pasangan tanpa anak atau hidup sebatang kara menjelajah dunia. Sementara di belahan lain planet ini orang-orang masih kelimpungan mendefinisikan apa makna kebahagiaan dan memilih berbagai opsi yang mengada berkat adanya kebebasan. Di Amerika Serikat, gerakan “Great Resignation” muncul akibat para karyawan yang kabarnya tidak menemukan kebahagiaan dari pekerjaan mereka. Mungkin bagi mereka hidup terasa hampa, dan kehampaan itu tidak bisa diobati dengan gaji puluhan juta.

Fenomena kehidupan malam, narkoba, dan segala yang ‘remang-remang’ membuat kaum religius menuding kealpaan religiusitas dalam hidup manusia kekinian sebagai pangkal dari ketidakmampuan sebagian orang melihat cahaya di ujung terowongan, sebuah tudingan yang sekaligus memicu radikalisme agama di berbagai tempat. Jangan lupa, bagi sebagian orang religiusitas juga termasuk upaya mencapai freedom from want ketika mereka menganggap religi adalah jalan membebaskan diri dari keinginan duniawi yang membelenggu kesehatan pikiran dan jiwa.

Bagaimana pun juga, adalah freedom from want yang memotivasi manusia berlomba-lomba mengumpulkan profit sebanyak mungkin lantaran kebutuhan hidup mereka banyak sehingga banyak pula uang yang dibutuhkan untuk mencukupinya. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata membuat beberapa kelompok manusia merasa tidak aman menjalani hidup mereka dan mencari-cari celah untuk mengamankan masa depannya. Mereka yang cukup beruntung memiliki akses infrastruktur dan relasi untuk mendukung berbagai tujuan akan keluar sebagai para pemenang di tengah kompetisi pasar bebas. Semua ini berkat demokrasi yang membebaskan orang untuk berusaha semampunya demi hidup yang lebih baik.

Di alam demokrasi pemerintah berbagai negara mengurangi peranan sebagai pengawas pertandingan, tetapi akan tetap bertindak tegas bila otoritas mereka dilanggar. Teknologi informasi dan internet of things dikembangkan semaksimal mungkin bukan hanya untuk mendukung kebebasan berbisnis, tetapi juga memudahkan pengendalian kebebasan anggota masyarakat. Mereka diarahkan untuk mencari kebanggaan di area-area yang sudah ditentukan dan menguntungkan para pengendali serta para pemilik modal.

 

Di Mana Mencari Kebanggaan?

Seandainya kita kehilangan rumah, kendaraan, uang akibat bencana atau dicuri orang, kita bisa memperoleh yang lebih baik suatu saat nanti. Bagaimana kalau yang hilang adalah kebanggaan, harus ke mana kita mencarinya? Kebanggaan itu tidak kasat mata, lalu bagaimana mungkin bisa hilang? Meski berkah tersembunyi yang baru terungkap kemudian setelah kejatuhannya, menghilangnya USSR dari peta dunia meninggalkan jejak abadi di benak warga yang dulu pernah menjadi bagiannya. Ada yang bersikukuh Uni Soviet masih ada, sementara hasil jajak pendapat Maret 2021 menunjukkan 58% masyarakat Rusia menyesali keruntuhannya. Amerika Serikat dan para sekutunya mungkin memandangnya sebagai sebuah prestasi, tetapi mereka tidak menyadari bahwa jutaan manusia lainnya termasuk warga mereka sendiri dan bahkan mungkin sebagian dari kita tengah merasakan apa yang dirasakan warga Uni Soviet dahulu dan kini.

Mereka dengan latar belakang ekonomi, budaya, sosial, agama, kepercayaan, jenis kelamin, dan usia berbeda bisa merasakan keterhempasan yang sama, ketika seseorang atau sesuatu memutuskan bahwa apa yang sedang mereka banggakan saat ini sudah tidak berharga lagi. Mereka mungkin salah satu dari penganut kepercayaan leluhur yang dianggap sesat oleh kelompok kepercayaan yang lebih kekinian. Atau seorang keturunan imigran yang lahir dan dibesarkan di negara yang bukan negara asal orang tuanya, berusaha memperjuangkan hak yang sama seperti warga asli selama bertahun-tahun, tetapi pupus akibat pernyataan “America For The Americans.” Atau suku asli yang terusir dari tanah nenek moyang mereka setelah kedatangan bangsa lain yang yakin diri mereka lebih beradab dan cerdas. Mereka kehilangan kebanggaan atas identitas warisan keluarga, komunitas, bangsa, karena desakan berbagai pihak dari luar yang juga bangga dengan identitas mereka dan membutuhkan pengakuan.

Artinya, identitas kita saat ini sebaiknya hanya menempati 10% saja dari rasa bangga di dada Anda. Ya, identitas ada dan yang tidak ada di KTP seperti apa ras atau suku bangsa kedua orang tua Anda, partai politik pilihan Anda, atau jurusan apa yang Anda pilih semasa kuliah. Apa pun yang membuat kita merasa bangga telah memilikinya dan atau menjadi bagian dari itu sejak kurun waktu tertentu dalam hidup. Tidak peduli seberapa aman dunia kita saat ini, tetap ada saja pihak yang ingin melucuti kebanggaan kita melalui narasi tentang upaya pemurnian asal-usul, agama, dan kepercayaan sebagai cara yang “benar” untuk mencari jati diri. Kita harus ingat bahwa kebanggaan bukanlah hadiah pemberian seseorang, bukan pula tujuan. Kebanggaan adalah sebuah dampak yang kita rasakan sebagai konsekuensi dari hal bermakna yang sudah atau pernah kita lakukan. Lalu bagaimana seandainya kita belum pernah melakukan hal semacam itu, apakah kita tidak bisa menemukan kebanggaan? “The darker the night, the brighter the stars,” kata Fyodor Dostoevsky 

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...